Telah beberapa bulan berlalu masa perkawinan. Bulan madu telah tinggal
menjadi bekas yang akan tertulis di dalam riwayat kedua suami istri itu
selama-lamanya. Sekarang mereka harus menempuh hidup.
Jika mula-mula rumah tangga itu berdiri, belum kelihatan kesulitan yang
akan ditempuh. Tetapi setelah berlama-lama, kelihatannya; mulanya samar-samar
dan kemudian bertambah terang juga, bahwa pergaulan mereka dalam rumah tangga
belum begitu cocok. Kalau kelihatan manis yang sudah-sudah, barulah manis darah
muda dan hati mulai naik, belum lagi manis sesudah menempuh kepahitan, yang
selalu menyebabkan sebuah rumah tangga laksana surg di dalam hidup ini.
Yang menyebabkan rumah tangga itu belum juga teguh tegaknya ialah karena
berlainan pertimbangan tentang hidup suami istri diantara orang Jawa dengan
orang Minangkabau.
Menurut adat orang Minang didalam negeri sendiri, yang memegang rumah
tangga ialah si isteri. Suaminya hanya “sumanda”, artinya orang lain yang
datang ke rumah itu lantaran dijemput menurut adat. Anak-anak yang lahir dari dari
pergaulan itu, tidaklah masuk ke dalam suku ayahnya tetapi masuk suku ibu.
Meskipun bagaimana lama pergaulan dan ke manapun mereka pergi merantau, namun
isteri itu tidaklah jatuh ke dalam kuasa
suami sepenuhnya. Kekuasaan itu tetap dalam tangan mamaknya juga.
Sehingga kalau sekiranya si isteri itu melarat dirantau bersama suaminya, ada
hak bagi mamaknya menjemput perempuan itu dan membawanya pulang ke kampung, biarpun
suaminya tinggal juga di rantau.
Tetapi kalau isteri itu di bawah merantau, si suami merasa bahwa isteri
nya Cuma menumpang saja, dan si isteri pun merasa bahwa dia hanya menurutkan
orang lain.karena harta benda suami itu menurut pandangan mereka, bukanlah
kepunyaan rumah tangga mereka, tetapi dibawah kuasa kaum kerabat suaminya
juga.Sebab itu perempuan-perempuan yang dibawah merantau itu kebanyakan
hanyalah lantaran mengharapkan laba dan keuntungan yang kelak “diberi”
laki-laki. Kalau mereka bercerai, perempuan itu tidak berhak mendapat bahagian
dari harta pencarian si-suami, sebab harta pencarian itu bukanlah kepunyaan dan
jerih payah mereka berdua. Si isteri hanya sebagai tukang masak dan mengasuh
anak. Biasanya suami dan orang-orang gajiannya membayar makan kepada perempuan
itu. Kalau dia pandai menyimpan, dapatlah dia membeli kain baju atau menambah
emasnya. Dan kalau dia bersembayan (bermadu), maka tiap-tiap habis gilirian
masing-masing dalam setahun, merekapun diantarkan pulang. Waktu itu segala
barang-barang yang ada dalam rumah bukanlah kepunyaan suami, tetapi kepunyaan
istri. Barang itu akan diangkatnya, sehingga senduk patahpun tidak akan
ditinggalkannya. Dan kalau tiba pula giliran kepada istri yang seorang lagi,
sebab mereka tidak akan merasa bahwa suaminya itu kongsi hidupnya, tetapi orang
lain yang akan diperasnya kalau masih ada kekuatannya.
Nyatalah perbedaan pendapat diantara orang Minangkabau dengan orang Jawa
didalam pandangan hidup ini. Pandangan orang sama, suami dan istri itu adalah
berkongsi hidup, sama-sama mencencang dan melatih, sama-sama berusaha. Segala
hak milik adalah kepunyaan mereka berdua, sampai-sampai kepada rumah tangga.
Sehingga kalau mereka bercerai, hak milik itu akan dibagi dua. Apabila seorang
perempuan telah bersuami, tergantungan lahir dan bathin adalah suaminya. Dia
tidak akan memandang perbedaan hak di dalam rumah tangga, si suami menjadi
pemimpin besar dan si istri menjadi pengemudi didalam rumah.
Lantaran terpengaruh oleh adat terbiasa di dalam negerinya, maka Leman
pun berniagalah, tetapi tidak dibawanya istri serta didalam urusan itu.
Istrinya tidak dibawanya berembuk, laba dan rugi tak usah istrinya tahu,
istrinya hanya harus menerima yang ada saja. Buruk baiknya akan
ditanggungkannya seorang. Padahala karena dia tidak mempunyai modal, apalagi
ongkos sesudah kawin jauh lebih besar daripada ongkos sebelum kawin, maka
perniagaannya yang kecil kian lama kian mundur, sehingga hanya tinggal
bingkai-bingkainya lagi, ialah kain-kain dan barang-barang yang tidak akan
laku. Dia tidak mau menyatakan hal itu kepada istrinya, dia tidak mau hati
istrinya susah lantaran itu. Sebaliknya karena perbuatan itu, si istri merasa
hiba hati, sebab rupanya suaminya masih memandang dia orang lain, bukan istri
sejati, tetapi istri yang hanya perlengkapan hidup dan untuk memagar supaya
jangan jatuh kelembah kesesatan saja. Kadang-kadang dia merasa sakwasangka,
boleh jadi dia masih dipandang orang lain, sebab hal-hal yang sulit-sulit itu
tidak disampaikan kepadanya. Kerjanya hanya bertanak, mencuci kain dan menyapu
rumah. Pagi-pagi suaminya telah bangun dan pergi berdangang, sore atau tengah
hari dia pulang. Kalau dia sedang duduk seorang dirinya di dalam rumah
sepeninggal suaminya itu, kerap kali dia menangis, memikirkan kesucian dirinya.
Oleh karena kemunduran perdagangannya, Leman kerap kali pula mengeluh,
menarik nafas sebagai orang yang terselat garam dalam giginya, sehingga Poniem
menyangka kalau-kalau suaminya telah menyesal beristrikan dia. Oleh sebab itu
tidaklah heran kalau rumah tangga yang mula-mulanya permai itu kian lama kian
muram cahayanya. Poniem tak dapat menahan hatinya lagi !.
Pada suatu malam, sedang suaminya pergi berziarah kerumah seorang
temannya, dengan diam-diam dibukanya bungkusan dagangan suaminya itu, rupanya
sudah “kurus” betul, itulah rupanya yang selalu menyebabkan kesusahan yang
selalu terbayang dimuka suaminya yang di cintainya itu. Ditutupnya kembali
bungkusan itu baik-baik, disediakannya makanan untuk suaminya dan ditunggunya
dia pulang dengan sabar.
Tidak berapa lama kemudian, suaminyapun pulanglah. Merekapun makan
bersama-sama. Meskipun sedang makan itu Leman tersenyum-senyum juga, jelas
kelihatan bahwa senyuman itu dibuat-buatnya, bukan senyuman dari hati,
pikirannya kelihatan tertumbuk, terbayang di mukanya; “kalau hati duka di bawa
gelak, tak obahnya seperti panas mengandung hujan”.
Sehabis makan dia duduk pula bermenung. Waktu itulah masa sebaik-baiknya
dipandang Poniem untuk memulai pembicaraannya.
“Mengapa abang susah saja ? mengapa abang bersembunyi juga kepadaku ?”
tanyanya dengan tiba-tiba.
“Tidak Poniem, tidak ada yang ku susahkan, bagaimana abang akan susah
padahal engkau ada disampingku !”
“Abang susah, aku tahu. Selama ini abang bersembunyi-sembunyi saja,
abang berdua hati terhadap kepadaku”.
“Tidak benar persangkaanmu itu Poniem, hati abang tulus kepadamu luar
dalam, dahulu dan sekarang, dan selamanya tidak akan berobah, entah kalau
engkau sendiri yang berobah”.
“Abang masih kelihatan merahasiakan sesuatu kepada ku, ada sesuatu hal
yang menimpa diri abang, tetapi abang sembunyikan. Lebih baik abang nyatakan
kepadaku, supaya dapat kita bermufakat bagaimana baiknya. Karena kalau
kesusahan abang itu bertambah berat juga, setelah diakhir baru abang baru tahu,
tentu sesal kita tidak akan berkeputusan, padahal agaknya masih dapat kita cari
jalan yang lebih baik……”.
Meskipun sebagaian sebab itu telah diketahuinya, tetapi Poniem berbuat
sebagai tidak tahu, supaya kepercayaan suaminya jangan hilang.
“Terangkanlah abang, apakah abang susahkan..?” katanya lagi. Karena
terdesak oleh istrinya yang dicintainya itu, dia tidak dapat bersembunyi lagi.
“Begini Poniem. Modal kita amat kurang, pekerjaan payah, padahal labanya
tidak ada. Ke manapun abang pergi, kurang sekali jual beli. Apalagi jenis
barang yang di jual tidak selengkap pada orang lain, maka kitapun tidak dapat
memulangkan pokok. Abang coba mengambil barang amanat dari lain saudagar,
karena akan membeli sendiri ketoko yang besar di Medan, kita belum sanggup,
maka barang yang diambil dibawah tangan itupun amat tinggi harganya. Ketika
ditawar orang barang-barang kita kerap kali barang itu belum bisa dilepaskan
karena baru mengenai pokoknya waktu di ambil dengan amanat, padahal orang yang
berkedai disebelah kita, jika menjual sebanyak ditawar orang kepada kita tadi,
sudah dapat mengambil laba. Kalau diperturutkan berlarut-larut, kesudahannya
maulah badaman[1]
dan tali saja yang pulang. Itulah yang selalu menyebabkan abang termenung”.
“Mengapa tidak sedari dahulu abang terangkan sebab-sebab itu kepadaku?”.
“Abang takut nanti engkau akan menderita pula lantaran kesusahan itu”.
“Bukankah itu kesusahan kita bersama?”
“Tidak Poniem, itu Cuma kesusahan seorang laki-laki, orang perempuan
tidak boleh memikul susah pula”.
“Itu tidak lurus abang, kesusahan ini mestilah kita pikul berdua.
Bukankah dahulu, sebelum abang mengambil aku menjadi istri abang, abang hanya
menyusahkan perut seorang, menyusahkan kain baju seorang, sehingga penjual
berkecil-kecil telah mencukupi. Sekarang kita telah berdua, abang menghabiskan
kekuatan sendiri untuk pikulan berdua, itu tidak adil !” Leman melihat istrinya
tenang-tenang.
“Adat kami Poniem, menurut adat kami orang perempuan harus tahu beres
saja. Orang perempuan hanya menerima yang bersih, dia tidak perlu menghiraukan
kesusahan suaminya, yang perlu baginya hanya menanakkan nasi supaya suaminya
jangan lapar, menyediakan teh, dan mencucikan kain bajunya. Kerja laki-laki
mencarikan buat dia, membuatkan rumah, mencarikan tambahan sawah ladangnya.
Kalau pekerjaan itu hasil dia boleh pulang dengan bangga, kalau tidak, dia akan
pulang juga dan suaminya akan terus berusaha, dia akan pulang oleh karena di
jemput oleh mamaknya”.
“Kalau begitu tentu hati abang masih berparo, abang masih ingat
penghidupan cara dikampung abang sendiri. Ibarat orang memberi belumlah abang
memberikan kesemuanya, tetapi masih setengah-setengah. Sekarang abang beristri
orang lain, dan orang lain itupun telah menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada
abang. Tidak ada tempatku menumpangkan diri lagi melainkan abanglah; ibu
bapakku, kaum kerabatku, tidak ada lagi. Maka menurut pikiran saya yang bodoh
dunggu ini, penghidupan yang kita cari, hendaklah untuk berdua. Barang-banrang
kepunyaan kita, harta benda kepunyaan berdua. Kita kerjakan masing-masing
menurut kekuatan kita, dan hasilnya kita makan berdua, kita sisakan berdua”.
Leman termenung mendengarkan. Dan Poniem lalu menyambung bicaranya pula
:
“Lantaskan angan abang meneruskan perniagaan itu jika kita tambah
modalnya?”
“Lantas benar”. Jawab Leman dengan muka muram karena modal itulah yang
tak ada.
Mendengar itu muka Poniem kelihatan berseri. Dengan langkah yang lambat
Dia masuk kekamarnya dibukanya peti dan dikeluarkannya beberapa buah peniti
kawat dalam. Leman melihat saja dengan tercengang. Setelah itu dibukanya sebuah
demi sebuah peniti ringgitnya yang ada didadanya, sehingga tanggallah dari
dadanya satu persatu yang digantikannya dengan peniti-peniti kawat itu.
Dibukanya pula kalung ringgitnya yang berantai emas yang berat. Kemudian itu
dibukanya pula gelang kakinya. Sehingga yang tinggal hanya sepasang subangnya
saja lagi. Semuanya itu diletakkannya di atas meja, dan dia pun berkata :
“Abang……! Perniagaan kita harus diperbesar segala barang-barang ini kita
jual kembali kepada saudagar emas, kita jadikan uang. Dengan barang ini kita
berniaga, kita perbaiki perdagangan kita. Jangan abang pandang juga aku sebagai
memandang istri dari kampuang abang sendiri, yang hidupnya senang dan sawah
ladangnya banyak, yang cukup kaum kerabatnya. Mari kita hidup…… berdua…..
tumpahkan kepercayaanmu kepada ku, kepercayaan yang tiada berkulit dan berisi,
kepercayaan yang tulus, sebagai kepercayaanku pula terhadap abang. Pakailah
barang ini, perniagakanlah, dia adalah hak milikmu, sebagai diriku sendiripun
hak milikmu juga”.
“Poniem…….”. ujar Leman. Sedang air matanyapun tidak tertahan-tahan
lagi.” Poniem, dengan apa jasamu abang balas..?”
“Janganlah berkata semacam itu, berniagalah terus……”.
Sejak waktu itu, berubahlah keadaan. Hati yang masih ragu-ragu menempuh
hidup, sekarang sudah nyakin. Kepercayaan yang tadinya setengah-setengah dari kedua
belah pihak, sekarang sudah bulat dan tidak ada sak ragunya lagi. Medan
perjuanganpun terbukalah, tidak ada lagi lurah yang dalam, bukit yang tinggi.
Sebab kehidupan itu adalah laksana bahtera jua, si suami adalah nachkoda, si
istri juragan, dengan berdualah selamat pelayaran itu.
Mataharipun terbitlah dari Timur, pancawarna megah membawa nikmat, angin
sepoi-sepoi basah, udara pagi yang lembanyung meliputi alam. Malaikat yang
bertahta diatas awan berarak, laksana tersenyum melihat makhluk keluar dari rumahnya
masing-masing, mencari tutup badannya, mencari isi perut, mencari
peruntungannya dibawah kolong langit yang luas terbentang ini.
Diantara beribu makhluk yang percaya akan kekayaan Tuhan, memang bumi
membuahkan padi dan tanah menghasilkan emas, yang tidak putus asa, yang percaya
bahwa selama nyawa dikandung badan, rezeki telah tersedia, adalah terdapat
kedua suami istri itu, keluar dengan hati yang gembira, percaya akan
pertolongan Tuhan, dan yakin perhubungan yang ada dalam sanubari mereka
sendiri, yaitu cinta suami istri yang sejati..!
Majulah kemuka, tempuhlah lautan baharullahyang luas itu, beranikan hati
menghadapi gelombang yang bergulung-gulung. Karena dengan bermain ombak dan
membiasakan menempuh gelora itulah makanya penyakit mabuk laut akan hilang.
Pada tiap-tiap bertemu dengan suatu kesusahan dan suatu halangan di dalam
bahtera rumah tangga, itu adalah ujian; bila sampai ke sebaliknya tertegak
pulalah sebuah tiang yang tengguh dan sendi yang kuat, untuk membina rumah
kecintaan itu. Dimanakah terletaknya keberuntungan kalau bukan didalam hati ???
Bolehkah keberuntungan itu di namakan kepada uang berbilang dan emas
berkarung-karung ? bukan, bukan dari sana asalnya mulanya, sebab banyak orang
dilingkungi oleh kebahagian dunia, tetapi hatinya senantiasa kesal.