SUDAH terlepas daripada beban yang amat berat,
demikianlah rasanya hati Leman sejak bercerai dengan Poniem. Meskipun masih
kerab kali juga teringat olehnya kebagusan pergaulannya dahulu dengan perempuan
yang telah diceraikannya itu, tetapi perasaan itu lekas bias dihilangkan.
Karena tidak beberapa lama kemudian Mariatun telah mengandung. Padahal itulah
yang sangat dicita-citakannya.
Setelah genap
bulannya, anak itupun lahir, anak perempuan. Anak perempuan bagi orang
Minangkabau lebih besar harganya daripada anak laki-laki. Karena kalau ada
beranak perempuan, ada harapan timbul cinta si ayah akan membuat rumah untuk
anaknya itu, disamping itu membuat rumah tentu akan membelikannya sawah,
sehingga pergaulan diantara kedua suami istri itu bertambah tegap dan teguh.
Lantaran telah beroleh anak perempuan, bentuk rumah
tangga menjadi lain. Harta benda tidak ada harganya, mencari uang sudah mesti
lebih bersungguh-sungguh daripada yang dahulu. Apa lagi disamping mencarikan
harta benda untuk istri, orang Minangkabau terikat pula oleh kewajiban kepada
familinya sendiri, yaitu saudara-saudara di dalam sukunya. Kalau seorang hanya
menumpahkan hartanya buat anak dan istrinya, dia dinamakan “Batu terbenam
kebancah” tidak memikirkan dunsanak dan kemenakan sendiri, hanya memperkaya
“Orang lain” saja. Orang Minangkabau mencari harta benda, adalah untuk
memperkaya suku sendiri, bukan untuk orang lain.
Tampang kepercayaan
induk semang yang lama ada. Sebab itu diperbuatlah hutang lebih banyak dari
dahulu diramaikan kedai dengan barang-barang amanat. Sehingga kelihatannya
sudah lebih maju daripada dahulu. Padahal dahulu kebanyakkan barang dibeli
kontan, meskipun tidak seramai yang sekarang. Sedang sekarang lebih ramai,
tetapi dari barang yang dihutang. Ada lagi satu kekurangan yang lebih besar
pada masa sekarang. Sekarang sudah perlu banyak memakai anak semang, yang
bernama kongsi gendong. Yaitu disuruh orang-orang lain mencacakan barang-barang
ke kebun-kebun tiap-tiap gajian kecil dan gajian besar (tanggal 16 dan tanggal
1). Orang yang disuruh itu dibawa berkongsi. Laba dibagi dua, seperdua kepada
yang empunya barang dan yang seperdua kepada yang menjalankan. Orang yang
dibawa berkongsi demikian tidak kurang dari sepuluh orang. Sayang tidak
semuanya jujur. Ada yang menjual barang berlaba Rp. 1, dikatakannya Rp. 0,80
sen, laba yang didalam 80 sen itulah yang dibagi kedua kelak. Yang 20 sen masuk
sakunya.
Alangkah majunya
perniagaan begini. Tetapi untungnya sudah lebih tipis, karena barang-barang itu
kebanyakan bukan kepunyaan sendiri, melainkan barang amanat pula. Berapa laku
mesti segera disetor kepada induk semang di awal bulan, supaya diberinya pula
barang yang baru. Kalau orang-orang yang bekerja lurus, bias memegang amanat,
bias jugalah maju dan terjaga baik. Tetapi anak-anak semangnya itu sebanyak
yang lurus sebanyak itu pula yang bengkok. Kadang-kadang dengan tidak
tahu-tahu, sehabis berjualan dia tidak pulang lagi ke kedai, dia terus saja
pergi membawa jualan itu kenegeri lain, sampai ke Betawi atau ke Lampung. Akan
dilaporkan kepada Polisi merasa enggan, karena dia family sendiri. Diwaktu yang
demikianlah teringat jasa Suyono orang kontrak dari Jawa itu. Dahulu selagi dia
masih ada, barang-barang itu dipegangnya sebagai tanggungannya sendiri,
dijualnya dengan kelurusan. Karena dia insaf bahwa dari sanalah pangkal
hidupnya.
Beban
amat berat. Kekampun telah dikirim surat menyuruh membelikan pekayuan buat
rumah anak. Sebab itu perlu dikirim uang. Cukup untuk membeli pekayuan sampai
kepada harga papan. Belum lagi harga atap seng. Kayu itu hendaklah kayu
pilihan. Dan kayu perlu rumah itu diberi beralas semen, maka harga semen itu
lain pula. Uang kepunyaannya waktu itu tidak cukup buat memenuhi kehendak orang
dikampung. Betul banyak uang terletak di dalam kotak, tetapi tidak beberapa
uang yang kepunyaan awak, sedang waktu setor tiba-tiba.
Kesudahannya
terpaksalah uang yang sedianya akan disetor penuh, dipakai lebih dahulu buat
keperluan sendiri. Setoran yang sedianya Rp.500,- dijadikan dahulu Rp. 300,-
dijanjikan akan disempurnakan habis bulan. Dan sehabis bulan janji itu tidak
pula dapat dipenuhi melainkan kurang dari mestinya. Maka bertumpuklah hutang.
Demikianlah caranya menyudahkan rumah. Sehabis mengerjakan rumah, perlu pula
istri itu dibelikan sawah. Keperluan membeli sawah itupun demikian pula, yaitu
dengan jalan memakai uang yang sedianya akan disetor. Setelah hampir satu tahun
hutang-hutang tidak berkelunasan, maka induk semangpun menyesaklah dengan
sekeras-kerasnya. Untuk memelihara jangan sampai membawa kesan yang tidak baik
terpaksalah pinjam ke kiri dan ke kanan. Tertutup hutang kepada induk semang
besar, tinggal hutang kepada kawan-kawan kiri kanan yang wajib diangsur pula
tiap-tiap bulan. Padahal pedangang perlu lekas-lekas dibayar uangnya supaya
dapat dijalankannya pula. Sekumpulan uang tertahan dijalannya bukan sedikit
membawa atau mendatangkan kerugian kepada perniagaan. Hal ini berlaku hampir
pula setahun. Akhirnya dengan tidak terasa semarak kedai itu berangsurlah
hilang. Tidak terdapat lagi yang kepunyaan diri sendiri dan orang pun telah
agak enggan memberikan barang dengan jalan hutang. Orang yang bisa dipercaya
menjalankan dengan sigap sebagai Suyono dahulu tidak ada lagi. Rumah dan sawah
dikampung telah ada, semuanya bukan kepunyaan sendiri, tetapi kepunyaan istri.
Sudah
hampir tiga tahun merantau. Menurut adat dikampung sudah patut pula Mariatun
dibawa pulang. Apa lagi hendak melihatkan anaknya kepada kaum kerabat. Pulang
beranak pun perlu belanja, perlu kain selengkapnya, perlu membeli barang emas
untuk Mariatun sendiri, jangan kalah hendaknya daripada pakaian Poniem seketika
dibawa pulang dahulu. Dan anak sendiri, anak perempuan. Pakaian anak perempuan
meskipun belum cukup usianya dua tahun tentu ada pula hendaknya.
Sekurang-kurangnya subang emas semacam gelang tangan, gelang kaki dan dukuh.
Semuanya tentu dari emas. Kalau tidak tentu malu awak, terlebih-lebih seketika
mula-mula turun dari atas oto, seketika anak itu disambut neneknya dari tangan
ibunya. hendaknya tangan yang
mengulurkan harus merah dan diri anak itu sendiri mesti berpalut pula dengan
emas. Waktu turun dari atas oto itulah
lagak yang dicita-citakan oleh tiap-tiap orang yang merantau ke Deli, walaupun
sesudah itu tidak akan melagak lagi.
Itu
pasal pakaian.
Adalagi
yang lebih penting, yaitu peti menyanyi piring plat barang 20 buah, meja kayu
jati yang buatan Medan…. Meskipun di kampung sendiri ada juga meja. Demikian
juga cawan pinggan, barang-barang gelas agak satu peti kecil. Semuanya perlu.
Sudah
sekian lamanya merantau, sudah tiga tahun. Tentu Mariatun sudah menyediakan
uang pula guna pembeli kain bakal baju, kain sarung beberapa persalinan, yang
akan di hadiahkan kepada kaum kerabat dekat dan jauh, terutama untuk pembalas
“bungkus” orang yang ikut mengantarkan ketika akan berangkat dahulu.
Sekali
pulang saja, untuk ongkos, yang perlu-perlu itu tidaklah akan kurang daripada
Rp. 300,- pula[1]. Belum lagi
belanja sampai kekampung. Maka sebelum pulang itu diajaknyalah orang lain
berkongsi buat tiga bulan lamanya. Kongsi itulah menjalankan perniagaan selama
dia dikampung. Pulang kekampung itu bukan sebentar, sekurang-kurangnya tiga
bulan, hampir sama dengan orang pulang bergaji Rp.400, sebulan layaknya. Dengan
demikian barulah adat berdiri, baru lembaga bertuang, baru sah menjadi anak
Minangkabau ! semuanya itu telah dilakukan. Boleh dikatakan licin tandas
perniagaan sendiri seketika akan pulang itu. Pendek kata sejak bercerai dengan
Poniem belum ada lagi tambahan dan kemajuan yang nyata, melainkan terus menerus
menyusuti yang telah ada. Meskipun telah nyata bahwa uang itu dilekatkan pada
sawah dan rumah di kampung, sama artinya uang yang lekat di sana sebagai barang
mati, sebab tidak dapat lagi. Berapa banyaknya orang merantau yang menghabiskan
hari mudanya, sampai tuanya di rantau, di Deli, di Bengkulu dan di mana jua
pun. Bila telah ada uang, dikirimkan pulang, disuruh kerabat yang tinggal
dikampung supaya memperbuatkan rumah atau dilekatkan kepada sawah. Maka
berdirilah rumah yang indah-indah, yang bagus, tetapi tidak ada yang
mendiaminya. Sebab yang mempunyai masih tetap merantau. Yang menghuni rumah
demikian hanyalah orang-orang tua-tua, orang yang tetap bertani, hingga di
beranda muka rumah itu dihampaikan celana kesawah dan baju untuk ke ladang.
Lampu-lampu mahal yang bergantungan di karut lawa-lawa. Nanti kalau sudah tua,
atau sudah melarat dirantau, barulah ingin hendak tinggal di kampung, tinggal
di dalam rumah yang telah diperbuat tadi. Pendirian itu baik, kalau tidak akan
merusak sumber pencarian di rantau sendiri, artinya yang dibelanjakan itu
kelebihan dari modal. Yang celaka ialah kalau modal itu sendiri yang
dibelanjakan untuk itu, sehingga uang hanya habis dijalankan, akan belanja
pulang dan belanja kembali. Di kampung sendiri ada rumah bagus, tidak sanggup
mendiaminya. Diri sendiri pergi merantau ke negeri orang, sampai di sana
menumpang di kaki lima rumah orang. Kadang-kadang sebuah rumah kedai disewa
sampai empat atau lima keluarga. Di loteng dua kamar, di bawah tiga,
bersempit-sempit, sehingga hilang kebersihan. Yang setengahnya lagi apabila
telah banyak uangnya, dibelikannya sawah untuk anak istri atau untuk famili.
Untuk diri sendiri tidak ada. Sebab orang laki-laki di Minangkabau tidak berhak
memiliki harta. Negeri telah selesai dikerjakan, sawah yang baru belum ada.
Melainkan sawah pusaka turun temurun. Maka pindahlah sawah-sawah yang ada di
tangan si miskin ke tangan si kaya, si banyak uang. Si miskin tidak sanggup
lagi memindahkan uang harga sawahnya kepada sawah yang lain. Sebab itu, uang
itu dibawanya berniaga. Karena modal tak besar, uang itu habis.
Maka
dari setumpuk ke setumpuk pindahlah sawah dari tangan si miskin ke tangan si
kaya. Terjadilah kelaparan suatu suku dan kenyang suku yang di dekat si kaya
tadi. Orang-orang yang mempunyai sawah dahulu sekarang hanya menjadi tukang
menerima upah menanam, upah mengirik dan upah menumbuk padi.
Tidak
ada niatan hendak memperbesar modal dirantau, atau hendak membeli tanah di
negeri orang, supaya harta benda orang di kampung jangan terganggu. Melainkan
kalau mereka telah beruang banyak, hilang akalnya sebelum uang itu
dilagakkannya kepada orang kampungnya sendiri. Hilang akalnya sebelum dia dapat
mengulurkan anak perempuannya dari oto, yang di saput oleh emas. Waktu itu si
laki-laki boleh tersenyum manis tsampailah cita-citanya selama ini.
Demikianlah
penyakit yang telah menimpa jiwa Leman sejak dipengaruhi adat ini. Adat yang
dikatakan tiada lapuk dihujan dan tidak lenkang dipanas ; Dia benci melihat
orang dari Mandahiling kemanapun mereka merantau, tanah yang dicarinya dahulu.
Sehingga telah ada orang Mandahiling yang telah hidup turun temurun di tanah
Deli, demikian pula orang Banjar dan orang Jawa. Kata Leman orang telah
melupakan kampung halaman. Leman dan teman-temannya pandai mencari rezeki,
tetapi entah kemana rezeki itu perginya setelah didapat, tidaklah tahu.
Sejak
orang candu merantau ini, hidup bertolong-tolongan, berfamili secara dahulu
rusak binasa pula. Dahulu tidak ada sawah yang sampai diupahkan, tidak ada
bertanam bersiang, menyabit dan mengirik yang diupahkan. Semuanya dikerjakan
bersama-sama dalam kalangan orang sekampung. Sekarang yang akan mengerjakan
telah habis lindang dari kampung. Sehingga perlu mengupahkan kepada orang yang
datang dari tempat lain. Sedang upah sawah itu kadang-kadang sama dengan
kehasilan yang diperdapat, bahkan kadang-kadang rugi, dan kadang tidak melepasi
belanja. Kesudahan panjang rumput, semaklah ladang, liatlah sawah dan
lenganglah kampung. Pulang mereka agak tiga Leman dengan istrinya telah pulang.
Telah dicoba mendiami rumah yang baru diperbuat itu tiga bulan lamanya. Setelah
habis masa tiga bulan Leman hendak kembali seorang dirinya. Tetapi Mariatun
hendak keras mengikut. Dapat sajalah dimaklumi apa sebabnya dia keras mengikut.
Dia takut kalau Leman surut kembali kepada jandanya. Maksud Leman makanya dia
hendak merantau seorang diri lebih dahulu, biar istrinya tinggal di kampung,
supaya agak ringan beban sedikit. Karena keadaan jauh berbeda daripada dahulu.
Sebab pokok modalnya sudah kecil, hanya sisa-sisanya saja yang tinggal. Tetapi
Mariatun tidak mau, dia hendak sama hilang sama timbul dengan suaminya, katanya.
Apalah lagi kalau seorang perempuan telah merasai bagaimana senang merantau,
canggung rasanya tinggal di kampung. Apa lagi kalau tinggal seorang diri dengan
anak, suami jauh di rantau orang.
Sesampai
ditempat tinggalnya kembali, didapati kebetulan saja apa yang disangkanya
dahulu. Sepulang dari kampung dihitung perniagaan, direken laba dan rugi. Ternyata
bahwa pokok asli Leman sudah sedikit sekali, boleh dikatakan sudah habis.
Artinya kalau dia masih tetap tinggal di situ, dialah yang menjadi anak semang,
kongsinya itulah majikan. Karena malu akan diperintah orang yang dahulunya
diperintah, dimintanyalah berhenti dari perniagaan itu. Dan akan dicobanya
berniaga sendiri. Tentu saja, ditanah Deli usul yang demikian amat menyenangkan
hati kawan. Biasanya seorang yang berkedai diusir oleh orang yang ingin melihat
letak kedai itu dengan uang, “cia thee” namanya, yaitu adat yang telah biasa
ditiru dari orang Tionghoa. Sekarang yang menyewa toko itu sendiri yang tidak
sanggup lagi, tentu kawan itu menerima dengan jari sepuluh.
Maka
kelurlah Leman dari kedai yang telah bertahun-tahun di diamnya itu. Pindah
kesebuah rumah petak kecil, disewanya berdua berkongsi dengan orang lain.
Dengan sisa modalnya yang lama dan uang cia thee itu dibelinya barang untuk
dijadikan dengan sepeda ke perkebunan-perkebunan, sebagaimana yang dilakukannya
dahulu seketika dia mula-mula masuk ke tanah Deli.
Tidaklah
kelihatan benar sedihnya, lantaran pertukaran nasibnya itu. Mariatun tidaklah
sedih benar. Sebab sudah ada pergantungan harapan, yaitu rumah dan sawah
setumpak hasil perjalanan yang dahulu. Barang emaspun telah ada pula. Sekarang
biar surut kebawah dahulu. Kelak kalau berhemat tentu akan dapat pula sebagai
dahulu kembali. Apalagi petuah guru telah ada ; dunia itu sebagai roda
pedati, sekali turun sekali kita naik; mendapat janganlah terlalu harap, rugi
janganlah terlalu cemas.
Cuma
satu yang belum disadari Leman, yaitu perobahan dirinya. Dahulu semasa
berkedai, sebelum pulang, kulitnya putih, tumitnya laksana berdarah dipijakkannya.
Kain istrinya bertukar tiga kali sehari, anaknya manja. Sekarang, mukanya telah
merah kehitaman dibakar cahaya matahari, anak bajunya telah busuk karena
keringat, kain istrinya sudah jarang bertukar, dan ……, Leman tak sadar, bahwa
dengan diam-diam rambut putih telah tumbuh sehelai dua helai, supuluh dan telah
ada setumpak demi setumpak di atas kepalanya.