Degradasi Moral Sumbar

Hanya dalam tempo sesingkat-singkatnya, globalisasi berhasil membunuh kebudayaan Nusantara. Inilah perang terbesar abad milenium ini, benturan peradaban seperti teori Samuel P Huntington. Karya Profesor Universitas Harvard, Clash of Civilization, itu semakin menjadi kenyataan.

Sedih rasanya melihat nasib bangsa ini. Tepatnya mungkin etnis Minangkabau, etnis kita.

Urang awak kehilangan orientasi, seperti orang bingung.

Seperti kata Azyumardi Azra pada Seminar Kebudayaan Minangkabau akhir tahun lalu, mengalami disorientasi.

Bukan saja suku Minang, negeri seribu suku bangsa ini, juga telah kehilangan identitas.

Dulu, di zaman Orde Baru, kebudayaan Nusantara diseragamkan menjadi kebudayaan nasional sesuai selera penguasa.

Budaya-budaya lokal sulit tampil ke panggung nasional, selain dimobilisasi untuk kepentingan penguasa.

Kini, setelah 13 tahun reformasi, nasib suku bangsa ini dijajah budaya Barat.

Melalui rekayasa kebudayaan seperti teori Samuel Huntington, peradaban Barat sukses mencerabut kearifan lokal negeri ini.


Kebudayaan Nusantara telah berkiblat ke negara-negara Barat melalui pencanangan era globalisasi.

Apa sih bedanya orang Minang dengan suku lain? Dengan kening sedikit berkerut, susah juga teman saya sesama wartawan menjawabnya.

Selain karya seni, dan bahasanya, harus diakui, nyaris tidak ada lagi bedanya antara etnis satu dengan yang lainnya di Tanah Air ini.

Tidak Minang, Bugis, Sunda, Batak atau lainnya, rasanya kok sama semua.

Bila ditanya sama orang-orang pintar di kampus, budayawan atau tetua adat, paling-paling jawaban yang didapat sekadar teori dan nostalgia kejayaan Minangkabau tempoe doeloe.

Supaya meyakinkan bahwa budaya Minang itu hebat dan luhur, orang-orang pintar itu menyelipkan petatah-petitih.

"Orang Minang itu siak (kuat agamanya), beradat, tahu jo ampek (sopan santun dan ramah), egaliter, pekerja keras, rasa kekeluargaan tinggi. Kalau dulu begini, begitu, dan seterusnya..." Begitu kira-kira teorinya.

Sekarang? Orang Minang itu paota. Hmm, beda-beda tipis gadang ota.

Lalu, apa bedanya berlama-lama di lapau dengan budaya malas? Katanya carito lapau untuk bersosialisasi dan berbagi informasi.

Nyatanya, lebih sering bagunjiang dan bahampok. Tidak percaya? Lihat saja sendiri.

Kadang-kadang, mamak dan kemanakan duduk semeja. Ndak di awak dan di orang, sama saja semuanya.

Bikin urut dada lagi, acara baralek dimeriahkan tampilan artis organ tunggal bergaya seronok.

Tua-muda, bujang-gadih, bahkan anak-anak hanyut dalam hentakan house music.

Biar lebih meriah, ada juga pesta miras hingga bahampok.

Pernah suatu kali teman saya dari luar, terheran-heran menghadiri acara baralek seorang teman di Piaman.

Sekitar empat tahun lalu, pernah ada rencana pemerintah nagari melarang suguhan artis erotis, pesta miras dan bahampok di baralek atau alek kampung, sekarang pak wali nagari kita mungkin mengidap penyakit lupa.

Soal pergaulan bebas anak muda, jangan ditanya.

Jumlah penderita HIV/AIDS, kasus narkoba, 'negeri buya' ini menempati rangking 10 besar nasional.

Jangan tanya soal industri otak, jumlah siswa SMA sederajat yang tidak lulus ujian nasional (UN) di Sumbar rangking delapan terburuk.

Kalau UN SMP sederajat, empat buncit nasional.

Di Payakumbuh, baru-baru ini dihebohkan oleh kasus aborsi.

Di Dharmasraya, menjamur kafe remang-remang. Sebelumnya di Pasaman, heboh oleh berita puluhan muda-mudi diduga terinfeksi HIV/AIDS.

Kalau di Padang, tidak asing lagi. Bukan saja tempat-tempat hiburan atau hotel-hotelnya, objek-objek wisata pantainya disulap untuk esek-esek.

Yang terbaru, rumah kos dijadikan kumpul kebo oleh mahasiswa (Padang Ekspres, 4/6).

Soal berpakaian? Anak gadih Minang termasuk fashionable.

Celana jeans hipster alias tampak celana dalam, sudah biasa.

Cewek bersinglet alias tank top ke luar rumah, mulai bertebaran.

Sekarang, wanita bercelana pendek ketat (hotpants) yang bikin jantung lelaki berdegup kencang, jadi santapan sehari-hari.

Kisah lainnya, akhir-akhir ini di 'negeri buya' krisis buya.

Di pelosok-pelosok nagari, masjid dan surau kesulitan mencari ustad.

Jangankan untuk wirid, mencari khatib Jumat saja susah. Ustadnya itu ke itu juga.

Bisa ditebak, pengajiannya pun berputar di situ-situ juga.

Risaukah tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin?


Gundahkah para orangtua-orangtua Minang? Sebanyak yang risau, lebih banyak lagi yang cuek bebek.

Di jalan-jalan, induak-induak berbaju kurung berjalan dengan anak gadisnya berpakaian seksi, hal yang lumrah. Nggak risih, tuh?!

Ah, itu kan pikiran sinis dan sentimen sebagian orang saja. Itu hanya nila setitik rusak susu sebelanga.

Jangan digenerasirlah. Dibandingkan daerah lain, orang Sumbar masih teguh memegang budayanya.

Orang-orang pintar di daerah ini sibuk mencari alasan pembenar.

Setelah Orde Baru, kebudayaan bangsa ini dibajak budaya Barat.

Orde Baru sukses mempropaganda budaya Pancasila sesuai kehendaknya melalui TVRI, RRI dan media massa, pada era reformasi, Barat berhasil menanamkan budayanya melalui tayangan-tayangan sinetron dan informasi dengan mengkapitalisasi media.

Orang-orang Minang, dan suku lainnya di Tanah Air, kini semakin pragmatis, individual, hedonis dan konsumtif.

Paham inilah penyebab kehancuran kita. Seperti sudah menjadi identitas dan budaya Indonesia, termasuk etnis Minangkabau.

Bangga berlagak Orang Barat, minder mengenakan identitas leluhur.

Padahal, bapak pendiri Republik ini yang juga banyak urang awak, menekankan kekuatan budaya bangsa sebagai unsur tangguh dalam pembangunan bangsa dan karakter, nation and character building.

Kini yang terjadi, character assassination (pembunuhan karakter).

Buruknya budaya daerah ini, tecermin dari perilaku pengendara di jalan raya.

Orang-orang tidak taat aturan dan tertib hukum, saling serobot, menghardik, tidak beretika, dan seterusnya.

Potret moral, budaya instan dengan jalan pintas, pragmatis, dan individualistis terlihat di jalan raya. Terjadi budaya premanisme.

Budaya menyesatkan itu, tak jarang ditiru rakyat dari perangai tungku tigo sajarangan.

Ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai sering tungkek mambaok rabah.

Memamerkan budaya pragmatis-konsumtif kepada kemanakan.

Ke mana-mana bercerita pendidikan karakter, tapi tindak tanduknya tidak berkarakter.

Di mimbar mengajak orang berbuat baik, di rumah, anak istri buya bergaya menor dan mewah.

Gelar titel, haji dan datuak di depan dan belakang nama sapanjang tali baruak, tapi korupsi jalan terus.

Padahal, para orangtua dulu memberi nama-nama Islam pada anaknya agar berperilaku sesuai namanya, di zaman serba uang ini sepertinya tidak berlaku lagi.

Nama boleh pakai Muhammad (Nazaruddin), atau (Burhanuddin) Abdulllah, Al Amin dan nama-nama Islam lainnya, yang pancilok tetap saja pancilok.

Karena itu, pendidikan karakter yang kini gencar disosialisasikan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, diyakini tidak bakal mumpuni jika hanya seruan, imbauan dan teori di sekolah.

Melainkan, harus dengan contoh dan teladan dari tungku tigo sajarangan.

Saat ini, Sumbar butuh tokoh-tokoh berkarakter seperti mantan Pimpinan Bank Indonesia Romeo Rissal Pandjialam di kampus-kampus, birokrasi, aparat hukum untuk membawa perubahan di Ranah ini.

Oleh : Nashrian Bahzein
wartawan Padang Ekspres
Kredit: padangekspres.co.id
Glossary

urang siak = orang alim, ulama
tahu jo ampek = beradab
gadang ota = ngibul, pembual
bahampok = berjudi
baralek = hajatan, resepsi
anak gadih = anak gadis
induak-induak = kaum ibu
tungku tigo sajarangan = ulama, umaro, adat
tali tigo sapilin = ulama, umaro, adat
tungkek mambaok rabah = memberi contoh buruk
datuak = datuk
tali baruak = sangat panjang
pancilok = maling, pencuri, koruptor

Template by:

Free Blog Templates