Sedang kuli-kuli itu berkerumunan dikeliling perempuan
ronggeng dan bunyi dadu terhempas di dalam tutup tempurung di atas pinggang
porselin, terdengar diantara ada dengan baik, di tengah malam, dan
penjual-penjual kain, makanan dan obat-obatan itu mulai kendor suaranya, karena
pembeli sudah mulai lengang, Leman sedang asyik berbicara dengan diam-diam
bersama kuli kontrak perempuan yang di idam-idamkannya itu.
“Apa yang akan Abang bicarakan, katakanlah sekarang,
hari sudah larut malam, kalau telat kembali kerumah marah Kang mandur
kepadaku”.
“Sekarang belum dapat kita bicara panjang Poniem, saya
hanya hendak bertanya : Sempatkah engkau tanggal 18, lepas bekerja sore datang
ke kedai, karena ada yang saya bicarakan dengan engkau?”
“Boleh nanti saya datang, dimanakah Abang tunggu ?”
“Di sudut ke tanah jalan lapang”
“Baik bang, sekarang saya pulang dahulu……”.
Sehabis pembicaraan itu mulailah Leman menyimpan
dagangannya, dan bersama dengan teman-temannya yang lain, yang tadinya tidak memperhatikan
bisik desus kedua orang muda itu, diapun pulang. Mereka pulang harus
bersama-sama, karena biasanya ada juga kuli-kuli yang kalah bertaruh, yang
berani menyamun pedagang-pedagang itu ketika mereka akan kembali ke rumahnya.
Pada tanggal yang ditentukan itu, kelihatan kedua anak
muda itu duduk berdua berhadap-hadapan disudut tanah lapang kecil, terpisah
dari jalan yang biasa dilalui oleh manusia. Mereka kelihatan asyik sekali.
“Begini Bang”, kata perempuan itu meneruskan
pembicaraannya : “Sesungguhnya tidaklah saya sangka bahwa saya akan terperosok
ke dalam dunia kuli-kuli ini. Ibu bapakku orang baik-baik di suatu desa di
Ponorogo. Pada suatu ketika datanglah kerumah kami seorang anak muda mengatakan
hendak meminta saya menjadi isterinya, diberinya ibu bapak saya uang. Maklumlah
hidup didesa. Karena keras bujukannya, sayapun diserahkan orang tua kepadanya,
karena katanya akan dibawanya merantau ke tanah Deli. Bukan main besar hati ibu
bapa saya melepas saya merantau sejauh itu, nama Deli sudah amat masyhur di
desa kami.
Rupaya setelah sampai di Tanjung Priok barulah saya
tahu bahwa suami saya itu bukanlah seorang baik-baik. Setelah saya dimasukkan
ke dalam gudang, ketika akan diangkut dengan kapal kemari, suami saya itu tidak
kelihatan lagi.
Tidaklah rupanya dia bekerja menjadi kuli di dalam
kebun ini. Maka semenjak meninggalkan pelabuhan Tanjung Priok, terlepaslah saya
dari segala penjagaan, macam-macamlah saya dari ancaman hidup saya, selalu saya
di dalam bahaya, banyak kuli-kuli yang hendak mempermainkan saya. Pernah sekali
saya bersuami, seorang kuli bernama Warjo yang menipu saya, demi setelah
bertemu olehnya perempuan yang lebih cantik, sayapun dibuangnya. Ada orang yang
mengajak saya jadi ronggeng, ada yang mengajak saya jadi babu. Itulah sebabnya
saya sudi saja dipungut menjadi isteri piaraan mandur besar ini.
“Jadi engkau tidak dinikahinya”
“Belum, saya belum dinikahinya”
“Jadi bagaimanakah pertimbangan Poniem, tinggal di luar
nikah dengan seorang laki-laki yang umurnya lebih tua daripada engkau?”
“Benar Abang, saya bergaul dengan dia di luar nikah, tetapi
hidup saya aman sentausa dengan dia. Pakaian, makan minum saya cukup diberinya,
sehingga nasib saya tidak serupa dengan kuli-kuli yang lain. Saya tidak
diganggu orang lagi. Menurut timbangan saya, meskipun saya dipelihara di luar
nikah, lebih baik saya hidup dengan dia daripada menjadi nyai, karena dia masih
bangsa saya juga. Lagi pula tidak ada kesalahannya kepada saya, jadi tidak ada
pula sebab-sebab buat saya meninggalkan dia”.
“Tidakkah engkau berniat hendak kawin sah saja dengan
laki-laki lain ?”
“Abang, telah banyak laki-laki muda yang menanyakan itu
kepada saya. Kerani muda di kebun Bunutpun telah menanyakan demikian pula,
tetapi saya belum suka’.
“Kenapa engkau berpendirian begitu Poniem ?”
“Perkawinan adalah suatu yang paling suci. Kami
kuli-kuli kontrak amat ingin hendak kawin, tetapi malang bagi kami, nasib kami
telah dijadikan begini oleh Gusti Allah ! Berapa kali orang mengajak saya kawin
saja, tetapi saya telah tahu dia bukan mengawini diri saya, tetapi mengawini
barang saya. Saya takut kawin Bang, karena sudah banyak kawin itu bagi kami
menjadi pintu kecelakaan dan sudah pernah saya derita. Banyak kuli dan juga
nyai-nyai tuan-tuan besar yang dikawini oleh orang luar, padahal orang luar
hendak menarik barang emasnya. Setelah barangnya habis, kuli itupun
dibuangkannya. Abang, kemana saya akan pergi kalau nasib saya demikian ? Tentu
saya tidak akan dapat hidup beruntung lagi, saya terpaksa……ah, saya terpaksa
menjadi perempuan lacur…… Sebab kalau saya tidak bersalah demikian, tetntu kang
mandur besar tidak bisa sudi menerima saya di rumahnya lagi…..”
LAMA JUGA Leman memandang wajah perempuan itu, payah
dia memikirkan,benarkah di dalam kebun-kebun tempat berkumpul kontrak-kontrak
itu terdapat perempuan yang semacam ini fahamnya dan seluas itu pemandangannya
kepada hidupnya di hari nanti. Dia termenung dan Poniempun termenung pula.
“Poniem….!”
“Bang ….”
“Percayakah engkau bahwa tidak tidak semua laki-laki
yang berpendirian demikian ?”
“Boleh jadi”.
“Percayakah engkau bahwa di antara laki-laki penipu
yang banyak itu, akan ada juga seorang dua yang berhati jujur ?”
Seperti pertanyaan itu pulalah pertanyaan kan Warjo,
janda saya ketika dia akan mengambil saya jadi isteri, sebelum saya diambil
oleh mandur besar”.
“Poniem….!”
“Abang ….!”
“Kalua saya yang memintamu jadi isteriku, kalau saya
ajak engkau keluar dari kebun ini, karena kontrakmu hanya tinggal sebulan lagi;
kalau saya suruh engkau meninggalkan mandur besar, lalu kita lari ketempat lain
di tanah Deli ini, kita kawin dengan baik ; akan engkau tolak jugakah ?”
Poniem melihat mata Leman dengan tenang-tenang, kembali
dia pula yang seperti tidak percaya. Akan maukah seorang toke orang Padang,
yang selama ini memandang kuli-kuli kontrak itu dengan pandang kehinaan, yang
merasa bangga bahwa dia orang Padang sejati, akan sudi beristerikan dia ?
Perkataan itu tidak diJawabnya, melainkan dia melihat kepada Leman
tenang-tenang”.
“Mengapa tidak engkau Jawab pertanyaanku ?”
“Bersendaguraukah Abang atau berkata dengan sebenarnya
?”
“Saya bercakap tidak bermain-main Poniem”.
“Ah…Abang…”. Jawab Poniem dengan tersenyum : “Perkataan
Abang itu mencelakakan saya, sebab sukar hati saya akan percaya. Masakan Abang
seorang preman, orang luar yang dapat mencari perempuan yang lebih suci bersih,
yang lebih suci bersih, yang lebih bisa dipercaya, yang terang asal usulnya,
masakan Abang akan mau kepada saya, seorang kuli kontrak ?”
“Poniem, kau jangan berkata begitu !”
“Patut saya katakan begitu, karena Abang berbicara
main-main !”
“Tidak Poniem, barang dicelakakan Allah untungku kalau
saya berbicara main-main”.
“Tidakkah Abang akan tercela kelak oleh bangsa Abang
sendiri, karena saya tahu, banyak diantara mereka yang membawa isterinya
merantau kemari, Oh ! Perempuan Padang
itu bersih-bersih saya lihat, semuanya serupa haji, rambutnya tiada pernah
terbuka, kainnya bersih-bersih. Tidakkah akan mereka tertawakan Abang,
menhambil kuli kontrak kebun ? Dan tidakkah Abang sendiri akan malu melihat
saya tercampur di kalangan mereka ?”
“Kau jangan terlalu menghina diri Poniem, semua makhluk
bernyawa di dunia ini, sama pada sisi Allah !”
“Bagaimana Abang begitu lekas mempercayai saya, dan
terburu-buru mengajak saya kawin, padahal belum Abang kenal betul perangai dan
kelakuan saya ?”
“Itu ada ilham Tuhan, Poniem ! berkali-kali saya datang ke kebun, banyak
kuli-kuli kontrak yang saya lawan bersenda gurau, bahkan ada nyai tuan kebun
sendiri. Dalam diri mu rupanya terdapat darah budiman, meskipun dimana engkau
tinggal !”
Poniem termenung mendengar pujaan itu !
“Bagaimana Poniem ?” tanyanya mendesak.
“Berilah saya berfikir dahulu tiga hari pula, tanggal
dua puluh dua sore, kita bertemu pula disini ….”
Merekapun bercerai-berailah.
Tanggal dua puluh dua sore……. Mereka telah bertemu
kembali.
“Bagaimana Poniem, sudahkah engkau fikirkan ?”
“Sudah Bang”, Jawabnya, sedang dimukanya kelihatan
wajah yang membanyangkan keteguhan hati dan kepahlawanan.
“Jadi engkau kabulkan permintaanku ?”
“Begini Bang”, katanya setelah menarik nafas yang agak
panjang; “Kawin adalah suatu jalan paling suci ; sejahat-jahat dan semalang
nasib seorang kuli perempuan kebun, masih ingin dia satu kali selama hidupnya
dapat juga hendaknya dia kawin dengan kesaksian tuan Qadhi. Perempuan-perempuan
lacur yang tinggal di dalam hotel sendiripun banyak yang ingin hendak kawin,
Cuma orang yang akan mengawininya yang tidak ada atau tidak mau. Nyai-nyai yang
dipelihara tuan besarpun ingin kawin. Maka keinginan nyai-nyai itulah yang
diketahui oleh pemuda-pemuda yang hidup hanya dengan menipu. Nyai-nyai itu
mereka tipu sehingga mau kawin dengan mereka, padahal yang mau dikawininya
bukan dirinya, tetapi barang emasnya. Nanti barang emas itu telah habis, anak
muda itu tidak datang lagi. Nyai itupun melaratlah hidupnya, akan kembali
kepada tuannya, sudah tidak dapat lagi. Pergaulan ramai dan sopan tidak pula
menerimanya, sehingga dia terjun ke dalam dunia pelacuran yang dia sendiri
memang amat takut. Jadi bagi golongan kami ini, kawin yang suci itu belum
tetntu akan menjadi bahagia, barangkali membawa celaka. Saya lebih suka tinggal
bersahabat saja, tinggal berkenalan, kita berhubungan tetapi tak usah kita
nikah !.
“Oh Poniem, saya tak mau begitu, saya mau kawin, saya
berjanji sepenuh bumu dan langit akan memeliharamu akan membelamu. Tidaklah
saya berharap harta bendamu, melainkan mengharap dirimu. Sungguh Poniem, saya
bukan seorang penipu !
Saya akan derita segala hinaan dan cacian, buat kau
Poniem ! Biar kaum kerabat saya membusukkan saya, saya akan hidup dengan engkau
dan di dalam hidup dengan engkau itu, saya tidak akan mengemis, Poniem,
kau….kau tidak boleh bercerai dengan saya lagi”.
“Saya mau kawin dengan Abang, kawin hanya pekara
mudah,kita pergi kepada tuan Qadhi, lalu kita dinikahkan, kita pulang kerumah
berdua lalu kita hidup. Tetapi Bang, saya tidak berkaum kerabat di sini, saya
sebatang kara, saya melarat dan hidup saya senantiasa terancam bahaya. Saya
memang mau kawin dengan Abang, tatpi bukan karena percintaan, bukan karena hawa
nafsu, tetapi hendak meminta perlindungan bagi diri saya yang lemah. Bila kami
perempuan Jawa, harta benda, lahir bathin dunia akhirat kami serahkan. Celakalah
laki-laki yang menyia-nyiakan penyerahan itu !”
“Demi Allah saya akan melindungi engkau Poniem ! Dan
biarlah Allah akan memberikan hukuman yang setimpal kepada saya kalau saya
mungkir”.
“Jangan bersumpah seberat itu Abang, melainkan mohonkan
lah kepada Gusti Allah moga-moga pergaulan kita beruntung”
“Jadi kau kabulkan permintaanku ?”
Poniem mengangguk.
Hampir Leman melompat dari tempat duduknya lantaran
kegirangan, lupa dia bahwa Poniem belum lagi jadi isterinya. Kalau tidaklah
karena malu kepada orang yang lalu lintas di seberang tanah lapang itu, maulah
rasanya dia merangkul perempuan muda itu ke dalam pelukannya.