XI. P E R K A W I N A N



Orang kiri kanan sudah tahu bahwa istri Leman yang muda akan datang. Dia menyewa rumah tempat tinggal untuk istri yang muda itu sebuah lagi. Dengan bersusah payah dia dengan istrinya Poniem, membersihkan rumah yang baru disewa itu. Orang heran dan takjub serta menaruh hormat yang sebesar-besarnya atas ketulusan hati Poniem, yang selama ini hanya di sangka orang perempuan pelembahan yang tak ada harganya. Orang menekur kepala kepadanya melihat wajahnya yang tiada berkucak !

Bagaimana dia akan berkucak, padalah maksud suaminya akan langsung juga. Meskipun sudah seberat bumi dan langit sumpah suaminya, baginya semuanya itu belum berarti. Cuma sebagai orang yang lama menderita pahit hidup, dicobanya pula menyeberangi cobaan yang sekali ini, mudah-mudahan selamat. Di dekat suami dia tertawa, tersenyum, bekerja dengan keras, ditolongnya menjahitkan kelambu, merekatkan kertas ke dinding. Kelak bila suaminya pergi ketempat lain untuk menyediakan keperluan “tetamu” baru itu, dan dia hanya tinggal seorang diri, dilepaskannyalah kembali air matanya.

Hari yang sudah ditunggu-tunggu itupun datanglah, yakni hati yang ditunggu oleh Leman dengan harap cemas, dan ditunggu oleh Poniem dengan dada berdebar. Mereka telah pergi ke setasiun menjemput “orang baru” itu, yang datang diantarkan oleh mamaknya. Rasa akan terjatuh Poniem ketika melangkahkan kakinya turun tangga. Gelap penglihatannya dan keluar keringatnya, payah benar dia menahan hati. Tetapi itulah masanya perang, masa berjuang. Di tegapkannya kembali langkahnya, disekanya keringatnya dan dimakannya sirih, dia pun langsung bersama suaminya pergi ke setasiun.

Kereta Api belum lagi masuk. Leman hilir mudik saja di peron sambil melihat-lihat jam, mencocokkan jam itu dengan tarif kereta api lagi beberapa menit. Poniem melihat gerak suaminya dengan hati yang lintuh. Dia tidak bergaya lagi. Tiba-tiba terdengarlah bunyi peluit dari jauh dan terdengar pula bunyi desas desus lokomotif yang membawa, dan tidak berapa lama kelihatanlah kereta apinya sendiri. Sebanyak desus dan lengking lokomotif, sebanyak itu pula debar jantung Poniem menunggu orang yang akan merampas keberuntungan dan hikmat hidupnya dari tangannya sendiri.

Siapakah dia, bagaimanakah bentuk dan rupanya, orang yang beroleh kemenangan itu, orang yang akan merampas, singgasana yang dibinanya dengan aman sentosa sekian tahun lamanya ?

Kereta api telah masuk, tetapi Poniem masih duduk, akalnya seakan-akan hilang, pikirannya menjadi tumpul.

“Ayoh, Yem, kereta api telah masuk !” ujar Leman. Ujaran itulah yang menyadarkannya dan membangkitkannya dari tempat duduknya. 

Bersamaan dengan orang banyak, turunlah Mariatun di iringkan mamak dan ibunya, bersama dengan salah seorang famili yang perempuan dari pihak Leman. Laksana seorang raja yang menang dari medan perang dan pulang dengan kebanggaan, demikianlah rasanya Mariatun menginjakkan kakinya kelantai peron setasiun dari kereta api. Dia turun kebawah dengan kemalu-maluan, Leman pun datang menyongsong, dibelakangnya mengiring Poniem. Mata orang banyak, mata mamak Mariatun, ibunya, famili Leman dan kaum kerabat yang lain, semuanya tertuju kepada Poniem saja. Leman kelihatan gugup. Dengan tiada gugup sedikit juga, Poniem tampil kemuka, dijabatnya tangan Mariatun dan dipeluknya perempuan muda itu dengan tersenyum gembira: 

”Selamat didalam perjalanan Dik,” ujarnya.

Setelah keluar perkataannya yang sedemikian barulah nafas orang yang melihat yang tadinya tertahan, berjalan tenang kembali. Leman keluar keringat dingin di dahinya. Sekarang pindah pula penglihatan orang ramai kepada Mariatun, gugupkah dia ketika disambut oleh Poniem. Orang banyak hendak membanding manakah yang lebih tinggi budinya antara perempuan berdua itu.

“Selamat mbak Ayu, tidak kurang suatu apa ! mbak Ayu adakah selamat saja ?”

“Insya Allah,” jawab Poniem.

Maka seakan-akan berbimbingan tangan mereka itu meninggalkan setasiun. Yang lain mengiring dibelakang sambil bercengkrama, hanya seorang saja yang tak tentu apa yang akan dikerjakannya seketika itu, yaitu Leman. Dia tetap gugup sebentar-sebentar dikeluarkannya sapu tanganya dari sakunya dan disekanya peluh yang mengalir dikeningnya. 

Setelah berjalan kira-kira berjalan lima menit dari setasiun, bertanyalah seorang yang menjemput tadi : 

“Kemana tetamu kita akan kita bawa ?” 

Mendengar pertanyaan itu Leman kembali tersadar dari kegugupannya. Dia terkejut dan berkata : “O, iya….. ya, ru…. Rumah telah disediakan, kesana kita pergi ! marilah’. Katanya sambil berjalan agak termuka.

“Tidak”, kata Poniem : “Bawa pulang dahulu, lepaskan lelah di kedai dahulu. Sementara adik Mariatun dan kakak serta mamak melepaskan lelah, kita suruh si Suyono membersihkan disana melengkapkan apa yang kurang. Sekarang kita pulang dahulu !”

Dia melihat kepada suaminya dengan sudut mata, sebagai menunjukkan marah. Leman hanya menekur saja.

Anjuran Poniem lah sekarang yang di ikut. 

Perjalanan diteruskan ke kedai. Rupanya tikar telah dihamparkan terlebih dahulu di Loteng, minum-minuman telah disediakan. Di ajaknya Mariatun berseda gurau, ditunjukkannya budi bahasanya yang tinggi dihadapan ibu Mariatun dan ditunjukkan penghormatan yang tidak dibuat-buat dihadapan mamak Mariatun. Sehingga kelihatan seakan-akan tidak sedikit juga tergoncang hatinya lantaran kedatangan madunya itu. Setalah selesai minum sekadarnya, barulah dilepasnya Mariatun kerumah yang baru. 

Remuk, bagai kaca terhempas ke batu rasa hati Poniem; sakit, tetapi kemana akan dia adukan. Telah lepas segala mimpinya sudah tamat cerita keberuntungannya. Dia cantik, lebih muda, tangkas dan sekampung pula lagi. Jauh banyak kelebihan Mariatun dari padanya. Sedang dia hanya sebatang kara di dunia ini. Hanya suaminya itu selama ini tempatnya berlindung. Sekarang kemana lagi. Hati suaminya separo, bahkan sama sekali tentu akan tertumpah kepada perempuan itu. Banyak terdapat sebab-sebab yang akan menjadikan perkisaran itu. Sebagai seorang yang telah dijatuhkan vonis kematian atau buang pulus seumur hidup, yang terkurung didalam tembok yang tebal, menunggu pengawal yang akan membawanya ketiang gantungan, tidak berdaya lagi, sehingga putuslah segala tali hidup dan hilanglah segala pengharapan, berganti dengan tawakal menyerah, menunggu takdir apapun yang akan datang, demikian Poniem pada masa itu. Sebab itu dia tidak akan menangis lagi, tidak ada perlunya lagi air mata. Dia tidak akan melawan nasib. Tidak ada kemenangan yang akan didapatnya lantaran melawan, dia hanya akan menyerah. Demikian janji yang telah dibuatnya dengan hatinya sendiri.

Dia tersenyum, dan untuk menghilangkan gundah gulana yang terbayang dimukanya, dimakannya sirih sebanyak-banyak, padahal selama ini dia kurang suka memakan sirih. Kalau suaminya datang diterimanya dengan hormat, melebihi biasa. Sehingga lantaran itu Leman bertambah serba salah. Waktu inilah telah dapat dibuktikannya siapa Poniem. 

Telah dua hari Mariatun datang dihari ketiga dilangsungkanlah pernikahan, dan pada malam itulah Leman akan pergi kerumah baru, melangsungkan akad nikah. Waktu itulah akan dimulainya penghidupannya yang baru dengan Mariatun. Hari ketika itu kira-kira pukul sepuluh malam, kendaraan tidak banyak lalu lintas lagi didepan rumah, dan dari pukul tujuh habis magrib kedai telah di tutup oleh Suyono, orang gajian yang setia itu. Makanan dari tadi sudah terhidang, tetapi Leman tidak mau makan, Poniem sendiripun tidak, sehingga nasi yang telah lama dihidangkan dimeja makan, masih bertungkup dengan tudung saji, tidak ada satu tanganpun yang menjamahnya. 

Hawa malam yang sejuk dari pertengahan bulan desember menyelinap segala tulang sumsum. Angin sepoi-sepoi basah meliputi alam dari pegunungan Brastagi. Ketika itu Leman masih mondar-mandir didalam kedai, Suyono duduk diluar diatas bangku kecil sambil termenung Poniem duduk bertopang dagu pada meja makan didekat hidangan yang telah dingin itu.

Tak ada seorang juga yang berkata, hening semata. Leman masih mondar-mandir. Tidak tentu sikap apa yang akan diambilnya. Berat hatinya hendak meninggalkan Poniem terkatung-katung seorang diri. Dia masih mondar-mandir !

Seorang anak kecil kedengaran dari muka kedai, datang dengan tergesa-gesa menjemput Leman. Dia disuruh oleh famili disana, tetamu telah gelisah menunggu, tuan ghodi tidak bisa menanti lama. Segeralah datang ! Kawan-kawan yang akan jadi teman dijalanpun telah berdirian pula disana, dimuka. Leman masih mondar-mandir juga.

Ajaib hati perempuan ini !

Dia tidak suka ditipu, tidak sudi dipermainkan. Cintanya kepada orang lain, adalah berarti cinta terhadap dirinya sendiri. Tetapi didalam jiwa yang tegang yang keras, jiwa yang takut dikalahkan itu, ada pula tersimpan satu mutiara yang bersih mulia, itulah dia perasaan ke ibuan. 

Jika seorang perempuan mempunyai dua orang anak, yang seorang sehat dan seorang sakit, telah banyak uangnya habis mengobati, namun cintanya terhadap si anak tidak akan berobah, ciuman kepada sianak yang sakit akan lebih dahulu lekat dari kepada yang sehat. Hati yang demikian ada pada Poniem.

Diperhatikannya, memang suaminya sedang dalam kebingungan, tidak tentu sikap apa yang akan diambilnya. Dilihatnya sesal yang amat besar telah mempengaruhi hati suaminya. Sehingga langkahnya mundur dan maju. Mula-mula disangkanya itu Cuma main-main saja, tetapi kemudian dilihatnya wajah suaminya, tenang-tenang. Bukan main rupanya, tetapi sebenarnya. 

“Berangkatlah Bang, mengapa abang lalai jua. Lekaslah, orang sudah payah menanti, suruhannya sudah datang”. 

Mendengar perkataan istrinya yang sebagai perintah itu, tetapi penuh dengan perasaan welas asih, Leman tertegun dan dilihatnya mata Poniem tenang-tenang. Tiba-tiba dia berlari kepada istrinya. Satu perkataan dengan penuh cinta, dengan sesal, dengan rasa kekecilan diri, terlompat dari mulutnya….. “Poniem”, dan kepalanya tiba sekali keatas haribaan Poniem.

“Poniem, engkau marah kepada ku, ya ?”

Air matanya dengan tidak dirasanya, telah bercucuran dan dia menangis sebagai anak-anak layaknya.

“Engkau marah kepada ku”, ujarnya sekali lagi. Dan dengan tidak disadarinya pula, tangan Poniem telah menjalar diatas kepala suaminya, diusap-usapnya rambut suaminya, yang dicintainya itu, yang semiang kelampun belum pernah hilang dari hatinya.

Pada saat itu, hilang kemarahan, lemah segala sendi anggota. Poniem telah mengalah.

“Tidak Bang, berangkatlah lekas, orang telah banyak menunggu, Yem tak marah”.

“Demi Allah. Yem, berat hatiku hendak meninggalkan engkau”, kata Leman pula, sedang kepalanya masih ditangkupkannya diatas haribaan Poniem. Dengan perlahan-lahan kepala itu diangkat oleh Poniem, disekanya air mata suaminya dengan ujung selendangnya, lalu diperbaikinya letak baju suaminya dan ujarnya : “Berangkatlah sekarang ! Habisilah perasaan itu abang. Jangan diperkesankan dimuka orang banyak. Tersenyumlah, tertawalah ! Cuma sebuah permintaan ku abang….., abang !” Tiba-tiba air matanya jatuh dan tangisnya menjadi pula.

“Secinta-cinta abang kepada istri muda abang, namun aku jangan abang ceraikan”.

“Sama-sama kita serahkan kepada Tuhan, Poniem”.

Maka mulailah Leman memakai pakaiannya, dan menukar bajunya yang telah basah oleh air mata, diletakkannya kaca mata berwarna. Setelah selesai sekali lagi dipeluknya istrinya, seakan-akan tidak akan dilepaskannya, dan dia pun pergilah.

Di muka kedainya telah menunggu beberapa orang kawan yang telah sedia mengiringkan. Di sana telah cukup orang menunggu, tuan Qadhi telah bersedia dengan kitab “khutbah nikah” nya, makanan telah terhidang. Di belakang, orang-orang perempuan telah bersedia pula menghiasi kamar dan memakaikan pakaian yang indah-indah keatas diri Mariatun. Gadis itu tahu goncangan apakah yang telah datang kerumah tangga perempuan lain lantaran dia. Dia hanya merasa beruntung karena telah tercapai apa yang di cita-citakannya. Tentu kelak beberapa lama lagi, tangannya akan berlilit dengan gelang emas, lehernya, dan penitinya daripada paun[1] Amerika dan kalau perlu gelang kaki, akan dibanggakannya kehadapan kawan-kawannya dikampung, apabila dia pulang kelak.

Dia menekur-nekur saja, kemalu-maluan. Ketika mamaknya pergi kebelakang menanyai sukakah dia dinikahkan, karena disuruh oleh tuan Qadhi menanyakan, lama baru dia menjawab. Setelah suruhkan oleh perempuan-perempuan lain menjawabkan “suka”, barulah dijawabnya antara kedengaran dengan tidak.

Leman duduk saja dengan tenang. Qadhi telah melakukan ijab dan kabul, pernikahan telah langsung dan dihidanganpun dimakan orang. 

Beberapa saat kemudian, tetamu-tetamu itupun pulanglah kerumah masing-masing dan penganten pun masuk lah ke peraduan.


Baru saja suaminya pergi, Poniem masuk kembali kedalam kamarnya. Di sana dihantamnya menangis sepuas-puasnya. Dia tidur terbaring, kadang-kadang menghadap kekiri dan kadang-kadang menghadap kekanan. Langkah Leman sejak meninggalkan rumah, sampai tiba dirumah Mariatun, sampai mengadakan ijab dan kabul, semuanya itu seakan-akan terdengar ditelinganya. Tiap-tiap di ingatnya, air mata pun timbul kembali. Bertambah larutnya malam, bertambah matanya nyalang. Seperti terbayang diruang matanya bagaimana pertemuan suaminya dengan Mariatun, bagaimana perjumpaan dan tutur katanya. Segala keadaan ketika mula-mula bertemu dimalam pertama dahulu, semuanya sekarang terbayang. Tentu tegur sapa, bujuk cumbu, pergelutan malam pertama dan perangai-perangai yang lain. Yang dahulu pernah dilakukan suaminya terhadap dirinya, sekarang ini dilakukannya pula kepada istri mudanya.

“Ya Allah, Ya Rabbi !” teringat olehnya itu, terlengking pula dia kembali menangis, sedu sedannya terdengar oleh orang sebelah menyebelah, kedengaran pula oleh Suyono dan dua orang temannya yang tidur didapur.
Sudah berkokok ayam tanda hari akan siang, barulah matanya terlayan-layan hendak tidur tetapi sedu sedannya belum juga berhenti.

Demikianlah yang di derita oleh perempuan itu, dan tanyailah tiap-tiap istri yang dipermadukan, bahwa demikianlah yang teringat pada hari pertama dari perkawinan suaminya dengan istrinya yang baru.

Benar jugalah perkataan Bagindo Kayo dahulu. Kalau hendak beristri seorang lagi, janganlah diperdulikan itu, jangan diperiksai perasaan orang perempuan, pandang saja dia tidak manusia, tidak ada perasaan, dengan demikian akan berlangsunglah angan-angan kita laki-laki. Toh kita laki-laki, hendaklah kita mesti langsung, terbujur lalu terbelintang patah.

--==ooO0Ooo==--



[1] pa·un n cak 1 satuan mata uang Inggris (pound); 2 uang ringgit emas (untuk perhiasan, bandul kalung, dsb)

Template by:

Free Blog Templates