12. MENURUTI ADAT LEMBAGA

SUDAH terlepas daripada beban yang amat berat, demikianlah rasanya hati Leman sejak bercerai dengan Poniem. Meskipun masih kerab kali juga teringat olehnya kebagusan pergaulannya dahulu dengan perempuan yang telah diceraikannya itu, tetapi perasaan itu lekas bias dihilangkan. Karena tidak beberapa lama kemudian Mariatun telah mengandung. Padahal itulah yang sangat dicita-citakannya. 

 Setelah genap bulannya, anak itupun lahir, anak perempuan. Anak perempuan bagi orang Minangkabau lebih besar harganya daripada anak laki-laki. Karena kalau ada beranak perempuan, ada harapan timbul cinta si ayah akan membuat rumah untuk anaknya itu, disamping itu membuat rumah tentu akan membelikannya sawah, sehingga pergaulan diantara kedua suami istri itu bertambah tegap dan teguh.

Lantaran telah beroleh anak perempuan, bentuk rumah tangga menjadi lain. Harta benda tidak ada harganya, mencari uang sudah mesti lebih bersungguh-sungguh daripada yang dahulu. Apa lagi disamping mencarikan harta benda untuk istri, orang Minangkabau terikat pula oleh kewajiban kepada familinya sendiri, yaitu saudara-saudara di dalam sukunya. Kalau seorang hanya menumpahkan hartanya buat anak dan istrinya, dia dinamakan “Batu terbenam kebancah” tidak memikirkan dunsanak dan kemenakan sendiri, hanya memperkaya “Orang lain” saja. Orang Minangkabau mencari harta benda, adalah untuk memperkaya suku sendiri, bukan untuk orang lain.

Tampang kepercayaan induk semang yang lama ada. Sebab itu diperbuatlah hutang lebih banyak dari dahulu diramaikan kedai dengan barang-barang amanat. Sehingga kelihatannya sudah lebih maju daripada dahulu. Padahal dahulu kebanyakkan barang dibeli kontan, meskipun tidak seramai yang sekarang. Sedang sekarang lebih ramai, tetapi dari barang yang dihutang. Ada lagi satu kekurangan yang lebih besar pada masa sekarang. Sekarang sudah perlu banyak memakai anak semang, yang bernama kongsi gendong. Yaitu disuruh orang-orang lain mencacakan barang-barang ke kebun-kebun tiap-tiap gajian kecil dan gajian besar (tanggal 16 dan tanggal 1). Orang yang disuruh itu dibawa berkongsi. Laba dibagi dua, seperdua kepada yang empunya barang dan yang seperdua kepada yang menjalankan. Orang yang dibawa berkongsi demikian tidak kurang dari sepuluh orang. Sayang tidak semuanya jujur. Ada yang menjual barang berlaba Rp. 1, dikatakannya Rp. 0,80 sen, laba yang didalam 80 sen itulah yang dibagi kedua kelak. Yang 20 sen masuk sakunya.

Alangkah majunya perniagaan begini. Tetapi untungnya sudah lebih tipis, karena barang-barang itu kebanyakan bukan kepunyaan sendiri, melainkan barang amanat pula. Berapa laku mesti segera disetor kepada induk semang di awal bulan, supaya diberinya pula barang yang baru. Kalau orang-orang yang bekerja lurus, bias memegang amanat, bias jugalah maju dan terjaga baik. Tetapi anak-anak semangnya itu sebanyak yang lurus sebanyak itu pula yang bengkok. Kadang-kadang dengan tidak tahu-tahu, sehabis berjualan dia tidak pulang lagi ke kedai, dia terus saja pergi membawa jualan itu kenegeri lain, sampai ke Betawi atau ke Lampung. Akan dilaporkan kepada Polisi merasa enggan, karena dia family sendiri. Diwaktu yang demikianlah teringat jasa Suyono orang kontrak dari Jawa itu. Dahulu selagi dia masih ada, barang-barang itu dipegangnya sebagai tanggungannya sendiri, dijualnya dengan kelurusan. Karena dia insaf bahwa dari sanalah pangkal hidupnya.
 
Beban amat berat. Kekampun telah dikirim surat menyuruh membelikan pekayuan buat rumah anak. Sebab itu perlu dikirim uang. Cukup untuk membeli pekayuan sampai kepada harga papan. Belum lagi harga atap seng. Kayu itu hendaklah kayu pilihan. Dan kayu perlu rumah itu diberi beralas semen, maka harga semen itu lain pula. Uang kepunyaannya waktu itu tidak cukup buat memenuhi kehendak orang dikampung. Betul banyak uang terletak di dalam kotak, tetapi tidak beberapa uang yang kepunyaan awak, sedang waktu setor tiba-tiba.

Kesudahannya terpaksalah uang yang sedianya akan disetor penuh, dipakai lebih dahulu buat keperluan sendiri. Setoran yang sedianya Rp.500,- dijadikan dahulu Rp. 300,- dijanjikan akan disempurnakan habis bulan. Dan sehabis bulan janji itu tidak pula dapat dipenuhi melainkan kurang dari mestinya. Maka bertumpuklah hutang. Demikianlah caranya menyudahkan rumah. Sehabis mengerjakan rumah, perlu pula istri itu dibelikan sawah. Keperluan membeli sawah itupun demikian pula, yaitu dengan jalan memakai uang yang sedianya akan disetor. Setelah hampir satu tahun hutang-hutang tidak berkelunasan, maka induk semangpun menyesaklah dengan sekeras-kerasnya. Untuk memelihara jangan sampai membawa kesan yang tidak baik terpaksalah pinjam ke kiri dan ke kanan. Tertutup hutang kepada induk semang besar, tinggal hutang kepada kawan-kawan kiri kanan yang wajib diangsur pula tiap-tiap bulan. Padahal pedangang perlu lekas-lekas dibayar uangnya supaya dapat dijalankannya pula. Sekumpulan uang tertahan dijalannya bukan sedikit membawa atau mendatangkan kerugian kepada perniagaan. Hal ini berlaku hampir pula setahun. Akhirnya dengan tidak terasa semarak kedai itu berangsurlah hilang. Tidak terdapat lagi yang kepunyaan diri sendiri dan orang pun telah agak enggan memberikan barang dengan jalan hutang. Orang yang bisa dipercaya menjalankan dengan sigap sebagai Suyono dahulu tidak ada lagi. Rumah dan sawah dikampung telah ada, semuanya bukan kepunyaan sendiri, tetapi kepunyaan istri. 

Sudah hampir tiga tahun merantau. Menurut adat dikampung sudah patut pula Mariatun dibawa pulang. Apa lagi hendak melihatkan anaknya kepada kaum kerabat. Pulang beranak pun perlu belanja, perlu kain selengkapnya, perlu membeli barang emas untuk Mariatun sendiri, jangan kalah hendaknya daripada pakaian Poniem seketika dibawa pulang dahulu. Dan anak sendiri, anak perempuan. Pakaian anak perempuan meskipun belum cukup usianya dua tahun tentu ada pula hendaknya. Sekurang-kurangnya subang emas semacam gelang tangan, gelang kaki dan dukuh. Semuanya tentu dari emas. Kalau tidak tentu malu awak, terlebih-lebih seketika mula-mula turun dari atas oto, seketika anak itu disambut neneknya dari tangan ibunya. hendaknya  tangan yang mengulurkan harus merah dan diri anak itu sendiri mesti berpalut pula dengan emas. Waktu turun  dari atas oto itulah lagak yang dicita-citakan oleh tiap-tiap orang yang merantau ke Deli, walaupun sesudah itu tidak akan melagak lagi. 

Itu pasal pakaian.

Adalagi yang lebih penting, yaitu peti menyanyi piring plat barang 20 buah, meja kayu jati yang buatan Medan…. Meskipun di kampung sendiri ada juga meja. Demikian juga cawan pinggan, barang-barang gelas agak satu peti kecil. Semuanya perlu. 

Sudah sekian lamanya merantau, sudah tiga tahun. Tentu Mariatun sudah menyediakan uang pula guna pembeli kain bakal baju, kain sarung beberapa persalinan, yang akan di hadiahkan kepada kaum kerabat dekat dan jauh, terutama untuk pembalas “bungkus” orang yang ikut mengantarkan ketika akan berangkat dahulu.

Sekali pulang saja, untuk ongkos, yang perlu-perlu itu tidaklah akan kurang daripada Rp. 300,- pula[1]. Belum lagi belanja sampai kekampung. Maka sebelum pulang itu diajaknyalah orang lain berkongsi buat tiga bulan lamanya. Kongsi itulah menjalankan perniagaan selama dia dikampung. Pulang kekampung itu bukan sebentar, sekurang-kurangnya tiga bulan, hampir sama dengan orang pulang bergaji Rp.400, sebulan layaknya. Dengan demikian barulah adat berdiri, baru lembaga bertuang, baru sah menjadi anak Minangkabau ! semuanya itu telah dilakukan. Boleh dikatakan licin tandas perniagaan sendiri seketika akan pulang itu. Pendek kata sejak bercerai dengan Poniem belum ada lagi tambahan dan kemajuan yang nyata, melainkan terus menerus menyusuti yang telah ada. Meskipun telah nyata bahwa uang itu dilekatkan pada sawah dan rumah di kampung, sama artinya uang yang lekat di sana sebagai barang mati, sebab tidak dapat lagi. Berapa banyaknya orang merantau yang menghabiskan hari mudanya, sampai tuanya di rantau, di Deli, di Bengkulu dan di mana jua pun. Bila telah ada uang, dikirimkan pulang, disuruh kerabat yang tinggal dikampung supaya memperbuatkan rumah atau dilekatkan kepada sawah. Maka berdirilah rumah yang indah-indah, yang bagus, tetapi tidak ada yang mendiaminya. Sebab yang mempunyai masih tetap merantau. Yang menghuni rumah demikian hanyalah orang-orang tua-tua, orang yang tetap bertani, hingga di beranda muka rumah itu dihampaikan celana kesawah dan baju untuk ke ladang. Lampu-lampu mahal yang bergantungan di karut lawa-lawa. Nanti kalau sudah tua, atau sudah melarat dirantau, barulah ingin hendak tinggal di kampung, tinggal di dalam rumah yang telah diperbuat tadi. Pendirian itu baik, kalau tidak akan merusak sumber pencarian di rantau sendiri, artinya yang dibelanjakan itu kelebihan dari modal. Yang celaka ialah kalau modal itu sendiri yang dibelanjakan untuk itu, sehingga uang hanya habis dijalankan, akan belanja pulang dan belanja kembali. Di kampung sendiri ada rumah bagus, tidak sanggup mendiaminya. Diri sendiri pergi merantau ke negeri orang, sampai di sana menumpang di kaki lima rumah orang. Kadang-kadang sebuah rumah kedai disewa sampai empat atau lima keluarga. Di loteng dua kamar, di bawah tiga, bersempit-sempit, sehingga hilang kebersihan. Yang setengahnya lagi apabila telah banyak uangnya, dibelikannya sawah untuk anak istri atau untuk famili. Untuk diri sendiri tidak ada. Sebab orang laki-laki di Minangkabau tidak berhak memiliki harta. Negeri telah selesai dikerjakan, sawah yang baru belum ada. Melainkan sawah pusaka turun temurun. Maka pindahlah sawah-sawah yang ada di tangan si miskin ke tangan si kaya, si banyak uang. Si miskin tidak sanggup lagi memindahkan uang harga sawahnya kepada sawah yang lain. Sebab itu, uang itu dibawanya berniaga. Karena modal tak besar, uang itu habis. 

Maka dari setumpuk ke setumpuk pindahlah sawah dari tangan si miskin ke tangan si kaya. Terjadilah kelaparan suatu suku dan kenyang suku yang di dekat si kaya tadi. Orang-orang yang mempunyai sawah dahulu sekarang hanya menjadi tukang menerima upah menanam, upah mengirik dan upah menumbuk padi.

Tidak ada niatan hendak memperbesar modal dirantau, atau hendak membeli tanah di negeri orang, supaya harta benda orang di kampung jangan terganggu. Melainkan kalau mereka telah beruang banyak, hilang akalnya sebelum uang itu dilagakkannya kepada orang kampungnya sendiri. Hilang akalnya sebelum dia dapat mengulurkan anak perempuannya dari oto, yang di saput oleh emas. Waktu itu si laki-laki boleh tersenyum manis tsampailah cita-citanya selama ini. 

Demikianlah penyakit yang telah menimpa jiwa Leman sejak dipengaruhi adat ini. Adat yang dikatakan tiada lapuk dihujan dan tidak lenkang dipanas ; Dia benci melihat orang dari Mandahiling kemanapun mereka merantau, tanah yang dicarinya dahulu. Sehingga telah ada orang Mandahiling yang telah hidup turun temurun di tanah Deli, demikian pula orang Banjar dan orang Jawa. Kata Leman orang telah melupakan kampung halaman. Leman dan teman-temannya pandai mencari rezeki, tetapi entah kemana rezeki itu perginya setelah didapat, tidaklah tahu. 

Sejak orang candu merantau ini, hidup bertolong-tolongan, berfamili secara dahulu rusak binasa pula. Dahulu tidak ada sawah yang sampai diupahkan, tidak ada bertanam bersiang, menyabit dan mengirik yang diupahkan. Semuanya dikerjakan bersama-sama dalam kalangan orang sekampung. Sekarang yang akan mengerjakan telah habis lindang dari kampung. Sehingga perlu mengupahkan kepada orang yang datang dari tempat lain. Sedang upah sawah itu kadang-kadang sama dengan kehasilan yang diperdapat, bahkan kadang-kadang rugi, dan kadang tidak melepasi belanja. Kesudahan panjang rumput, semaklah ladang, liatlah sawah dan lenganglah kampung. Pulang mereka agak tiga Leman dengan istrinya telah pulang. Telah dicoba mendiami rumah yang baru diperbuat itu tiga bulan lamanya. Setelah habis masa tiga bulan Leman hendak kembali seorang dirinya. Tetapi Mariatun hendak keras mengikut. Dapat sajalah dimaklumi apa sebabnya dia keras mengikut. Dia takut kalau Leman surut kembali kepada jandanya. Maksud Leman makanya dia hendak merantau seorang diri lebih dahulu, biar istrinya tinggal di kampung, supaya agak ringan beban sedikit. Karena keadaan jauh berbeda daripada dahulu. Sebab pokok modalnya sudah kecil, hanya sisa-sisanya saja yang tinggal. Tetapi Mariatun tidak mau, dia hendak sama hilang sama timbul dengan suaminya, katanya. Apalah lagi kalau seorang perempuan telah merasai bagaimana senang merantau, canggung rasanya tinggal di kampung. Apa lagi kalau tinggal seorang diri dengan anak, suami jauh di rantau orang.

Sesampai ditempat tinggalnya kembali, didapati kebetulan saja apa yang disangkanya dahulu. Sepulang dari kampung dihitung perniagaan, direken laba dan rugi. Ternyata bahwa pokok asli Leman sudah sedikit sekali, boleh dikatakan sudah habis. Artinya kalau dia masih tetap tinggal di situ, dialah yang menjadi anak semang, kongsinya itulah majikan. Karena malu akan diperintah orang yang dahulunya diperintah, dimintanyalah berhenti dari perniagaan itu. Dan akan dicobanya berniaga sendiri. Tentu saja, ditanah Deli usul yang demikian amat menyenangkan hati kawan. Biasanya seorang yang berkedai diusir oleh orang yang ingin melihat letak kedai itu dengan uang, “cia thee” namanya, yaitu adat yang telah biasa ditiru dari orang Tionghoa. Sekarang yang menyewa toko itu sendiri yang tidak sanggup lagi, tentu kawan itu menerima dengan jari sepuluh.

Maka kelurlah Leman dari kedai yang telah bertahun-tahun di diamnya itu. Pindah kesebuah rumah petak kecil, disewanya berdua berkongsi dengan orang lain. Dengan sisa modalnya yang lama dan uang cia thee itu dibelinya barang untuk dijadikan dengan sepeda ke perkebunan-perkebunan, sebagaimana yang dilakukannya dahulu seketika dia mula-mula masuk ke tanah Deli.

Tidaklah kelihatan benar sedihnya, lantaran pertukaran nasibnya itu. Mariatun tidaklah sedih benar. Sebab sudah ada pergantungan harapan, yaitu rumah dan sawah setumpak hasil perjalanan yang dahulu. Barang emaspun telah ada pula. Sekarang biar surut kebawah dahulu. Kelak kalau berhemat tentu akan dapat pula sebagai dahulu kembali. Apalagi petuah guru telah ada ; dunia itu sebagai roda pedati, sekali turun sekali kita naik; mendapat janganlah terlalu harap, rugi janganlah terlalu cemas. 

Cuma satu yang belum disadari Leman, yaitu perobahan dirinya. Dahulu semasa berkedai, sebelum pulang, kulitnya putih, tumitnya laksana berdarah dipijakkannya. Kain istrinya bertukar tiga kali sehari, anaknya manja. Sekarang, mukanya telah merah kehitaman dibakar cahaya matahari, anak bajunya telah busuk karena keringat, kain istrinya sudah jarang bertukar, dan ……, Leman tak sadar, bahwa dengan diam-diam rambut putih telah tumbuh sehelai dua helai, supuluh dan telah ada setumpak demi setumpak di atas kepalanya.




[1] Semua perhitungan ialah menurut ukuran sebelum perang.

Template by:

Free Blog Templates