“Merantau ke Deli” adalah satu diantara karangan saya
sebelum perang dunia kedua yang dimuat berturut-turut dalam majalah “Pedoman
Masyarakat” sebagai roman-roman saya yang lain. Dimuat pada pertengahan tahun
1939 sampai permulaan tahun 1940, dan dibukukan serta diterbitkan oleh Penerbit
Cerdas Medan di tahun 1941.
Pada perasaan saya, diantara buku-buku roman yang saya
tulis, “Merantau ke Deli” inilah yang lebih memuaskan hati. Sebab bahannya
semata-mata saya dapati dalam masyarakat sendiri, yang saya lihat saya
saksikan. Sebelum saya memimpin Majalah “Pedoman Masyarakat” (1939), sebalik
saya pulang dari Mekkah di tahun 1928, berbulan-bulan saya menjadi guru Agama
di satu pekan kecil, tempat hidup pedagang-pedagang kecil, bernama pekan
Bajalinggai dekat Tebing Tinggi,Deli. Saya saksikan dan saya pergauli kehidupan
pedagang kecil dan saya saksikan serta saya lihat kehidupan kuli-kuli kontrak
yang di ikat oleh “Poenale Sanctie” yang terkenal dahulu itu. Maka daripada
kehidupan yang demikianlah saya mendapatkan pokok bahan dari ceritera “Merantau
ke Deli” ini.
Tanah Deli khususnya dan Sumatra Timur umumnya telah
terbuka sejak seratus tahun yang lalu, terbuka bagi pengusaha besar bangsa
asing, menanam tembakau, karet, benang nenas dan kelapa sawit. Maka berduyunlah
datang ke sana orang mengadu untungnya, dari setiap suku bangsa kita .
Kuli-kuli kontrak dari Jawa, saudagar-saudagar kecil dari Minangkabau,
Tapanuli, Bawean dan Betawi (Jakarta) dan lain-lain. Setelah menempuh berbagai
kesulitan, timbulah suatu asimilasi (perpaduan) bangsa. Timbullah akhirnya satu
keturunan (generasi) baru yang di namai “Anak Deli”; dan “Anak Deli” inilah
satu tunas yang paling mekar daripada pembangunan bangsa Indonesia.
Ayah dari seorang “Anak Deli” adalah seorang yang
berasal dari Mandahiling, tetapi ibunya dari orang Minangkabau. Dan ibu “Anak
Deli” itu ialah seorang perempuan yang berasal dari daerah Kedu, dan ayahnya
berasal dari Banjar. Demikianlah seterusnya.
Sikap orangnya bebas dan bahasa Melayu-nya lancar,
telah hilang langgam daerah tempat asal keturunannya, sehingga dapat dijadikan
tumpuan pertama daripada pembinaan “Bahasa Indonesia Baru”.
Maka “Merantau ke Deli” adalah salah satu gambaran
daripada kesulitan yang ditempuh di dalam membina “Anak Deli” itu, dan
kesulitan itu kian lama kian dapat di atasi. Kemudian timbullah pembinaan yang
lebih besar, yaitu Kesatuan Bangsa Indonesia. Kesulitan-kesulitan dalam
pembinaan yang lebih luas dan besar akan tetap ada juga. Tetapi kita percaya
bahwa itupun akan dapat kita atasi.
Dari Jawa atau dari Minangkabau ketanah Deli, sekarang
tidaklah “merantau” lagi. Bahwa dari SAbang ke Merauke-pun kita tidak lagi
merantau. Tetapi dengan membaca “Merantau ke Deli” anak keturunan yang datang
di belakangan akan dapatlah merenung, betapa betapa telah jauhnyajalan yang
kita tempuh. Maka berusahalah mereka memeliharanya dan membuat lebih besar dan
besar lagi…..
Pengarang,