T
|
ELAH dirasai
oleh Leman nikmatnya beristri baru dan masih perawan. Kadang-kadang dia menyesal, mengapa nikmat yang
seindah itu baru sekarang dirasainya. Sudah habis saja mudanya terbuang-buang
selama ini. Apalagi menurut orang-orang yang telah biasa kawin, yang kedua dan
ketiga itu, sekali perkawinan, sepuluh tahun umur surut kebelakang. Yang sukar
hanyalah ketika akan menempuh yang kedua itu, sebab belum pernah. Tetapi
apabila sekali telah dicoba tentu hendak mencoba terus, kawin dan kawin lagi,
dan kalau dapat, tiap-tiap kawin itu hendaklah yang perawan juga, selalu awak
berbaru-baru.
Oleh sebab itu, meskipun diakuinya kasihnya masih lekat pada Poniem,
tetapi telah habis hari-hari yang jatuh dirumah baru, lalu dia pulang kerumah
yang lama, tak obah seperti orang dagang yang kembali dari Jakarta ke
Payakumbuh, dari negeri yang seramai-ramainya pindah kenegeri yang amat
lengang.
Di rumah Mariatun segala baru, di rumah yang tua segalanya using. Sampai
kepada susun tempat tidur, atau pun bantal, semuanya berbeda, semuanya berobah.
Bukan saja itu, senda gurau pun berobah pula. Gelut dan cengkerama dengan istri
yang muda, timbul daripada hati girang, sehingga mau rasanya berbenam saja
ditempat tidur dari pagi hingga petang, sampai malam, karena hendak bergurau,
kalau bukan karena banyaknya pekerjaan yang akan terlantar. Tetapi dirumah yang tua, tidak
bisa dilakukan yang demikian, tidak tergerak hati lagi. Ada juga dicoba-cobanya
memanis-maniskan mulut, bergurau dan bercanda pula. Tentu hal itu bukan timbul
dari hati, melain dipaksa-paksa supaya jangan berkesan benar. Dan meskipun
begitu, tentu Poniem yang telah merasa dirinya orang lama, sudah hampir sepuluh
tahun. Oleh karena demikian tentu saja pergurauan itu tak dapat diteruskan,
sebab menjemukan.
Maka tidaklah heran, disamping hiba kasihan kepada Poniem
itu, timbul jemu apa bila di dalam rumahnya, dan rasa-rasa diungkit hari supaya
lekas siang, agar segera pergi pula kerumah yang muda. Sampai disana, belum
lagi naik keatas rumah, telah di sambut dengan senyum manis, tangan telah
dipegangnya, maklumlah gadis yang baru bersuami.
Sungguh ! Yang begini belum pernah dialaminya selama
ini. Memang kembali muda usainya.
Demikianlah keadaan Leman yang menangis tersedu di atas
keharibaan Poniem ketika akan pergi kawin itu. Bukan pula hal itu berobah
karena dipaksakannya, bukan dibuat-buat, melainkan sudah semestinya demikian.
Apakah dia harus bermenung-menung pula di rumah istri barunya ? Apakah dia
mesti menekur-nekur dan berinsaf-insaf diri apabila telah sampai di sana ?
Padahal hidup yang sedemikian nikmat belum dikenalnya selama ini ? Dan apakah
setiba di rumah istrinya yang tua dia mesti berbuat lebih daripada
kesanggupannya ? Menunjukkan kasih sayang sebagaimana terhadap istrinya yang
muda ? Bukankah perhubungannya selama ini bukan perhubungan gelut dan canda
gurau lagi ? Tetapi telah mulai tua dan telah matang sifatnya, telah berganti
menjadi perhubungan diantara dua sahabat yang sehidup semati, yang sama-sama
telah mendaki bukit dan menuruni lembah ? Bukankah beristri muda ini kesempatan
baginya buat beristirahat, bagi melepaskan kepayahan dan keberatan tanggungan
itu ?
Tidak bisa jadi, tidak mungkin, walaupun air mata darah
yang dikeluarkannya ketika dia akan pergi beristri dahulu. Tidak bisa dia
mengelakkan kejadian yang sebagai sekarang. Pada masa itu dia menangis, sebab
dia belum beroleh obat untuk menimbulkan tertawa. Cuma ada setengah laki-laki
yang bisa berlaku cerdik, tidak kelihatan perobahan hatinya lantaran pandainya
membawakan. Meskipun bagaimana telah jemunya kepada istri yang tua, dan bagaimanapun
tertumpah hatinya kepada istri yang muda, namun giliran pulang dijaganya juga
dengan sebaik-baiknya, jamnya ditentukannya, kesalnya tidak diperlihatkannya,
makanan dienakkannya juga, walaupun pahit bagai rimbang. Tetapi setengah
laki-laki, terutama darah muda yang belum kenal timbangan hidup, mulai saja
istrinya diduainya, haluannyapun berobah dengan segera.
Leman adalah termasuk pada golongan yang pertama. Di
dalam hatinya masih ada sedikit pertimbangan. Dia insaf bahwa kemanisan hidup
bagai madu dengan istri muda itu tidaklah akan lama. Orang sudah tertawa
bahwasanya kemanisan hidup beristri yang mendatangkan senda gurau
selambat-lambatnya hanya tiga bulan. Bangsa Eropa hanya menjangkakan satu
bulan, yang dinamainya bulan madu. Lepas dari waktu yang ditentukan itu,
mulailah kedua suami istri itu masuk kedalam gelanggang hidup, menegakkan suatu
rumah tangga. Ketika itulah kelak berdamai, mempertemukan perangai dan
kebiasaan masing-masing yang selama ini belum begitu dikenal. Diwaktu ombak
besar, disanalah waktunya dapat ditandai, siapakah diantar mereka yang tahan
dan yang tiada lekas mabuk.
Orang yang beristri lebih dari seorang, lepas dari
bahaya itulah dapat diujinya siapakah diantara kedua istrinya itu yang akan
menjadi teman tidur, dan siapa yang akan menjadi teman hidup. Oleh sebab itu
kadang-kadang, setelah bergaul bertahun-tahun, cinta kasih itu tetap juga lekat
pada yang tua, karena yang tua yang tahan, dan yang muda tinggallah sebagai
beban berat, yang kadang-kadang kala suami bukan bangsa peyabar dan suka
mempermurah-murah hidup, diceraikannya istri itu dengan tidak semena-mena.
Tetapi yang terlebih banyak, yang tua lah yang
tercampak, karena daya tariknya lahir batin tak ada lagi, laksana sepah sirih
yang diluahkan dari mulut karena sarinya telah habis.
Leman ada juga mempunyai pertimbangan seperti itu agak
sedikit. Tetapi ada pula tabiatnya yang patut dicela, yaitu dia lekas marah.
Kepada anak-anak gajian yang bekerja dengan dia, kalau ada sesuatu kesalahan
yang dipandangnya merugikan, marahnyapun timbul, mulutnya bertaburan saja
padahal kesalahan itu belum diperiksanya. Kelak setelah marah terlepas, dia
menyesal, apa lagi kalau ternyata kesalahan itu sebenarnya belum patut menerima
hukuman yang seberat itu dan dibalasi dengan kata yang sekasar itu. Orang yang
pelekas marah itu lekas sekali pemaaf dan lekas menyesal. Sebab itu hatinya
baik, padanya tak ada dendam. Dan kalau kena pula jalan penundukkan hatinya,
mudah saja air matanya jatuh.
Poniem telah tahu benar tabiak suaminya ini. Sebab itu,
selama ini jika dia marah, Poniem diam saja, jarang sekali kehendak Leman yang
dibantahnya. Dalam pada itu, Leman lekas percaya kepada orang. Kalau datang
orang meminta bantu, mau dia memberikan barangnya dan uangnya dengan tidak
menyelidiki orang itu terlebih dahulu, Poniem juga yang mempertahankan supaya
jangan sampai suaminya menanggung kerugian.
Sejak beristri muda, telah habis masa sebulan,
perhatiannya terhadap perniagaan agak kurang. Tetapi Poniem tidak dapat
berterus terang sebagai dahulu lagi. Keadaan itu sudah mesti berobah, sudah
banyak hal-hal yang mesti difikirkannya dan ditanggungnya pula. Dizaman yang
sudah-sudah lambat suaminya akan bangun, segera dibangunkannya. Lalai suaminya
menegur orang-orang yang dilepas pergi berniaga ke kebun-kebun, mencocokkan
barang-barang yang laku dengan pembayaran kembali (setoran) menurut bunyi
faktur, Poniem yang memberi ingat. Sekarang dia sudah agak engan. Kalau
suaminya terlambat datang dari rumah Mariatun, mukanya manis juga, nasi
dihidangkannya, kopi secangkir penuh, buatannya sendiri, kue-kue, sabun mandi,
semuanya tersedia dan dia tidak mau menanyakan, apa sebab terlambat, dan apa
sebab perniagaan kurang diperhatikan. Takut dia, suaminya akan salah terima
kepadanya. Hanya akan dinantikannya pada suatu-suatu yang baik, sedang hati
suaminya terbuka.
Syukur juga ada Suyono, orang gajian yang setia itu.
Meskipun majikkannya kurang giat bekerja, dialah yang sekarang lebih giat,
sehingga langganan-langganan dikebun, bayaran bulanan dan bayaran kontan,
menerima juga dengan baik. Cuma bayaran kepada toko yang di Medan yang agak
kurang lancar pada bulan itu. Ketika dia disuruh oleh Leman mengantarkan
bayaran habis bulan, dia telah disindir, panjang pula pertanyaan tuan toko
orang Arab itu, apa sebab maka kurang bayaran sudah dua kali.
Telah habis hari sebulan, dua bulan dan telah masuk
dibulan ketiga, bayaran ke toko tidak sebanyak yang dahulu lagi. Sebab orang
toko pun tidak sebanyak dahulu pula lagi memberikan barang, sehingga kedai agak
sepi sedikit. Kotak-kotak yang bersusun di atas lemari, adalah kotak-kotak
kosong yang disusun oleh Suyono dengan bijaksana, sehingga tidak kelihatan
kekurangan itu.
Tanggal sepuluh datanglah tagihan sewa rumah untuk
bayaran rumah Mariatun, karena bulan yang dahulu pun belum dibayar pula. Dengan
heran tercengang Leman menanyai Suyono apa sebab uang di dalam kotak tidak
banyak lagi. Dengan hormat sambil membongkokkan punggungnya Suyono menerangkan
herannya pula. Sebab pembayaran dari langganan-langganan sekali-kali tidak
berkurang. Orang-orang yang menerima amanat menyetor dengan baik. Cuma
pembayaran kepada toko yang telah agak kurang lancar telah dua bulan.
Mendengarkan itu mata Leman bertambah terbeliak. Dilihatnya Suyono
tenang-tenang dan dilihatnya pula Poniem dia seakan-akan tidak percaya.
“Saya heran, saya tidak percaya !”
Selama ini Poniem cukup sabar, karena sabar itulah alat
yang paling baik bagi seorang perempuan apabila suaminya telah beristri pula
lagi. Terutama bagi dirinya sendiri. Dia insaf kalau dia tidak sabar, dia bisa
terbuang buruk saja. Tetapi yang sekali ini, karena ucapan yang demikian belum
pernah dihadapkan kepadanya walaupun bagaimana marah suaminya, apalagi telah
bertindih-tindih pula perasaan yang telah lama terkurung, tersirat juga
darahnya mendengarkan perkataan : “Tidak percaya” itu.
“Apa yang abang maksudkan dengan perkataan “tidak
percaya ?” tanya Poniem dengan tersenyum, tetapi pahit. Mendengar pertanyaan
itu Leman insaf akan kesalahan perkataannya. Tetapi dia tidak mau mundur lagi.
Kalau yang sudah-sudah lekas dia mundur kena sanggahan Poniem, ini keadaan
telah berlain. Sebab itu dijawabnya pula dengan perkataan yang agak keras :
“Saya kurang percaya apa sebab maka demikian, apa sebab pembayaran ke toko
tidak penuh dan sewa rumah tidak akan terbayar, kalau memang bayaran langganan
dan setoran orang dagangan penuh juga. Hal ini nanti kita periksa dengan
teliti. Nanti malam kita hitung barang-barang dan kita reken perniagaan kita”.
“Itu memang patut” ujar Poniem.
Suyono berdiri saja dengan hormatnya.
Pada malamnya dijalankanlah sepanjang perintah Leman
itu. Poniem memasakkan kopi di belakang bersama dengan kue-kuenya. Leman
menurunkan kotak-kotak yang telah kosong dari atas lemari. Dia tercengang
karena kosong.
“Ai, kotak-kotak ini pun telah kosong”. Ujarnya sambil
melihat kepada Suyono dengan muka yang penuh mengandung soal. Bekas kuli
kontrak yang setia itu diam saja. Sepatah dia tidak menyahut. Dia hanya asik
menurunkan barang-barang yang bersusun di dalam lemari. Setelah siap diturunkan
semuanya, ditolong oleh seorang anak gajian yang lain, dimulailah menghitung
dengan seksama. Dimulai sejak pukul tujuh malam, hampir pukul satu malam baru
selesai penghitungan itu. Kedapatan bahwa penjualan beres, pemenerimaan piutang
teratur dan tidak ada terjadi suatu kecurangan. Cuma yang terang kekusutan dan
kekurangan itu terjadi ialah lantaran Leman tidak menentu mengambil uang,
berapa sukanya saja.
Demikianlah baru tingkatan perusahaan bangsa kita.
Mereka itu pandai berniaga, tahu menjual dan membeli tetapi tidak tahu dan
tidak pandai bagaimana cara berdagang memakai buku. Berapa saja uang untuk
keperluan dirinya sendiri diambil, tetapi catatannya tidak terang. Barang yang
diambil atau uang yang dipakai itu dinamai saukkan. Pada hitungan perniagaan
itu tidak rugi, tetapi pada keadaan, pokoklah yang telah termakan.
Bila uang telah banyak, pikiran telah ragu, akan
dipangapakankah uang itu. Yang lebih dahulu diusahakan ialah menambah barang
perhiasan istri, gunanya ialah untuk tempat “lari” ketika terdesak.
Sesudah perhitugan itu, sudah nyata bahwa belanja pada
masa tiga bulan ini belebih dari mestinya. Itulah sebabnya maka kurang
pembayaran kepada toko. Leman sekarang telah insaf. Terasa olehnya menyesal
karena mulutnya telah terdorong kepada istrinya, mengatakan “tidak percaya”
itu. Dan telah insaf pula dia, bahwa sekarang yang menjadi tiang pada
perniagaannya, yang membelanya diwaktu terjadi hal yang kusut, ialah Suyono
orang gajian yang setia itu.
Sehabis berhitung dia berkata : “Suyono, sekarang sudah
saya ketahui hal ini. Memang saya telah khilaf, sudah lalai memperhatikan jalan
perniagaan selama dua bulan ini. Kalau bukan karena pertolongan engkau, agaknya
akan tertelungkuplah kita. Apalagi sekarang ini perniagaan agak sepi. Sebab
itu, untuk menghargai jasa mu yang begitu mulia, mulai besok engkau tidak
sebagai makan gaji saja di sini. Engkau saya bawa berkongsi ;
“Terima kasih banyak-banyak engku”. Jawab Suyono dengan
girangnya.
“Saya berikan kepada mu kepercayaan yang luas. Ditangan
mu lah maju mundurnya perniagaan kita ini”.
“Terima kasih banyak-banyak engku”.
Setelah itu mereka pun masuk tidur. Dan waktu itulah
Leman mengambil kesempatan untuk meminta maaf kepada Poniem. Poniem hanya
membalasnya dengan senyum saja.
Setelah pagi hari, kelihatan benar jernihnya muka
Leman. Dimulainya pula berkata sambil menjentik-jentik rokoknya :
“Apakah engkau setuju Poniem, jika rumah yang dua kita
satukan saja ?”
“Bagaimana yang akan baiknyalah”. Jawab Poniem.
“Engkau bagaimana Suyono ?”
“Saya pun menurut”, jawab Suyono.
“Ya, coba tuan-tuan pikir, kalau rumah diduakan juga,
tentu lebih belanja kita dari penghasilan. Bagaimana Poniem ?”
“Betul”. Jawab Poniem pula karena tabiat Leman telah
diketahuinya.
“Kalau jadi kita satukan, dimana engkau Poniem dan
dimana Mariatun kita letakkan ? Dan engkau sendiri Suyono, tentu boleh kita
buatkan saja kamar dibahagian belakang”.
“Perkara saya pekara gampang, engku. Saya menyewa kamar
saja diluar rumah ini, tidaklah mengapa. Atau di belakang sebagai engku aturkan
itu”.
“Siapa yang baik di loteng dan siapa yang baik di bawah
?” Tanya Leman pula.
“Saya menurut dimana yang akan baik”. Jawab Poniem.
“Kalau begitu biarlah engkau di bawah, engkau yang tua
dan Mariatun biarlah di loteng”.
“Baik juga”. Jawab Poniem.
Hal ini disampaikan pula kepada Mariatun. Mariatun
mula-mula menyatakan keberatannya. Karena telah terasa senang olehnya tinggal
merdeka di rumah sendiri. Dan kalau sekiranya jadi serumah, tentu ibunya yang
turut mengantar dan menjadi temannya selama ini akan terpaksa disuruh pulang
saja tetapi karena Leman meminta berhiba-hiba, mau jugalah Mariatun. Memang dia
pun memilih tempat di atas juga, sebab di atas sudah lebih lapang.
Ketika segala barang-barang dan tempat tidurnya telah
dipindahkan ke dalam rumah kedai itu, Mariatun merasa malu. Apalagi dia akan
diserumahkan dengan madunya, dia merasa keberatan. Tetapi apa boleh buat,
karena kehendak suaminya agak keras. Padahal kalau tidak diturutinya sekarang,
tentu dia akan rugi. Apalagi ibunya membisikkan lebih baik kehendak suaminya
itu dituruti. Supaya dia pun ikut pula memperhatikan perniagaan dan berkuasa
pula atas harta benda suaminya. Jangan sampai “orang lain” itu saja yang
beroleh laba dan keuntungan sebagaimana selama ini.
Ketika telah masuk kedalam rumah itu, dia disambut oleh
Poniem dengan budi yang halus. Dipandanginya sebagai adik layaknya. Leman
senang hatinya lantaran itu.
Tidak berapa hari setelah dia serumah di dalam kedai
itu, ibu Mariatun pulang ke kampung. Sebelum dia berangkat, banyak “pengajaran”
yang diberikannya kepada Mariatun, bagaimana caranya menarik hati suami,
bagaimana jika seorang dengan madu, jangan mau dikalahkannya. Apalagi dia itu
kalau dibuangkan oleh suaminya, tidakkan ada tempatnya bergantung lagi.
Sekarang keadaan sudah hampir baik, setoran habis bulan
kepada toko sudah kembali baik pula. Kedua perempuan itu hiduplah serumah,
seorang di atas loteng dan seorang di bawah. Leman pun sudah agak senang dari
dahulu sedikit, karena Suyono bertambah lama bertambah pandai juga berniaga,
lagi hemat. Langganannya, terutama di dalam lingkungan kuli kontrak pun banyak
pula, sebab mereka amat senang diselenggarakan oleh bangsanya sendiri.
Masih belum apa-apa kalau kedua istri itu diserumahkan,
kalau mereka salah satu atau keduanya belum merasa bahwa mereka turut berhak
pula di dalam rumah itu. Kalau si istri hanya merasai bahwa dirinya hanya
menumpang saja, dan cukup mempunyai kekuasaan ialah suaminya semata-mata,
amanlah pergaulan dan tuluslah keduanya terhadap suami. Tetapi kalau seorang
diantaranya telah merasa lebih daripada yang lain, atau salah seorang telah
merasa dia yang lebih berhak di atas rumah itu, itulah alamat celaka. Apalagi
kalau si suami tidak pula pandai mengemudikan.
Sudah sebulan dan telah dua meningkat tiga bulan, waktu
itu berangsurlah kelihatan sifat yang asli dari kedua perempuan itu. Poniem
selama ini sabar dan tenang, sekarang sudah kurang kesabarannya. Bagaimana dia
tidak akan sabar selama itu, sebelum dia dipermadukan, padahal selama itu dia
masih yakin bahwa suaminya hanya haknya seorang, tidak berkongsi dengan yang
lain. Dahulu apapun yang diberikan diterimanya, dan kalau sekali-kali suami
marah kepadanya, ditahannya. Sekarang dia telah meminta keadilan, karena
keadilan itulah haknya. Kurang-kurang sedikit telah dijadikannya persoalan,
bahkan nama yang cepat lebih dahulu dipanggil oleh suaminya telah sangat
diperhatikannya.
Mariatun kian lama kian nyata pula perangainya semasa
baru kawin dia masih agak bodoh, belum begitu tahu dia percaturan di dalam
rumah. Tetapi sekarang dia telah mulai “pintar”. Banyak sebab-sebab yang akan
mendatangkan selisih dalam rumah itu. Dia tidur di loteng, bangunnya tinggi
hari, turunya dari tangga loteng itu dilambat-lambatnya kakinya, padahal kamar
Poniem di bawah loteng itu. Sedang Poniem sudah semenjak tadi repot menyelenggarakan
dapur dan menyiapkan makanan dan minuman. Kalau dia mandi bukan main lamanya
dikamar mandi, berbedak dan berlangir dahulu, setiap pagi dan sore dia bertukar
baju, bedaknya ditebal-tebalkan dan hampir setiap pagi rambutnya dibasahinya, ketika
memeras rambut itu dengan kain handuk, sengaja agak diperlihatkan di muka
Poniem. Dia yang lebih suka hanya duduk ke muka, ikut pula menjualkan
barang-barang dengan suaminya. Meskipun sekali-sekali disuruh kebelakang dengan
lemah lembut oleh Leman, dia duduk juga. Dia menolong melipat-lipat kain, dan
kadang-kadang dia memerintah pula kepada Suyono. Oleh Suyono perintah itu di
ikuti saja, dengan ramah tamah. Sedang Poniem terbenam di dapur, mengukur
kelapa membelah kayu, mengiling lada. Kelak kira-kira pukul satu tengah hari
datanglah waktu makan. Waktu itu barulah Mariatun pergi sambil tersenyum-senyum
ke belakang. Leman telah duduk menunggu nasih akan terhidang. Poniem lah yang
mengaduk, sedang yang menantingkan ke muka ialah Mariatun, sambil tersenyum-senyum
simpul juga. Mula-mula masih sabar Poniem menurutkan perangai madunya itu. Tapi
lama-lama tentu akan penuh juga ibarat orang mengantang. Satu kali dibuatnya
pura-pura sakit, tidak dia ke dapur dan tidak dia bangun dari tidurnya. Maka
repotlah pula Mariatun menyelenggarakan di dapur. Selama ini tidak kentara
kekurangannya itu, karena ibunya masih ada yang menolong. Rupanya mengukur
kelapa tidaklah secepatnya berbedak dan mengupas bawang tidaklah sesigapnya
meraut alis mata. Sudah hampir pukul dua belum juga ada yang terletak di atas
meja. Leman telah berbalik-balik ke belakang. Pukul dua barulah terletak,
rupanya hanya dua macam sambel. Setelah dicoba oleh Leman, perutnya tidak
bergitu suka menerima, rupanya kurang campur diantara lada dengan asam, bawang
dengan garam, dan ikan masih tetap seanyir keluar dari lautan. Tentu agak payah
Leman mengurut kerongkongannya supaya sambel-sambel itu lalu dan masuk dengan
lasusnya kedalam perut. Hatinya kurang tahan, dari mulutnya melompat perkataan
:”Gulai kurang garam, Mari”. Perkataan itu agak keras, jelas terdengar oleh
Poniem yang berbenam di dalam kamar dari tadi. Mariatun sangat malu mendengar
cerca suaminya itu. Dengan perkataan agak kasar dijawabnya : “Orang yang enak
masakannya sakit kepala”. Mukanya merah berkata itu. Leman merasa bahwa
cercanya itu salah. Tetapi oleh karena tidak tahan bagaimanalah hendak
menyembunyikannya. Sedang ia hendak mengayun suapnya lagi, Poniem keluar dari
kamar dengan kepala berikat. Dengan perlahan-lahan dia pergi ke belakang, diambil
batu lada lalu dibuatnya sambal lada bercampur terasi, dikerjakannya
cepat-cepat dan diantarkannya kepada suaminya yang tengah makan bersama-sama
dengan Suyono itu. Suyono sudah lekas berhenti makan karena dirasanya sendiri
bagaimana kurang enaknya udara waktu itu. Mariatun sudah lari saja ke Loteng
dengan muka merah. Poniem telah duduk ke dekat suaminya yang tengah makan itu,
menyelenggarakannya sampai sesudah-sudahnya.
“Kepala saya sakit dari pagi Bang”.
“Barang kali sakit dibuat-buat, karena hendak memberi
malu Mariatun”. Kata Leman dengan muka marah pula.
“Sakit kepala tidak bisa dibuat-buat”. Kata Poniem
pula. Sejak kejadian yang sekali itu, tidaklah ada perdamaian lagi dalam rumah.
Suasana senantiasa keruh saja. Suatu kali terjadi pula perselisihan yang hampir
saja meletus menjadi peperangan mulut. Celana tidur Leman habis dicucinya
pagi-pagi dihampaikan oleh Mariatun berdekatan dengan sarung tidurnya. Mariatun
hendak mempertunjukkan, bahwa tidur mereka amat enak semalam. Gelap benar hati
Poniem melihat perangai yang rendah itu. Kain itu disentakkannya dari hampaian
kain dengan marahnya dan celana itu dilemparkannya masuk api yang sedang
bernyala. Ketika itu Leman sedang tidak ada di rumah.
“Kau memang tidak punya pikiran Mariatun, kau
sangkutkan kain sarung tidur mu di dekat celana suami ku. Kau boleh berbuat apa
kau suka disini, tetapi jangan melewati batas”.
“Suka hati ku dengan harta benda ku. Apa saja perbuatan
akan diperbuat dengan dia sedang dia dengan saya, apa yang menyakitkan hati mu
?” tanya Mariatun.
“Tentu saja perbuatan itu menyakit hati ku, perbuatan
itu sangat rendah”.
“Kalau suami ku kasih pada ku segala macam perbuatan
akan kami lakukan di atas rumah ini”.
“Tetapi kau lupa bahwa di sini ada pula seorang lagi
perempuan, ada pula seorang manusia yang berhak pula atas suami mu itu yang
harus kau pandang sekurang-kurangnya sesudut mata mu”.
Sambil mengecimuskan bibirnya Mariatun berkata pula :
“Apa yang akan saya pandangkan kepada mu ? Bukankah kau hanya seorang yang
menumpang di sini ? dari manakah alasan mu, tidak kah kau tahu ? Orang manakah
engkau, tidakkah engkau ingat ? Lupakah kau asal mulanya kau dipungut oleh
suami ku ? Aku sendiri apa yang akan ku perbuat di atas rumah ini tak pun yang
akan menghalangi. Abang Leman suami ku, suami ku yang sah dengan doa selamat,
dengan nikah, dengan sepakat segenap famili kami. Kami di nikahkan menurut
adat, setahu ninik mamak. Engkau sendiri hendak banyak mulut, hendak melarang
dan menyuruh, seperti engkau yang berkuasa disini. Tidakkah engkau tahu bahwa
engkau menompang di sini Hai orang Jawa ? Cis tidak ada malu !”
“Mariatun !...... Mengapa sudah sampai kesana kasarnya
perkataan mu ?”
“Iya ! Engkau hendak menyombong masakan mu enak,
penggulaianmu di makan oleh suami ku. Memang kalau orang dasar babu enak
penggulaiannya. Saya memang tidak enak penggulaian, saya tidak bisa ke dapur,
saya orang pingitan oleh ibu bapak ku, bukan orang sembarangan”. Perkatan itu
sudah terlalu ribut. Kebetulan kedengaran bunyi telapak sepatu orang di luar.
Baru saja Poniem hendak menjawab, Leman telah masuk kedalam.
“Mengapa ribut-ribut, tidakkah malu. Hai Poniem
bukankah kau yang tua, tidakkah malu berbuat demikian ? Mariatun….. Hai,
mengapa suara mu saja yang kedengaran dari tadi di luar ? Mengapa kau bercakap
begitu keras ? Tidak saya sangka perempuan sekolah akan begitu keras cakapnya.
Mujur saya pulang lekas !”
Mariatun tidak menjawab. Dia lari saja ke atas loteng
sambil menangis melulung-lulung. Sedang Poniem masuk ke dalam kamarnya dengan
tenang, tetapi mukanya masih tetap merah. Hatinya belum lepas, perkataan
Mariatun itu sangat tersangkut rasanya di dalam hatinya. Peperangan mulut itu
mula-mulanya masih asing. Tetapi apabila sekali terjadi tentu akan mulai biasa,
sehingga akan terjadi setiap hari. Yang seorang berbenam di atas dan yang
seorang bertekun di bawah. Atau bersidahuluan mengambil muka terhadap suami.
Makanan sudah tidak teratur lagi. Masing-masing sudah berusaha mengadukan
halnya kepada suami. Yang lebih pandai menarik hati Leman dengan tangisnya ialah
Mariatun.
Pada suatu hari terjadi pula perselisihan sepeninggal
Leman pergi ke Medan. Ialah perselisihan yang paling hebat. Leman akan kembali
dari Medan pukul empat sore, nasi belum masak. Mariatun ikut ke muka berjualan
bersama Suyono, hati Poniem sakit benar melihat perbuatan itu. Dia yang merasa
berhak keluar berjualan, sebab modalnya separo daripada penjualannya itu
menurut kenyakinannya, dan Mariatun hanya orang datang kemudian. Padahal sudah
sekian lama dia saja yang banyak berbenam di dapur. Dia bukannya babu. Sudah
dua tiga kali Suyono memperingatkan bahwa Mariatun lebih baik di belakang saja,
tetapi dia tidak perduli. Orang membayar uang dia yang menerima, dia yang
hendak menutup dan membuka laci. Sedianya hal ini tidaklah akan kejadian kalau
Leman pandai mengurus dan mengatur. Satu kali yang mula-mula, seketika Mariatun
mencoba mendekati tempat itu tidak dilarangnya, dia tersenyum saja. Sejak
itulah terbiasalah dia dan bukan saja terbiasa lagi, melainkan merasa bahwa dia
telah diberi hati. Padahal Poniem meskipun merasa lebih berhak mendekati
penjualan itu, sejak mereka serumah sengaja dikuranginya. Kini Mariatun rupanya
yang hendak mengangkat dirinya jadi kasir, padahal dia istri muda. Hatinya
tidak tahan. Dia keluar. Dari dalam dadanya sudah sangat menyesak. Dia berkata
:
“Hai puteri kayangan, janganlah berdiri juga di muka,
coba-cobalah membuat sambal”.
Disinipun terjadilah pertengkaran yang sengit sekali
lagi.
“Engkau saja yang selalu hendak sebagai tuan disini,
suami ku sendiri tidak mau melarang aku”. Kata Mariatun.
“Apa gunanya pandai melipat kain, kalau tidak pandai
mericih bawang ?” Tanya Poniem, yang telah mulai mangkal hatinya.
“Suka hati ku, aku di atas harta benda suami ku. Aku
kemari di antar ninik mamak ku, engkaukan babu di sini. Aku akan menolong suami
ku berniaga. Kami orang sekampung, sehalaman, bukan macam kau”.
Perkataan
itulah yang ditunggu oleh Poniem, karena dahulu belum dibalasnya.
“Engkau memang tidak tahu diuntung, dan tidak suka
bertanya ke kiri dan ke kanan. Tidakkah kau tahu bahwa engkau dibeli maka bisa
kemari ? Tidakkah engakau tahu bahwa segala barang yang terkedai ini tidak ada
dari harta benda mu yang datang kemari dan tidak pula dari harta benda suami mu
itu ? Tidakkah engkau tahu bahwa gelang ku, subang dan segala perhiasan intan
berlian ku dahulunya yang di jual dan digadaikan untuk menegakkan perniagaan
ini, sehingga suami mu yang dahulu hanya berjualan dipunggung sudah bisa
membuka kedai ? Engkau hinakan orang Jawa ? Mana engkau bisa hidup, mana
tanganmu bisa berlilit emas kalau bukan orang Jawa ini, anak sombong ! Engkau
katakan engkau senegeri dengan suamimu. Ya begitulah perempuan orang Padang,
mata duitan. Dahulu seketika suami ku itu melarat di rantau ini, haram
kalian hendak ingat kepadanya atau hendak meminta pulang. Seorangpun haram
orang perempuan Padang yang sudi kepadanya sampai dia seakan-akan terbuang.
Sekarang setelah terdengar dia kaya dan kekayaannya itu dari gelang ku, dari
subang dan dukuh ku, barulah engkau katakan sekampung, berninik mamak. Ninik
mamak orang Padang hanyalah uang, kau tahu ? Adat ! ? Sedikit-sedikit kami
beradat. Sombong ! Apakah engkau kira kami yang bukan orang Padang tidak
beradat ? Ya, itulah macam adat. Kalau kelihatan orang kaya yang mampu dan
senang hidupnya dengan istrinya, semuanya hendak memeras dan semuanya hendak
merampasnya menjadi suami. Itulah adat orang Padang…… Cis ! tak usahlah upik,
tak usahlah kau perlihatkan adat Padang kepada ku, aku sudah tahu, semuanya.
Kau datang kemari dengan mamak mu dengan ibu mu. Semuanya pulang kembali,
ongkos pulang balik mesti suami mu yang menanggung, belikan pula kain bajunya.
Itulah adat mu yang engkau puja-puja itu, dan itulah alamat berninik bermamak,
semuanya hendak menghabiskan dan hendak mengupas kulitnya, memakan dagingnya dan
kalau boleh hendak mengertuk tulangnya sekali. Adakah kau datang kemari hendak
membelanya ? Tidak ! Engkau hendak
membelanya, engkau bukan hendak menolongnya tetapi hendak menggolongnya.
Katakan juga beradat negeri mu itu ! Saya sudah tahu engkau mengharapkan
dibelikan sawah, dibuatkan rumah dan dibelikan gelang emas berlian, beli kain
sepuluh peti. Sampai nanti kering suami mu itu dan kalau dia telah kering,
sehingga kembali pula merantau dengan kemelaratannya, engkau akan minta talak
dan minta cerai. Sebab engkau masih muda, dan engkau cari pula laki-laki lain,
di negeri mu seorang perempuan yang beradat boleh berganti janda sepuluh kali
setahun ! Bukan aku yang menumpang disini, upik, engkaulah yang menumpang…….”.
Dia ketika berbicara itu tegak dengan gagahnya dan
mulutnya sebagai air hilir, matanya berapi-api, hilang pertimbangan dari
hatinya.
Mariatun hendak mencoba juga menjawab tetapi mulutnya
telah terkunci. Dan Poniem masih menunggu kalau-kalau “musuhnya” itu masih
menjawab.
Suyono hanya diam di luar saja sambil menekur
mengenangkan rumah tangga yang dahulunya surga itu, sekarang telah menjadi
neraka.
“Jawablah. Cobalah jawab kalau kau bisa !” Kata Poniem,
pati madunya itu, dicobanya hendak menarik rambut dan menggigit badannya tetapi
sebaik dia datang, Poniem telah bersiap menunggunya dengan tangkasnya. “Oh,
engkau akan mencoba mencekikku. Tidakkah engkau ingat lagi perkataan mu tadi,
bahwasanya bagiku nyawa ini hanya murah saja, bukankah aku ini hanya perempuan
kontrak ? Jiwaku lebih murah daripada jiwamu !”
Hampir terjadi pergumulan hebat, tetapi sebaik hendak
bergumul selekas itupula Suyono datang memisahkan. Tangan Poniem dipegangnya
kuat-kuat : “Yu……. Eh Yu, mengucaplah. Apa namanya perbuatan ini ? ditariknya
tangan Poniem kuat-kuat, seakan-akan dilemparkannya ke pintu kamarnya. Dan
Mariatun sebelumnya terpegang pula, telah berlari naik ke loteng. Disana dia
menangis sekuat-kuat hatinya sambil dibuah-buahilah dengan ratap,
mengulang-ulang caci maki Poniem itu.
“Orang menumpang rupanya kau disini Mariatun, orang
hina kau kiranya. Adat negerimu dihinakan orang Mariatun. Dituduh orang mamak
dan ibumu lobak tamak…”. Dan banyak lagi yang lain buah ratapnya.
“Kira-kira pukul empat sore Leman telah pulang,
didapatinya Suyono termenung saja disudut kedai. Mata orang kiri kanan lain
saja melihat kepadanya. Dia terus kebelakang. Didapatinya wajah Poniem muram
saja. Dicobanya menanyai, Poniem hanya menjawab : “Istri abang yang cantik
molek itu amat benci melihat orang Jawa buruk ini masih disini juga”. Leman
menggeleng-gelengkan kepala lalu dia naik ke loteng. Didapatinya Mariatun
sedang bergulung-gulung dengan bantal, tangisnya diperjadi-jadinya kembali,
padahal tadi sudah reda. Baru saja Leman duduk didekatnya, dia menggarung
seraya meratap : “Antar say pulang kekampung. Saya membuat susah istrimu saja.
Hidup senang dengan dia, telah menjadi kusut lantaran saya. Antarkan saya
pulang !”
“Ah, ada-ada saja, kalian semuanya bodoh-bodoh.
Semuanya tidak tahu diuntung. Nanti kalau saya tidak tahan lagi keduanya saya
tempeleng, atau keduanya saya usir dari sini seperti mengusir anjing. Membuat
pusing, membuat malu dengan orang kiri kanan”. Ujar Leman. Dan dengan marah dia
turun ke bawah dan begitu pula perkataannya kepada Poniem.
Tetapi sejak itu mulailah dirasanya sudah memikirkan
hal ini. Mulailah sudah ada sesal, mulai ada keluh dan sudah ada dia termenung.