Balada Seorang Anak Surau Bertukar Kiblat

b347ca743e888934ffd7c5d556f2fb38_dari-subuh-hingga-malamJudul buku : Dari Subuh hingga Malam: Perjalanan Seorang Putra Minang Mencari Jalan Kebenaran
Pengarang : Abdul Wadud Karim Amrullah
Penerbit : PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2011
Tebal : xi + 269 hlm.
ISBN : 978-979-687985-4
Peresensi : Suryadi

Buku ini adalah otobiografi Abdul Wadud Karim Amrullah (AWKA), seorang Minangkabau yang menjadi pendeta di Gereja Pekabaran Injil Indonesia (GPII) di Los Angeles, California, Amerika Serikat.

AWKA lahir di Kampung Kubu, Sungai Batang, Maninjau, tgl. 7 Juni 1927. Ayahnya adalah Dr. Haji Abdul Karim Amrullah yang terkenal dengan sebutan Haji Rasul (suku Jambak). Ibunya, Siti Hindun (suku Melayu), adalah istri kedua dari ayahnya yang tidak pernah diceraikannya. AWKA adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara seayah. Ia adalah adik seayah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), ulama terkenal asal Minangkabau. AWKA juga mengaku punya kakak yang bernama Abdul Bari yang meninggal dalam tahanan Belanda di penjara Padang tahun 1939 karena mengarang buku Suluh yang Gilang Gemilang (hlm. 213).

AWKA menceritakan bahwa ia menghabiskan masa kecilnya di Maninjau. Sebagaimana anak-anak Minangkabau lainnya, waktu kecil ia pergi ke surau di kampungnya dan pergi sekolah agama di Padang Panjang yang dikelola oleh murid-murid ayahnya.

AWKA meninggalkan Minangkabau pada 8 Agustus 1941 bersama ayah dan ibu tirinya, Dariyah, menuju tempat pembuangan ayahnya di Sukabumi (hlm. 22). Ayahnya dibuang Belanda ke Jawa (semula akan didigulkan) karena dianggap membahayakan Pemerintah Kolonial. Tampaknya waktu di Sukabumi itulah ia mulai mengenal pengikut agama Katolik sebab di seberang rumahnya di Tjikirai 8 ada sebuah sekolah Katolik. Sembilan bulan kemudian ia ikut ayahnya pindah ke Jakarta menyusul takluknya penjajah Belanda ke tangan penjajah baru: Fasis Jepang. Di Jakarta AWKA mengenal lagi agama Katolik karena di dekat tempat tinggalnya di bilangan Senen ada gereja yang selalu membuat dia ingin tahu mengenai aktifitas di dalam rumah ibadah orang Katolik itu (hlm. 30). Namun, pengakuan ini terkesan artifisial mengingat lama sesudah itu ketika AWKA sudah bermukim di Amerika Serikat, belum ada tanda-tanda bahwa ia tertarik kepada agama Katolik. Ia malah aktif dalam perkumpulan Islam internasional di San Francisco dengan membeli sebuah gereja tua dan mengubahnya menjadi mesjid (hlm. 95). Sebagaimana akan dijelaskan di bawah, AWKA mengalami goncangan iman justru setelah berada di Pulau Bali ketika istrinya yang berdarah campuran memintanya keluar dari agama Islam.

Selama zaman pendudukan Jepang AWKA bersekolah di Jakarta. Ia juga aktif dalam organisasi-organisasi pemuda melawan penjajah. Waktu berada di Jakarta itulah ayahnya wafat. AWKA mengatakan bahwa ayahnya menghembuskan nafas terakhir di pangkuannya pada 2 Juni 1945 pukul 03:30. AWKA menulis (dan ini seperti sebuah ironi dalam buku ini): “[S]aya mengucapkan kalimat syahadat sebagai kata penghabisan dari saya untuk melepasnya [sang ayah].” (hlm. 32).

Selepas kematian ayahnya, AWKA berniat pergi ke luar negeri, yang sudah dicita-citakannya sejak masih masa kanak-kanaknya di Maninjau. Hal itu terwujud ketika pada Februari 1949 ia naik kapal MS Willem Ruys dari Tanjung Priok ke Rotterdam. Di kapal itu ia bekerja sebagai tukang binatu.

AWKA bersama beberapa orang temannya sampai di Rotterdam pada pertengahan Maret 1949. Itulah awal petualangan internasional AWKA. Pada tahun 1950 ia meneruskan perjalanan ke Amerika Serikat (AS). Di sana ia berlayar lagi ke berapa negara di Amerika Selatan dan Afrika, menjelajah beberapa negara bagian AS dan Canada dalam rangka mencari penghidupan yang lebih baik, sebelum akhirnya memutuskan untuk menetap di San Francisco, California, tapi sempat pula pindah ke Long Angeles.

Sebagai seorang yang pergi ke luar negeri AWKA memulai kehidupannya dalam situasi yang cukup keras, satu di antara banyak faktor yang menurut saya ikut mempengaruhi jalan hidupnya di kemudian hari, termasuk soal agama. Selain bekerja sebagai tukang dobi di kapal-kapal asing, di Amerika ia pernah bekerja secara ilegal sebagai pemetik buah di perkebunan. Pernah juga ia ditangkap imigrasi AS karena dianggap orang ilegal. Tapi, sebagaimana halnya sifat anak Minang di rantau, ia juga terus berusaha menambah pendidikannya yang membawa kemungkinan baginya untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. 

Tahun 1952, atas dukungan abangnya, Hamka, yang melawat ke AS (lihat: Hamka, Empat Bulan di Amerika. Jakarta: Titamas, 1953, 2 jilid) AWKA berhasil mendapat pekerjaan di Indonesia Supply Mission di New York dan di Konsulat RI di San Francisco. Pada waktu itulah ia jatuh cinta kepada Sawitri, putri Duta Besar RI Ali Sastroamijoyo. Tapi percintaan itu tidak direstui oleh ayah Sawitri. “Saya tersinggung dengan perlakuan orang tua Sawitri”, tulisnya (hlm. 83). Kelihatannya AWKA kecewa berat karena tak berhasil mewujudkan gita cintanya dengan Sawitri yang kembali ke Indonesia bersama ayahnya. (AWKA bercerita bahwa di Indonesia Sawitri menikah dengan Abdul Madjid, Gubernur Aceh. Sawitri meninggal tahun 1958 (hlm. 86-7). Tahun 1957 AWKA menjalin hubungan lagi dengan Lorraine, seorang perempuan Amerika yang sudah beranak empat. Tapi hubungan itu hanya bertahan selama 5 tahun. Mereka berpisah karena banyak terjadi perselisihan dalam rumah tangga (hlm. 87).

Setelah gagal dalam berumah tangga AWKA mencoba mengaktualisasikan dirinya dalam organisasi kemasyarakatan di California. Di sana ia mendirikan IMI (Ikatan Masyarakat Indonesia) tahun 1962. Kemudian ia menikah dengan Vera Ellen George, seorang gadis Indo, pada tgl. 6 Juni 1970. Ia juga aktif dalam kegiatan Islamic Center yang dikelola oleh para imigran Islam dari Indonesia dan negara-negara Islam lainnya di Los Angeles. AWKA sempat bersitegang dengan beberapa orang anggota Ikatan Mahasiswa Indonesia (IMI) Cabang Los Angeles mengenai status orang Indo yang dulu dianggap pro Belanda. Tentu saja AWKA membela orang Indo dan menganggap mereka bagian dari bangsa Indonesia juga.

AWKA dan Vera dikaruniai tiga anak: Rehana Soetidja, Sutan Ibrahim, dan Siti Hindun. Siti lahir di Denpasar ketika AWKA dan keluarganya telah kembali ke Indonesia sejak tahun 1977. Istrinya sempat menjadi seorang muslimah setelah pindah ke Indonesia. Beberapa kali ia dan keluarganya mengunjungi kampungnya di Maninjau. Namun keadaan berbalik setelah AWKA bekerja di biro turisme Pacto milik Hasyim Ning di Denpasar. Di Bali AWKA dan istrinya sering mengalami berbagai masalah yang menurut mereka dibuat oleh orang lain yang hendak mencelakakan mereka. Misalnya toko Vera di Denpasar beberapa kali kecurian. Pada saat kalut itulah Vera mendapat pengaruh misionaris lagi melalui teman-temannya yang sering mengajaknya ke gereja.

Otobiografi ini menceritakan saat kritis yang dialami AWKA ketika istrinya kembali memeluk Kristen dan mendesak suaminya untuk ikut menukar agamanya. Lelaki Minangkabau alumni surau itu tergoncang hebat. Ia jadi sering bertengkar dengan istrinya, membuat anak-anaknya bingung. Ia tidak ingin dianggap murtad dari agamanya. Tapi akhirnya Vera meluluhlantakkan benteng iman AWKA. Ia setuju untuk menukar kabilaik-nya. Hal itu terjadi tahun 1981. AWKA membawa keluarganya pindah dari Bali ke Jakarta. Di tengah berbagai kesulitan ekonomi dan birokrasi, AWKA dibaptis sebagai “anak Yesus” di Jakarta tgl. 6 Februari 1983 oleh Pendeta Gereja Baptis Gerard Pinkston di Kebayoran Baru (hlm. 141). Itulah awal adik seayah HAMKA itu menjadi seorang Kristen secara resmi. Setelah itu kehidupan AWKA praktis berubah drastis. Ia kembali ke AS tahun 1983, menyusul istri dan anak-anaknya yang sudah lebih dahulu meninggalkan Indonesia. Tidak lama kemudian AWKA ditasbihkan menjadi pendeta di Gereja Pekabaran Injil Indonesia (GPII) di California. Sejak itu AWKA lebih dikenal dengan nama Pendeta Willy Amrull.

Tahun-tahun berikutnya Pendeta Willy Amrull bolak balik ke Indonesia sebagai pengabar Injil. Istri dan anak-anaknya juga aktif membantunya. Ia masih sempat mengunjungi Maninjau, tapi tak ada cerita dalam otobiografinya ini bagaimana reaksi orang kampungnya ketika mengetahui bahwa ia sudah menjadi seorang Kristen.

Tahun 1996 Pendeta Willy Amrull, dengan dukungan lembaga misionaris di Amerika, mulai aktif menyebarkan agama Kristen di Minangkabau. Ia dan para pengikutnya berbasis Jalan Batang Lembang (daerah Padang Baru) dan di Parak Gadang. Pendeta Willy Amrull merekrut anak-anak muda Minang, khususnya dari golongan ekonomi lemah, untuk dialihimankan menjadi orang Kristen. Ia menyebutnya sebagai proses “pemuridan”. Otobiografi ini menjelaskan teknik-teknik “pemuridan” itu, yang antara lain biasa dilakukan di pantai (hlm. 190). Salah seorang tangan kanannya yang terkmuka adalah Yanuardi dan “Bung Salmon” (hlm. 182, 198) yang belakangan tersangkut kasus Wawah (1998). Pendeta Willy Amrull juga ikut tersangkut dalam kasus itu, sebagaimana diceritakannya dengan cukup rinci dalam otobiografi ini (hlm. 193-226). Akibat kasus Wawah itu, Pendeta Willy Amrull menjadi agak takut untuk datang ke Sumatra Barat. Dalam otobiografi ini Willy Amrull mengatakan bahwa kasus Wawah mungkin diciptakan untuk menjebaknya. Kalau benar, ini mungkin teknik yang bagus oleh golongan Islam di Minangkabau yang harus ditiru dalam melakukan counter aksi melawan gerakan Kristenisasi di Ranah Minang. Pendeta Willy Amrull sempat menyurati berbagai lembaga tinggi di Indonesia dan juga internasional untuk menjelaskan duduk perkara kasus Wawah itu. Bagian akhir otobiografi ini juga menceritakan pertemuan Penderta Willy Amrull dengan teman seperjuangannya dulu, Murad Aidit, di Jakarta tahun 2006.

Dalam otobiografi ini Pendeta Willy Amrull membantah isu-isu yang beredar bahwa ia tega menukar kiblatnya karena didorong oleh masalah ekonomi (hlm. 134). Namun, kisah hidupnya sendiri justru memberi petunjuk ke arah itu. Persoalan-persoalan budaya yang dihadapi keluarganya ketika kembali ke Indonesia juga menjadi faktor pendorong keputusannya untuk memeluk Kristen. Mereka (terutama istrinya) membayangkan sebuah kehidupan yang menyenangkan ketika kembali ke Indonesia. Tapi ternyata mereka merasakan hal yang sebaliknya.

Membaca otobiografi ini saya merasa Pendeta Willy Amrull masih malu-malu menceritakan bagian-bagian tertentu dari kisah hidupnya dan sepak terjangnya dalam mengkristenkan orang Minangkabau. Titik kulminasi otobiografi ini, yaitu ketika AWKA memutuskan untuk masuk Kristen setelah bertengkar hebat dengan istrinya di rumah mereka di Denpasar, juga terkesan terlalu sederhana untuk mendukung judul buku ini yang begitu bombastis: mencari jalan kebenaran.

Pendeta Willy Amrull meninggal tgl. 25 Maret 2012 di Los Angeles, tak lama setelah otobografinya ini terbit. Begitulah kisah ironis seorang anak Minangkabau di perantauan. Otobiografinya ini adalah catatan tertulis yang langka mengenai orang-orang Minangkabau yang menukar agamanya. Ada orang Minang yang menganggap buku ini adalah otobiografi fiktif yang bertujuan menjelek-jelekkan masyarakat Minangkabau dan ulamanya besarnya, Buya Hamka, sesuatu yang menarik didiskusikan lebih lanjut dari perkepektif akademik. Sebenarnya, sudah banyak orang Minang yang bertukar kiblat, baik di kampuang apalagi di rantau. Tapi umumnya mereka diam dan merahasiakannya. Sebaliknya, Willy Amrull menceritakannya dengan cukup berterus terang dalam otobiografinya ini. Akan tetapi sebagai anak Minang yang juga lulusan surau, saya, yang sedikit agak “parewa” juga karena telah disasah oleh berbagai rantau dengan tabiat kultur dan musimnya yang berbeda-beda, tetap tak mengerti mengapa seorang Abdul Wadud Karim Amrullah, yang semasa kecilnya disiram oleh air sejuk Danau Maninjau dan suara hangat azan dan tadarus di sebuah surau Minangkabau yang indah dan sulit dilupakan, tega menukar kiblatnya. Di mata saya “dan ini mungkin sangat subjektif” ia adalah seorang lelaki Minangkabau yang begitu lemah. Mungkin ia abai pada pesan yang tak lupa disampaikan oleh seorang ibu Minangkabau ketika hendak melepas anaknya pergi ke perantauan: “Walau apopun nan tajadi, Yuang, jan sampai waang batuka kabilaik.” Otobiografi ini sekaligus menunjukkan bukti usah-usaha pengkristenan orang Minang yang terus berlanjut, termasuk melalui “orang dalam” sendiri.

Artikel ini dimuat di harian Singgalang, Minggu, 28 Oktober 2012

Template by:

Free Blog Templates