
JAKARTA (voa-islam.com) -
Keresahan umat sebagai dampak putusan MK RI No. 46/PUU-VIII/2010
tentang anak-anak di luar perkawinan direspon MUI dengan mengeluarkan
fatwa mengenai “Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakukan Terhadapnya.”
Fatwa tersebut menepis berbagai syubuhat
(kerancuan) di tengah umat Islam dan menyatakan dengan tegas kedudukan
anak hasil zina dalam Islam, sehingga tak perlu ragu lagi berpegang
terhadap aturan syari'at Islam yang telah ditetapkan oleh Allah dan
bukan aturan yang lain yang dibuat manusia.
Agar dapat dibaca dan diakses oleh umat
Islam seluas-luasnya maka redaksi voa-islam.com memuat fatwa tersebut.
Berikut ini kutipan lengkap fatwa MUI berkaitan dengan anak hasil zina
yang dikeluarkan Sabtu (10/3/2012).
FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 11 Tahun 2012
Tentang
KEDUDUKAN ANAK HASIL ZINA DAN PERLAKUAN TERHADAPNYA
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :
MENIMBANG:
a. bahwa dalam Islam, anak terlahir
dalam kondisi suci dan tidak membawa dosa turunan, sekalipun ia
terlahir sebagai hasil zina;
b. bahwa dalam realitas di masyarakat,
anak hasil zina seringkali terlantar karena laki-laki yang menyebabkan
kelahirannya tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasarnya,
serta seringkali anak dianggap sebagai anak haram dan terdiskriminasi
karena dalam akte kelahiran hanya dinisbatkan kepada ibu;
c. bahwa terhadap masalah tersebut,
Mahkamah Konsitusi dengan pertimbangan memberikan perlindungan kepada
anak dan memberikan hukuman atas laki-laki yang menyebabkan kelahirannya
untuk bertanggung jawab, menetapkan putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
yang pada intinya mengatur kedudukan anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya;
d. bahwa terhadap putusan tersebut,
muncul pertanyaan dari masyarakat mengenai kedudukan anak hasil zina,
terutama terkait dengan hubungan nasab, waris, dan wali nikah dari anak
hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya menurut hukum
Islam;
e. bahwa oleh karena itu dipandang perlu
menetapkan fatwa tentang kedudukan anak hasil zina dan perlakuan
terhadapnya guna dijadikan pedoman.
MENGINGAT:
1. Firman Allah SWT:
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa. (QS. Al-Furqan : 54).
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan
yang buruk “ (QS. Al-Isra : 32).
وَالَّذِينَ
لاَ يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلاَ يَقْتُلُونَ النَّفْسَ
الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلاَ يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ
ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً
“Dan orang-orang yang tidak
menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan
tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya
dia mendapat (pembalasan) dosanya, yakni akan dilipat gandakan azab
untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam
keadaan terhina” (QS. Al-Furqan: 68 – 69)
وَمَا
جَعَلَ أَدْعِيَاءكُمْ أَبْنَاءكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ
وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ
ِلأَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا
آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
“Dan Dia tidak menjadikan anak-anak
angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah
perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan (yang benar).
Panggilah mereka (anak-anak angkat
itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil
pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka
(panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu. (QS. Al-Ahzab: 4 – 5).
وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ
“.... (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu) “ (QS. Al-Nisa: 23).
d. Firman Allah yang menegaskan bahwa
seseorang itu tidak memikul dosa orang lain, demikian juga anak hasil
zina tidak memikul dosa pezina, sebagaimana firman-Nya:
وَلاَ
تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ
أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ
فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Dan tidaklah seorang membuat dosa
melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain526. Kemudian kepada
Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu
perselisihkan. (QS. Al-An’am : 164)
وَلاَ
تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ
فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ
الصُّدُورِ
“Dan seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia
memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia
Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu. (QS. Al-Zumar: 7)
2. Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
a. hadis yang menerangkan bahwa anak
itu dinasabkan kepada pemilik kasur/suami dari perempuan yang
melahirkan (firasy), sementara pezina harus diberi hukuman, antara
lain:
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ اخْتَصَمَ سَعْدُ
بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ فِي غُلَامٍ فَقَالَ سَعْدٌ
هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ أَخِي عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ
عَهِدَ إِلَيَّ أَنَّهُ ابْنُهُ انْظُرْ إِلَى شَبَهِهِ وَقَالَ عَبْدُ
بْنُ زَمْعَةَ هَذَا أَخِي يَا رَسُولَ اللَّهِ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ
أَبِي مِنْ وَلِيدَتِهِ فَنَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِلَى شَبَهِهِ فَرَأَى شَبَهًا بَيِّنًا بِعُتْبَةَ فَقَالَ
هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ
الْحَجَرُ وَاحْتَجِبِي مِنْهُ يَا سَوْدَةُ بِنْتَ زَمْعَةَ قَالَتْ
فَلَمْ يَرَ سَوْدَةَ قَطُّ. رواه البخارى ومسلم
Dari ‘Aisyah ra bahwasanya ia
berkata: Sa’d ibn Abi Waqqash dan Abd ibn Zam’ah berebut terhadap
seorang anak lantas Sa’d berkata: Wahai Rasulallah, anak ini adalah anak
saudara saya ‘Utbah ibn Abi Waqqash dia sampaikan ke saya bahwasanya
ia adalah anaknya, lihatlah kemiripannya. ‘Abd ibn Zum’ah juga berkata:
“Anak ini saudaraku wahai Rasulullah, ia terlahir dari pemilik kasur
(firasy) ayahku dari ibunya. Lantas Rasulullah saw melihat rupa anak
tersebut dan beliau melihat keserupaan yang jelas dengan ‘Utbah, lalu
Rasul bersabda: “Anak ini saudaramu wahai ‘Abd ibn Zum’ah. Anak itu
adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy)
dan bagi pezina adalah (dihukum) batu, dan berhijablah darinya wahai
Saudah Binti Zam’ah. Aisyah berkata: ia tidak pernah melihat Saudah sama
sekali. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
عن عمرو
بن شعيب عن أبيه عن جده قال: قام رجل فقال: يا رسول الله، إن فلانًا ابني،
عَاهَرْتُ بأمه في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا دعوة
في الإسلام، ذهب أمر الجاهلية، الولد للفراش، وللعاهر الحجر. رواه أبو
داود
“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari
ayahnya dari kakeknya ia berkata: seseorang berkata: Ya rasulallah,
sesungguhnya si fulan itu anak saya, saya menzinai ibunya ketika masih
masa jahiliyyah, rasulullah saw pun bersabda: “tidak ada pengakuan anak
dalam Islam, telah lewat urusan di masa jahiliyyah. Anak itu adalah
bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan
bagi pezina adalah batu (dihukum)” (HR. Abu Dawud)
b. hadis yang menerangkan bahwa anak hazil zina dinasabkan kepada ibunya, antara lain:
قال النبي صلى الله عليه وسلم في ولد الزنا " لأهل أمه من كانوا" . رواه أبو داود
Nabi saw bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya ...” (HR. Abu Dawud)
c. hadis yang menerangkan tidak adanya
hubungan kewarisan antara anak hasil zina dengan lelaki yang
mengakibatkan kelahirannya, antara lain:
عن
عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "
أيما رجل عاهر بحرة أو أمة فالولد ولد زنا ، لا يرث ولا يورث " رواه
الترمذى - سنن الترمذى 1717
“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari
ayahnya dari kakeknya bahwa rasulullah saw bersabda: Setiap orang yang
menzinai perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah anak
hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan“. (HR. Al-Turmudzi)
d. hadis yang menerangkan larangan berzina, antara lain:
عن
أبي مرزوق رَضِيَ اللَّهُ عَنْه قال غزونا مع رويفع بن ثابت
الأنصاري قرية من قرى المغرب يقال لها جربة فقام فينا خطيبا
فقال أيها الناس إني لا أقول فيكم إلا ما سمعت رسول الله صلى الله عليه
وسلم يقول قام فينا يوم حنين فقال لا يحل لامرئ يؤمن بالله
واليوم الآخر أن يسقي ماءه زرع غيره . أخرجه الإمام أحمد و أبو داود
Dari Abi Marzuq ra ia
berkata: Kami bersama Ruwaifi’ ibn Tsabit berperang di Jarbah, sebuah
desa di daerah Maghrib, lantas ia berpidato: “Wahai manusia, saya
sampaikan apa yang saya dengar dari rasulullah saw pada saat perang
Hunain seraya berliau bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang
beriman kepada Allah dan rasul-Nya menyirampan air (mani)nya ke tanaman
orang lain (berzina)’ (HR Ahmad dan Abu Dawud)
e. hadis yang menerangkan bahwa anak terlahir di dunia itu dalam keadaan fitrah, tanpa dosa, antara lain:
عن
أبي هريرة رضي الله عنه قال قال النبي صلى الله عليه وسلم كل مولود
يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه . رواه البخارى
ومسلم
Dari Abi Hurairah ra ia berkata:
Nabi saw bersabda: “Setiap anak terlahir dalam kondisi fitrah, kedua
orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau
majusi. (HR al-Bukhari dan Muslim)
3. Ijma’ Ulama, sebagaimana disampaikan
oleh Imam Ibn Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) apabila ada
seseorang berzina dengan perempuan yang memiliki suami, kemudian
melahirkan anak, maka anak tidak dinasabkan kepada lelaki yang
menzinainya, melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan
ketentuan ia tidak menafikan anak tersebut.
وأجمعت
الأمة على ذلك نقلاً عن نبيها صلى الله عليه وسلم، وجعل رسول الله صلى
الله عليه وسلم كل ولد يولد على فراش لرجل لاحقًا به على كل حال، إلا أن
ينفيه بلعان على حكم اللعان
Umat telah ijma’ (bersepakat)
tentang hal itu dengan dasar hadis nabi saw, dan rasul saw menetapkan
setiap anak yang terlahir dari ibu, dan ada suaminya, dinasabkan kepada
ayahnya (suami ibunya), kecuali ia menafikan anak tersebut dengan
li’an, maka hukumnya hukum li’an.
Juga disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab al-Mughni (9/123) sebagai berikut:
وأجمعوا على أنه إذا ولد على فراش رجل فادعاه آخر أنه لا يلحقه
Para Ulama bersepakat (ijma’) atas
anak yang lahir dari ibu, dan ada suaminya, kemudian orang lain mengaku
(menjadi ayahnya), maka tidak dinasabkan kepadanya.
4. Atsar Shahabat, Khalifah ‘Umar ibn
al-Khattab ra berwasiat untuk senantiasa memperlakukan anak hasil zina
dengan baik, sebagaimana ditulis oleh Imam al-Shan’ani dalam
“al-Mushannaf” Bab ‘Itq walad al-zina” hadits nomor 13871.
5. Qaidah Sadd al-Dzari’ah, dengan menutup peluang sekecil apapun terjadinya zina serta akibat hukumnya.
6. Qaidah ushuliyyah :
الأ صل في النهي يقتضي فساد المنهي عنه
“Pada dasarnya, di dalam larangan tentang sesuatu menuntut adanya rusaknya perbuatan yang terlarang tersebut”
لا اجتهاد في مورد النص
“Tidak ada ijtihad di hadapan nash”
7. Qaidah fiqhiyyah :
لِلْوَسَائِلَ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ
“Hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan dituju"
الضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ
“Segala mudharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat mungkin”.
الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.”
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat.
يُتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُّ لِدَفْعِ الضَّرَرِ الْعَامِّ
“Dharar yang bersifat khusus harus ditanggung untuk menghindarkan dharar yang bersifat umum (lebih luas).”
إِذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ أَوْ ضَرَرَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
"Apabila terdapat dua kerusakan atau
bahaya yang saling bertentangan, maka kerusakan atau bahaya yang lebih
besar dihindari dengan jalan melakukan perbuatan yang resiko bahayanya
lebih kecil."
تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصَلَحَةِ
“Kebijakan imam (pemerintah) terhadap rakyatnya didasarkan pada kemaslahatan.”
MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat Jumhur Madzhab Fikih
Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah yang menyatakan
bahwa prinsip penetapan nasab adalah karena adanya hubungan pernikahan
yang sah. Selain karena pernikahan yang sah, maka tidak ada akibat
hukum hubungan nasab, dan dengan demikian anak zina dinasabkan kepada
ibunya, tidak dinasabkan pada lelaki yang menzinai, sebagaimana
termaktub dalam beberapa kutipan berikut:
نقل عن الشافعي أنه قال: لقوله “الولد للفراش” معنيان: أحدهما
هو له مالم ينفه، فإذا نفاه بما شُرع له كاللعان انتفى عنه، والثاني: إذا تنازع رب الفراش والعاهر فالولد لرب الفراش” ثم قال: “وقوله: “وللعاهر الحجر”، أي: للزاني الخيبة والحرمان، والعَهَر بفتحتين: الزنا، وقيل: يختص بالليل، ومعنى الخيبة هنا: حرمان الولد الذي يدعيه، وجرت عادة العرب أن تقول لمن خاب: له الحجر وبفيه الحجر والتراب، ونحو ذلك، وقيل: المراد بالحجر هنا أنه يرجم. قال النووي: وهو ضعيف، لأن الرجم مختصّ بالمحصن، ولأنه لا يلزم من رجمه نفي الولد، والخبر إنما سيق لنفي الولد، وقال السبكي: والأول أشبه بمساق الحديث، لتعم الخيبة كل زان”
هو له مالم ينفه، فإذا نفاه بما شُرع له كاللعان انتفى عنه، والثاني: إذا تنازع رب الفراش والعاهر فالولد لرب الفراش” ثم قال: “وقوله: “وللعاهر الحجر”، أي: للزاني الخيبة والحرمان، والعَهَر بفتحتين: الزنا، وقيل: يختص بالليل، ومعنى الخيبة هنا: حرمان الولد الذي يدعيه، وجرت عادة العرب أن تقول لمن خاب: له الحجر وبفيه الحجر والتراب، ونحو ذلك، وقيل: المراد بالحجر هنا أنه يرجم. قال النووي: وهو ضعيف، لأن الرجم مختصّ بالمحصن، ولأنه لا يلزم من رجمه نفي الولد، والخبر إنما سيق لنفي الولد، وقال السبكي: والأول أشبه بمساق الحديث، لتعم الخيبة كل زان”
Diriwayatkan dari Imam Syafe’i dua pengertian tentang makna dari hadist “ Anak itu menjadi hak pemillik kasur/suami “ .
Pertama : Anak menjadi hak pemilik
kasur/suami selama ia tidak menafikan/mengingkarinya. Apabila pemilik
kasur/suami menafikan anak tersebut (tidak mengakuinya) dengan prosedur
yang diakui keabsahannya dalam syariah, seperti melakukan Li’an, maka
anak tersebut dinyatakan bukan sebagai anaknya.
Kedua : Apabila bersengketa (terkait
kepemilikan anak) antara pemilik kasur/suami dengan laki-laki yang
menzinai istri/budak wanitanya, maka anak tersebut menjadi hak pemilik
kasur/suami.
Adapun maksud dari “ Bagi Pezina
adalah Batu “ bahwa laki-laki pezina itu keterhalangan dan
keputus-asaan. Maksud dari kata Al-‘AHAR dengan menggunakan dua fathah
(pada huruf ‘ain dan ha’) adalah zina. Ada yang berpendapat bahwa kata
tersebut digunakan untuk perzinaan yang dilakukan pada malam hari.
Oleh karenanya, makna dari
keptus-asaan disini adalah bahwa laki-laki pezina tersebut tidak
mendapatkan hak nasab atas anak yang dilahirkan dari perzinaannya.
Pemilihan kata keputus-asaan di sini sesuai dengan tradisi bangsa arab
yang menyatakan “Baginya ada batu” atau : Di mulutnya ada batu” buat
orang yang telah berputus asa dari harapan.
Ada yang berpendapat bahwa
pengertian dari batu di sini adalah hukuman rajam. Imam Nawawi
menyatakan bahwa pendapat tersebut adalah lemah, karena hukuman rajam
hanya diperuntukkan buat pezina yang mukhsan (sudah menikah). Di sisi
yang lain, hadist ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan hokum rajam,
tapi dimaksudkan untuk sekedar menafikan hak anak atas pezina tersebut.
Oleh karena itu Imam Subki menyatakan bahwa pendapat yang pertama itu
lebih sesuai dengan redaksi hadist tersebut, karena dapat menyatakan
secara umum bahwa keputus-asaan (dari mendapatkan hak anak) mencakup
seluruh kelompok pezina (mukhsan atau bukan mukhsan).
b. Pendapat Imam al-Sayyid al-Bakry dalam kitab “I’anatu al-Thalibin” juz 2 halaman 128 sebagai berikut:
ولد الزنا لا ينسب لأب وإنما ينسب لأمه
Anak zina itu tidak dinasabkan kepada ayah, ia hanya dinasabkan kepada ibunya.
والولد يلحق بالمرأة إذا زنت و حملت به ولا يلحق بالرجل
Anak itu dinasabkan kepada ibunya jika ibunya berzina dan kemudian mengandungnya, dan tidak dinasabkan kepada lelaki.
وَيَرِثُ
وَلَدُ الزِّنَا وَاللِّعَانِ مِنْ جِهَةِ الأمِّ فَقَطْ ؛ لأنَّ
نَسَبَهُ مِنْ جِهَةِ الأبِ مُنْقَطِعٌ فَلا يَرِثُ بِهِ وَمِنْ جِهَةِ
الأمِّ ثَابِتٌ فَيَرِثُ بِهِ أُمَّهُ وَأُخْتَه مِنْ الأمِّ بِالْفَرْضِ
لا غَيْرُ وَكَذَا تَرِثُهُ أُمُّهُ وَأُخْتُهُ مِنْ أُمِّهِ فَرْضًا لا
غَيْرُ
Anak hasil zina atau li’an hanya
mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, karena nasabnya dari pihak
bapak telah terputus, maka ia tidak mendapatkan hak waris dari pihak
bapak, sementara kejelasan nasabnya hanya melalui pihak ibu, maka ia
memiliki hak waris dari pihak ibu, saudara perempuan seibu dengan fardh
saja (bagian tertentu), demikian pula dengan ibu dan saudara
perempuannya yang seibu, ia mendapatkan bagian fardh (tertentu), tidak
dengan jalan lain.
3. Pendapat Imam Ibn ‘Abidin dalam Kitab “Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar” (Hasyiyah Ibn ‘Abidin) sebagai berikut :
ويرث ولد الزنا واللعان بجهة الأم فقط لما قد مناه فى العصبات أنه لا أب لهما
Anak hasil zina atau li’an hanya
mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, sebagaimana telah kami
jelaskan di bab yang menjelaskan tentang Ashabah, karena anak hasil zina
tidaklah memiliki bapak.
وَاخْتَلَفَ
الْعُلَمَاءُ فِي اسْتِلْحَاقِ وَلَدِ الزِّنَا إذَا لَمْ يَكُنْ
فِرَاشًا ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ .كَمَا ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ { صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ أَلْحَقَ ابْنَ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ
بْنِ الْأَسْوَدِ بْنِ زَمْعَةَ بْنِ الْأَسْوَدِ ، وَكَانَ قَدْ
أَحْبَلَهَا عُتْبَةُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ ، فَاخْتَصَمَ فِيهِ سَعْدٌ
وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ ، فَقَالَ سَعْدٌ : ابْنُ أَخِي .عَهِدَ إلَيَّ
أَنَّ ابْنَ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ هَذَا ابْنِي . فَقَالَ عَبْدٌ : أَخِي
وَابْنُ وَلِيدَةِ أَبِي ؛ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِي . فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هُوَ لَك يَا عَبْدُ بْنُ
زَمْعَةَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ ؛ احْتَجِبِي
مِنْهُ يَا سَوْدَةُ } لَمَّا رَأَى مِنْ شَبَهِهِ الْبَيِّنِ بِعُتْبَةَ ،
فَجَعَلَهُ أَخَاهَا فِي الْمِيرَاثِ دُونَ الْحُرْمَةِ
Para ulama berbeda pendapat terkait
istilkhaq (penisbatan) anak hasil zina apabila si wanita tidak memiki
pemilik kasur/suami atau sayyid (bagi budak wanita). Diriwatkan dalam
hadist bahwa Rasulullah SAW menisbatkan anak budak wanita Zam’ah ibn
Aswad kepadanya (Zam’ah), padahal yang menghamili budak wanita tersebut
adalah Uthbah ibn Abi Waqqosh. Sementara itu, Sa’ad menyatakan : anak
dari budak wanita tersebut adalah anak saudaraku (Uthbah), dan aku
(kata sa’ad) ditugaskan untuk merawatnya seperti anakku sendiri”. Abd
ibn Zam’ah membantah dengan berkata : “anak itu adalah saudaraku dan
anak dari budak wanita ayahku, ia dilahirkan di atas ranjang ayahku”.
Rasulullah SAW bersabda: “anak itu menjadi milikmu wahai Abd ibn
Zam’ah, anak itu menjadi hak pemilik kasur dan bagi pezina adalah batu”,
kemudian Rasulullah bersabda : “Berhijablah engkau wahai Saudah
(Saudah binti Zam’ah – Istri Rasulullah SAW)”, karena beliau melihat
kemiripan anak tersebut dengan Utbah, maka beliau menjadikan anak
tersebut saudara Saudah binti Zam’ah dalam hal hak waris, dan tidak
menjadikannya sebagai mahram.
5. Pendapat Dr. Wahbah al-Zuhaili dengan
judul “Ahkam al-Aulad al-Natijin ‘an al-Zina” yang disampaikan pada
Daurah ke-20 Majma’ Fiqh Islami di Makkah pada 25 – 29 Desember 2010
yang pada intinya menerangkan bahwa, jika ada seseorang laki-laki
berzina dengan perempuan yang memiliki suami dan kemudian melahirkan
anak, terdapat ijma ulama, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn Abdil
Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) yang menegaskan bahwa anak tersebut tidak
dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, melainkan kepada suami dari
ibunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak menafikan anak tersebut
melalui li’an. Sementara, jika ia berzina dengan perempuan yang
tidak sedang terikat pernikahan dan melahirkan seorang anak, maka
menurut jumhur ulama madzhab delapan, anak tersebut hanya dinasabkan ke
ibunya sekalipun ada pengakuan dari laki-laki yang menzinainya. Hal ini
karena penasaban anak kepada lelaki yang pezina akan mendorong
terbukanya pintu zina, padahal kita diperintahkan untuk menutup pintu
yang mengantarkan pada keharaman (sadd al-dzari’ah) dalam rangka menjaga
kesucian nasab dari perlikau munkarat.
6. Pendapat, saran, dan masukan yang
berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa pada Rapat-Rapat Komisi Fatwa pada
tanggal 3, 8, dan 10 Maret 2011.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN: FATWA TENTANG ANAK HASIL ZINA DAN PERLAKUAN TERHADAPNYA
Pertama: Ketentuan Umum
- Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).
- Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash
- Ta’zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang menetapkan hukuman).
- Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.
Kedua: Ketentuan Hukum
2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya
4. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk:
a. mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut;
b. memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
6. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5
bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara
anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
Ketiga: Rekomendasi
1. DPR-RI dan Pemerintah diminta untuk segera menyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur:
a. hukuman berat terhadap pelaku perzinaan yang dapat berfungsi sebagai zawajir dan mawani’ (membuat pelaku menjadi jera dan orang yang belum melakukan menjadi takut untuk melakukannya);
b. memasukkan zina sebagai delik umum, bukan delik aduan karena zina merupakan kejahatan yang menodai martabat luhur manusia.
2. Pemerintah wajib mencegah terjadinya perzinaan disertai dengan penegakan hukum yang keras dan tegas.
3. Pemerintah wajib melindungi anak
hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran, terutama dengan
memberikan hukuman kepada laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
4. Pemerintah diminta untuk memberikan
kemudahan layanan akte kelahiran kepada anak hasil zina, tetapi tidak
menasabkannya kepada lelaki yang menngakibatkan kelahirannya.
5. Pemerintah wajib mengedukasi
masyarakat untuk tidak mendiskriminasi anak hasil zina dengan
memperlakukannya sebagaimana anak yang lain. Penetapan nasab anak hasil
zina kepada ibu dimaksudkan untuk melindungi nasab anak dan ketentuan
keagamaan lain yang terkait, bukan sebagai bentuk diskriminasi.
Keempat: Ketentuan Penutup
- Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di ke mudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
- Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal:18 Rabi’ul Akhir1433 H
10 M a r e t 2012 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA
Sekretaris
DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA