Ramai dan riuh rendah orang di kebun. Hari sekarang
malam satu, malam tanggal bulan yang baru, orang-orang kontrak berlarian dari
dalam kantor setelah menerima gajinya masing-masing, gaji yang diharapkan dari
awal ke ujung bulan, yang menyebabkan setiap hari mereka memeras keringat
dengan tiada mengingat payah dan lelah. Yang harus meraka terima 30 x 45 sen,
telah dipotong pula pinjaman tanggal 15 dan telah dipotong blasting, sisanya
itulah sekarang yang masuk ke dalam saku mereka, namun wajah mereka
masing-masing kelihatan juga berseri-seri.
Sebelum menerima uang itu mereka cerdik, banyak yang
teringat, banyak yang perlu dan banyak yang kurang. Tetapi setelah ada dalam
tangan, mereka bingung, mereka lupa apakah gerangan yang akan dibeli. Dalam
kebingungan itu hari sudah malam juga, di kiri kanan jalan yang mereka lalui
menuju pondok, kedengaran riuh rendah orang yang menyorakkan jualannya, pejual
kain, nasi, mie, sirup dan obat. Disela-sela pedagang-pedagang itu kelihatan
pula beberapa orang juara judi mengembangkan tikarnya judinya, memutar dadu.
Maka ratusan kuli kontrak yang keluar dari kantor itupun sebagai orang kebingunganlah,
ada yang pergi kekedai kain, ada yang pergi “membeslah” mie sepinggan, sebab
telah berhari-hari lamanya dia telah berdendam dengan mie itu. Ada pula yang
sudah ketangihan judi, terus saja menerobos ke tikar yang sedang dibentangkan
itu, duduk di sana mempermainkan uang yang baru saja diterimanya. Akhirnya ada
yang tegak kembali dengan muka jernih berseri-seri, sebab dia menang, ada pula
yang hanya menepuk-nepuk tangannya ke pinggulnya, sebab uang yang baru saja
diterimanya pukul lima tadi, pukul tujuh malam telah musnah semuanya.
Kira-kira pukul enam sangatlah ramainya pedagang-pedagang
itu meladeni pembeli. Banyak kuli-kuli tersadai dan tersangkut saja di situ,
tidak sanggup pulang lagi. Tukang-tukang jual kain obral sangat lucunya, mulut
mereka bersorak-sorak memanggil kuli-kuli perempuan, sudut mata mereka bermain
amat cepatnya : “Sini dik, sini yang halus barangnya dan murah harganya, kalau
tak murah uang kembali”.
Kuli-kuli perempuan itupun lebih pula bingungnya
daripada yang laki-laki. Baru saja dipuji sedikit, dikatakan dia cantik, kalau
bersuami dikatakan bahwa suaminya lebih muda dari padanya, maulah dia rasanya mencurahkan
uang pendapatannya tadi sama sekali ke tukang-tukang pedagang kain itu.
Biasanya paling ramai ialah sejak pukul lima, ketika kuli-kuli mula-mula keluar
dari gudang tempat mereka menerima gaji, dan habisnya paling lambat pukul
dekapan. Setelah lepas pukul delapan, lenganglah tempat itu, tetapi mereka
menunggu sampai pukul 12 atau pukul satu malam. Sebab permainan judipun lebih
ramai dari pada tadi, apalagi pada pukul sepuluh malam, gamelan dibunyikan oleh
kuli-kuli yang tua, yang memang sengaja mereka bawa dari tanah Jawa, dan dapat
izin dari mandur besar. Di samping gamelan itu keluar pula perempuan ronggeng
membawa tarinya yang halus, yang diringi oleh suara gamelan.
Bertambah larut hari bertambah asyiklah orang berjudi,
mana yang menang keluar dari medan permainan, lalu pergi ketempat orang
berjualan. Dan itulah yang diharapkan oleh pedagang-pedagang tadi.
Dan mana yang kalah ada membuka bajunya yang baru tadi
dibelinya, bahkan ada yang membuka ringgit paunnya. Dan yang asyik menonton
ronggeng itupun, bila sudah sangat asyiknya, ada yang telah tampil kemuka,
sama-sama menari dengan sehelai selendang bersama perempuan ronggeng itu, sama
berbalas-balasan pantun, dan dari luar dimasukkan juga minyak tanah bertambah
nyala.
Demikianlah kehidupan dalam perkebunan, kehidupan dalam
lingkungan “Poenale Sanctie”, tidak ada kesusahan hati, walaupun dia kalah
bermain. Sebab besok hari prei dan lusa telah bekerja pula kembali. Tidak ada
lagi niatan buat keluar dari lingkungan itu, misalnya kontraknya sudah habis
tiga tahun, bahkan baru saja kontraknya habis, pada hari itu juga mereka teken
kembali, sebab akan dapat pula voorschot lebih banyak dari gaji setiap bulan,
yang dapat dibayarkan kepada hutang-hutang lama dan lebihnya dibawa ke meja
judi. Mereka telah merasa beruntung di dalam keadaan yang demikian. Ada pula
yang sengaja pulang “perlop” ke tanah Jawa, tuan kebun menyuruhnya membeli
koper zink, dan kalau boleh hendaklah kereta anginnya yang dibelinya dengan “mindering”
itu dibawanya juga serta, supaya dapat dilihat orang sedesanya bahwa hidupnya
menjadi kontrak itu sangat beruntung.
Kuli-kuli itu terdiri dari laki-laki dan perempuan, ada
yang bersuami isteri dan ada datangnya tidak beristeri, tidak bersuami, datang
oleh karena ditipu oleh tengkulak-tengkulak pencari kuli, yang dinamai wervers.
Mereka ditipu, dikatakan bahwa pekerjaan di tanah Deli itu amat senang,
berteduh tidak kena panas, memang tidak kena panas di dalam rimba karet. Lampunya
tidak lampu minyak tanah, melainkan listerik, memang listerik lampu di pondok
panjang itu.
Yang agak senang hidupnya ialah kuli-kuli yang agak
cantik, senang menurut ukuran mereka. Kalau agak “licin” keningnya, dia boleh
dipungut oleh “tuan besar” menjadi nyai. Dari sanalah asal nyai-nyai Deli yang
telah masyhur di dalam riwayat itu. Setengahnya pula, mana yang merdu suaranya
dan telah ada pula kepandaiannya menari di tanah Jawa, asal saja tidak
terganggu pekerjaannya berkuli di siang hari, dia boleh jadi perempuan
ronggeng. Dan kalau sekiranya dia cantik dan berpenghasilannya besar, sedang
“tuan besar” tidak sudi kepadanya, bolehlah dia menjadi isteri “mandur besar”
entah isterinya yang ke tiga atau yang ke tujuh.
Kalau seorang kuli senang kepada kuli yang lain, dan
dia hendak hidup berdua, bolehlah dia minta saja sepotong surat kepada “mandur
besar”. Apabila “mandur besar” telah memberi surat, sahlah namanya pergaulan
mereka. Kelak kalau telah beranak-anak, barulah pergi mensahkan pergaulan itu
ke kota kepada tuan Qadhi.
Pedagang-pedagang kecil senang sekali berdagang ke
dalam kebun itu apabila tanggal satu gajian besar dan tanggal 15 gajian kecil
dan waktu menerima pinjaman. Bagi mereka hari yang dua itulah hari mencari
hidup, dan pada hari yang lain bolehlah mereka tinggal saja dirumah, tak usah
berjaja jauh-jauh sebab tidakkan laku. Sejak tanggal 10 – 14, dan sejak tanggal
17 – 29 mereka bekerja menjahit celana pendek, kebaya pendek, baju dan anak
baju yang akan dijajakan pula. Kuli-kuli lebih suka membeli kain yang telah
dijahit itu daripada menjahit sendiri. Dan kain-kain itu tak usah banyak yang
terlalu halus, karena yang halus-halus itu hanyalah pakaian nyai-nyai dan para isteri
“mandur besar”. Sehabis gajian dan berapa yang laku, mereka ke Medan, membeli
dagangan yang baru pula. Dengan demikian hiduplah pedagang kecil dari pedagang
menengah, pedagang menengah mengambil dari toko, dan tokopun lantaran penjualan
itu dapat pula memesan barang baru. Jadi sumber toko itu adalah dari pada
orang-orang kecil yang terbenam di dalam kebun-kebun the, pala dan kelapa
sawit, yang memakan mie hanya sekali sebulan itu.
Suara Deli yang demikianlah yang gemuruh kedengaran
kemana-mana ke sekeliling pulau Sumatera. Itulah yang membawa kaki orang
Tapanuli dan orang Minangkabau datang ke Deli sejak tanah Deli terbuka. Deli
itulah yang menyeru orang Amerika mencari dollar, orang kontrak mencari
sepiring mie sekali sebulan, orang dusun mencari dan mengumpulkan dari setali
ke setali. Itulah kelak yang akan dibawanya pulang ke kampuang, penebus
sawahnya yang tergadai atau penambah kerbaunya.
Di antara pedagang-pedagang yang banyak di dalam kebun
itu, adalah seorang anak muda dari Minangkabau, namanya si Leman. Dia
tinggal tiada jauh dari kebun itu. Tanggal satu dia tiba disana, tanggal lima
belaspun demikian pula.
Meskipun ketika dia meninggalkan kampungnya dahulu
telah diberi ingat benar-benar oleh orang tua-tua supaya hati-hati di tanah
Deli, supaya ingat bahwasanya laut sakti dan rantau batuah, meskipun
perniagaannya terlalu kecil dan langganannya belum banyak; meskipun dagangannya
belum begitu laku, semuanya itu tidak menghalangi dorongan darah mudanya.
Hatinya amat tertarik datang kekebun itu, bukan tertarik oleh berdagang, karena
lebih banyak orang lain yang berdagang daripadanya, lebih banyak barang
kawannya yang laku daripada barangnya.
Yang menarik hatinya ke kebun ialah seorang perempuan
yang cantik, masih muda. Dia isteri “piaraan” dari “mandur besar”. Barang
emasnya banyak, ringgit paun bersusun didadanya, bergelang kaki pula selain
gelang tangan, berkalung ringgit. Rupanya kuli itu tertarik kepada si Leman,
sehingga apabila Leman berjualan boleh dikatakan bahwa dia yang dahulu sekali
datang membeli, dan Leman sendiri pun amat sungguh hatinya mengembangkan tikarnya,
berseri saja mukanya meladeni pembeli, karena ada obat hatinya, yaitu perempuan
yang cantik pilihan itu. Heran hatinya, di antara kuli-kuli yang begitu banyak,
di antara orang-orang yang sebetulnya tidak dapat direkan, tedapat juga seorang
pilihan yang dapat tempat menyangkutkan hati.
Kuli-kuli yang lain tidak ada yang berani mengganggu
perempuan muda itu, maklumlah piaraan “mandur besar”. Hidup mereka bisa celaka,
bahwa nyawapun bisa terlepas dari badan, kalau isteri mandur besar yang
diganggu. Tetapi anak muda itu telah lupa daratan, dia lupa bahwa dia orang
luar, orang pereman, dia lupa kalau langkahnya terdorong kepada kuli itu, bukan
dia saja akan tercela atau diusir dari kebun itu, teman-teman sekampungnya yang
sama-sama berdagang disanapun akan diusur pula.