Langgam penjajahan dalam penguasaan lahan sawit terindikasi tajam. Kini dari 9,2 juta kebun sawit nasional, 50% dimiliki asing. Kasus Manggopoh, Sumatera Barat, bisa jadi contoh pola “kepenjajahan” itu.
Eri Naldi, Padang, di Vivanews.com, menuliskan bahwa penguasaan asing
terhadap lahan perkebunan sawit nasional hingga tahun ini tercatat
mencapai 50 persen lahan yang tersedia atau sekitar 9,2 juta hektare
(ha).
Menurut data yang dilansir Sawit Watch, perusahaan asing itu berasal
dari Malaysia, Singapura, Amerika Serikat, Belgia, dan Inggris.
“Hanya 3,6 juta ha lahan yang tersisa dan dikelola 2,5 juta petani sawit
di dalam negeri,” kata Koordinator Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
Mansuetus Darto di Padang.
Persoalan kapitalisme di sektor perkebunan sawit ini dinilai Darto
merugikan masyarakat petani sawit di dalam negeri. Dengan luas lahan
sawit yang hanya mencapai rata-rata 2 ha lahan per orang, hal itu
menurutnya memperburuk kesejahteraan petani kelapa sawit.
Data Sawit Watch menunjukkan, perusahaan asing yang menguasai lahan
sawit terbesar di dalam negeri yakni Wilmar Group, Cargill, dan Sime
Derby dari Malaysia. Sedangkan perusahaan nasional hanya menguasai
sekitar 3,5 juta ha lahan perkebunan sawit nasional yang diisi empat
grup perusahaan.
Tingginya penguasaan asing atas lahan sawit di dalam negeri membuat SPKS
dan Sawit Watch mendesak pemerintah membuka lahan sawit baru dalam
skala besar. “Hal itu hanya akan memperburuk kondisi petani sawit
nasional,” tutur Y Hardiana dari Sawit Watch.
Menurut Hardiana, pembukaan lahan secara besar berdampak buruk bagi
posisi tawar masyarakat pemilik tanah terhadap investor. Kondisi
terburuk yang berkembang sepanjang 2010, yakni tingginya kriminalisasi
terhadap petani sawit hingga tahun ini.
Sejak 2002, tercatat sebanyak 129 petani sawit dipolisikan dengan
tuduhan penyerobotan lahan. Kasus terbesar terjadi di Kabupaten
Sarolangun, Jambi. Sebanyak 35 petani dilaporkan ke polisi dengan alasan
yang sama. Di Sumbar, tercatat sebanyak 28 kasus menimpa petani sawit.
“Tiga orang petani saat ini sedang menjalani tuntutan pihak perusahaan
di Nagari Lingkuang Aur, Pasaman Barat, Sumbar, dengan tuduhan
penyerobotan lahan,” ujar Hardiana.
Kasus-kasus tersebut karena lemahnya komitmen perusahaan sawit menggarap
lahan yang telah dikuasainya. SPKS dan Sawit Watch meminta pemerintah
bersikap tegas pada perusahaan sawit yang menelantarkan lahan.
Laporan Eri Naldi itu dituliskan pada 17 Desember 2010.
SEJAK lama saya memverfikasi kasus Penggelapan Hasil Panen Kebun Sawit Plasma KUD Manggopoh II, Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Ratusan anggota KUD, tidak menerima hasil kebunnya seluas 1.284 ha. Hingga kini ajaibanya tiga orang tersangka, Syahril Datuak Bintaro Rajo, Jufrinur dan Rafles, yang telah ditetapkan sebagai tersangka, masih tetap melenggang ke sana-ke mari.
Dari Berita Acara Pemeriksaaan (BAP),Polda Sumbar, ketiga oknum itu telah menggelapkan dana Rp 13 miliar.
Lebih jauh kini, sertifikat tanah plasma milik anggota KUD, setelah dulunya dijaminkan untuk mendapatkan kredit bank untuk menjalankan kebun dan setelah lunas, kemudian dijaminkan ulang konon oleh sebuah badan bertameng yayasan ke Bank BNI, Cabang Padang. Dan perihal ini terindikasi melibatkan ketiga tersangka tadi.
KUD ini semula mendapatkan penjamin kredit dari banka atas jaminan perkebunan inti PT AMP Plantation, yang mendapatkan lahan utama milik ulayat suku Tanjung. Penjaminnya di bank antara lain warga Singapura bernama Kuok Khoon Hong, Presdir PT AMP Pantation, waga Singapura.
Adalah sosok Agusti, 80 tahun, yang saya temui di Jakarta, sedang memaparkan perihal ini ke salah satu anggota komisi III DPR. Pola indikasi kolusi lahan alokasi
kebunnya di Manggopoh lebih dari 5.000 hektar, oleh Pemerintah Daerah
di Manggopoh, telah dialihkan saja kepada PT AMP Plantation, yang kini
menjadi kebun inti KUD Manggopoh II
“Pemerintah daerah meniadakan hak kami selama ini,” ujarnya.
Agusti yang mencari keadilan, mengaku selama ini telah berjuang panjang. “Yang
kami hadapi kekuasaan, investor asing pemelik uang, yang ingin
mendapatkan penguasaan lahan luas dengan cara gampang dan murah,” ujar
Agusti.
Cara-cara penjajahan, adu domba, antara pemilik ulayat tanah, dengan para investor yang datang dari luar negeri, sudah bukan basa-basi. Cara-cara itu hingga kini berkembang, bahkan tetap berjalan, baik oleh perorangan, maupun perusahan. Perusahaan lokal 100% , seperti PT Bara Persada, salah satu pemilikinya Agusti dan kawan-kawan, seakan dikalahkan oleh keadaan.
Keadaan tanah kebun sawit di KUD Manggopoh II itu kian menjadi benang
kusut. Konon sebuah yayasan mendirikan pula laskar semacam kekuatan
“preman”. “Yayasan mendirikan yang namanya laskar yang mengawasi kebun. Mereka semacam centeng bagi cukong,” tutur Agusti pula.
Dalam perkembangannya, hingga kasus KUD Manggopoh II itu membuncah, tidak terlepas dari kepentingan uang dan kekuasaan. Tidak terhindarkan pula oknum pejabat kepolisian daerah terlibat, membiarkan hukum tidak diteggakkan.
Rakyat, perusahaan daerah, memang akhirnya seakan tercampakkan. Pemilik ranah, tanah sebagai warisan leluhur akhirnya seakan tergadai. Apa yang disebut peningkatan kesejahteraan rakyat jauh panggang dari api.
Hari-hari sekarang sosok seperti Agusti, berjuang keras akan haknya yang
selama ini seakan dirampas oleh oknum Pemda, serta oknum beberapa
gelintir masyarakat adat di daerah. Mereka umumnya memperkaya diri bukan dari haknya. Akhirnya ketemulah kalimat seperti dipaparkan Sawit Watch: kebun bukan lagi menjadi milik bangsa sendiri.
Jika saja waratawan Eri Naldi di Padang meneruskan liputannya dan memverifikasi perihal kasus Manggopoh itu, akan menjawab secara nyata: bahwa cara-cara penjajahan, memang terjadi di dunia persawitan kita.
Belum lagi, kita bicara ihwal dunia perbankan, yangs elama ini memang
tidak berpihak kepada rakyat kebanyakan. Terlebih lagi kini, sebagian
perbankan sudah dimilikik asing: Fakta di lapangan kebun baru sulit
dibuka, kebun yang telah jadi bermasalah, sebagian dikuasai asing, lahan penduduk asli, tanah ulayat seperti di Manggopoh, Sumatera Barat lepas dari genggaman pemilik, bahkan kebun sudah jadi kebun pemilik plasma tak menikmati hasil. Sebuah siklus kekejaman bak langgam penjajah.
Saya hanya heran mengapa kawan-kawan wartawan di daerah begitu malas
memverifikasi ketidak- benaran. Sehingga jika kian hari anak bangsa ini
kian tergadai dan seakan tercampakkan, saya mempertanyakan langgam peliputan media di daerah: tidak berkerendahan hati menjalankan elemen
jurnalisme; tidak berpihak ke warga, kepada kebenaran, tetapi berpihak
kepada yang kuat, kepada kapital. Buktinya oknum kepolisian daerah
Sumbar seakan membiarkan mereka yang bersalah tidak diproses, tidak
ditahan di kasus Manggopoh II, misalnya.
Kenyatan itu kian membuat cap bagi investor asing bahwa hukum di negeri ini dapat dibeli, di Sumbar khususnya kini. Pengambil-alihan lahan dapat
diakali, modalnya uang dan kekuasaan. Hal seperti itulah yang dialami
oleh warga Manggopoh, dialami oleh sosok seperti Agusti di PT Bara
Persada. Dan saya yakin masih banyak manggopoh-manggopoh lainya, atau
agusti-agusti lainnya di Indonesia ini.
Sampai kapann mereka yang mengaku penegak keadilan membuang hati
nuraninya membela kebenaran dan memperkuaat rakyat dan bangsa? ***
Iwan.Piliang, literary citizen reporter, blog-presstalk.com