S
|
Demikianlah Leman,
bahwasanya akan sulit jalan yang akan ditempuhnya nanti, dia sendiri telah
merasa waktu itu dan orang-orang sebagai Bagindo Kayo telah memberi ingat.
Tetapi dia lemah, dia jatuh di bawah kendali hawa nafsunya. Ada-ada saja dalih
yang diperbuat untuk pelemahkan pendirian yang asli. Dikatakan dengan istri
yang tua tidak beranak, dikatakan malu menjejak kampung halaman sebab belum ada
rumah tangga di kampung sendiri. Pada hal pada hakikatnya dalam kehidupan orang
kampung, anak itu tidaklah sepenting kemenakan. Bukankah suku anak berlain
dengan suku ayah dan kemenakan itulah yang lebih dekat kepada dirinya ? Sentana
ada anaknya dengan Poniem, tentu tidak pula akan diakui orang Minangkabau dan
itu pula yang akan jadi alasan untuk menambah istri seorang lagi.
Apabila manusia telah
lemah mengambil timbangan untuk kepentingan dirinya sendiri pada kali yang
pertama, kelemahan itu akan berturut-turutlah sampai kepada akhirnya. Maka
sejak terjadi kekusutan rumah tangga itu, dia dengan Poniem tidak dapat lagi
terus terang semacam dahulu. Pada hal musyawarah dengan terus terang itulah
awal bahagianya di dalam pergaulan selama ini.
Dalam kekusutan rumah
tangga yang semacam ini, yang paling buruk ialah apabila dimasukan tangan orag
lain ke dalamnya, orang-orang yang tidak bertanggung jawab atas bahagia diri
kita sendiri. Dan cara yang begini masih menjadi kebiasaan yang ringan dalam
kalangan bangsa kita.
Rumah tangganya telah
kusut. Leman telah mulai membicarakannya kepada orang lain. Dia meminta
pertimbangan ke kiri dan ke kanan. Orang luar lebih suka melihat kejadian yang
hebat. Terutama orang yang sama-sama orang kampung yang lebih banyak memikirkan
untung sendiri meskipun akan merugikan disana dimintanya pertimbangan tentang
istrinya itu. Hampir semuanya memberi nasehat, lebih baik diceraikan salah
seorang.
“Yang mana yang mesti
saya ceraikan ?”
Satu diantara nasehat
yang didengarnya begini bunyinya : “Tetapi Leman jagan marah. Menurut fikiran
kami, meskipun bagaimana baiknya pergaulan dengan Poniem, lantaran dia bukan
sekampung, lebih baik dia saja tinggalkan. Betul awak kasihan kepadanya, tetapi
apalah hendak dikata, setinggi-tinggi terbang bangau namun dia akan kembali
kekubang juga. Adapun Mariatun, dia sekampung sehalaman, sekota senegeri dengan
engkau. Engkau akan tua, akhirnya akan pulang kekampung juga”.
Itulah macamnya
nasehat yang diberikan orang kepadanya. Bertambah lama bertambah hilang
pertimbagan sendiri, menang pertimbagan orang lain. Apalagi ditumbuhi pula oleh
hawa nafsu muda, yang lebih suka memakai yang baru dan membuangkan yang lama.
Sejak banyaknya nasehat-nasehat yang semacam itu, dia pun bertambah renggang
dari istri yang tua, dan si istri pun telah mulai pula merasa. Dahulu kerab
kali dia menyambut haknya, membantah suatu perbuatan yang tidak adil. Sekarang
dia mulai pendiam. Sebaliknya Mariatun, tiap-tiap suaminya pulang ke kedai,
pulang berjaja, tiap-tiap akan tidur dan duduk berdua, ada-ada saja jalan
baginya membusuk-busukkan Poniem, dan Poniem pun mulai merasa hidupnya
terpencil. Segenap orang kampung suaminya yang berdagang di sana boleh
dikatakan berpihak kepada Mariatun. Orang memandang Poniem tidak sebagai dahulu
lagi, dia telah dipandang sebagai orang menumpang saja.
Perempuan adalah
lautan, bila kita tidak kuat merenangi, kita akan ditelannya. Dengan
berangsur-angsur Leman telah tertelan oleh Mariatun. Entah siapa yang
mengajarkan, sifatnya pun tambah lama bertambah kasar kepada Poniem. Segala
percakapan Poniem dahulu, memburukkan adat orang Padang, kerab kali di ulangnya
dekat suaminya atau dekat yang lain-lain.
Kawan Poniem yang
setia hanyalah Suyono. Jika Mariatun kemuka menemui suaminya berjualan,
bergelak-gelak bergurau senda, Poniem telah duduk seorang dirinya di dapur.
Orang lain bercakap-cakap dengan bahasa minangkabau dengan tertawa-tawa, maka
dia apabila Suyono datang, bercakap-cakap pulalah dengan bahasa Jawa. Kalau ada
kuli kontrak yang akan membeli, dipanggillah Suyono oleh Mariatun : “Eh, Suyono
layanilah ini, inilah bangsa mu”.
Ajaib, lekas benar
angin beralih.
Maka terjadilah yang
sangat tidak di ingini itu. Ibarat suatu bisul yang telah lama sakit, sekarang
akan meletuslah. Sebuah peti dibuka. Yaitu peti batik yang baru saja dipesan
dari Pekalongan. Baru saja peti itu terbuka, datanglah Mariatun mendekati.
Hatinya tertarik benar melihat sehelai kain batik yang halus itu. Belum lagi
dihitung dan dilihat faktur barang itu, kain tersebut telah di helakkannya :
“Ini buat saya”. Katanya dengan senyum, lalu hendak dilarikannya ke loteng.
“Jangan, tunggu
dahulu, fakturnya belum diperiksa”. Kata Leman.
“Cuma sehelai ini”.
Kata Mariatun pula lalu berjalan dengan senyumnya hendak menghantarkan kain itu
ke atas, kedalam lemarinya. Hendak dikumpulkannya dengan kain-kain yang telah
beberapa helai diberikan suaminya kepadanya. Tetapi didekat pintu Poniem telah
lama berdiri. Dia melihat saja parangai madunya itu dengan benci. Rasa sayang
kepada suami, rasa cinta selama ini pun telah kendor lantaran marah. Dia
meminta supaya haknya jangan diperbedakan. Melihat Mariatun tidak mau tercegah
mengambil kain itu, Poniem pun menerobos pula ke muka, diambilnya pula sehelai
yang paling halus : “Buat saya sehelai”. Katanya pula.
Kalau Poniem masih
sendiri, tahu dan insaf dia apa artinya perbuatan itu. Kain itu belum boleh
diambil. Mesikpun telah dilihat fakturnya, pun juga tidak boleh, karena kain
itu adalah kain jualan. Kalau telah main ambil keambil saja, alamat peraturan
perniagaan tidak akan berjalan lagi dan itulah tampang kecelakaan. Dahulu
Poniem sekali-sekali tidak suka berbuat demikian, budinya jauh lebih mulia dari
itu. Gelang ditangannya akan dibukanya supaya perniagaan itu jangan terganggu,
bahkan bertambah subur dan maju. Tetapi sekarang telah lain. Sekarang adalah
perbuatan pengaruh diantara dua orang perempuan terhadap seorang laki-laki. Apabila
cinta itu dituluskan kepada seorang, maka laki-laki itu akan menerima cinta
yang penuh pula dari seorang perempuan. Mau perempuan itu mengorbankan dirinya
sendiri untuk segenap keperluan suaminya. Tetapi apabila si laki-laki telah
membagi cinta itu kepada dua orang perempuan, keduanya akan merebut merampas
supaya suami itu lebih berat kepada dirinya sendiri. Ketika itu laki-laki yang
dimintanya berkorban untuk dirinya, bukan dia lagi yang mau berkorban untuk
laki-laki. Waktu itu bukan suaminya lagi yang dicintainya, tetapi dirinya
sendiri. Poniem telah tahu perbuatan Mariatun itu salah. Tetapi lantaran tidak
mau kalah, lantaran hendak meminta persamaan hak, dia tidak peduli kesalahan
kawannya melainkan dia ikut pula membuat kesalahan sebuah lagi. Sehingga
laki-laki itu memikul kerugian dua kali.
“Letakkan itu kembali
!” Ujar Leman dengan marahnya.
“Suruhlah Mariatun
meletakkan dahulu, baru barang ini akan saya letakkan pula”. Kata Poniem.
“Letakkan kain itu
kemari Mariatun !” Kata Leman pula.
“Cuma kain sehelai”.
Katanya, lalu dia terus juga naik.
Leman bertambah
marah. Dia tegak lalu dirampasnya kain itu dari tangan Poniem. Poniem rupanya
tidak pula menimbang lagi apa yang akan yang terjadi. Dia berlari naik ke atas
loteng dirampasnya pula kain yang sehelai lagi dari tangan Mariatun. Mariatun
menahan, dia menarik, sehingga terjadilah pergumulan yang hebat, kedengaran
oleh Leman yang sedang di bawah. Sebagai kilat cepatnya Leman naik ke atas.
Didapatinya kain itu telah lusuh diperebutkan, separo ditangan Mariatun dan
separo lagi ditangan Poniem.
“Rupanya kau hendak
berlantas angan benar di sini, sudah lama saya menahan hati melihat perbuatan
dan kelakuanmu” Kata Poniem. Sedang dia duduk di atas perut Mariatun, tangannya
yang sebelah menarik rambut Mariatun dan yang sebelah lagi memukul dadanya.
Sangat kalafnya kelihatan, sehingga Mariatun tidak dapat bergerak lagi,
meskipun ujung kain itu belum juga lepas dari tangannya. Sedang terjadi
perkelahian yang hebat itulah Leman datang. Dengan sekali renggut saja direnggutkannya
rambut Poniem, sehingga terhindar dari tubuh istri mudanya, lalu diiringinya
pula dengan sepak sekali, sehingga terguling kepinggir : “Kurang ajar ! Jawa
buruk, kau hendak membunuh orang di sini”.
“Aduuh, aduh……..
sakitnya, aduh !..... tolong saya, tolong ! hancur rasanya seluruh badan saya
dikirik diremas oleh Jawa hina ini. Ya Allah ! mati badanku di kiriknya”. Kata
Mariatun sambil melengking-lengking memekik-mekik serupa orang sangat ke
sakitan.
Poniem bangun dirasanya
pinggang yang sakit kena sepak itu. Dilihatnya mata suaminya tenang-tenang.
Lama baru mulutnya bisa berkata : “Ganjil ! begitu caranya Abang memisahkan
istri berkelahi, ya ? Lebih baik Abang ambil saja pisau Abang sembelih leher
saya, habis perkara ! sehingga tidak terganggu lagi pergaulan Abang dengan
istri Abang yang cantik molek ini”.
“Kau jangan banyak
cakap di sini. Kau memang kurang ajar”.
“Aduh sakitnya…… Ya
Allah Ya Rabbi, remuk hancur badanku dipiriknya, patah-patah rasanya tulangku
diremas……. Aduh”. Bunyi pekik Mariatun kembali.
“Pembohong, belum
sampai badannya ku pengapakan, belum sekeras sepak yang dijatuhkan ke atas
pinggangku’. Kata Poniem.
“Diam !”
Suara ribut itu telah
kedengaran kesebelah menyebelah. Dengan langkah perlahan Suyono naik ke atas.
Disaksikannya rambut kedua perempuan itu telah kusut, bajunya robek-robek dan
kain yang diperebutkan itu telah hancur. Melihat Suyono naik, maka dua orang
perempuan berdekatan rumah, sekampung dengan Leman, naik pula. Mereka terus
datang membujuk Mariatun dan membimbing tangannya, mata mereka berapi-api
melihat Poniem.
Mariatun bertambah
menangis. Karena dilihatnya amat besar pengaruh tangisnya itu kepada suaminya.
Leman bertambah marah melihat Poniem.
“Kalau begitu kau di
sini, saya tidak senang kepadamu lagi”.
“Kalau tidak senang
lagi, boleh dibuang dan boleh diusir”, jawab Poniem.
Leman bertambah
marah, lebih-lebih mendengarkan pekik Mariatun dan disumbu-sumbi pula oleh
karena perempuan yang baru datang itu.
“Kau beleh pergi dari
sini ! kau orang Jawa ! boleh turutkan orang Jawa, kau boleh kembali ke kebun !
sebelah mata saya tidak bisa pandang pada kau lagi. Pergilah dari sini, mulai
sekarang saya jatuhkan kepada kau talak tiga sekali. Pergilah !”.
Hening beberapa saat
tidak seorangpun menyangka bahwa keputusan yang begitu kejam dan hebat yang
akan menimpa diri perempuan itu. Hening, sehingga jarum jatuh pun bisa
kedengaran rasanya. Mariatun menegur saja kelantai, dia tidak memekik lagi.
Kedua perempuan yang berdiri mengurut-urut punggungnya itu terdiam saja, tak dapat
menentang muka Poniem. Suyono pun melihat pula kepada Leman dengan mata tiada
terpejam.
Poniem melihat kepada
Leman sebagai tercengang, sebagai tak percaya dan setelah itu dilihatnya orang
berkeliling, dilihatnya kedua perempuan itu, dilihatnya Mariatun dan dilihatnya
pula Suyono. Seakan-akan pandangannya itu menaruh pertanyaan apa benarkah
demikian keputusan yang telah ditimpakan kepada dirinya. Talak tiga !
Ajaib……., apa
benarkah itu pergaulan yang telah hampir sepuluh tahun, telah tamat pada hari
itu ? sepatah katapun dia tidak berkata-kata lagi, Leman pun diam pula. Poniem
turun kebawah dengan langkah perlahan-lahan, sambil memegangkan pinggangnya
karena sakit. Diam masuk kedalam kamarnya, dihelakannya kain-kainnya yang
tersangkut disangkutan sehelai demi sehelai.Mula-mula dia sebagai kebingungan
saja,tetapi bertambah sesaat bertambah hebat rasanya di dalam hati nya. Maka
jatuhlah air mata setitik demi setitik,
satu diiringkan yang lain. Diangsurnya melipati kain-kain nya itu satu persatu
dan disusunnya kedalam peti seng nya sedang air matanya menitik juga. Leman
telah turun pula ke bawah, dan Mariatun telah tinggal seorang diri di atas,
termenung-menung. Ke dua perempuan tetangga itu pun turun pula. Ditentang kamar
Poniem mereka tertebun, mereka joba hendak masuk ke dalam tetapi pintu lekas
ditutup kan. Suyono telah pergi bermenung di atas bangku kecil di sudut kedai.
Leman tak berkata sepatah jua. Dia duduk termenung di atas kursi.kian lama kian
diam. Sebentar-sebentar dia melihat ke kamar Poniem.
Ketika itu hari
sedang tengah hari, panas amat teriknya. Orang yang lalu lintas di jalan raya
kurang sekali. Ada juga lalu bendi sebuah dua, tetapi tak bermuatan, kudanya
mengayunkan kaki perlahan-lahan, kusirnya serupa orang mengantuk. Tiba-tiba kedengaran
lah pintu kamar Poniem berkicut. Leman terkejut dari menung nya. Poniem telah
ke luar, matanya merah bekas menangis, tetapi telah lama rupanya disekanya.
Telah di pakainya kain-kain nya yang baru, dilekatkanya dukuh dan gelangnya,
petinya di angkatnya ke luar. Leman tek dapat bergerak dari tempat duduknya.
Hening sesaat.
“Abang !”
Leman diam saja, mata
melihat tenang kejalan raya.
“Sudah sekian tahun
kita hidup berdua, manis dan pahit telah kita makan, lurah yang dalam telah
kita terjuni dan bukit yang tinggi telah sama kita daki. Tetapi hari ini
terpaksa rupa nya kita bercerai”. Setelah itu tertegun bicaranya.
“Hanya satu
permintaanku, Abang. Aku tidak meminta supaya perniagaan ini dihitung, dan
bahagianku di keluarkan, meskipun terang ada hak milikku di dalamnya. Hanya
satu saja yang akan kubawa, izinkanlah”.
Lalu dia pergi ke
dekat lemari kain, tempat batik-batik jualan tersusun. Diambilnya sehelai kain
panjang yang tidak begitu halus.
“Biarlah sehelai ini
saja hartaku kuambil dari kedai ini, akan jadi tanda mata. Mudah-mudahan Jawa
buruk ini tidak lagi akan memberati di atas rumah ini”.
Kain itu diambilnya
lalu dimasukkannya di dalam kopernya. Setelah koper itu dikuncinya kembali,
dengan tenang di bawanya ke luar kedai, ke kaki lima. Sebuah bendi yang sedang
lalu, dengan kudanya yang sedang berjalan perlahan ditahannya. Setelah
berhenti, dimintanya kepada Suyono supaya ditolong menaikan barang nya dia
hendak kesetasiun.
“Kereta api masih
lama lagi, Yu”. Kata Suyono”
“Biar di sana saya
menunggu”. Jawabnya
“Tinggal Bang”.
Katanya.
Tetapi Leman tidak
bergerak dari tempat duduknya, dia diam saja seperti orang bisu.
Setelah bendi
berangkat, Suyono kembali ke kedai, tetapi dia tidak duduk ke bangku kecil itu
lagi. Dia pergi kebilik kecilnya disudut dapur, dikemasinya kain-kainnya,
dibungkusnya dengan sebuah bungkusan kecil, lalu dia keluar dengan bungkusan
itu dan terus kehadapan Leman yang sedang termenung. Dengan suara yang tetap
tetapi ganjil bunyinya, dia berkata : ,, Engku … saya pun hendak berangkat pula
sekarang”.
Mendengar suara itu
barulah Leman tersadar dari menungnya.
“Kemana engkau akan
pergi ?”
“Menemui mbak Ayu !”
“Kapan kembali ?”
“Barang kali tidak
akan kembali lagi !”
“Apa ?”
“Ya. Barangkali tidak
akan kembali lagi. Bukankah saya kuli kontrakkan pula ?” dan orang Jawa pula ?”
Sebelum Leman sanggup
menjawab, dia pun keluarlah dari kedai itu, naik kesebuah bendi dan menuju pula
ke setasiun. Sampai di setasiun didapatinya Poniem duduk seorang dirinya,
karena orang lain belum datang sebab kereta api lama lagi akan berangkat.
“Mengapa engkau
kemari ?” tanya Poniem.
“Kalau mbak Ayu suka,
saya akan mengikuti kemana mbak Ayu pergi. Bukankah kita senasib ?”
“Benar Yono”. Kata
Poniem sambil menarik napas panjang. “Kita sama-sama orang Jawa !”
Dalam sesaat saja
hilanglah dua pangkal keberuntungan dari dalam rumah Leman. Pertama istrinya
yang setia, kedua temannya berniaga yang semakin lama menjadi tumpuan langganan
dari mana-mana.
Leman
termenung-menung memikirkan mulutnya yang terlanjur, dan teringat akan keadaan
perniagaannya dibelakang hari : Nasi sudah jadi bubur !