21 April 2012, Orang-orang kembali
mengenang jasa Raden Adjeng Kartini, perempuan Jawa yang katanya
pelopor kebangkitan perempuan pribumi dari ketertindasan ilmu
pendidikan atau politik. Semua daerah, tak terkecuali Sumbar, berlomba
membuat acara semeriah mungkin untuk mengenang RA Kartini yang memang
lahir 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah.Tidak hanya daerah, media
juga seolah berlomba-lomba untuk mengangkat topik Kartini ke dalam
beritanya. Media televisi misalnya, mendadak menyoroti wanita-wanita
tangguh yang memberikan kontribusi dalam berbagai bidang. Koran tak
luput pula latah mengangkat topik berita utama mayoritas tentang sepak
terjang tokoh wanita.
Tentang Kartini, memang tidak ada yang menyangkal ketenarannya.
Perjuangannya yang ditulis di buku-buku sekolah. Dirawikan di berbagai literature.
Kartini sudah terlanjur tenar dengan segala kesederdahaannya. Namun,
secara tidak langsung, ada yang terlupakan di balik ketenaran Kartini.
Beberapa pahlawan wanita yang tak kalah berjibaku demi bangsa seolah
terlupakan. Jasa mereka seakan dihilangkan. Tidak ada penghormatan
berlebihan. Mereka hanya diingat dan dikenang lewat beberapa patung yang
sengaja didirikan. Lepas dari itu, nihil. Para pahlawan wanita, lupa
dimamah zaman.
Tidak usah jauh-jauh ke tanah Atjeh sana, untuk menyimak luar biasanya
seorang Cut Nyak Dien. Di sini, di negeri Minangkabau ini,banyak
pahlawan perempuan yang terlupakan. Salah satunya, Si singa betina
bernama Siti Manggopoh. Nama perempuan asal Manggopoh ini tidak
bergaung, seperti RA Kartini yang tokoh pahlawan Indonesia. Siti
Manggopoh terlupakan. Banyak yang tidak tahu, siapa dia. Padahal, Siti
Manggopoh adalah pahlawan yang mampu mempertahankan marwah bangsa, adat,
budaya dan agamanya. Salah satu gebrakannya, ketika menenetang Belanda
saat diberlakukannya kebijakan ekonomi pajak uang (belasting). Saat itu, Manggopoh mengambil alih pentas. Maju digaris depan menentang kebijakkan penjajah.
Sekilas tentang jati dirinya. Siti Manggopoh, lahir bulan Mei 1880. Nama
Manggopoh dilekatkan pada dirinya, karena ia terkenal berani maju
dalam perang Manggopoh. Manggopoh itu sendiri merupakan nama negerinya.
Sebagai perempuan Minang, Siti memiliki kebebasan. Ia membangun
dirinya secara fisik dan nonfisik. Ia belajar mengaji, bapasambahan
dan juga persilatan. Inilah kiranya yang menyebabkan Siti berani maju
ke medan perang untuk melawan penjajahan Belanda di negerinya. Sesuatu
yang sangat sulit dicari di anak gadih minang masa kini.
Dari catatan yang ada, meski sebagai seorang tokoh pun, ternyata Siti
pernah mengalami konflik batin ketika akan mengadakan penyerbuan ke
benteng Belanda. Ia mengalami konflik ketika rasa keibuan terhadap
anaknya yang sedang menyusu muncul, padahal di satu sisi, ia merasakan
sebuah panggilan jiwa untuk melepaskan rakyat dari kezaliman Belanda.
Namun, ia segera keluar dari sana dengan memenangkan panggilan jiwanya
untuk membantu rakyat.
Sikap Siti Manggopoh ini dapat dijadikan pedoman dan bukti bahwa kaum
perempuan Minangkabau tidak berbeda kemampuan dan haknya dari kaum
laki-laki. Perjuangan itu pun dicatat di tinta emas. Apa yang dilakukan Siti Manggopoh, adalah kejayaan yang kita rasakan sekarang.
Namun, apa yang didapatkannya (Siti Manggopoh) saat ini? Jawabannya, NOL!
Siti Manggopoh terpinggirkan dari hingar pahlawan dari tanah lain.
Bukan mengotakkan daerah-daerah, saya merasa, pahlawan dari tanah Jawa
lebih dihormati dari daerah lain. Menyangkut bukti, barangkali kita
sama-sama tahu sajalah.
Balik ke semangat ke pahlawanan. Para pahlawan bangsa dengan
keberaniannya telah membuktikan kepada kita bahwa demi bangsa mereka
rela berkorban bukan hanya harta benda saja tetapi juga jiwa dan raga.
Tak terkecuali Siti Manggopoh. Dari catatan yang ada, meski sebagai
seorang tokoh, ternyata Siti pernah mengalami konflik batin ketika akan
mengadakan penyerbuan ke benteng Belanda. Ia mengalami konflik ketika
rasa keibuan terhadap anaknya yang sedang menyusu muncul, padahal di
satu sisi, ia merasakan sebuah panggilan jiwa untuk melepaskan rakyat
dari kezaliman Belanda. Namun, ia segera keluar dari sana dengan
memenangkan panggilan jiwanya untuk membantu rakyat. Barangkali nilai
inilah yang harus dipatrikan dalam dada anak bangsa sebagai penerus
cita-cita para pahlawan.
Begitulah, Siti Manggopoh ada untuk bangsa ini dengan segala
kesederhanaannya. Sudah saatnya, kita juga memperingati hari lahirnya
Siti Manggopoh. Jangan hanya sekadar memikirkan Kartini jika mengenang
pahlawan perempuan. Kita (Minangkabau) punya Siti Manggopoh, yang wajib
dibanggakan. Sekarang, setelah dia pergi, marilah kita mengirimkannya
doa, agar dia tetap tenang di alam sana. Jangan lupakan sedikit jua
kisah ibu kita ini. Jujur, jika diminta untuk memilih, saya lebih
simpati pada Siti Manggopoh dari pada RA Kartini.
Sekadar menutup, marilah kita kembali memecah rasa kebangsaan lewat sebaris sajak Kerawang-Bekasi milik Chairil Anwar. “Kami
cuma tulang-tulang berserakan, Tapi adalah kepunyaanmu. Kaulah lagi
yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan. Ataukah jiwa kami melayang
untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa.
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata. Kaulah sekarang yang
berkata. Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi. Jika dada rasa
hampa dan jam dinding yang berdetak. Kenang, kenanglah kami. (*)
sumber:
Terlahir di Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober
1987, saya hanyalah lelaki biasa yang mencoba menikmati hidup secara
sederhana. Menikmati kesunyian & merasa takut terlalu rama
dikeramaian.
Di sini, saya cuma ingin mengeluarkan sedikit uneg saya, tapi jangan
ragu, saya tentu tidak akan menulis bak seorang pakar dari universitas
berkelas. Apalagi berkomentar panjang lebar seperti politisi dan para
pembesar...