11. P E C A H

S
UNGGUH banyak sekali manusia yang lemah tak dapat mengendalikan dirinya untuk menahan hawa nafsu. Perturutkan dahulu. Buruk baiknya hitung dari belakang. Demikian kata hatinya setelah dia menempuh suatu perbuatan yang ditolak oleh timbangan halusnya, tetapi dikehendaki oleh nafsunya. Kelak zaman belakang waktu berhitung itu akan tiba juga. Maka cerahlah langit teranglah awan, hakikat kebenaran itupun tampaklah, sebab bila hawa nafsu telah lepas, tinggallah tanggungan bathin yang maha berat. 
 
Demikianlah Leman, bahwasanya akan sulit jalan yang akan ditempuhnya nanti, dia sendiri telah merasa waktu itu dan orang-orang sebagai Bagindo Kayo telah memberi ingat. Tetapi dia lemah, dia jatuh di bawah kendali hawa nafsunya. Ada-ada saja dalih yang diperbuat untuk pelemahkan pendirian yang asli. Dikatakan dengan istri yang tua tidak beranak, dikatakan malu menjejak kampung halaman sebab belum ada rumah tangga di kampung sendiri. Pada hal pada hakikatnya dalam kehidupan orang kampung, anak itu tidaklah sepenting kemenakan. Bukankah suku anak berlain dengan suku ayah dan kemenakan itulah yang lebih dekat kepada dirinya ? Sentana ada anaknya dengan Poniem, tentu tidak pula akan diakui orang Minangkabau dan itu pula yang akan jadi alasan untuk menambah istri seorang lagi.

Apabila manusia telah lemah mengambil timbangan untuk kepentingan dirinya sendiri pada kali yang pertama, kelemahan itu akan berturut-turutlah sampai kepada akhirnya. Maka sejak terjadi kekusutan rumah tangga itu, dia dengan Poniem tidak dapat lagi terus terang semacam dahulu. Pada hal musyawarah dengan terus terang itulah awal bahagianya di dalam pergaulan selama ini. 

Dalam kekusutan rumah tangga yang semacam ini, yang paling buruk ialah apabila dimasukan tangan orag lain ke dalamnya, orang-orang yang tidak bertanggung jawab atas bahagia diri kita sendiri. Dan cara yang begini masih menjadi kebiasaan yang ringan dalam kalangan bangsa kita.

Rumah tangganya telah kusut. Leman telah mulai membicarakannya kepada orang lain. Dia meminta pertimbangan ke kiri dan ke kanan. Orang luar lebih suka melihat kejadian yang hebat. Terutama orang yang sama-sama orang kampung yang lebih banyak memikirkan untung sendiri meskipun akan merugikan disana dimintanya pertimbangan tentang istrinya itu. Hampir semuanya memberi nasehat, lebih baik diceraikan salah seorang.

“Yang mana yang mesti saya ceraikan ?”

Satu diantara nasehat yang didengarnya begini bunyinya : “Tetapi Leman jagan marah. Menurut fikiran kami, meskipun bagaimana baiknya pergaulan dengan Poniem, lantaran dia bukan sekampung, lebih baik dia saja tinggalkan. Betul awak kasihan kepadanya, tetapi apalah hendak dikata, setinggi-tinggi terbang bangau namun dia akan kembali kekubang juga. Adapun Mariatun, dia sekampung sehalaman, sekota senegeri dengan engkau. Engkau akan tua, akhirnya akan pulang kekampung juga”.

Itulah macamnya nasehat yang diberikan orang kepadanya. Bertambah lama bertambah hilang pertimbagan sendiri, menang pertimbagan orang lain. Apalagi ditumbuhi pula oleh hawa nafsu muda, yang lebih suka memakai yang baru dan membuangkan yang lama. Sejak banyaknya nasehat-nasehat yang semacam itu, dia pun bertambah renggang dari istri yang tua, dan si istri pun telah mulai pula merasa. Dahulu kerab kali dia menyambut haknya, membantah suatu perbuatan yang tidak adil. Sekarang dia mulai pendiam. Sebaliknya Mariatun, tiap-tiap suaminya pulang ke kedai, pulang berjaja, tiap-tiap akan tidur dan duduk berdua, ada-ada saja jalan baginya membusuk-busukkan Poniem, dan Poniem pun mulai merasa hidupnya terpencil. Segenap orang kampung suaminya yang berdagang di sana boleh dikatakan berpihak kepada Mariatun. Orang memandang Poniem tidak sebagai dahulu lagi, dia telah dipandang sebagai orang menumpang saja. 

Perempuan adalah lautan, bila kita tidak kuat merenangi, kita akan ditelannya. Dengan berangsur-angsur Leman telah tertelan oleh Mariatun. Entah siapa yang mengajarkan, sifatnya pun tambah lama bertambah kasar kepada Poniem. Segala percakapan Poniem dahulu, memburukkan adat orang Padang, kerab kali di ulangnya dekat suaminya atau dekat yang lain-lain.

Kawan Poniem yang setia hanyalah Suyono. Jika Mariatun kemuka menemui suaminya berjualan, bergelak-gelak bergurau senda, Poniem telah duduk seorang dirinya di dapur. Orang lain bercakap-cakap dengan bahasa minangkabau dengan tertawa-tawa, maka dia apabila Suyono datang, bercakap-cakap pulalah dengan bahasa Jawa. Kalau ada kuli kontrak yang akan membeli, dipanggillah Suyono oleh Mariatun : “Eh, Suyono layanilah ini, inilah bangsa mu”.

Ajaib, lekas benar angin beralih. 

Maka terjadilah yang sangat tidak di ingini itu. Ibarat suatu bisul yang telah lama sakit, sekarang akan meletuslah. Sebuah peti dibuka. Yaitu peti batik yang baru saja dipesan dari Pekalongan. Baru saja peti itu terbuka, datanglah Mariatun mendekati. Hatinya tertarik benar melihat sehelai kain batik yang halus itu. Belum lagi dihitung dan dilihat faktur barang itu, kain tersebut telah di helakkannya : “Ini buat saya”. Katanya dengan senyum, lalu hendak dilarikannya ke loteng.

“Jangan, tunggu dahulu, fakturnya belum diperiksa”. Kata Leman.

“Cuma sehelai ini”. Kata Mariatun pula lalu berjalan dengan senyumnya hendak menghantarkan kain itu ke atas, kedalam lemarinya. Hendak dikumpulkannya dengan kain-kain yang telah beberapa helai diberikan suaminya kepadanya. Tetapi didekat pintu Poniem telah lama berdiri. Dia melihat saja parangai madunya itu dengan benci. Rasa sayang kepada suami, rasa cinta selama ini pun telah kendor lantaran marah. Dia meminta supaya haknya jangan diperbedakan. Melihat Mariatun tidak mau tercegah mengambil kain itu, Poniem pun menerobos pula ke muka, diambilnya pula sehelai yang paling halus : “Buat saya sehelai”. Katanya pula.

Kalau Poniem masih sendiri, tahu dan insaf dia apa artinya perbuatan itu. Kain itu belum boleh diambil. Mesikpun telah dilihat fakturnya, pun juga tidak boleh, karena kain itu adalah kain jualan. Kalau telah main ambil keambil saja, alamat peraturan perniagaan tidak akan berjalan lagi dan itulah tampang kecelakaan. Dahulu Poniem sekali-sekali tidak suka berbuat demikian, budinya jauh lebih mulia dari itu. Gelang ditangannya akan dibukanya supaya perniagaan itu jangan terganggu, bahkan bertambah subur dan maju. Tetapi sekarang telah lain. Sekarang adalah perbuatan pengaruh diantara dua orang perempuan terhadap seorang laki-laki. Apabila cinta itu dituluskan kepada seorang, maka laki-laki itu akan menerima cinta yang penuh pula dari seorang perempuan. Mau perempuan itu mengorbankan dirinya sendiri untuk segenap keperluan suaminya. Tetapi apabila si laki-laki telah membagi cinta itu kepada dua orang perempuan, keduanya akan merebut merampas supaya suami itu lebih berat kepada dirinya sendiri. Ketika itu laki-laki yang dimintanya berkorban untuk dirinya, bukan dia lagi yang mau berkorban untuk laki-laki. Waktu itu bukan suaminya lagi yang dicintainya, tetapi dirinya sendiri. Poniem telah tahu perbuatan Mariatun itu salah. Tetapi lantaran tidak mau kalah, lantaran hendak meminta persamaan hak, dia tidak peduli kesalahan kawannya melainkan dia ikut pula membuat kesalahan sebuah lagi. Sehingga laki-laki itu memikul kerugian dua kali.

“Letakkan itu kembali !” Ujar Leman dengan marahnya.

“Suruhlah Mariatun meletakkan dahulu, baru barang ini akan saya letakkan pula”. Kata Poniem.

“Letakkan kain itu kemari Mariatun !” Kata Leman pula.

“Cuma kain sehelai”. Katanya, lalu dia terus juga naik.

Leman bertambah marah. Dia tegak lalu dirampasnya kain itu dari tangan Poniem. Poniem rupanya tidak pula menimbang lagi apa yang akan yang terjadi. Dia berlari naik ke atas loteng dirampasnya pula kain yang sehelai lagi dari tangan Mariatun. Mariatun menahan, dia menarik, sehingga terjadilah pergumulan yang hebat, kedengaran oleh Leman yang sedang di bawah. Sebagai kilat cepatnya Leman naik ke atas. Didapatinya kain itu telah lusuh diperebutkan, separo ditangan Mariatun dan separo lagi ditangan Poniem.

“Rupanya kau hendak berlantas angan benar di sini, sudah lama saya menahan hati melihat perbuatan dan kelakuanmu” Kata Poniem. Sedang dia duduk di atas perut Mariatun, tangannya yang sebelah menarik rambut Mariatun dan yang sebelah lagi memukul dadanya. Sangat kalafnya kelihatan, sehingga Mariatun tidak dapat bergerak lagi, meskipun ujung kain itu belum juga lepas dari tangannya. Sedang terjadi perkelahian yang hebat itulah Leman datang. Dengan sekali renggut saja direnggutkannya rambut Poniem, sehingga terhindar dari tubuh istri mudanya, lalu diiringinya pula dengan sepak sekali, sehingga terguling kepinggir : “Kurang ajar ! Jawa buruk, kau hendak membunuh orang di sini”. 

“Aduuh, aduh…….. sakitnya, aduh !..... tolong saya, tolong ! hancur rasanya seluruh badan saya dikirik diremas oleh Jawa hina ini. Ya Allah ! mati badanku di kiriknya”. Kata Mariatun sambil melengking-lengking memekik-mekik serupa orang sangat ke sakitan.

Poniem bangun dirasanya pinggang yang sakit kena sepak itu. Dilihatnya mata suaminya tenang-tenang. Lama baru mulutnya bisa berkata : “Ganjil ! begitu caranya Abang memisahkan istri berkelahi, ya ? Lebih baik Abang ambil saja pisau Abang sembelih leher saya, habis perkara ! sehingga tidak terganggu lagi pergaulan Abang dengan istri Abang yang cantik molek ini”.

“Kau jangan banyak cakap di sini. Kau memang kurang ajar”.

“Aduh sakitnya…… Ya Allah Ya Rabbi, remuk hancur badanku dipiriknya, patah-patah rasanya tulangku diremas……. Aduh”. Bunyi pekik Mariatun kembali.

“Pembohong, belum sampai badannya ku pengapakan, belum sekeras sepak yang dijatuhkan ke atas pinggangku’. Kata Poniem.

“Diam !”

Suara ribut itu telah kedengaran kesebelah menyebelah. Dengan langkah perlahan Suyono naik ke atas. Disaksikannya rambut kedua perempuan itu telah kusut, bajunya robek-robek dan kain yang diperebutkan itu telah hancur. Melihat Suyono naik, maka dua orang perempuan berdekatan rumah, sekampung dengan Leman, naik pula. Mereka terus datang membujuk Mariatun dan membimbing tangannya, mata mereka berapi-api melihat Poniem.

Mariatun bertambah menangis. Karena dilihatnya amat besar pengaruh tangisnya itu kepada suaminya. Leman bertambah marah melihat Poniem. 

“Kalau begitu kau di sini, saya tidak senang kepadamu lagi”.

“Kalau tidak senang lagi, boleh dibuang dan boleh diusir”, jawab Poniem.

Leman bertambah marah, lebih-lebih mendengarkan pekik Mariatun dan disumbu-sumbi pula oleh karena perempuan yang baru datang itu. 

“Kau beleh pergi dari sini ! kau orang Jawa ! boleh turutkan orang Jawa, kau boleh kembali ke kebun ! sebelah mata saya tidak bisa pandang pada kau lagi. Pergilah dari sini, mulai sekarang saya jatuhkan kepada kau talak tiga sekali. Pergilah !”.

Hening beberapa saat tidak seorangpun menyangka bahwa keputusan yang begitu kejam dan hebat yang akan menimpa diri perempuan itu. Hening, sehingga jarum jatuh pun bisa kedengaran rasanya. Mariatun menegur saja kelantai, dia tidak memekik lagi. Kedua perempuan yang berdiri mengurut-urut punggungnya itu terdiam saja, tak dapat menentang muka Poniem. Suyono pun melihat pula kepada Leman dengan mata tiada terpejam.

Poniem melihat kepada Leman sebagai tercengang, sebagai tak percaya dan setelah itu dilihatnya orang berkeliling, dilihatnya kedua perempuan itu, dilihatnya Mariatun dan dilihatnya pula Suyono. Seakan-akan pandangannya itu menaruh pertanyaan apa benarkah demikian keputusan yang telah ditimpakan kepada dirinya. Talak tiga !

Ajaib……., apa benarkah itu pergaulan yang telah hampir sepuluh tahun, telah tamat pada hari itu ? sepatah katapun dia tidak berkata-kata lagi, Leman pun diam pula. Poniem turun kebawah dengan langkah perlahan-lahan, sambil memegangkan pinggangnya karena sakit. Diam masuk kedalam kamarnya, dihelakannya kain-kainnya yang tersangkut disangkutan sehelai demi sehelai.Mula-mula dia sebagai kebingungan saja,tetapi bertambah sesaat bertambah hebat rasanya di dalam hati nya. Maka jatuhlah air mata setitik demi  setitik, satu diiringkan yang lain. Diangsurnya melipati kain-kain nya itu satu persatu dan disusunnya kedalam peti seng nya sedang air matanya menitik juga. Leman telah turun pula ke bawah, dan Mariatun telah tinggal seorang diri di atas, termenung-menung. Ke dua perempuan tetangga itu pun turun pula. Ditentang kamar Poniem mereka tertebun, mereka joba hendak masuk ke dalam tetapi pintu lekas ditutup kan. Suyono telah pergi bermenung di atas bangku kecil di sudut kedai. Leman tak berkata sepatah jua. Dia duduk termenung di atas kursi.kian lama kian diam. Sebentar-sebentar dia melihat ke kamar Poniem. 

Ketika itu hari sedang tengah hari, panas amat teriknya. Orang yang lalu lintas di jalan raya kurang sekali. Ada juga lalu bendi sebuah dua, tetapi tak bermuatan, kudanya mengayunkan kaki perlahan-lahan, kusirnya serupa orang mengantuk. Tiba-tiba kedengaran lah pintu kamar Poniem berkicut. Leman terkejut dari menung nya. Poniem telah ke luar, matanya merah bekas menangis, tetapi telah lama rupanya disekanya. Telah di pakainya kain-kain nya yang baru, dilekatkanya dukuh dan gelangnya, petinya di angkatnya ke luar. Leman tek dapat bergerak dari tempat duduknya. Hening sesaat. 

“Abang !”

Leman diam saja, mata melihat tenang kejalan raya. 

“Sudah sekian tahun kita hidup berdua, manis dan pahit telah kita makan, lurah yang dalam telah kita terjuni dan bukit yang tinggi telah sama kita daki. Tetapi hari ini terpaksa rupa nya kita bercerai”. Setelah itu tertegun bicaranya.

“Hanya satu permintaanku, Abang. Aku tidak meminta supaya perniagaan ini dihitung, dan bahagianku di keluarkan, meskipun terang ada hak milikku di dalamnya. Hanya satu saja yang akan kubawa, izinkanlah”.
Lalu dia pergi ke dekat lemari kain, tempat batik-batik jualan tersusun. Diambilnya sehelai kain panjang yang tidak begitu halus. 

“Biarlah sehelai ini saja hartaku kuambil dari kedai ini, akan jadi tanda mata. Mudah-mudahan Jawa buruk ini tidak lagi akan memberati di atas rumah ini”. 

Kain itu diambilnya lalu dimasukkannya di dalam kopernya. Setelah koper itu dikuncinya kembali, dengan tenang di bawanya ke luar kedai, ke kaki lima. Sebuah bendi yang sedang lalu, dengan kudanya yang sedang berjalan perlahan ditahannya. Setelah berhenti, dimintanya kepada Suyono supaya ditolong menaikan barang nya dia hendak kesetasiun. 

“Kereta api masih lama lagi, Yu”. Kata Suyono”

“Biar di sana saya menunggu”. Jawabnya

“Tinggal Bang”. Katanya.

Tetapi Leman tidak bergerak dari tempat duduknya, dia diam saja seperti orang bisu.

Setelah bendi berangkat, Suyono kembali ke kedai, tetapi dia tidak duduk ke bangku kecil itu lagi. Dia pergi kebilik kecilnya disudut dapur, dikemasinya kain-kainnya, dibungkusnya dengan sebuah bungkusan kecil, lalu dia keluar dengan bungkusan itu dan terus kehadapan Leman yang sedang termenung. Dengan suara yang tetap tetapi ganjil bunyinya, dia berkata : ,, Engku … saya pun hendak berangkat pula sekarang”.

Mendengar suara itu barulah Leman tersadar dari menungnya. 

“Kemana engkau akan pergi ?”

“Menemui mbak Ayu !”

“Kapan kembali ?” 

“Barang kali tidak akan kembali lagi !”

“Apa ?” 

“Ya. Barangkali tidak akan kembali lagi. Bukankah saya kuli kontrakkan pula ?” dan orang Jawa pula ?”

Sebelum Leman sanggup menjawab, dia pun keluarlah dari kedai itu, naik kesebuah bendi dan menuju pula ke setasiun. Sampai di setasiun didapatinya Poniem duduk seorang dirinya, karena orang lain belum datang sebab kereta api lama lagi akan berangkat.

“Mengapa engkau kemari ?” tanya Poniem.

“Kalau mbak Ayu suka, saya akan mengikuti kemana mbak Ayu pergi. Bukankah kita senasib ?”

“Benar Yono”. Kata Poniem sambil menarik napas panjang. “Kita sama-sama orang Jawa !”

Dalam sesaat saja hilanglah dua pangkal keberuntungan dari dalam rumah Leman. Pertama istrinya yang setia, kedua temannya berniaga yang semakin lama menjadi tumpuan langganan dari mana-mana.

Leman termenung-menung memikirkan mulutnya yang terlanjur, dan teringat akan keadaan perniagaannya dibelakang hari : Nasi sudah jadi bubur !


Template by:

Free Blog Templates