S
|
UDAH lama Leman merantau, sudah bertahun hari yang
habis. Dahulu ketika pertama kali membentang tikar, ketika akan mengajak
bekerja mencari penghidupan, belumlah olehnya teringat untuk pulang. Bagaimana
akan pulang, padahal hidup masih serba kurang. Pada ketika itu orang kampong
sendiripun tidak berapa ingat akan dia. Tetapi sekarang, penghidupan naik,
sejak membuka kedai, maka tiap-tiap orang yang baru kembali dari kampong
membawa pesan juga, meminta supaya Leman pulang, agak sebentarpun cukuplah.
Karena seruan kampong halaman, seruan pancuran tempat mandi lebih keras
rasanya, maka terbayang-bayanglah dimatanya negeri yang telah lama ditinggalkan
itu, teringat masa badan lagi kecil.
Sudah lama hal itu terpendam di dalam hati kecilnya. Maka pada suatu hari
dikabarkannyalah kepada istrinya tentang niat hendak pulang itu. Dan sudah
kepingin hendak bertemu dengan kaum kerabat, sudah terbayang-bayang dimatanya
halaman rumah famili.
Mendengar itu Poniem menegurkan kepala, sehabis suaminya bercakap baru dia
menengadah, seraya berkata : “kalau Abang seingin itu benar hendak pulang,
tidakkah teringat dihati Abang hendak membawa saya ?”
“Akan sukakah engkau melihat kampung halaman dan dusun kami yang sunyi,
Poniem ?”
“Bukan sunyi atau ramai kampung yang penting bagiku, Abang”, jawab Poniem.
“Yang penting bagiku ialah hendak mengenal kaum famili pula, hendak
memperhubungkan kasih sayang dengan mereka sekalian. Yang saya kenal selama ini
hanyalah pihak laki-laki, kemenakan saudara kita yang dating dari kampung.
Adapun yang perempuan, yang sama-sama tinggal dikampung belum lagi ku ketahui.
Sudah sekian lama kita bergaul, bukankah sudah patut saya berziarah dan
berkenalan dengan mereka ?”
“Saya takut, kalau-kalau ongkos terlalu besar,” jawab Leman pula dengan
sungguh-sungguh, karena dia maklum sudah, bagaimana beratnya ongkos kalau
pulang bersama-sama.
“Beratnya ongkos tidak perlu kita ingat. Di dalam menghubungkan kasih
sayang, menemui famili dan kaum kerabat tidaklah boleh kita menghitung ongkos.
Sekian lamanya kita bekerja siang dan malam, tidak bertuhur kain mengumpulkan
uang, sudah patut sekali-sekali kita ambil sebagaian kecil untuk melunasi
hutang kita, yaitu hutang yang tiada dapat dilunasi dengan harta.”
Mendengar jawab istrinya itu, Leman merasa menyesal, mengapa tidak dari
dia timbul ajakan pulang itu. Alangkah kurang penghargaannya terhadap istrinya
dan alangkah jujur hati istrinya terhadap padanya dan kepada kaum kerabatnya.
Maka ditentukanlah hari akan berangkat, habis gajian tiga puluh. Setelah
lepas gajian, berapa uang yang didapat telah ditahan, tidak dibelikan kepada
barang baru lagi. Kepada induk semang di Medan telah dikatakan terus terang
bahwa pada pangkal bulan yang sekali ini mereka tidak akan setor. Induk
semangpun tiada merasa keberatan, lantaran bagusnya perhubungan selama ini.
Poniem sejak waktu itu telah bekerja keras menyediakan buah tangan dan tanda
mata yang akan diberikan kepada famili di kampung, sehelai baju untuk uncu,
sehelai sarung untuk kakak, selendang untuk adik dan beberapa persalinan
pakaian untuk yang kecil-kecil. Leman tercengang dan merasa kagum melihat
perbuatan istrinya.
Pada hari yang telah ditentukan, yaitu tanggal tiga menurut hitungan bulan
Masehi, berangkatlah meraka pulang. Dua hari dua malam lamanya dijalan, melalui
Tarutung dan Sibolga. Kedai diserahkan penjaganya kepada Suyono. Piutang yang
kecil-kecil disuruh pungutkan kepadanya.
Ketika kedengaran bunyi deru oto yang berhenti dihalaman maka gadis-gadis
dan perempuan-perempuan muda yang sedang masak di dapur atau sedang menjaga
padi yang sedang terjemur dihalaman, supaya jangan dimakan ayam, demikian juga
perempuan-perempuan tua yang sedang menumbuk di lesung, berlari-larilah
semuanya ke jalan raya. Orang laki-laki yang sedang pergi ke surau hendak
sembahyang, tertegun langkahnya dan tercengang melihat oto yang berhenti itu,
melihat dagang baru pulang yang sedang duduk didalamnya. Peti bersusun
dibelakang oto itu, muatan yang lain sarat pula.
Baru saja oto berhenti, turunlah Leman. Lagaknya lagak Deli betul-betul,
memakai baju teluk belanga, sama corak bajunya dengan celana, bersamping kain
sarung halus, berpeci beludu tinggi dan berselop capal.
Kumisnya di potong
pendek, ketika ia tersenyum kelihatanlah giginya yang berpalut emas.
Perempuan-perempuan kaum kerabatnya itupun datanglah tergopoh-gopoh
sedekat oto berhenti, sambil serentak keluar dari mulut masing-masing mereka. “Abang
Leman”
Leman sendiripun menolehlah kedalam oto, sambil menunjuk. “Kakak kalian”
“Oh, ini kah kakak kami..? inikah mbak Ayu Poniem ? Oh, mengapa kakak diam
saja dari tadi ? marilah turun, marilah kita naik kerumah, disinilah kampung
buruk awak,” kata seorang perempuan muda yang sangat bijak mulutnya, lalu
disambutnya tangan Poniem di bawahnya turun dari oto dan naik kerumah.
Bertambah lama halaman itu bertambah ramai. Perempuan-perempuan tua datang
mendekati Leman, menciumi sekujur badannya, ada yang menangis. “Sudah lama
kampung engkau tinggalkan, masih hidup saya engku dapati, telah besar badan kau
kiranya”.
Leman tersenyum-senyum simpul saja, dia merasa amat bangga, ada rupanya
dia berfamili, ada rupanya dia berkaum kerabat. Poniem telah dibimbing oleh
perempuan-perempuan muda itu naik kerumah. Mereka tercengang-cengang dan kagum
melihat baju sutranya, sarung Jawa halusnya, peniti paun yang berderet
dibadannya, gelang kakinya, yang semuanya sudah seperti dahulu, karena sudah
dibeli gantinya. Mereka tercengang dan kagum melihat perempuan yang telah
beruntung mencuri hati saudara mereka, sehingga sudah bertahun-tahun lupa
kampung dan halaman.
Lalu Leman menolong sopir itu membongkari barang. Tetapi sebelum dia
bekerja, sudah datang saja anak-anak muda, familinya juga, menyuruhnya saja
naik kerumah, biarkan mereka yang mengurus barang-barang itu. Dengan senyum di
bayarnya ongkos oto, dipersilahkannya sopir itu naik kerumah dahulu, sopir itu
menolaknya, karena demikian adat. Diapun naik, dan perempuan-perempuan pun
telah banyak yang duduk mengelilingi Poniem dan menunjukkan muka yang suci,
hati yang jernih. Yang muda-muda yang pandai berbahasa Melayu mencoba-coba
berkata-kata dalam bahasa Melayu, karena sudah pernah juga merantau ke Deli.
Tetapi perempuan-perempuan yang agak tua hanya dapat berbicara dengan memakai
bahasa yang di pakai di kampung; “Lai selamat-selamat sajo di jalan?” Tanya
salah seorang dari mereka kepada Poniem !
“Lai,” jawab Poniem dengan senyumnya. Perempuan-perempuan muda tertawalah
dengan riuhnya, karena “Lai” yang di ucapkannya itu masih kaku. Tetapi mereka
sudah merasa senang, walaupun bergaul baru sepuluh menit, karena ramah tamah
dan baik budi Poniem itu. Dan perempuan tua itupun menjadi tertawaan yang
muda-muda.
Seorang perempuan tua bertanya pula. “Si Rapiah Lai ba suo di Labung?”
Pertanyaan inipun menimbulkan tertawa anak-anak muda pula, sebab dia
menanyakan cucunya yang merantau ke Lebong (Bengkulu), padahal Poniem dari
Deli.
Bagi orang kampung, asal saja sudah merantau lepas dari Bukittinggi,
tidaklah mereka tahu lagi apakah oto yang membawa anak cucunya untuk berangkat
menuju Lubuk Sikaping akan ke Deli, atau menuju Padang akan berlayar ke
Bengkulu.
Bukan main riuh rendahnya hari sehari itu, sampai semalam malaman. Poniem
sangat merasa beruntung dan bertembah hormatnya terhadap suaminya, sebab
diketahuinya bahwa suaminya itu tidaklah orang terbuang, melainkan rimbun
rampak dalam kaumnya, ada beradik berkakak, meskipun ibunya yang kandung sudah
tak ada lagi. Leman sendiri, yang tadinya menyangka kalau-kalau istrinya akan
terkunci saja mulutnya bergaul dengan perempuan-perempuan kampung, sekarang
sudah dapat memperhatikan, rupanya dia dapat duduk ketengah ketepi dan dapat
membawakan diri dimana-mana. Dalam sebentar waktu saja, seluruh kampung itu
telah memuji kebaikan perangai dan keelokan pergaulan Poniem. Di tepian tempat mandipun
telah tersebbut pula, telah menjadi buah mulut dalam kalangan
perempuan-perempuan muda, bahwa istri Leman adalah seorang yang baik budi.
“Memang amat baik budinyadan pandai bergaul, tahu dia seluk beluk adat
kita,” ujar seorang perempuan muda. !
“Sudah lama dia bergaul dengan orang awak, tentu tahu dia rasambesi orang
awak”, jawab seorang perempuan tua yang sedang menyaukkan periannya.
“Orang kita sendiri tidaklah akan serendah hati itu. Biasanya orang kita
apabila sudah dibawa oleh suaminya merantau, lalu pulang kekampuang, subangnya
bertahta intan, dia telah sombong. Bertegur sapa dengan kita dia merasa
keberatan, kita disangkanya sarap dan kotoran saja. Tetapi mbak Ayu Poniem itu
bukan begitu, harta bendanya seakan-akan tidak diacuhkannya, mulutnya manis,
tegur sapanya terpuji.”
“Cuma satu saja salahnya,” ujar perempuan tua itu, yang periannya sudah
hampir penuh.
“Apa ?” tanya perempuan muda itu.
“Dia bukan orang kita,” ujar perempuan tua itu.
“Iya, itu sajalah salahnya, itu saja yang rasa keberatan. Meskipun budinya
baik, kelakuannya terpuji, sayang dia tidak orang kita. Bagaimanapun kekayaan
yang didapat Leman, tentu setinggi-tinggi melambung akan kembali ketanah jua,
kemana kekayaan yang sebanyak itu akan dibawa.”
Seorang perempuan lain yang sedang menggosok-gosok punggungnya dengan
sabun pencuci kain menjawab pula.
“Tetapi kan dia tidak beranak. Sebab itu tidaklah berapa susah.”
Itulah yang mereka fikirkan, betul Poniem baik budi, perangainya disetujui
orang kampung, pergaulannya tiada cacatnya, Cuma sayang dia bukan orang “Awak”.
Dan mereka merasa syukur juga, sebab Leman tidak beranak dengan dia.
Itulah perasaan umum di dalam kampung, mereka puji Poniem dan mereka
sanjung, tidak ada perangainya yang patut dicela, tetapi mereka belum puas, dia
tidak “orang awak”.
Sedianya akan lama mereka akan tingal di kampung, mencapai sebulan atau
dua bulan. Tetapi lima belas hari, mereka telah merasa bosan, telah merasa
sebagai tertijak di bara panas, baik Leman apalagi Poniem. Apakah sebabnya ?
Mereka dua laki istri, sudah lebih setengah bulan tinggal di kampung,
tetapi tidak leluasa didalam pergaulan. Rumah kerabat Leman, tidak di diami
oleh kerabat-kerabatnya yang perempuan, mereka hidup dengan suami masing-masing
di dalam bilik masing-masing. Rumah-rumah di Minangkabau tidak tersedia untuk
saudara laki-laki yang hendak membawa istrinya tinggal disana. Dimana Poniem
hendak diletakkannya ?.
Kalau Poniem orang Minangkabau, tentu dia naik ke atas rumahnya sendiri.
Sekarang Poniem bukan orang Minangkabau, kaum kerabat tepatnya tidak ada, tentu
dia dibawa kerumah kaum kerabat Leman. Padahal rumah itu tlah terbagi untuk
saudara-saudara dan kemenakan-kemenakan yang perempuan dengan suaminya
masing-masing. Tidak adat dan bukan lembaga, seorang laki-laki membawa istrinya
kerumah saudara perempuannya.
Dahulu, ketika akan pulang kampung tidaklah terfikir olehnya hal ini,
sebab hatinya gembira hendak pulang saja. Tetapi sekarang, kian lama kian rumit
dan susah. Hal ini terasa olehnya dan oleh istrinya sendiripun kelihatan terasa
pula. Hatinya sudah mulai kesal saja, tetapi sukar sekali mereka akan bertemu.
Sebelum cukup dua puluh hari, sedang perempuan-perempuan lain pergi mandi ke
pancuran, Poneim telah menghampiri suaminya. “Bilakah kita akan kembali ke
Medan ?” Leman menjawab “Abang pun sudah merasa lebih baik kita segera kembali
ke Medan.” Maka tentukanlah hari untuk berangkat.
Pada suatu malam sebelum meraka berangkat, terlambat benar Leman pulang
dari surau, biasanya pukul sembilan dia sudah pulang, sekarang sudah lewat.
Saudara-saudaranya yang perempuan menanyakannya kepada anak-anak yang telah
kembali dari surau, kenapa Leman terlambat, mereka menjawab bahwa engku Sutan
Panduko mengajaknya berbicara berdua saja, sangat lama mereka berbicara.
Pukul sebelas malam barulah dia pulang. Tidak ada yang tahu apakah isi
pembicaraan mereka itu. Esok paginya dia pun berangkat kembali ke Medan. Ramai
pula perempuan-perempuan muda yang mengantarkannya ke oto, lebih-lebih yang
telah menjadi sahabat Poniem. Sedih juga hati Poniem akan meninggalkan
sahabat-sahabat itu, sayang dia tidak dapat tinggal lama di kampung.
Orang-orang yang mengantarkan itu ada yang memberi ampiang, kue bika, kalamai
Payakumbuh dan lain-lain makanan cara Minangkabau.
Leman, sejak dia disambut beramai-ramai, dan dilepas beramai-ramai pula,
terasalah olehnya kembali bagaimana eratnya pertalian famili. Meskipun
bagaimana dia terpisah selama ini, jauh terbuang kemanapun dia, walau bagaimana
senangnya, hidup dirantau, namun dia tetap anak Minangkabau.