Ilmu Faraidh dan Redistribusi Kekayaan

Sistem kewarisan merupakan salah satu mekanisme transfer harta yang secara khusus ditetapkan Allah

Oleh: Moch. Arif Budiman

Ilmu Faraidh (Fiqh Mawarits) adalah salah satu disiplin ilmu yang unik dan istimewa dalam Islam yang mengatur mekanisme transfer harta dari orang yang wafat kepada ahli warisnya.

Keistimewaan ilmu ini terletak pada fakta bahwa al-Quran memberikan perincian yang sangat mendetail tentang pembagian warisan kepada para ahli waris beserta bagian mereka masing-masing dalam berbagai keadaannya (QS. 4:11-12, 176). Perincian tersebut bahkan ‘mengalahkan’ ibadah-ibadah khusus lainnya seperti shalat, puasa, zakat maupun haji karena untuk rukun-rukun Islam ini, perinciannya dijelaskan bukan di dalam al-Qur’an, tetapi dalam as-Sunnah. Rasulullah saw. secara khusus juga menekankan urgensi dan keistimewaan ilmu ini dan memerintahkan mempelajari dan mengajarkannya karena ia merupakan ilmu yang pertama kali hilang dari umat Islam (HR. Ibnu Majah dan Addaraquthni).


Sistem kewarisan merupakan salah satu mekanisme transfer harta yang secara khusus ditetapkan Allah untuk menghindarkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan di belakang hari. Tanpa pengaturan khusus, pembagian warisan memang sangat berpotensi menimbulkan perselisihan di kalangan ahli waris.

Allah tidak memberikan hak prerogatif kepada orang yang akan wafat menyangkut pembagian hartanya kecuali maksimal sepertiga yang dibolehkan untuk wasiat. Hal ini untuk menjamin terpenuhinya hak-hak orang yang ditinggalkan, yaitu orang yang mengutanginya (jika ada) dan ahli warisnya seperti ditegaskan Rasulullah,

"lebih baik engkau meninggalkan ahli waris yang kaya daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, meminta-minta bantuan dari orang lain”. Hadits ini berisi pesan moral untuk bekerja keras, gemar menabung dan berinvestasi untuk masa depan.

Secara umum, pembagian harta warisan ditentukan oleh hubungan ahli waris dengan orang yang wafat. Semakin dekat hubungannya, maka semakin besar bagiannya. Dalam hal ini, Allah sangat menekankan keberadaan institusi keluarga karena merekalah orang-orang terdekat dengan almarhum selama hidupnya.

Harta yang dimiliki almarhum selama hidupnya pun secara langsung maupun tidak langsung diperoleh dan dikumpulkan bersama dengan anggota-anggota keluarganya.

Meskipun demikian, tidak ada yang bisa mengukur secara pasti siapa yang paling berjasa di antara mereka terhadap almarhum semasa hidupnya (QS. 4:11). Oleh karena itu, untuk menjamin kepastian, Allah menjadikan hubungan nasab sebagai basis pembagian warisan.

Namun selain hubungan nasab, aspek tanggung jawab keuangan juga dijadikan dasar perhitungan. Mengingat laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan (QS. 4:34), maka bagian untuk laki-laki secara umum adalah dua kali bagian perempuan sebagai kompensasi atas tangung jawabnya menjaga dan menafkahi keluarga. Sedangkan bagian perempuan murni menjadi hak miliknya sendiri tanpa diikuti tanggung jawab apapun.

Sistem kewarisan yang ditetapkan Islam ini menjadi salah satu 'senjata’ untuk memerangi konsentrasi harta di tangan segelintir orang (QS. 59:7) dengan cara mendistribusikannya ke dalam lingkaran keluarga yang lebih luas. Dengan distribusi tersebut, maka harta akan terus bersirkulasi sehingga mendorong pertumbuhan perekonomian. Dengan demikian, sistem kewarisan Islam berfungsi mencegah terjadinya penimbunan (penimbunan) dan pengabaian pemanfaatan harta (idle asset).

Laksana sirkulasi darah bagi tubuh, harta harus terus berputar dalam aktivitas perekonomian sehingga menimbulkan multiplier effect yang bermanfaat untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat. Ketika harta tertahan di tangan segelintir orang (idle), maka hal ini akan menimbulkan serangkaian problem seperti pengangguran dan kemiskinan.

Fungsi redistribusi kekayaan pada sistem kewarisan Islam memiliki kesamaan dengan zakat. Namun perbedaannya, zakat mendistribusikan kekayaan untuk generasi sekarang, sedangkan warisan melakukannya secara lintas generasi, sehingga kekayaan yang semula terkonsentrasi pada satu titik selanjutnya menjadi terdistribusi (Siddiqi, 1981). Dalam kalkulasi Boulding sebagaimana dikutip oleh Anas Zarqa, mekanisme kewarisan ini dapat menciptakan transfer aset hingga 4% dari total GNP setiap tahun. Suatu jumlah yang melebihi mekanisme distribusi melalui zakat.

Selain kepada ahli waris, al-Quran juga mendorong adanya alokasi distribusi sukarela dari harta waris kepada orang yang tidak termasuk ahli waris seperti kerabat jauh, anak yatim, atau orang miskin yang hadir pada saat pembagian warisan (QS. 4:8). Hal ini semakin menegaskan tujuan redistribusi kekayaan yang terkandung di balik ilmu Faraidh yang mencerminkan hikmah Ilahiah dan prinsip keadilan. Wallahu a’lam bishshawab.

Mahasiswa International Islamic University Malaysia

Template by:

Free Blog Templates