IV. HAKIKAT RUMAH TANGGA



Telah beberapa bulan berlalu masa perkawinan. Bulan madu telah tinggal menjadi bekas yang akan tertulis di dalam riwayat kedua suami istri itu selama-lamanya. Sekarang mereka harus menempuh hidup.

Jika mula-mula rumah tangga itu berdiri, belum kelihatan kesulitan yang akan ditempuh. Tetapi setelah berlama-lama, kelihatannya; mulanya samar-samar dan kemudian bertambah terang juga, bahwa pergaulan mereka dalam rumah tangga belum begitu cocok. Kalau kelihatan manis yang sudah-sudah, barulah manis darah muda dan hati mulai naik, belum lagi manis sesudah menempuh kepahitan, yang selalu menyebabkan sebuah rumah tangga laksana surg di dalam hidup ini.

Yang menyebabkan rumah tangga itu belum juga teguh tegaknya ialah karena berlainan pertimbangan tentang hidup suami istri diantara orang Jawa dengan orang Minangkabau.

Menurut adat orang Minang didalam negeri sendiri, yang memegang rumah tangga ialah si isteri. Suaminya hanya “sumanda”, artinya orang lain yang datang ke rumah itu lantaran dijemput menurut adat. Anak-anak yang lahir dari dari pergaulan itu, tidaklah masuk ke dalam suku ayahnya tetapi masuk suku ibu. Meskipun bagaimana lama pergaulan dan ke manapun mereka pergi merantau, namun isteri itu tidaklah jatuh ke dalam kuasa  suami sepenuhnya. Kekuasaan itu tetap dalam tangan mamaknya juga. Sehingga kalau sekiranya si isteri itu melarat dirantau bersama suaminya, ada hak bagi mamaknya menjemput perempuan itu dan membawanya pulang ke kampung, biarpun suaminya tinggal juga di rantau.

Tetapi kalau isteri itu di bawah merantau, si suami merasa bahwa isteri nya Cuma menumpang saja, dan si isteri pun merasa bahwa dia hanya menurutkan orang lain.karena harta benda suami itu menurut pandangan mereka, bukanlah kepunyaan rumah tangga mereka, tetapi dibawah kuasa kaum kerabat suaminya juga.Sebab itu perempuan-perempuan yang dibawah merantau itu kebanyakan hanyalah lantaran mengharapkan laba dan keuntungan yang kelak “diberi” laki-laki. Kalau mereka bercerai, perempuan itu tidak berhak mendapat bahagian dari harta pencarian si-suami, sebab harta pencarian itu bukanlah kepunyaan dan jerih payah mereka berdua. Si isteri hanya sebagai tukang masak dan mengasuh anak. Biasanya suami dan orang-orang gajiannya membayar makan kepada perempuan itu. Kalau dia pandai menyimpan, dapatlah dia membeli kain baju atau menambah emasnya. Dan kalau dia bersembayan (bermadu), maka tiap-tiap habis gilirian masing-masing dalam setahun, merekapun diantarkan pulang. Waktu itu segala barang-barang yang ada dalam rumah bukanlah kepunyaan suami, tetapi kepunyaan istri. Barang itu akan diangkatnya, sehingga senduk patahpun tidak akan ditinggalkannya. Dan kalau tiba pula giliran kepada istri yang seorang lagi, sebab mereka tidak akan merasa bahwa suaminya itu kongsi hidupnya, tetapi orang lain yang akan diperasnya kalau masih ada kekuatannya.

Nyatalah perbedaan pendapat diantara orang Minangkabau dengan orang Jawa didalam pandangan hidup ini. Pandangan orang sama, suami dan istri itu adalah berkongsi hidup, sama-sama mencencang dan melatih, sama-sama berusaha. Segala hak milik adalah kepunyaan mereka berdua, sampai-sampai kepada rumah tangga. Sehingga kalau mereka bercerai, hak milik itu akan dibagi dua. Apabila seorang perempuan telah bersuami, tergantungan lahir dan bathin adalah suaminya. Dia tidak akan memandang perbedaan hak di dalam rumah tangga, si suami menjadi pemimpin besar dan si istri menjadi pengemudi didalam rumah.

Lantaran terpengaruh oleh adat terbiasa di dalam negerinya, maka Leman pun berniagalah, tetapi tidak dibawanya istri serta didalam urusan itu. Istrinya tidak dibawanya berembuk, laba dan rugi tak usah istrinya tahu, istrinya hanya harus menerima yang ada saja. Buruk baiknya akan ditanggungkannya seorang. Padahala karena dia tidak mempunyai modal, apalagi ongkos sesudah kawin jauh lebih besar daripada ongkos sebelum kawin, maka perniagaannya yang kecil kian lama kian mundur, sehingga hanya tinggal bingkai-bingkainya lagi, ialah kain-kain dan barang-barang yang tidak akan laku. Dia tidak mau menyatakan hal itu kepada istrinya, dia tidak mau hati istrinya susah lantaran itu. Sebaliknya karena perbuatan itu, si istri merasa hiba hati, sebab rupanya suaminya masih memandang dia orang lain, bukan istri sejati, tetapi istri yang hanya perlengkapan hidup dan untuk memagar supaya jangan jatuh kelembah kesesatan saja. Kadang-kadang dia merasa sakwasangka, boleh jadi dia masih dipandang orang lain, sebab hal-hal yang sulit-sulit itu tidak disampaikan kepadanya. Kerjanya hanya bertanak, mencuci kain dan menyapu rumah. Pagi-pagi suaminya telah bangun dan pergi berdangang, sore atau tengah hari dia pulang. Kalau dia sedang duduk seorang dirinya di dalam rumah sepeninggal suaminya itu, kerap kali dia menangis, memikirkan kesucian dirinya.

Oleh karena kemunduran perdagangannya, Leman kerap kali pula mengeluh, menarik nafas sebagai orang yang terselat garam dalam giginya, sehingga Poniem menyangka kalau-kalau suaminya telah menyesal beristrikan dia. Oleh sebab itu tidaklah heran kalau rumah tangga yang mula-mulanya permai itu kian lama kian muram cahayanya. Poniem tak dapat menahan hatinya lagi !.

Pada suatu malam, sedang suaminya pergi berziarah kerumah seorang temannya, dengan diam-diam dibukanya bungkusan dagangan suaminya itu, rupanya sudah “kurus” betul, itulah rupanya yang selalu menyebabkan kesusahan yang selalu terbayang dimuka suaminya yang di cintainya itu. Ditutupnya kembali bungkusan itu baik-baik, disediakannya makanan untuk suaminya dan ditunggunya dia pulang dengan sabar. 

Tidak berapa lama kemudian, suaminyapun pulanglah. Merekapun makan bersama-sama. Meskipun sedang makan itu Leman tersenyum-senyum juga, jelas kelihatan bahwa senyuman itu dibuat-buatnya, bukan senyuman dari hati, pikirannya kelihatan tertumbuk, terbayang di mukanya; “kalau hati duka di bawa gelak, tak obahnya seperti panas mengandung hujan”.

Sehabis makan dia duduk pula bermenung. Waktu itulah masa sebaik-baiknya dipandang Poniem untuk memulai pembicaraannya.

“Mengapa abang susah saja ? mengapa abang bersembunyi juga kepadaku ?” tanyanya dengan tiba-tiba.

“Tidak Poniem, tidak ada yang ku susahkan, bagaimana abang akan susah padahal engkau ada disampingku !” 

“Abang susah, aku tahu. Selama ini abang bersembunyi-sembunyi saja, abang berdua hati terhadap kepadaku”.

“Tidak benar persangkaanmu itu Poniem, hati abang tulus kepadamu luar dalam, dahulu dan sekarang, dan selamanya tidak akan berobah, entah kalau engkau sendiri yang berobah”.

“Abang masih kelihatan merahasiakan sesuatu kepada ku, ada sesuatu hal yang menimpa diri abang, tetapi abang sembunyikan. Lebih baik abang nyatakan kepadaku, supaya dapat kita bermufakat bagaimana baiknya. Karena kalau kesusahan abang itu bertambah berat juga, setelah diakhir baru abang baru tahu, tentu sesal kita tidak akan berkeputusan, padahal agaknya masih dapat kita cari jalan yang lebih baik……”.

Meskipun sebagaian sebab itu telah diketahuinya, tetapi Poniem berbuat sebagai tidak tahu, supaya kepercayaan suaminya jangan hilang.

“Terangkanlah abang, apakah abang susahkan..?” katanya lagi. Karena terdesak oleh istrinya yang dicintainya itu, dia tidak dapat bersembunyi lagi.

“Begini Poniem. Modal kita amat kurang, pekerjaan payah, padahal labanya tidak ada. Ke manapun abang pergi, kurang sekali jual beli. Apalagi jenis barang yang di jual tidak selengkap pada orang lain, maka kitapun tidak dapat memulangkan pokok. Abang coba mengambil barang amanat dari lain saudagar, karena akan membeli sendiri ketoko yang besar di Medan, kita belum sanggup, maka barang yang diambil dibawah tangan itupun amat tinggi harganya. Ketika ditawar orang barang-barang kita kerap kali barang itu belum bisa dilepaskan karena baru mengenai pokoknya waktu di ambil dengan amanat, padahal orang yang berkedai disebelah kita, jika menjual sebanyak ditawar orang kepada kita tadi, sudah dapat mengambil laba. Kalau diperturutkan berlarut-larut, kesudahannya maulah badaman[1] dan tali saja yang pulang. Itulah yang selalu menyebabkan abang termenung”.

“Mengapa tidak sedari dahulu abang terangkan sebab-sebab itu kepadaku?”.

“Abang takut nanti engkau akan menderita pula lantaran kesusahan itu”.

“Bukankah itu kesusahan kita bersama?”

“Tidak Poniem, itu Cuma kesusahan seorang laki-laki, orang perempuan tidak boleh memikul susah pula”.

“Itu tidak lurus abang, kesusahan ini mestilah kita pikul berdua. Bukankah dahulu, sebelum abang mengambil aku menjadi istri abang, abang hanya menyusahkan perut seorang, menyusahkan kain baju seorang, sehingga penjual berkecil-kecil telah mencukupi. Sekarang kita telah berdua, abang menghabiskan kekuatan sendiri untuk pikulan berdua, itu tidak adil !” Leman melihat istrinya tenang-tenang.

“Adat kami Poniem, menurut adat kami orang perempuan harus tahu beres saja. Orang perempuan hanya menerima yang bersih, dia tidak perlu menghiraukan kesusahan suaminya, yang perlu baginya hanya menanakkan nasi supaya suaminya jangan lapar, menyediakan teh, dan mencucikan kain bajunya. Kerja laki-laki mencarikan buat dia, membuatkan rumah, mencarikan tambahan sawah ladangnya. Kalau pekerjaan itu hasil dia boleh pulang dengan bangga, kalau tidak, dia akan pulang juga dan suaminya akan terus berusaha, dia akan pulang oleh karena di jemput oleh mamaknya”.

“Kalau begitu tentu hati abang masih berparo, abang masih ingat penghidupan cara dikampung abang sendiri. Ibarat orang memberi belumlah abang memberikan kesemuanya, tetapi masih setengah-setengah. Sekarang abang beristri orang lain, dan orang lain itupun telah menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada abang. Tidak ada tempatku menumpangkan diri lagi melainkan abanglah; ibu bapakku, kaum kerabatku, tidak ada lagi. Maka menurut pikiran saya yang bodoh dunggu ini, penghidupan yang kita cari, hendaklah untuk berdua. Barang-banrang kepunyaan kita, harta benda kepunyaan berdua. Kita kerjakan masing-masing menurut kekuatan kita, dan hasilnya kita makan berdua, kita sisakan berdua”.

Leman termenung mendengarkan. Dan Poniem lalu menyambung bicaranya pula : 

“Lantaskan angan abang meneruskan perniagaan itu jika kita tambah modalnya?”

“Lantas benar”. Jawab Leman dengan muka muram karena modal itulah yang tak ada.

Mendengar itu muka Poniem kelihatan berseri. Dengan langkah yang lambat Dia masuk kekamarnya dibukanya peti dan dikeluarkannya beberapa buah peniti kawat dalam. Leman melihat saja dengan tercengang. Setelah itu dibukanya sebuah demi sebuah peniti ringgitnya yang ada didadanya, sehingga tanggallah dari dadanya satu persatu yang digantikannya dengan peniti-peniti kawat itu. Dibukanya pula kalung ringgitnya yang berantai emas yang berat. Kemudian itu dibukanya pula gelang kakinya. Sehingga yang tinggal hanya sepasang subangnya saja lagi. Semuanya itu diletakkannya di atas meja, dan dia pun berkata :

“Abang……! Perniagaan kita harus diperbesar segala barang-barang ini kita jual kembali kepada saudagar emas, kita jadikan uang. Dengan barang ini kita berniaga, kita perbaiki perdagangan kita. Jangan abang pandang juga aku sebagai memandang istri dari kampuang abang sendiri, yang hidupnya senang dan sawah ladangnya banyak, yang cukup kaum kerabatnya. Mari kita hidup…… berdua….. tumpahkan kepercayaanmu kepada ku, kepercayaan yang tiada berkulit dan berisi, kepercayaan yang tulus, sebagai kepercayaanku pula terhadap abang. Pakailah barang ini, perniagakanlah, dia adalah hak milikmu, sebagai diriku sendiripun hak milikmu juga”.

“Poniem…….”. ujar Leman. Sedang air matanyapun tidak tertahan-tahan lagi.” Poniem, dengan apa jasamu abang balas..?”

“Janganlah berkata semacam itu, berniagalah terus……”.


Sejak waktu itu, berubahlah keadaan. Hati yang masih ragu-ragu menempuh hidup, sekarang sudah nyakin. Kepercayaan yang tadinya setengah-setengah dari kedua belah pihak, sekarang sudah bulat dan tidak ada sak ragunya lagi. Medan perjuanganpun terbukalah, tidak ada lagi lurah yang dalam, bukit yang tinggi. Sebab kehidupan itu adalah laksana bahtera jua, si suami adalah nachkoda, si istri juragan, dengan berdualah selamat pelayaran itu.

Mataharipun terbitlah dari Timur, pancawarna megah membawa nikmat, angin sepoi-sepoi basah, udara pagi yang lembanyung meliputi alam. Malaikat yang bertahta diatas awan berarak, laksana tersenyum melihat makhluk keluar dari rumahnya masing-masing, mencari tutup badannya, mencari isi perut, mencari peruntungannya dibawah kolong langit yang luas terbentang ini.

Diantara beribu makhluk yang percaya akan kekayaan Tuhan, memang bumi membuahkan padi dan tanah menghasilkan emas, yang tidak putus asa, yang percaya bahwa selama nyawa dikandung badan, rezeki telah tersedia, adalah terdapat kedua suami istri itu, keluar dengan hati yang gembira, percaya akan pertolongan Tuhan, dan yakin perhubungan yang ada dalam sanubari mereka sendiri, yaitu cinta suami istri yang sejati..!

Majulah kemuka, tempuhlah lautan baharullahyang luas itu, beranikan hati menghadapi gelombang yang bergulung-gulung. Karena dengan bermain ombak dan membiasakan menempuh gelora itulah makanya penyakit mabuk laut akan hilang. Pada tiap-tiap bertemu dengan suatu kesusahan dan suatu halangan di dalam bahtera rumah tangga, itu adalah ujian; bila sampai ke sebaliknya tertegak pulalah sebuah tiang yang tengguh dan sendi yang kuat, untuk membina rumah kecintaan itu. Dimanakah terletaknya keberuntungan kalau bukan didalam hati ???

Bolehkah keberuntungan itu di namakan kepada uang berbilang dan emas berkarung-karung ? bukan, bukan dari sana asalnya mulanya, sebab banyak orang dilingkungi oleh kebahagian dunia, tetapi hatinya senantiasa kesal.





[1] Badaman = bungkusan kain

Template by:

Free Blog Templates