KEHANCURAN NILAI LOKAL MINANGKABAU

CERMIN TIDAK SERIUSNYA PEMERINTAH MENJAGA KEBHINEKAAN
Dengan mengutip pendapat Margaret Mead dalam Cultural Patterns and technical change (UNESCO, 1954), Prof. Taliziduhu Ndraha menukilkan ide tentang pentingnya sstem nilai sentral dari pembangunan sebuah nation bernama Indonesia. Diungkapkan Mead bahwa “a change in any part of the culture will be accompanied by changes in any other parts, and that only by relating any planned detail of change to the central values of the culture is it possible to provide for the repercussions which will occur in opther aspects of life.” Dari pendapat Mead kita pahami bahwa suatu perubahan dalam setiap bagian dari budaya akan diikuti oleh perubahan pada setiap bagian lainnya, dan bahwa hanya melalui hubungan setiap detail terencana dari perubahan untuk nilai-nilai sentral budaya adalah mungkin bagi tersedianya akibat yang akan hadir dalam aspek-aspek kehidupan yang lain.

Pendapat Mead di atas, dalam kenyataannya, justru bertolak belakang dengan apa yang dapat ditemui dalam praktek kehidupan kebhinekaan di Indonesia. Dalam kasus kehancuran nilai adat nagari di Minangkabau, dapat dilihat bahwa upaya Indonesia untuk menciptakan sistem nilai simetris dengan upaya menghancurkan nilai lokal. Pemerintah seakan tidak pernah memiliki platform proyek perubahan nilai menuju nilai-nilai sentral. Suatu kondisi yang mengkhawatirkan bagi konteks pembangunan kebhinekaan Indonesia. Komentar paling mungkin dari kondisi ini adalah : pemerintah tidak memiliki niat baik untuk melestarikan nilai-nilai lokal.


Kehancuran Adat Ulayat

Masyarakat adat Minangkabau mengenal dua bentuk kepemilikan komunal yakni harta benda dari garis keluarga matrilineal yang disebut harato pusoko dan perkauman desa yang disebut ulayat.[1] Pada implikasinya yang luas, kedua bentuk kepemilikan ini membawa pengaruh dalam kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan lingkungan masyarakat Minangkabau.

Diskursus tentang harta pusako dan aspek-aspek yang meliputinya akan memperlihatkan kategorial dan konkretisasi hubungan antara pusako yang disatu sisi telah dipengaruhi oleh hukum adat dan hukum islam, dan sisi yang lain keterkaitannya dengan perubahan sosial, pemerintahan serta ekonomi.

Sementara itu ulayat tetap memiliki peran yang penting sehubungan kategori bentuk kekayaan sebagaimana diperlihatkan dalam kontinuitas dan diskontinuitas hak-hak atas kekayaan itu sendiri.

Pada musim pertengahan tahun 2002, para petani, nelayan dan mahasiswa lokal memprotes keputusan pemerintah daerah Sumatera Barat mengatur tanah ulayat. Protes itu berhubungan dengan dua hal. Pertama, implikasi dari pegaturan desa dalam undang-undang pemerintahan yang baru dimana secara langsung masyarakat memiliki hak untuk mengatur kembali hak-hak asli mereka yang selama waktu lama direbut negara dalam pengaturan yang seragam. Kedua, masyarakat desa merasa perlu untuk melindungi kembali sumber daya dan kekayaan alam khususnya ladang padi, satu dari bentuk kepemilikan kekayaan yang diwariskan secara turun-temurun dalam garis matrilianial.

Karakterisitik kepemilikan kekayaan masyarakat Minangkabau menjadi rumit manakala terjadi perbedaan sekaligus campuran hak-hak warisan yang bersifat individual dan kelompok. Adat matrilineal mengatur hal ini. Namun sejak abad ke-16, masuknya Islam telah menjadi suatu bentuk tekanan yang efektif terhadap konstruksi pembagian kekayaan masyarakat Minangkabau.

Pada kerumitan-kerumitan semacam itulah, konstruksi pewarisan kekayaan masyarakat Minangkabau dipetakan. Pewarisan seringkali merupakan masalah masyarkat yang semula bersifat kelompok namun kemudian dapat berakhir pada sifatnya yang komunal. Salah satu dari model pewarisan kekayaan yang rumit itu adalah pewarisan tanah masyarakat Minangkabau yang seringkali berakhir dengan sengketa.

Orang Minangkabau pada umumnya hidup dalam hubungan kekeluargaan matrilineal yang luas. Mereka menerima garis marga dan pewarisan dari lingkungan keluarga perempuan atau ibu. Masyarakat Minangkabau hidup dalam desa-desa yang relatif otonom yang disebut nagari dengan tanah desa yang bersifat umum didasari atas hak ulayat.

Otonomi masyarakat Minangkabau , sebagaimana diungkapkan von Benda-Beckmann yang mengutip pendapat Schrieke, terorganisir dalam tipe masyarakat otonom republik di Romawi kuno atau Polis di Athena (Yunani kuno). Masyarakat mereka terorganisir secara baik dalam lingkar-lingkar kekuasaan keluarga matrilineal dengan patronase dan personifikasi seorang pemimpin yang disebut penghulu.

Para pemimpin keluarga berhimpun dalam suatu dewan dimana hak-hak dan peran tiap mereka ditemukan dan didefinisikan sebagai pemerintahan desa. Dalam tradisi hukum adat, hubungan-hubungan antar anggota masyarakat Minangkabau diatur sebagai unit sosial, politik, dan ekonomi.

Orang Minang amat menghormati adat mereka. Perasaan bahwa mereka berasal dari satu rahim yang sama tercermin dalam putusan-putusan keluarga dan masyarakat. Mereka tunduk pada satu pemimpin puncak dalam keluarga. Seperti halnya mereka juga tunduk pada satu hukum waris yang disebut harato pusako.

Tetapi deferensiasi kesatuan eksternal dan internal seringkali mengganggu bentuk adat Minangkabau. Kategori kekayaan material orang Minangkabau ditunjukan oleh kepemilikan harta benda - hal yang terpenting dari garis hubungan antar kepala keluarga – khususnya kepemilikan sawah, pakaian dan permata. Kategori semacam ini sekarang bergeser manakala uang menjadi indikator lain dari bentuk kekayaan masyarakat modern. Para tetua desa dapat memiliki sawah, pakaian dan permata, tapi masyarakat lain memiliki uang dari pergerakan ekonomi Minangkabau yang berjalan pesat.

Deferensiasi visi ekonomi semacam ini pada gilirannya mempengaruhi peran budaya dan kebiasaan orang Minangkabau. Para tua-tua dapat mengambl putusan adat menurut norma budaya yang berlaku, tetapi bersamaan dengan itu, fungsi-fungsi uang mulai menggeser dan mengancam peran mereka.

Pada bagian yang lebih sederhana, namun sekaligus rumit, dapat ditemui bahwa pengalihan hak-hak tanah dalam sistem ekonomi Minangkabau sekarang tunduk hukum kapital yang mengedepankan uang. Orang-orang Minangkabau yang memiliki banyak uang membeli tanah sawah dengan perhitungan ekonomi kapital juga. Pada akhirnya, posisi hukum adat, dan juga tokoh adat mengalami marginalisasi peran. Jika semula, para pemuka adat didengar keputusannya dalam konteks pewarisan dan jual beli, sekarang orang Minangkabau mendengar juga ulasan para broker[2] yang berperan dominan dalam transaksi tanah.

Pergeseran peran semacam ini telah menimbulkan banyak masalah dalam hubungan sosial dan ekonomi masyarakat Minangkabau. Pada tingkat pertama, persoalan-persoalan pemindahan hak milik tidak lagi dilakukan dalam jalur hukum adat. Pada tingkat selanjutnya, pemindahan hak milik menimbulkan persoalan yang tidak dapat diakomodir dalam koridor hukum adat.

Bergeser dari posisinya sebagai persoalan kelompok dan memasuki ranah komunal, sengketa tanah di Minangkabau seringkali menyembulkan fakta bahwa lembaga-lembaga dan hukum adat tidak lagi sanggup untuk menangani semua persoalan di tataran praktis ekonomi, sosial dan politik orang Minangkabau dewasa ini. Fenomena menyisipnya gejala tindak kejahatan ekonomi dalam kasus jual beli tanah tidak dapat tidak hanya bisa ditangani dari perspektif hukum positif. Ada banyak gejala dimana praktek yang umum berlaku di pasar kapital tidak menemui tempat dalam praktek keseharian budaya masyarakat adat Minangkabau. Lemahnya kontrol kepala adat dan kepala desa terhadap pengawasan hak Ulayat dapat dengan mudah terjadi pada saat transaksi hak guna tanah dan proses tukar guling.

Pada transaksi hak guna tanah, hak-hak pengguna tanah dibatasi oleh aturan adat yang tidak membolehkan mereka mengelola sebagian sumber daya yang ditafsirkan memiliki nilai adat semisal mengalihkan fungsi tanah sawah menjadi tanah untuk keperluan properti. Sengketa dapat terjadi karena pengguna merasa memiliki hak untuk mendayagunakan tanah selama kurun waktu perjanjian hak guna. Sementara dalam proses tukar guling, sumber daya tanah seringkali dipermasalahkan manakala tanah secara otomatis berubah kepemlikannya dalam koridor kapital.

Perubahan Tanpa Arah

Perselisihan masyarakat menjadi tidak terhindarkan dalam proses alih status kepemilikan semacam itu. Para tua-tua adat akan memanggil pihak-pihak yang berselisih dan mendudukan mereka dalam sidang adat guna menemukan jalan keluar berdasarkan musyawarah dan saling pengertian. Tetapi dalam banyak hal, tidak dapat dipungkiri bahwa melemahnya peran tua-tua adat dibawah kooptasi undang-undang penyelenggaraan pemerintah desa telah melemahkan pula posisi dan wibawa mereka di saat advise dan nasihat mereka dibutuhkan, seperti dalam kasus sengketa tanah semacam ini.

Sejak era kolonial hingga tahun 1983, kontrol lembaga adat dalam negari masih sangat efektif. Tetapi pengaturan negari yang seragam dalam konteks pemerintahan desa[3] telah meletakan fungsinya selaku lembaga sosial tiarap dibawah kooptasi lembaga pemerintah. Bagi masyarakat Minangkabau sendiri, pengaturan yang seragam ini berarti hilangnya kekuasaan elit lokal.

Pada tahun 2003, negari memperoleh kembali kekuatan mereka dalam kultur masyarakat Minangkabau. Tetapi pengaturannya yang lebih mengikuti model struktur pemerintahan telah menyebabkan hilangnya peran negari dan dewan desa dalam hubungannya dengan masalah masyarakat sebagaimana terlihat dalam kasus pertukaran dan pengalihan hak atas tanah.

Campuran bermacam sebab dari persoalan sengketa tanah masyarakat Minangkabau menimbulkan gejala baru. Kekuatan adat Minagkabau semakin melemah. Sebagai gantinya, peran institusi negara seperti pengadilan, polisi, dan aparat pemerintah semakin menguat. Hal ini terutama terlihat dalam persoalan pembagian hak ulayat, yang tidak lain adalah persoalan pembagian harta milik.

Gejala semacam ini menghadirkan dua hipotesis. Pertama, hak-hak pewarisan masyarakat lokal Minangkangbau telah direduksi oleh hukum positif . Kedua, nilai-nilai lokal Minangkabau dalam pewarisan harta benda masyarakat telah surut menuju kepunahan.

Pembuktian hipotesis pertama telah diungkapkan oleh banyak peneliti antropologi yang bekerja sejak masa Indonesia Merdeka, hingga saat ini. Sementara pembuktian atas hipotesis kedua perlahan-lahan tengah diuji oleh proses semakin menguatnya institusi resmi negara mengiringi semakin lemahnya peran institusi lokal. Kehadiran jorong dan nagari dalam masyarakat Minagkabau modern tidak lebih sebagai perpanjangan tangan pemerintah daerah dan bukan sebagai pertanda penguatan institusi lokal. Seiring pemekaran wilayah, mekar pula nagari dan jorong.

Perubahan-perubahan nilai dalam masyarakat Minagkabau, teristimewa berhubungan dengan hak pewarisan mereka pada akhirnya berjalan tanpa arah. Orang Minang dewasa ini menyelesaikan kasus tanah mereka di peradilan negeri, sama seperti masyarakat lainnya yang tidak memiliki hukum pewarisan komunal. Sementara itu, para pemimpin adat minangkabau berperan sebagai stempel negara dengan menerima prinsip-prinsip hukum negara dalam masalah adat. Institusi Ninik-Mamak di nagari tidak lebih dari perpanjangan tangan institusi yang sama yang berkedudukan di ibukota propinsi.

Semuanya, adalah potret dari perubahan tanpa arah masyarakat Minangkabau. Suatu perubahan yang tidak memiliki rencana, selain daripada perubahan apa adanya. Pastinya adalah, budaya Minangkabau tengah menuju pada kehancuran ketika ia hidup dalam tema “tunggal” dari semboyan “bhinekka tunggal ika” negara Indonesia. Orang Minang tidak menemukan prinsip kebhinekaan dalam konteks pembangunan nilai lokalitas mereka manakala mereka menemukan bahwa institusi negara berperan lebih dominan daripada institusi lokal mereka, dan bahwa nilai uniformitas adalah yang utama daripada nilai pluralitas dalam pembangunan Indonesia terkini. Jadi tesis Mead sedang dipraktekan oleh Indonesia, dengan cara terbalik.

*********
Rooy John Salamony/01
Lembaga Studi Budaya Pemerintahan dan Masyarakat




[1] Franz dan Keebet von Benda – Beckmann dalam penelusuran mereka terhadap adat Minangkabau menulis kertas kerja yang diberi judul “Struggles over Communal Property Rights and Law in Minangkabau, West Sumatra sebagai publikasi paling aktual mendapatkan kesimpulan tentang perubahan-perubahan yang terjadi seputar pusako dan ulayat selepas era kejatuhan Suharto.

[2] Istilah ini digunakan oleh masyarakat luas untuk menunjuk peran para perantara dalam kasus jual beli tanah. Para broker biasanya merupakan mereka yang memiliki sejumlah informasi tentang para pembeli potensial. Mereka juga memiliki informasi tentang para penjual potensial. Broker akan mempertemukan penjual dan pembeli tanah dalam suatu pertemuan dimana kesepakatan jual beli dibicarakan tanpa menyinggung nilai nominal tanah yang dijual. Broker adalah satu-satunya pihak yang tahu tentang harga. Para penjual dan pembeli juga tabu untuk membicarakan nilai nominal berikut tawar menawar harga pada saat bertemu. Mereka sepenuhnya percaya pada broker. Dari hasil transaksi, broker akan menerima 2,5 persen dari total nilai jual tanah. Ia juga akan menemui pihak pembeli untuk menerima komisi 2,5 persen dari keuntungan. Setelahnya ia menemui penjual untuk meminta jatah 2,5 persen keuntungan selisih harga. Pada akhirnya, broker menerima 7,5 persen dari proses jual beli tanah.

[3] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa menggariskan pengaturan pemerintah desa secara seragam untuk seluruh desa di Indonesia. Negari sebagai basis masyarakat yang mandiri, melalui aturan pemerintah desa pada akhirnya kehilangan hak dan otonominya. Negari berubah dari unit sosial menjadi unit pemerintahan.
 

Template by:

Free Blog Templates