II. P E R T E M U A N

Sedang kuli-kuli itu berkerumunan dikeliling perempuan ronggeng dan bunyi dadu terhempas di dalam tutup tempurung di atas pinggang porselin, terdengar diantara ada dengan baik, di tengah malam, dan penjual-penjual kain, makanan dan obat-obatan itu mulai kendor suaranya, karena pembeli sudah mulai lengang, Leman sedang asyik berbicara dengan diam-diam bersama kuli kontrak perempuan yang di idam-idamkannya itu.

“Apa yang akan Abang bicarakan, katakanlah sekarang, hari sudah larut malam, kalau telat kembali kerumah marah Kang mandur kepadaku”.

“Sekarang belum dapat kita bicara panjang Poniem, saya hanya hendak bertanya : Sempatkah engkau tanggal 18, lepas bekerja sore datang ke kedai, karena ada yang saya bicarakan dengan engkau?”

“Boleh nanti saya datang, dimanakah Abang tunggu ?”

“Di sudut ke tanah jalan lapang”

“Baik bang, sekarang saya pulang dahulu……”.

Sehabis pembicaraan itu mulailah Leman menyimpan dagangannya, dan bersama dengan teman-temannya yang lain, yang tadinya tidak memperhatikan bisik desus kedua orang muda itu, diapun pulang. Mereka pulang harus bersama-sama, karena biasanya ada juga kuli-kuli yang kalah bertaruh, yang berani menyamun pedagang-pedagang itu ketika mereka akan kembali ke rumahnya.

Pada tanggal yang ditentukan itu, kelihatan kedua anak muda itu duduk berdua berhadap-hadapan disudut tanah lapang kecil, terpisah dari jalan yang biasa dilalui oleh manusia. Mereka kelihatan asyik sekali.

“Begini Bang”, kata perempuan itu meneruskan pembicaraannya : “Sesungguhnya tidaklah saya sangka bahwa saya akan terperosok ke dalam dunia kuli-kuli ini. Ibu bapakku orang baik-baik di suatu desa di Ponorogo. Pada suatu ketika datanglah kerumah kami seorang anak muda mengatakan hendak meminta saya menjadi isterinya, diberinya ibu bapak saya uang. Maklumlah hidup didesa. Karena keras bujukannya, sayapun diserahkan orang tua kepadanya, karena katanya akan dibawanya merantau ke tanah Deli. Bukan main besar hati ibu bapa saya melepas saya merantau sejauh itu, nama Deli sudah amat masyhur di desa kami.

Rupaya setelah sampai di Tanjung Priok barulah saya tahu bahwa suami saya itu bukanlah seorang baik-baik. Setelah saya dimasukkan ke dalam gudang, ketika akan diangkut dengan kapal kemari, suami saya itu tidak kelihatan lagi.

Tidaklah rupanya dia bekerja menjadi kuli di dalam kebun ini. Maka semenjak meninggalkan pelabuhan Tanjung Priok, terlepaslah saya dari segala penjagaan, macam-macamlah saya dari ancaman hidup saya, selalu saya di dalam bahaya, banyak kuli-kuli yang hendak mempermainkan saya. Pernah sekali saya bersuami, seorang kuli bernama Warjo yang menipu saya, demi setelah bertemu olehnya perempuan yang lebih cantik, sayapun dibuangnya. Ada orang yang mengajak saya jadi ronggeng, ada yang mengajak saya jadi babu. Itulah sebabnya saya sudi saja dipungut menjadi isteri piaraan mandur besar ini.

“Jadi engkau tidak dinikahinya”

“Belum, saya belum dinikahinya”

“Jadi bagaimanakah pertimbangan Poniem, tinggal di luar nikah dengan seorang laki-laki yang umurnya lebih tua daripada engkau?”

“Benar Abang, saya bergaul dengan dia di luar nikah, tetapi hidup saya aman sentausa dengan dia. Pakaian, makan minum saya cukup diberinya, sehingga nasib saya tidak serupa dengan kuli-kuli yang lain. Saya tidak diganggu orang lagi. Menurut timbangan saya, meskipun saya dipelihara di luar nikah, lebih baik saya hidup dengan dia daripada menjadi nyai, karena dia masih bangsa saya juga. Lagi pula tidak ada kesalahannya kepada saya, jadi tidak ada pula sebab-sebab buat saya meninggalkan dia”.

“Tidakkah engkau berniat hendak kawin sah saja dengan laki-laki lain ?”

“Abang, telah banyak laki-laki muda yang menanyakan itu kepada saya. Kerani muda di kebun Bunutpun telah menanyakan demikian pula, tetapi saya belum suka’.

“Kenapa engkau berpendirian begitu Poniem ?”

“Perkawinan adalah suatu yang paling suci. Kami kuli-kuli kontrak amat ingin hendak kawin, tetapi malang bagi kami, nasib kami telah dijadikan begini oleh Gusti Allah ! Berapa kali orang mengajak saya kawin saja, tetapi saya telah tahu dia bukan mengawini diri saya, tetapi mengawini barang saya. Saya takut kawin Bang, karena sudah banyak kawin itu bagi kami menjadi pintu kecelakaan dan sudah pernah saya derita. Banyak kuli dan juga nyai-nyai tuan-tuan besar yang dikawini oleh orang luar, padahal orang luar hendak menarik barang emasnya. Setelah barangnya habis, kuli itupun dibuangkannya. Abang, kemana saya akan pergi kalau nasib saya demikian ? Tentu saya tidak akan dapat hidup beruntung lagi, saya terpaksa……ah, saya terpaksa menjadi perempuan lacur…… Sebab kalau saya tidak bersalah demikian, tetntu kang mandur besar tidak bisa sudi menerima saya di rumahnya lagi…..”

LAMA JUGA Leman memandang wajah perempuan itu, payah dia memikirkan,benarkah di dalam kebun-kebun tempat berkumpul kontrak-kontrak itu terdapat perempuan yang semacam ini fahamnya dan seluas itu pemandangannya kepada hidupnya di hari nanti. Dia termenung dan Poniempun termenung pula.

“Poniem….!”

“Bang ….”

“Percayakah engkau bahwa tidak tidak semua laki-laki yang berpendirian demikian ?”

“Boleh jadi”.

“Percayakah engkau bahwa di antara laki-laki penipu yang banyak itu, akan ada juga seorang dua yang berhati jujur ?”

Seperti pertanyaan itu pulalah pertanyaan kan Warjo, janda saya ketika dia akan mengambil saya jadi isteri, sebelum saya diambil oleh mandur besar”.

“Poniem….!”

“Abang ….!”

“Kalua saya yang memintamu jadi isteriku, kalau saya ajak engkau keluar dari kebun ini, karena kontrakmu hanya tinggal sebulan lagi; kalau saya suruh engkau meninggalkan mandur besar, lalu kita lari ketempat lain di tanah Deli ini, kita kawin dengan baik ; akan engkau tolak jugakah ?”

Poniem melihat mata Leman dengan tenang-tenang, kembali dia pula yang seperti tidak percaya. Akan maukah seorang toke orang Padang, yang selama ini memandang kuli-kuli kontrak itu dengan pandang kehinaan, yang merasa bangga bahwa dia orang Padang sejati, akan sudi beristerikan dia ? Perkataan itu tidak diJawabnya, melainkan dia melihat kepada Leman tenang-tenang”.

“Mengapa tidak engkau Jawab pertanyaanku ?”

“Bersendaguraukah Abang atau berkata dengan sebenarnya ?”

“Saya bercakap tidak bermain-main Poniem”.

“Ah…Abang…”. Jawab Poniem dengan tersenyum : “Perkataan Abang itu mencelakakan saya, sebab sukar hati saya akan percaya. Masakan Abang seorang preman, orang luar yang dapat mencari perempuan yang lebih suci bersih, yang lebih suci bersih, yang lebih bisa dipercaya, yang terang asal usulnya, masakan Abang akan mau kepada saya, seorang kuli kontrak ?”

“Poniem, kau jangan berkata begitu !”

“Patut saya katakan begitu, karena Abang berbicara main-main !”

“Tidak Poniem, barang dicelakakan Allah untungku kalau saya berbicara main-main”.

“Tidakkah Abang akan tercela kelak oleh bangsa Abang sendiri, karena saya tahu, banyak diantara mereka yang membawa isterinya merantau kemari, Oh  ! Perempuan Padang itu bersih-bersih saya lihat, semuanya serupa haji, rambutnya tiada pernah terbuka, kainnya bersih-bersih. Tidakkah akan mereka tertawakan Abang, menhambil kuli kontrak kebun ? Dan tidakkah Abang sendiri akan malu melihat saya tercampur di kalangan mereka ?”

“Kau jangan terlalu menghina diri Poniem, semua makhluk bernyawa di dunia ini, sama pada sisi Allah !”
“Bagaimana Abang begitu lekas mempercayai saya, dan terburu-buru mengajak saya kawin, padahal belum Abang kenal betul perangai dan kelakuan saya ?”

“Itu ada ilham Tuhan, Poniem  ! berkali-kali saya datang ke kebun, banyak kuli-kuli kontrak yang saya lawan bersenda gurau, bahkan ada nyai tuan kebun sendiri. Dalam diri mu rupanya terdapat darah budiman, meskipun dimana engkau tinggal !”

Poniem termenung mendengar pujaan itu !

“Bagaimana Poniem ?” tanyanya mendesak.

“Berilah saya berfikir dahulu tiga hari pula, tanggal dua puluh dua sore, kita bertemu pula disini ….”

Merekapun bercerai-berailah.


Tanggal dua puluh dua sore……. Mereka telah bertemu kembali. 

“Bagaimana Poniem, sudahkah engkau fikirkan ?”

“Sudah Bang”, Jawabnya, sedang dimukanya kelihatan wajah yang membanyangkan keteguhan hati dan kepahlawanan.

“Jadi engkau kabulkan permintaanku ?”

“Begini Bang”, katanya setelah menarik nafas yang agak panjang; “Kawin adalah suatu jalan paling suci ; sejahat-jahat dan semalang nasib seorang kuli perempuan kebun, masih ingin dia satu kali selama hidupnya dapat juga hendaknya dia kawin dengan kesaksian tuan Qadhi. Perempuan-perempuan lacur yang tinggal di dalam hotel sendiripun banyak yang ingin hendak kawin, Cuma orang yang akan mengawininya yang tidak ada atau tidak mau. Nyai-nyai yang dipelihara tuan besarpun ingin kawin. Maka keinginan nyai-nyai itulah yang diketahui oleh pemuda-pemuda yang hidup hanya dengan menipu. Nyai-nyai itu mereka tipu sehingga mau kawin dengan mereka, padahal yang mau dikawininya bukan dirinya, tetapi barang emasnya. Nanti barang emas itu telah habis, anak muda itu tidak datang lagi. Nyai itupun melaratlah hidupnya, akan kembali kepada tuannya, sudah tidak dapat lagi. Pergaulan ramai dan sopan tidak pula menerimanya, sehingga dia terjun ke dalam dunia pelacuran yang dia sendiri memang amat takut. Jadi bagi golongan kami ini, kawin yang suci itu belum tetntu akan menjadi bahagia, barangkali membawa celaka. Saya lebih suka tinggal bersahabat saja, tinggal berkenalan, kita berhubungan tetapi tak usah kita nikah !.

“Oh Poniem, saya tak mau begitu, saya mau kawin, saya berjanji sepenuh bumu dan langit akan memeliharamu akan membelamu. Tidaklah saya berharap harta bendamu, melainkan mengharap dirimu. Sungguh Poniem, saya bukan seorang penipu !

Saya akan derita segala hinaan dan cacian, buat kau Poniem ! Biar kaum kerabat saya membusukkan saya, saya akan hidup dengan engkau dan di dalam hidup dengan engkau itu, saya tidak akan mengemis, Poniem, kau….kau tidak boleh bercerai dengan saya lagi”.

“Saya mau kawin dengan Abang, kawin hanya pekara mudah,kita pergi kepada tuan Qadhi, lalu kita dinikahkan, kita pulang kerumah berdua lalu kita hidup. Tetapi Bang, saya tidak berkaum kerabat di sini, saya sebatang kara, saya melarat dan hidup saya senantiasa terancam bahaya. Saya memang mau kawin dengan Abang, tatpi bukan karena percintaan, bukan karena hawa nafsu, tetapi hendak meminta perlindungan bagi diri saya yang lemah. Bila kami perempuan Jawa, harta benda, lahir bathin dunia akhirat kami serahkan. Celakalah laki-laki yang menyia-nyiakan penyerahan itu !”

“Demi Allah saya akan melindungi engkau Poniem ! Dan biarlah Allah akan memberikan hukuman yang setimpal kepada saya kalau saya mungkir”.

“Jangan bersumpah seberat itu Abang, melainkan mohonkan lah kepada Gusti Allah moga-moga pergaulan kita beruntung”

“Jadi kau kabulkan permintaanku ?”

Poniem mengangguk.

Hampir Leman melompat dari tempat duduknya lantaran kegirangan, lupa dia bahwa Poniem belum lagi jadi isterinya. Kalau tidaklah karena malu kepada orang yang lalu lintas di seberang tanah lapang itu, maulah rasanya dia merangkul perempuan muda itu ke dalam pelukannya.

Template by:

Free Blog Templates