VI. P U L A N G

S
UDAH lama Leman merantau, sudah bertahun hari yang habis. Dahulu ketika pertama kali membentang tikar, ketika akan mengajak bekerja mencari penghidupan, belumlah olehnya teringat untuk pulang. Bagaimana akan pulang, padahal hidup masih serba kurang. Pada ketika itu orang kampong sendiripun tidak berapa ingat akan dia. Tetapi sekarang, penghidupan naik, sejak membuka kedai, maka tiap-tiap orang yang baru kembali dari kampong membawa pesan juga, meminta supaya Leman pulang, agak sebentarpun cukuplah. Karena seruan kampong halaman, seruan pancuran tempat mandi lebih keras rasanya, maka terbayang-bayanglah dimatanya negeri yang telah lama ditinggalkan itu, teringat masa badan lagi kecil.

Sudah lama hal itu terpendam di dalam hati kecilnya. Maka pada suatu hari dikabarkannyalah kepada istrinya tentang niat hendak pulang itu. Dan sudah kepingin hendak bertemu dengan kaum kerabat, sudah terbayang-bayang dimatanya halaman rumah famili.

Mendengar itu Poniem menegurkan kepala, sehabis suaminya bercakap baru dia menengadah, seraya berkata : “kalau Abang seingin itu benar hendak pulang, tidakkah teringat dihati Abang hendak membawa saya ?”

“Akan sukakah engkau melihat kampung halaman dan dusun kami yang sunyi, Poniem ?”

“Bukan sunyi atau ramai kampung yang penting bagiku, Abang”, jawab Poniem.

“Yang penting bagiku ialah hendak mengenal kaum famili pula, hendak memperhubungkan kasih sayang dengan mereka sekalian. Yang saya kenal selama ini hanyalah pihak laki-laki, kemenakan saudara kita yang dating dari kampung. Adapun yang perempuan, yang sama-sama tinggal dikampung belum lagi ku ketahui. 

Sudah sekian lama kita bergaul, bukankah sudah patut saya berziarah dan berkenalan dengan mereka ?”

“Saya takut, kalau-kalau ongkos terlalu besar,” jawab Leman pula dengan sungguh-sungguh, karena dia maklum sudah, bagaimana beratnya ongkos kalau pulang bersama-sama.

“Beratnya ongkos tidak perlu kita ingat. Di dalam menghubungkan kasih sayang, menemui famili dan kaum kerabat tidaklah boleh kita menghitung ongkos. Sekian lamanya kita bekerja siang dan malam, tidak bertuhur kain mengumpulkan uang, sudah patut sekali-sekali kita ambil sebagaian kecil untuk melunasi hutang kita, yaitu hutang yang tiada dapat dilunasi dengan harta.”

Mendengar jawab istrinya itu, Leman merasa menyesal, mengapa tidak dari dia timbul ajakan pulang itu. Alangkah kurang penghargaannya terhadap istrinya dan alangkah jujur hati istrinya terhadap padanya dan kepada kaum kerabatnya.

Maka ditentukanlah hari akan berangkat, habis gajian tiga puluh. Setelah lepas gajian, berapa uang yang didapat telah ditahan, tidak dibelikan kepada barang baru lagi. Kepada induk semang di Medan telah dikatakan terus terang bahwa pada pangkal bulan yang sekali ini mereka tidak akan setor. Induk semangpun tiada merasa keberatan, lantaran bagusnya perhubungan selama ini. Poniem sejak waktu itu telah bekerja keras menyediakan buah tangan dan tanda mata yang akan diberikan kepada famili di kampung, sehelai baju untuk uncu, sehelai sarung untuk kakak, selendang untuk adik dan beberapa persalinan pakaian untuk yang kecil-kecil. Leman tercengang dan merasa kagum melihat perbuatan istrinya.

Pada hari yang telah ditentukan, yaitu tanggal tiga menurut hitungan bulan Masehi, berangkatlah meraka pulang. Dua hari dua malam lamanya dijalan, melalui Tarutung dan Sibolga. Kedai diserahkan penjaganya kepada Suyono. Piutang yang kecil-kecil disuruh pungutkan kepadanya.

Ketika kedengaran bunyi deru oto yang berhenti dihalaman maka gadis-gadis dan perempuan-perempuan muda yang sedang masak di dapur atau sedang menjaga padi yang sedang terjemur dihalaman, supaya jangan dimakan ayam, demikian juga perempuan-perempuan tua yang sedang menumbuk di lesung, berlari-larilah semuanya ke jalan raya. Orang laki-laki yang sedang pergi ke surau hendak sembahyang, tertegun langkahnya dan tercengang melihat oto yang berhenti itu, melihat dagang baru pulang yang sedang duduk didalamnya. Peti bersusun dibelakang oto itu, muatan yang lain sarat pula. 

Baru saja oto berhenti, turunlah Leman. Lagaknya lagak Deli betul-betul, memakai baju teluk belanga, sama corak bajunya dengan celana, bersamping kain sarung halus, berpeci beludu tinggi dan berselop capal. 

Kumisnya di potong pendek, ketika ia tersenyum kelihatanlah giginya yang berpalut emas. 

Perempuan-perempuan kaum kerabatnya itupun datanglah tergopoh-gopoh sedekat oto berhenti, sambil serentak keluar dari mulut masing-masing mereka. “Abang Leman” 

Leman sendiripun menolehlah kedalam oto, sambil menunjuk. “Kakak kalian”

“Oh, ini kah kakak kami..? inikah mbak Ayu Poniem ? Oh, mengapa kakak diam saja dari tadi ? marilah turun, marilah kita naik kerumah, disinilah kampung buruk awak,” kata seorang perempuan muda yang sangat bijak mulutnya, lalu disambutnya tangan Poniem di bawahnya turun dari oto dan naik kerumah.

Bertambah lama halaman itu bertambah ramai. Perempuan-perempuan tua datang mendekati Leman, menciumi sekujur badannya, ada yang menangis. “Sudah lama kampung engkau tinggalkan, masih hidup saya engku dapati, telah besar badan kau kiranya”.

Leman tersenyum-senyum simpul saja, dia merasa amat bangga, ada rupanya dia berfamili, ada rupanya dia berkaum kerabat. Poniem telah dibimbing oleh perempuan-perempuan muda itu naik kerumah. Mereka tercengang-cengang dan kagum melihat baju sutranya, sarung Jawa halusnya, peniti paun yang berderet dibadannya, gelang kakinya, yang semuanya sudah seperti dahulu, karena sudah dibeli gantinya. Mereka tercengang dan kagum melihat perempuan yang telah beruntung mencuri hati saudara mereka, sehingga sudah bertahun-tahun lupa kampung dan halaman.

Lalu Leman menolong sopir itu membongkari barang. Tetapi sebelum dia bekerja, sudah datang saja anak-anak muda, familinya juga, menyuruhnya saja naik kerumah, biarkan mereka yang mengurus barang-barang itu. Dengan senyum di bayarnya ongkos oto, dipersilahkannya sopir itu naik kerumah dahulu, sopir itu menolaknya, karena demikian adat. Diapun naik, dan perempuan-perempuan pun telah banyak yang duduk mengelilingi Poniem dan menunjukkan muka yang suci, hati yang jernih. Yang muda-muda yang pandai berbahasa Melayu mencoba-coba berkata-kata dalam bahasa Melayu, karena sudah pernah juga merantau ke Deli. Tetapi perempuan-perempuan yang agak tua hanya dapat berbicara dengan memakai bahasa yang di pakai di kampung; “Lai selamat-selamat sajo di jalan?” Tanya salah seorang dari mereka kepada Poniem !
“Lai,” jawab Poniem dengan senyumnya. Perempuan-perempuan muda tertawalah dengan riuhnya, karena “Lai” yang di ucapkannya itu masih kaku. Tetapi mereka sudah merasa senang, walaupun bergaul baru sepuluh menit, karena ramah tamah dan baik budi Poniem itu. Dan perempuan tua itupun menjadi tertawaan yang muda-muda.

Seorang perempuan tua bertanya pula. “Si Rapiah Lai ba suo di Labung?” 

Pertanyaan inipun menimbulkan tertawa anak-anak muda pula, sebab dia menanyakan cucunya yang merantau ke Lebong (Bengkulu), padahal Poniem dari Deli.

Bagi orang kampung, asal saja sudah merantau lepas dari Bukittinggi, tidaklah mereka tahu lagi apakah oto yang membawa anak cucunya untuk berangkat menuju Lubuk Sikaping akan ke Deli, atau menuju Padang akan berlayar ke Bengkulu.

Bukan main riuh rendahnya hari sehari itu, sampai semalam malaman. Poniem sangat merasa beruntung dan bertembah hormatnya terhadap suaminya, sebab diketahuinya bahwa suaminya itu tidaklah orang terbuang, melainkan rimbun rampak dalam kaumnya, ada beradik berkakak, meskipun ibunya yang kandung sudah tak ada lagi. Leman sendiri, yang tadinya menyangka kalau-kalau istrinya akan terkunci saja mulutnya bergaul dengan perempuan-perempuan kampung, sekarang sudah dapat memperhatikan, rupanya dia dapat duduk ketengah ketepi dan dapat membawakan diri dimana-mana. Dalam sebentar waktu saja, seluruh kampung itu telah memuji kebaikan perangai dan keelokan pergaulan Poniem. Di tepian tempat mandipun telah tersebbut pula, telah menjadi buah mulut dalam kalangan perempuan-perempuan muda, bahwa istri Leman adalah seorang yang baik budi.

“Memang amat baik budinyadan pandai bergaul, tahu dia seluk beluk adat kita,” ujar seorang perempuan muda. !

“Sudah lama dia bergaul dengan orang awak, tentu tahu dia rasambesi orang awak”, jawab seorang perempuan tua yang sedang menyaukkan periannya.

“Orang kita sendiri tidaklah akan serendah hati itu. Biasanya orang kita apabila sudah dibawa oleh suaminya merantau, lalu pulang kekampuang, subangnya bertahta intan, dia telah sombong. Bertegur sapa dengan kita dia merasa keberatan, kita disangkanya sarap dan kotoran saja. Tetapi mbak Ayu Poniem itu bukan begitu, harta bendanya seakan-akan tidak diacuhkannya, mulutnya manis, tegur sapanya terpuji.”

“Cuma satu saja salahnya,” ujar perempuan tua itu, yang periannya sudah hampir penuh.

“Apa ?” tanya perempuan muda itu.

“Dia bukan orang kita,” ujar perempuan tua itu.

“Iya, itu sajalah salahnya, itu saja yang rasa keberatan. Meskipun budinya baik, kelakuannya terpuji, sayang dia tidak orang kita. Bagaimanapun kekayaan yang didapat Leman, tentu setinggi-tinggi melambung akan kembali ketanah jua, kemana kekayaan yang sebanyak itu akan dibawa.” 

Seorang perempuan lain yang sedang menggosok-gosok punggungnya dengan sabun pencuci kain menjawab pula.

“Tetapi kan dia tidak beranak. Sebab itu tidaklah berapa susah.”

Itulah yang mereka fikirkan, betul Poniem baik budi, perangainya disetujui orang kampung, pergaulannya tiada cacatnya, Cuma sayang dia bukan orang “Awak”. Dan mereka merasa syukur juga, sebab Leman tidak beranak dengan dia. 

Itulah perasaan umum di dalam kampung, mereka puji Poniem dan mereka sanjung, tidak ada perangainya yang patut dicela, tetapi mereka belum puas, dia tidak “orang awak”. 

Sedianya akan lama mereka akan tingal di kampung, mencapai sebulan atau dua bulan. Tetapi lima belas hari, mereka telah merasa bosan, telah merasa sebagai tertijak di bara panas, baik Leman apalagi Poniem. Apakah sebabnya ?

Mereka dua laki istri, sudah lebih setengah bulan tinggal di kampung, tetapi tidak leluasa didalam pergaulan. Rumah kerabat Leman, tidak di diami oleh kerabat-kerabatnya yang perempuan, mereka hidup dengan suami masing-masing di dalam bilik masing-masing. Rumah-rumah di Minangkabau tidak tersedia untuk saudara laki-laki yang hendak membawa istrinya tinggal disana. Dimana Poniem hendak diletakkannya ?.

Kalau Poniem orang Minangkabau, tentu dia naik ke atas rumahnya sendiri. Sekarang Poniem bukan orang Minangkabau, kaum kerabat tepatnya tidak ada, tentu dia dibawa kerumah kaum kerabat Leman. Padahal rumah itu tlah terbagi untuk saudara-saudara dan kemenakan-kemenakan yang perempuan dengan suaminya masing-masing. Tidak adat dan bukan lembaga, seorang laki-laki membawa istrinya kerumah saudara perempuannya.

Dahulu, ketika akan pulang kampung tidaklah terfikir olehnya hal ini, sebab hatinya gembira hendak pulang saja. Tetapi sekarang, kian lama kian rumit dan susah. Hal ini terasa olehnya dan oleh istrinya sendiripun kelihatan terasa pula. Hatinya sudah mulai kesal saja, tetapi sukar sekali mereka akan bertemu. Sebelum cukup dua puluh hari, sedang perempuan-perempuan lain pergi mandi ke pancuran, Poneim telah menghampiri suaminya. “Bilakah kita akan kembali ke Medan ?” Leman menjawab “Abang pun sudah merasa lebih baik kita segera kembali ke Medan.” Maka tentukanlah hari untuk berangkat.

Pada suatu malam sebelum meraka berangkat, terlambat benar Leman pulang dari surau, biasanya pukul sembilan dia sudah pulang, sekarang sudah lewat. Saudara-saudaranya yang perempuan menanyakannya kepada anak-anak yang telah kembali dari surau, kenapa Leman terlambat, mereka menjawab bahwa engku Sutan Panduko mengajaknya berbicara berdua saja, sangat lama mereka berbicara. Pukul sebelas malam barulah dia pulang. Tidak ada yang tahu apakah isi pembicaraan mereka itu. Esok paginya dia pun berangkat kembali ke Medan. Ramai pula perempuan-perempuan muda yang mengantarkannya ke oto, lebih-lebih yang telah menjadi sahabat Poniem. Sedih juga hati Poniem akan meninggalkan sahabat-sahabat itu, sayang dia tidak dapat tinggal lama di kampung. Orang-orang yang mengantarkan itu ada yang memberi ampiang, kue bika, kalamai Payakumbuh dan lain-lain makanan cara Minangkabau.

Leman, sejak dia disambut beramai-ramai, dan dilepas beramai-ramai pula, terasalah olehnya kembali bagaimana eratnya pertalian famili. Meskipun bagaimana dia terpisah selama ini, jauh terbuang kemanapun dia, walau bagaimana senangnya, hidup dirantau, namun dia tetap anak Minangkabau.

Template by:

Free Blog Templates