NASAB ANAK LUAR NIKAH PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN NASIONAL

Oleh : Jumni Nelli, M.Ag
Dosen Tetap Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN Suska.
Alamat: Jalan Balam Sakti. No. 8. Panam Pekanbaru.
Hp. 081365698661
========================================
Abstract
Free associations between adolescent which is a lot of happened in this time, oftentimes through out to impact of negativity which is not desired, like relation of external sex marry and the external pregnancy marry. External pregnancy marries will bear “lovechild” so the view socialication. From facet of the children law clear is chid of mother, but how his relation with father biologist? This problem is writer see from two in perpective; Islamic law and conjugal right National. From various literature which the writer of have conclusion that lineage of child in law of Islam as legality ofrelationship which is pursuant to cognation, inconsequence of valid nuptials, marry faced, and senggama subhat. According to law of Islam, status of child of outside marrying compared to by child of adultery and child lian. The consequence is there no relation of lineage of child with father biologist: there no rights and obligations of between child and father biologist: maintenance, heir and others; and cannot also become sponsor in his childs wedding, if his child is female. Is conjugal right in Indonesia arrangement of about lineage of child of outside marrying, only implicitly in comprehending that shild of outside marrying only own relation of civil whih mother and her mother family, this means the child do not get right and obligations from father biologist.

I. Pendahuluan

Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk meninggkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status social orang tua.

Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal, anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk, tinggi, maupun rendah. Anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya.

Begitu pentingnya eksistensi anak dalam kehidupan manusia, maka Allah SWT mensyari’atkan adanya perkawinan. Pensyari’atan perkawinan memiliki tujuan antara lain untuk berketurunan (memiliki anak) yang baik, memelihara nasab, menghindarkan diri dari penyakit dan menciptakan kaluarga yang sakinah.


Sebagaimana firman Allah SWT.,dalam surat al-Rum ayat 21: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya adalah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendri supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepdanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang''.

Sesungguhnya pada yang demikin itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” Oleh karena itu agama Islam melarang perzinaan.

Hukum Islam memberi sanksi yang berat terhadap perbuatan zina. Karena zina dapat mengakibatkan ketidak jelasan keturunan. Sehingga ketika lahir anak sebagai akibat dari perbuatan zina, maka akan ada keraguan tentang siapa bapaknya.

Dengan adanya perkawinan setiap anak yang lahir dari tempat tidur suami, mutlak menjadi anak dari suami itu, tanpa memerlukan pengakuannya darinya.

Hal ini diungkapkan dalam al-Qur’an surat al-Isra’ : 32: Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji. Dan suatu jalan yang buruk”.

Hadist Nabi, dari Abu Hurairah r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda :  
“Anak itu adalah untuk pemilik tilam dan bagi pezina adalah hukuman rajam”

 Pergaulan bebas antara muda-mudi yang banyak terjadi sekarang ini, seringkali membawa kepada hal-hal yang negatif yang tidak dikehendaki, seperti hubungan sex luar nikah dan hamil luar nikah.

Hal ini disebabkan oleh adanya pergesekan budaya, sehingga pada saat ini menggejala dimasyarakat adanya hidup bersama antara seorang pria dan wanita tanpa adanya ikatan perkawinan. Anak yang lahir di luar nikah mendapatkan julukan dalam masyarakat sebagai anak haram, hal ini menimbulkan gangguan psikologis bagi anak, walaupun secara hukum anak tersebut tidak mempunyai akibat hukum dari perbuatan orang tuanya, namun banyak persoalan yang muncul akibat hamil luar nikah tersebut, seperti hubungan nasab antara anak dengan bapak biologisnya, dan lain sebagainya dari berbagai perspektif hukum.

Dari latar belakang masalah di atas, pernulis tertarik untuk membahas tentang status nasab anak luar nikah dalam perspektif hukum Islam dan hukum perkawinan nasional. Yang disitemasir dari  

II. Nasab Dalam Hukum Islam.

Nasab dalam doktrinal Islam merupakan sesuatu yang sangat penting, hal ini dapat dilihat dalan sejarah Islam, ketika Nabi Muhammad SAW mengangkat seorang anak yang bernama Zaid bin Haritsah. Kemudian oleh orang-orang dinasabkan kepada Nabi, mendapatkan keteguran dari Allah SWT.

Dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 4-5 yang berbunyi:
Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hatidalam rongganya; dan dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu dzibar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmua (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya. Dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggillah) mereka sebagai) saudara-sauadaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa anak angkat tidak dapat menjadi anak kandung, ini dipahami dari lafaz wa majaala adiya-akum abna-akum. Dan kemudian dijelaskan bahwa anak angkat tetap dinasabkan kepada ayah kandungnya, bukan kepada bapak angkatnya. Ini dipahami dari lafaz udu-hum li abaihim

 Dalam sebuah hadist Nabi Muhammad SAW bersabda:
“barang siapa menisbahkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga”

Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa, seseorang tidak boleh menasabkan dirinya kepada selain ayah kandunganya, apabila ia tahu siapa ayahnya. Hal ini dipahami dari lafaz fal jannatu „alaihi haramum. Orang tidak boleh masuk surga adalah orang yang berdosa.

Jadi apabila seseorang menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, sedangkan dia tahu bahwa itu bukan ayahnya maka dia termasuk orang yang berdosa. Nasab merupakan nikmat yang palingh besar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya, sebagaimana firman dalam surat al-Furqan ayat 54 yang berbunyi:
Dan dia pula yang menciptakan manusia dari air, lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan adalah tuhanmu yang maha kuasa'''

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa nasab merupakan sesuatu nikamat yang berasal dari allah. Hal ini dipahami dari lafaz fa jaalahu nasabaa. Dan nasab juga merupakan salah satu dari lima maqasid al-syariah.

1. Pengertian Nasab

Istilah nasab secara bahasa diartikan dengan kerabat, keturunan atau menetapkan keturanan

Sedangkan menurut istilah ada beberpa definisi tentang nasab, diantaranya yaitu :

  1. nasab adalah keturunan ahli waris atau keluarga yang berhak menerima harta warisan karena adanya pertalian darah atau keturunan
  2. Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Dan nasab merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam membinan suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat pribadi berdasarkan kesatuan darah.
  3. Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili nasab didefinisikan sebagai suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah atau pertibangan bahwa yang satu adalah bagian dari yang lain. Misalnya seorang anak adalah bagian dari ayahnya, dan seorang ayah adalah bagian dari kakeknya. Dengan demikian orang-orang yang serumpun nasab adalah orang-orang yang satu pertalian darah.
  4. Sedangkan menurut Ibn Arabi nasab didefinisikan sebaga ibarat dari hasil percampuran air antara seorang laki-laki dengan seorang wanita menurut keturunan-keturunan syar’i.

Dari beberapa definisi tentang nasab di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nasab adalah legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan tali darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yangsah, atau nikah fasid, atau senggama subhat. Nasab merupakan sebuah pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian anak itu berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab.

2. Dasar-Dasar Nasab Menurut Fiqh Islam

Para ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya terjadi disebabkan karena kehamilan disebabkan karena adanya hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang laki-laki, baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad nikah maupun melalui perzinaan.

Adapun dasar-dasar tetapnya nasab dari seorang anak kepada bapaknya, bisa terjadi dikarenakan oleh beberapa hal yaitu :

a. Melalui Pernikahan Yang Sah

Para ulama fiqh sepakat bahwa para wanita yang bersuami dengan akad yang sah apabila melahirkan maka anaknya itu dinasabkan kepada suaminya itu. Mereka berdasarkan pendapat tersebut antara lain pada hadist :anak-anak yang dilahirkan adalah untuk laki-laki yang punya isteri (yang melahirkan anak itu ) dan bagi pezina adalah rajam'''.

Anak yang dilahirkan itu dinasabkan kepada suami ibu yang melahirkan dengan syarat antara lain

(1). Menurut kalangan hanafiyah anak itu dilahirkan enam bulan setelah perkawinan. Dan jumhur ulama menambahkan dengan syarat suami isteri itu telah melakukan senggama. Jika kelahiran itu kurang dari enam bulan, maka anak itu dapat dinasabkan kepada suami si wanita.

Batasan enam bulan ini didasarkan pada kesepakatan para ulama, bahwa masa minimal kehamilan adalah enam bulan.

Kesimpulan ini mereka ambil dari pemahaman beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya fiirman Allah SWT dalam surat al-Ahqaf ayat 15 yang berbunyi:
"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkan dengan susah payah pula, mengandung sampai menyapihnya adalah selama tiga puluh bulan sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa : ya Tuhanku , tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat engkau yang telah engau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya akau dapat berbuat amal sholeh yang engkau ridhai; berikanlah kebaikan kepadaku denagan memberikan kebaikan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada engkau dan sesungguhnya ajau termasuk orang-orang yang berserah diri".

Dan firman Allah SWT dalam surat Luqman ayat 4 yang berbunyi:
"Dan kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya selama dua tahun”

Dalam surat al-Ahqaf ayat dijelaskan bahwa masa kehamilan dan menyusui adalah 30 bulan, tanpa ada perincian berapa masa menyusui dan berpa masa kehamilan. Surat luqman ayat 14 menjelaskan masa menyusuai adalah 2 tahun atau 24 (dua puluh empat) bulan. Dari ini dapat dipahami masa minimal kehamilan adalah enam bulan.

Pada masa Khalifah Usman Bin Affan pernah terjadi suatu peristiwa seorang wanita setelah enam bulan menikah, dia melahirkan. Suaminya merasa curiga dan melapor kepada Usman bin Affan. Dan Usaman bin Affan berencana merajamnya, karena diduga si wanita telah melakukan perzinahan dengan laki-laki lain.

Masalahnya ini diketahui oleh Ibnu Abbas, kemudian dia berkata :
“sesungguhnya jika wanita ini membela dirinya dengan memakai kitab allah (al-Qur’an), niscaya kalian akan terkalahkan”. Kemudian Ibnu Abbas menyampaikan ayat di atas dengan menyimpulkannya bahwa masa minimal kehamilan bagi seorang wanita adalah enam bulan.

(2). Laki-laki yang menjadi suami wanita tersebut haruslah seseorang yang memungkinkan memberikan berketurunan, yang menurut kesepakatan ulama adalah laki-laki yang sudah baligh. Oleh karena itu, anak yang dilahitkan oleh seorang wanita dengan suami yang masih kecil, yang menurut kebiasaan belum bisa berketurunan, atau yang tidak bisa melakukan senggama tidak bisa dinasabkan kepada suaminya, meskipun anak itu lahir setelah enam bulan dari perkawinan.

(3). Suami isteri pernah bertemu minimal satu kali setelah akad nikah. Hal ini disepakati oleh ulama. Namun mereka berbeda dalam mengartikan kemungkinan bertemu, apakah pertemuan tersebut bersifat lahiriyah atau bersifat perkiraan. Ulama hanafiyah berpendapat bahwa pertemuan berdasarkan perkiraan menurut logika bisa terjadi. Oleh sebab itu, apabila wanita itu hamil selama enam bulan sejak ia diperkirakan bertemu dengan suaminya, maka anak yang lahir dari kandungannya itu dinasabkan kepada suaminya. Namun argumentasi ini ditolah oleh jumhhur ulama.

b. Nasab Yang Ditetapkan Melalui Pernikahan Fasid

Pernikah fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam keadaan cacat syarat sahnya. Misalnya menikahi wanita yang masih dalam masa iddah. Menurut kesepakatan ulama fdiqh penetapan nasab anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama denganpenetapan nasab anak dalam pernikahan yang sah. Akan tetapi ulama fiqh mengemukakan tiga syarat dalam penetapan nasab anak anak dalam pernikaha fasid tersebut :

  1. suami punya kemampuan menjadikan isterinya hamil, yaitu seorang yang baligh dan tidak memiliki satu penyakit yang bisa menyebabkan isterinya tidak hamil.
  2. hubungan senggama bisa dilaksakan,
  3. anak dilahirkan dalam waktu enam bulan atau lebih setelah terjadinya akad fasid (menurut jumhur ulama) dan sejak hubungan senggama (menurut ulama hanafiyah). Apabila anak itu lahir sebelum waktu enam bulan setelah akad nikah atau melakukan hubungan senggama, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita tersebut.

Apabila anak lahir setelah pasangan suami isteri melakukan senggama dan berpisah, dan anak itu lahir sebelum masa maksimal masa kehamilan, maka anak itu dinasabkan kepada suami wanita tersebut. Namun jika anak itu lahir setelah masa maksimal kehamilan, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita tersebut.

c. Nasab Yang Disebabkan Karena Senggama Subhat

Senggama subhat maksudnya terjadinya hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang dalam keyakinannya adalah isterinya. Nasab disini menjadi diakui bukan karena terjadinya pernikahan yang sah dan bukan pula karena adanya senggama dalam akad nikah yang fasid dan bukan pula dari perbutana zina, tetapi karena telah terjadi kesalahdugaan. Misalnya; dalam keadaan malam yang gelap seorang laki-laki menyenggamai seorang wanita didalam kamarnya yang menurut keyakinannya adalah isterinya. Dalam kasus seperti ini jika wanita itu hamil dan melahirkan setelah enam bulan sejak terjadinya senggama subhat dan sebelum masa maksimal kehamilan, maka anak yang lahir itu dinasabkan kepada laki-laki yang menyenggamainya. Akan tetapi jika anak itu lahir setelah masa maksimal masa kehamilan maka anak itu tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki itu.

3. Status Anak Luar Nikah Menurut Hukum Islam

Mengenai status anak luar nihah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris.

Dalam hal anak diluar nikah ini, penulis membagi ke dalam dua kategori :

a. Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah.

Menurut Imam Malik dan imam Syafi’i, anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya. Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah.

22 Perbedaan pendapat ini disebabkan karena terjadinya perbedaan ulama dalam mengartikan lafaz fiarsy, dalam hadist nabi :anak itu bagi pemilik tilam dan bagi pezina adalah hukum rajam”. Mayoritas ulama mengartikan lafadz firasy menunjukkan kepada perempuan, yang diambilkan ibarat dari tingkah iftirasy (duduk berlutut). Namun ada juga ulama yang mengartikan kepada laki-laki (bapak).

b. Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah

Status anak diluar nikah dalam kategiri yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak lian, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut:
(a)    tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memebrikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum.
(b)   tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan.
(c)    bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak diluar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.

III. Nasab Dalam Humum Perkawinan Indonesia

Hukum perkawinan di Indonesia adalah segala peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Hukum perkawinan di Indonesia ini meliputi :
1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974

Sejak berlakunya UU No. 1 1974, maka segala peraturan yang mengatur tentang perkawinan menjadi tidak berlaku.

Hal ini dijelaskan dalam pasal 66 undang-undang perkawinan yang menyatakan : untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang hukum perdata (Burgerlijk wetbook), ordonansi perkawinan Indonesia Kristen (Huwerlijk ordonantie Christen indonesiers S. 1933 No. 74), peraturan perkawinan campuran (Regelling op de Gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158) dan peraturan-praturan lain yang mengatur tentang perlawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975

Untuk meleksanakan undang-undang No. I tahun 1974 tentang perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan antara lain menyangkut masalah pencatatan perkawinan, tata cara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang dan sebagainya.
Peraturan pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tersebut, yang diharapkan akan dapat memperlancar dan mengamankan pelaksanan dari undang-undang tersebut. Dengan keluarnya peraturan pemerintah ini, maka telah pastilah saat mulainya pelaksanaan secara efektif undang-undang No. 1 tahunm 1974 tentang perkawinan tersebut, ialah pada tanggal 1 oktober 1975.

3. Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai pegangan bagi para hakim bagi pengadilan agama memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadikan kewenangannya. KHI juga sebagai pegangan bagi masyarakat mengenai hukum islam yang berlaku baginya yang sudah merupakan hasil rumusan yang diambil dari berbagai kitab fiqh yang semula tidak dapat mereka baca secara langsung.

Berdasarkan Inpres No. 1 tahun 1991, dan Keputusan Mentri Agama Republik Indonesia No. 154 Tahun 1991, dan surat edaran pembinaan badan peradilan agam islam atas nama direktur jendral pembinaan kelembagaan agama islam No. 3694/EV/HK.003/AZ/91 yang ditujukan kepada ketua pengadilan tinggi agama dan ketua pengadilan agama diseluruh indonesi, kompilasi hukum islam berlaku sebagai hukum materiil di pengadilan agama yang merupakan pengadilan bagi yang beragama Islam.

Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 63 ayat (1) UU No. 1 Tahun1974 menyatakan :
(a). pengadilan agama bagi mereka yang beragama islam,
 (b). pengadilan umum bagi lainnya.

a. Pengertian Nasab

Nasab dalam hukum perkawinan Indonesia dapat didefinisikan sebagai sebuah hubungan darah (keturunan) antara seorang anak dengan ayahnya, karena adanya akad nikah yang sah.
Hal ini dapat dipahami dari beberapa ketentuan, diantaranya pasal 42 dan 45 serta 47 undang-undang perkawinan.

Pasal 42 dimyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal 45 (1) kedua orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) ini berlaku sampai anak itu kawin atau anak itu dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus.

Pasal 47
(1)   anak yang belum mencapai 18 (delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan ornag tuanya selama merka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2)   orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan.

Dan pada pasal 98 dan 99 kompilasi hukum islam. Pasal 98 menyatakan
(1)   batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsingkan perkawinan.
(2)   orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan.
(3)   pangadilan agama adapat menunjuk salah satu kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

Pasal 99 : anak yang sah adalah
(1)   anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan sah.
(2)   hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim yang dilahirkan oleh isteri tersebut.

Dalam hukum perkawinan Indonesia hubungan ini tidak dititik beratkan pada salah satu garis keturunan ayah atau ibunya, melainkan kepada keduanya secara seimbang. Namun seorang anak menjadi tanggungjawab bersama antara isteri dan suami.

b. Dasar-Dasar Nasab

Seorang anak, dilihat dalam Hukum Perkawinan Indonesia secara lansung memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Ini dapat dipahami dari pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Penentuan nasab anak kepada bapaknya dalam hukum perkawinan Indonesia didasarkan pada:

1). Perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya. Setiap perkainan harus dicatat menurut perturan perundang-ungan yang berlaku. Penetapan nasab berdasarkan perkawinan yang sah, diatur dalam beberapa ketentuan yaitu:
Pertama, UU No. 1 Tahun 1974 pasal 42 yang berbunyi :” anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.

Kedua, Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan : “ anak sah adalah :
(a)    anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
(b)   Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Dapat di pahami dari peraturan peraturan tersebut, seorang anak dapat dikategorikan sah, bila memenuhi salah satu dari 3 syarat :
  1. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, dengan dua kemungkinan, Pertama, Setelah terjadi akad nikah yang sah istri hamil, dan kemudian melahirkan. Kedua, Sebelum akad nikah istri telah hamil terlebih dahulu, dan kemudian melahirkan setelah akad nikah. inilah yang dapat ditangkap dari pasal tersebut, namun kira perlu pertanyaan yang besar apakah memeng demikian ?.
  2. Anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Contoh, istri hamil dan kemudian suami meninggal. Anak yang dikandung istri adalah anak sah sebagai akaibat dari adanya perkawian yang sah.
  3. Anak yang dibuahi di luar rahim oleh pasangan suami istri yang sah, dan kemudian dilahirkan oleh istrinya.

Ketentuan ini untuk menjawab kemajuan teknologi tentang bayi tabung.

2). Perkawinan yang dibatalkan Kompilasi Hukum Islam pasal 76 menyatakan batalnya perkawinan tidak akan memutuskan hukum antara anak dan orang tuanya.

Selanjutnya perkawinan dapat dibatalkan hanya keputusan Pengadilan. Suatu perkawinan dapat dibatalkan dengan syarat-syarat sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 22-28.

Pasal 22: Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melansungkan perkawinan.

Pasal 23: yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu: Para keluarga dari garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; Suami atau istri; Pejabat perkawinan hanya selama perkawina belum diputuskan; pejabat yang ditunjuk tersebut UU Perkawinan pasal 16 ayat (2) dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara lansung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawian itu putus.

Pasal 24: Barang siapa karena perkawinan masih terkat diri dangan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan yang baru dengan tidak dmengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU Perkawinan.

Pasal 25: Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di man perkawinan dilansungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, Suami atau istri.

Pasal 26:
(1)   perkawinan yang dilansungkan di muka pegawai pencatat perkawian yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilansungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat diminta pembatannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri jaksa dan suami atau istri.
(2)   Hak untuk membatalakan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawian yang dibuat pegawi pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharu supaya sah.

Pasal 27:
(1)   seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilansungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
(2)   seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu belansungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.
(3)   Apabila ancaman itu telah berhenti, atau bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak dmempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 28:
(1)   Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan dberlaku sejak saat berlansungnya perkawinan.
(2)   Keputusan tidak berlaku surut terhadap: anak-anak yang dilahirkan dari perkawian tersebut; suami istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; orang ketiga lainnya tidak dtermasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Seterusnya sebagaimana yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 70-76 yang menyatakan:

Pasal 70: Perkawinan batal apabila:
(a)    Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah dmempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raji.
(b)   Seseorang menikahi istrinya yang telah diliannya.  
(c)    Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah dmenikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi bada dhukkul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
(d)   Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan susunan sampai derajat tertentu yang manghalangi perkawinan menurut pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu: Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seoarng denga saudara neneknya; Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan bibi dan paman sesusuan;
(e)    Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemaenakan dari istri atau istri-istrinya.

Pada pasal 71: Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
(a)    Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
(b)   Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih sebagai istri orang lain yang mafqud;
(c)    Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih dalam iddah dari suami lain;
(d)   perkawian yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana yang ditetapkan pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974
(e)    Perkawinan yang dilansungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak dberhak;
(f)    Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Pasal 72:
(1)   Seorang suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilansungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
(2)   Seorang suami atau istri dapat dmengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pad waktu berlansung nya perkawinan terjadi dpenipuan atau slah sangka mngenai diri suami atau istri.
(3)   Apabila ancaman itu telah berhenti, atau berslah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak dmempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Pasal 73: Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawian yaitu: Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; suami atau istri; pejabat yang berwenag mengawasi pelaksanaan perkawian menurut Undang-Undang; para pihak yang dberkepentingan yang mengetaui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut Hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.

Selanjutnya pada pasal 74:
(1)   Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan Pengadilan Agama yang ddmewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilansungkan.
(2)   Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlansungnya perkawinan.

Pasal 75:, dijelaskan bahwa keputusan pembatan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
(a)    Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami istri murtad;
(b)   Anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
(c)    Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad abaik, sebeblum keputusan pembatan perkawinan mempunyai dkekuatan hukum yang tetap.

Selanjutnya pasal 76: Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

Dapat dipahami dari maksud ketentuan tidak berakhirnya hubungan hukum antara seorang anak dengan orang tuanya, jika perkawinan kedua orang tuanya dibatalkan oleh pengadilan adalah untuk memberikan perlindungan hukum dan didasarkan pada pertimbangan masa depan si anak.

 IV. Status Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Perkawinan Nasional.

Menurut hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua:

pertama, anak sah.

kedua, anak luar nikah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan UU No. Tahun 1974 pasal 42: adalah dalam anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan : “ anak sah adalah :
(a)    anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
(b)   Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Bila dicermati secara analisis, sepertinya bunyi pasal tentang anak sah ini memimbulkan kerancuan, anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Bila dinyatakan “anak yang lahir akibat perkwinan yang sah” tidak ada masalah, namun “ anak yang lahir dalam masa perkawinan yang sah”ini akan memimbulkan suatu kecurigaan bila pasal ini dihubungkan dengan pasal yang membolehkan wanita hamil karenan zina, menikah dengan pria yang menghamilinya.

Perkawinan perempuan hamil karena zina dengan laki laki yang menghamilinya adalah perkawinan yang sah. Seandainya beberapa bulan sesudah perkawinan yang sah itu berlansung, lahir anak yang dikandungnya, tentu akan berarti anak yang lahir anak sah dari suami yang mengawininya bila masa kelahiran telah enam bulan dari waktu pernikahan(? ).
Yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana yang dsebutkan dalam peraturan perundang-undangan Nasional antara lain:

1. UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya

Pada akhirnya bila dicermati dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang Hukum Perkawinan, menyatakan bahwa status nasab anak di luar nikah mempunyai hubungan keperdataan hanya kepada ibunya dan keluarga ibunya. Hubungan ini biasa disebut dengan kekuasaan orang tua, yakni timbulnya hak dan kewajiban antara orang tua dan anak.

Implementasinya adalah bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban dengan ibu dan kelaurga ibunya. Agaknya dapat dinyatakan mafhum mukhalafah dari pernyataan tersebut bahwa anak itu tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya dalam bentuk; nasab; hak dan kewajiban secara timbal balik Secara implicit dapat ditegaskan bahwa hampir tidak ada perbedaan antara hukukm Islam dengan hukum perkawinan Nasional dalam menetapkan nasab anak di luar nikah, walaupun tidak dinyatakan secara tegas hubungannnya dengan bapak biologis, dalam pasal tertentu.

V. Kesimpulan

Hukum Islam menetapkan nasab sebagai legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan hubungan darah, sebagai akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senngama subhat. Nasab merupakan pengakauan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya, notabenenya anak tersebut berhak mendapatkan hak dan kewajibannya dari ayahnya, selanjutnya mempunyai hak dan kewajiban pula dari keturunan ayahnya.

Status anak di luar nikah yakni anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar perkawinan yang sah, menurut Hukum Islam disamakan dengan anak zina dan anak li’an. Konsekwensinya adalah tidak ada hubungan nasab anak dengan bapak biologisnya; tidak ada hak dan kewajiban antara anak dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya; bila kebetulan anak itu adalah perempuan, maka bapak biologisnya tidak dapat untuk menjadi wali, sehingga yang dapat menjadi wali anak luar nikah hanya khadi.

Dalam hukum perkawinan di Indonesia pengaturan tentang nasab anak di luar nikah, hanya secara implisit di pahami bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, ini berarti anak tersebut tidak mendapatkan hak dan kewajiban dari bapak biologisnya.

End Note
  1. Yusuf al-Qadhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya: Pt Bina Ilmu, 1976), h. 256-158
  2. Wahbah al- Zuhailiy, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), cet. Ke-2 . h. 114
  3. Yusuf al-Qardhawi, op.cit., h. 304-306
  4. Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Barry, juz XII, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 127
  5. KHO Sholeh, HAA. Dahlan, MD. Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: Diponegoro, tt), h. 385
  6. Imam Muslim,Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, tt),h. 52
  7. Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.t), juz.II, h.12-23
  8. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara, 1973), h. 449
  9. M.Abdul Mujieb, Mabruri, Syafi’I AM, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus,1994), h. 59
  10. Wahbah al-Zuhaili, op.cit, h. 7247
  11. Ibid., h.7247
  12. Ibid., h. 7249
  13. Ibnu Hajar al-Asqalany, op.cit,h. 127
  14. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., h.7257
  15. Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz V, ( Beirut : Dar al- Fikr, t.th), h. 348
  16. Al-Kasany,Badaiu al-SanaI fi al-Tartiby al-SyaraI,(Beirut : al-Fikr, tt), h.372
  17. Wahbah al-Zuhaili, op.cit.,h. 7256
  18. Ibid., h.7258
  19. Ibid., h. 7263
  20. Ibid.,h.7264
  21. Ibn Ruyd, op.cit., h. 357
  22. M. Ali Hasan, Azas-azas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukun Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja wali Press, 1997), h. 81
  23. Jalaluddin al-Mahalli, al-Qulyuby wa „Umarah, , Juz III, (S emarang: Maktabah Putra Semarang, t.th.), h. 31
  24. Dr. Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 195
  25. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yokyakarta, Liberty, 1986 ), h. 2
  26. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam,(Jakarta: Akademika Presindo, 1995),h. 60
  27. Ibid.,h. 106-111
  28. Ibid., h. 23-24
  29. Ibid.,h.137
  30. R. Subekti, Kitab Undang Hukum Perdata, (Jakatra: pradya Paramitha, 1996 ), h. 550
  31. Abdurrahman, loc.cit.
  32. Abdul Kadir Muhammad, Hukum PErdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti,1993), h. 95
  33. Abdurahman, op.cit., h. 129-131 34Ibid., h. 137
__________________________________________________________________________________________________

Template by:

Free Blog Templates