SHOFWAN KARIM
Kongres Kebudayaan Minangkabau (KKM) yang direncanakan 4-5 Agustus
mendatang, kabarnya diundur menjadi 23-25 September. Pengunduruan hal
yang wajar-wajar karena 11 Agustus mulai puasa Ramadhan dan 10 September
bertepatan 1 Syawal hari raya Idul Fitri. Biasalah, pada hari baik
bulan baik itu, jangan ada yang mengurangi kekhidmatan ibadah puasa. Itu
berarti pengunduran ke sekian kalinya, karena jauh sebelum Pilkada
lalu, sebenarnya sudah pula direncanakan untuk dilaksanakan KKM ini.
Soalnya, tafsir politik waktu itu seakan ada yg menghubungkannya dengan
pencalonan seseorang. Karena itu ada pihak yang menganggap belum bulat
untuk digolongkan dan belum picak untuk dilayangkan. Rumor itu kemudian
hilang ditelan waktu.
Tetapi muncul kabar tak sedap. Pengunduran KKM terakhir (mudah-mudahan)
ini menjadi setelah lebaran, adalah karena belum mantapnya panitia
menggelar kongres. Ada pihak yang belum samalero atau cik inan. Biang
yang satu ini tak ada sama sekali hubungannya dengan politik, tetapi
menyangkut kecurigaan tentang substansi draf KKM.
Pertama, ada rumor bahwa KKM akan mendirikan lembaga gabungan antara
syarak dan adat. Lalu LKAAM dan MUI mau diapakan? Bagi yg berfikiran
positif, mungkin bukan soal kelembagaan yang selama ini terkesan
berjalan sendiri-sendiri, sudah tiba waktunya untuk digabungkan,
bagaikan konfederasi.
Di pihak lain ada ketar-ketir sentimen. Di antaranya soal isi dan materi
pembahasan yang ditawarkan. Konon ada upaya melahirkan khittah baru,
menggeser pola garis keturunan, wibawa konseptual, ciri khas
Minangkabau.
Garis keturunan atau silsilah yang berpusat ke perempuan
atau ibu (materlinial line) hendak diubah ke pola garis keturunan
ayah-ibu (parental-plus). Serunya, sampai-sampai di jejaring sosial
on-line facebook ada yang membuat grup dan menulis di dinding (wall
profile): “Tolak KKM”.
Saran saya mari kita ajak yang pro dan kontra KKM merenungkan iyarat
Alquran, S.49: 6 bahwa bagi orang mukmin mesti dilakukan cek-ricek
setiap info yang datang.
Dalam catatan saya, ada tiga peristiwa sejarah Minangkabau dan Islam
yang merupakan pelegaran pemikiran di ranah ini. Ketiganya 1837, 1955
dan 1970. Masih ingat? Setelah bersatunya kaum adat dan agama pasca
Perang Paderi lahirlah (oleh sebagian dianggap mitos) sumpah sati Bukik
Marapalam yang melahirkan ABS-SBK. Bahkan sumpah sati ini ada sumber
yang mengatakan, jauh sebelum Paderi awal abad ke-19, telah ada sejak
pertengahan abad ke16. Artinya konsepsi konvergensi (perpaduan) ABS-SBK
sudah lama sekali tetapi terasa belum utuh dalam kehidupan.
Misalnya soal pembagian harta pusaka. Konon Syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkawy di abad 19-20 vokal memerotes soal harta keturunan yang
diwariskan/dibagi hanya kepada kemenakan, bukan kepada anak.
Ulama Imam Besar Mazhab Syafii di Masjidil Haram Mekkah itu, menurut
pelbagai sumber, tak mau pulang ke Minangakbau karena pranata adat yang
demikian dianggapnya bertentangan dengan Islam, karena dengan cara
pewarisan dari mamak ke kemenakan, sama artinya kemenakan telah memakan
harta anak yatim, putra-putri dari almarhum sang mamak tadi.
Pada 4 atau 5 dekade setelah itu, sekitar tahun 1955, menurut Buya Hamka
di bukunya “Islam dan Adat Minangkabau”, dengan motor penggerak ulama
Syekh Sulaiman al-Rasuli atau Inyiak Canduang, pelegaran pemikiran
(mungkin semacam KKM pula) disimpulkan, harta pusaka tinggi yang berasal
dari keturunan suku tetap diberikan kepada kemenakan (harta musabalah).
Sedangkan harta produk pencarian laki-bini selama perkawinan bila
terjadi kematian salah seorang dari suami-isteri itu, maka dibagi
menurut hukum kewarisan Islam/faraidh, di antaranya kepada anak kandung
pasangan almarhum atau almarhumah tadi.
Kini, di akhir dekade pertama abad ke-21, ada pemikiran lain, seperti
yang kira-kira digagas oleh perancang KKM tadi.
Apakah sistem ABS-SBK
sudah berjalan sebagaimana mestinya?
Ataukah insitusi yang ada harus
diperbarui dan diganti dengan yang baru?
Ataukah semua instusi yang ada
direvitalisasi, tokoh adat dan agama disuntik semangat baru dan
pembagian kerja baru, serta kaum Minang di kampung dan di rantau
direformasi cara berfikir, bertindak dan akhlak kerja serta perilaku
individual, kekerabatan dan sosial disuguhkan alternatif baru?
Ataukah masih ada yang belum paham dengan harta pusaka tinggi kaum yang
dibagi ke menakan dan pusaka rendah kepada anak-pinak?
Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dengan baio-batido antara semua
komponen dan eksponen Minangkabau.
Hanya ada kesan, yang harus dibuang jauh, misalnya ada pihak tertentu
yang menyalahkan ninik-mamak, alim-ulama dan cerdik-pandai yang tinggal
di ranah Minang, dianggap gagal membangun Minangkabau yang ideal. Lalu
tiba-tiba ada pihak lain yang merasa bahwa semuanya harus direformasi,
dan itu harus dilakukan oleh pihak tertentu tadi baik secara langsung
maupun tidak langsung dan mengklaim bahwa gagasan merekalah yang
menjanjikan dan dapat mengobat segala penyakit.
Atau inikah yang disebut basilang kayu dalam tunggu di situ api makonyo
hiduik Pada sisi lain, haruslah dilihat semuanya secara proposional
bahwa niat tulus menyegarkan kembali perpaduan aplikasi Islam dan Adat
Minangkabau, darimanapun datangnya haruslah selalu disambut dengan
keikhlasan dan ketulusan pula. (*)
http://umsb.ac.id/?page=konvergensi_islam_dan_adat_minangkabau