Benarlah apa yang disangka Bagindo Kayo, bahwa Leman meminta berbicara
dengannya itu hanyalah semata-mata untuk menumpahkan perasaan hatinya yang sangat
tertutup itu. Kalau tidak demikian, mengapa dia berdusta mengatakan bahwa surat
itu telah lama dikirimkannya, sudah patutlah sampai dikampung, padahal baru
hari itu masuknya ke pos.
Setelah lebih dari sepuluh hari ditunggu-tunggunya dengan dada berdebar
dan kadang-kadang timbul juga sesal dalam hati, datanglah opas pos mengantarkan
sepucuk surat dari kampung. Surat itu dibukanya dengan tangan gemetar, dengan
harap dan cemas, harap akan keuntungan yang terisi dalamnya dan cemas akan
keadaan yang akan ditempuhnya. Isi surat itu menerangkan sudah dapat kebulatan,
baik pihak Leman atau Mariatun. Mariatun akan diantarkan oleh seorang mamaknya
ke Deli, dan pernikahan akan dilangsungkan di Deli saja. Mereka akan datang
seminggu lagi.
Leman tersenyum membaca surat itu, tetapi lama-lama senyumnya terhenti dan
dadanya berdebar kembali, memikirkan bagaimanakah dia akan menyampaikan hal itu
kepada Poniem ? Akan di sampikan dengan terus terangkah ? Jika dia menyanggah,
jika dia melawan, jika dia tidak setuju dipermadukan ? Tetapi sebaliknya, jika
dia tidak membantah, hanya air matanya saja yang titik bagaimana pulakah ?
Tidak kah akan hiba hatinya melihat perempuan itu menangis ? Atau kejadian pula
sebaliknya lagi, melepas dengan hati yang suci dan muka cernih, dia suka
dipermadukan. Alangkah besarnya korban yang akan ditempuh oleh perempuan itu !
Hari telah dekat, seminggu lagi, dan besok harinya tentu sudah tinggal
enam hari, setelah itu tinggal lima hari, tinggal empat dan seterusnya,
Mariatun nyata akan datang, dimanakah akan diletakkan, kemana akan dibawa ?
Akan di sembunyikan saja kah kepada istrinya yang tua ? Padahal tidak ada hal
yang demikian yang akan dapat disembunyikan, apalagi di negeri kecil, apa akal
?
Tinggal tiga hari lagi.
Maka di beranikannya saja hatinya. Kira-kira pukul sepuluh malam sebelum
masuk tidur, di ajaknyalah istrinya duduk bercakap-cakap.
“Poniem, kemarilah engkau duduk !”
Poniem duduk ke kursi dengan penuh kepercayaan dan tak menyangka apa-apa.
“Ada yang akan kanda bicarakan dengan engkau”.
“Apa kah agaknya ?” tanya Poniem dengan sedikit keheranan.
“Oh, ……. Ru…….. rupa-rupanya kakanda sudah di desakkan oleh orang kampung
supaya….. supaya kakanda suka…… kawin seorang lagi ! Jadi ….. sekarang ini
sengaja kakanda hendak meminta fikiranmu, engkau ijin kan apa tidak ?”
Poniem masih menyangka bahwa suaminya hanya bermain-main saja. Lalu dengan
cepat saja di jawabnya :
“Kawinlah seorang lagi, siapa pula yang melarang”, katanya tersenyum.
“Ini, …… ini cakap kanda ini, sebetulnya Poniem, tidak bersenda gurau.
Orang kampung menyesakkan agar kawin seorang lagi. Mereka katanya hendak
mengantarkan seorang perempuan kemari, tiga hari lagi akan menjadi istri
kakanda. Sebab itu pada malam ini kakanda sebenarnya hendak meminta
pertimbangan mu, engkau ijin kan apa tidak ?”
Melihat suaminya yang bercakap sungguh-sungguh itu, Poniem pun sebelum
sanggup lagi menyambung pembicaraannya. Hanya dilihatnya saja muka suaminya
tenang-tenang, seakan-akan dia tidak percaya, seakan-akan masih disangkanya
bahwa percakapan itu hanya main-main belaka. Dilihatnya, lagi sekali dilihatnya
dan di tatapnya muka Leman, bertambah di lihatnya muka laki-laki yang laksana
mengemis itu, teringatlah kembali sumpah yang di ucapkan Leman dihadapannya,
ketika Leman mengajak lari kawin dahulu. Sumpah itu akan di berikannya seberat
bumi dan langit, cuma Poniem juga yang menghambat. Itu kah laki-laki yang
beberapa tahun yang lalu membujuk-bujuknya, mengatakan akan sehidup semati,
yang kepadanya segenap kepercayaannya telah dilimpahkannya, bahwa dia lah yang
akan menjadi suami, jadi junjungan, jadi ganti ibu bapak. Sekarang dihadapannya
pula dia sebagai mengemis-ngemis, mengatakan akan beristri seorang lagi, tiga
hari lagi, dengan orang kampungnya sendiri, dan akan dibawa pula ke tempat tinggal
dengan dia ?
Dia belum menjawab, karena belum percaya. Belum disangkanya sedikit juga,
laki-laki yang telah bertahun-tahun bergaul, yang telah sehidup semati, yang
kepadanya segenap kepercayaannya, akan berputar haluan selekas itu.
“Bermimpikah saya” katanya dalam hatinya sambil menatap muka suaminya
juga. Dia masih tersenyum, tetapi matanya melihat dengan penuh keheranan.
“Bagaimana Poniem ?” tanya Leman dengan tiba-tiba, sehingga keheningan
beberapa saat itu menjadi hilang dan Poniem terkejut.
“Akan… ber…. Beristri seorang lagi ?” tanyanya pula menegaskan.
“Iya !” jawab Leman, tetapi wajahnya tidak lagi sebagai pengemis,
melainkan sebagai terbayang suatu pertentangan.
“Iya,……. Beristrilah, siapa pula yang melarang”, hujar Poniem pula. Tetapi
nyata badannya gemetar dan dadanya berombak-ombak, seakan-akan ada seseuatu
yang ditahannya. Dia segera berdiri dari tempat duduknya, dia hendak segera
pergi ketempat tidurnya. Tetapi dengan segera pula Leman memegang tangannya :
“Duduklah dahulu Poniem, jawab mu itu belum memuaskan hatiku. Apakah engkau
melepaskan aku beristri seorang lagi dengan rela…. Dengan serela-rela hati mu ?
Mengapa engkau berdiri saja sebagai merajuk, pada hal selama ini belum pernah
engkau berbuat begitu ? Sudah lebih lima tahun kita bergaul. Ijin kan engkau
apa tidak ? Katakanlah terus terang Yem !”
Ditariknya tangannya sekuat-kuatnya dari pegangan suaminya, dan dengan
segera dia pergi ke tempat tidur. Sampai disana dihempaskannya kepalanya diatas
bantal yang lunak itu. Disanalah dilepaskannya segenap air matanya yang
tertahan. Karena kekuatan orang perempuan dan persediaannya yang menghabiskan
hanyalah air mata itu jua.
Leman termangu saja melihat. Dia heran mengapa begitu sifat istrinya,
selama ini patuh menurut, tidak membantah, sekarang telah melawan. Dia hanya
heran melihat perobahan istrinya, dia tidak heran bahwa selama ini hanya Poniem
istrinya, sekarang hendak di dua kannya. Dia tidak heran akan perobahan
haluannya sendiri.
Mula-mula dia berdiri kebinggungan. Sikap apakah lagi yang akan
dilakukannya selihat istrinya menangkupkan mukanya keatas bantal dan terus
menangis terisak-isak. Mula-mula dia diam-diam saja, lalu dengan
berangsur-angsur dia naik ketempat tidur. Sepicing matanya haram nak tidur
karena fikirannya amat kusut mengahadapi langkah yang pertama ini,
selintas-lintas mau juga fikirannya mengundurkan perkawinan yang kedua kali
itu, tetapi datang pula himpitnya : “Mana bisa. Orang telah bersiap dikampung
dan akan datang segera. Hal ini bisa ku selesaikan”, katanya.
Kira-kira dua jam kemudian tidak kedengaran lagi tangis Poniem, meskipun
bantal telah basah oleh air mata. Setelah nyata bahwa tangis itu telah undur,
barulah Leman hendak memulai pembicaraannya kembali. Dan oleh Poniem sendiri
rupanya masa yang dua jam itu telah digunakan untuk membulatkan hati dan
fikiran, sehingga lantaran air mata sudah habis keluar, mudahlah menyusun kata.
Dia menelentang kembali baik-baik, air matanya tak ada lagi.
“Sudah lepas terkejutnya Poniem ?” tanya Leman.
Poniem tidak menjawab, tetapi mukanya telah tenang kembali.
“Memang saya terkejut mendengarkan perkataan kakanda itu. Sudah lazimnya
saya terkejut, karena tidak saya sangka-sangka bahwa Abang akan beristri
seorang lagi. Masih rasa-rasa kemarin, saya mendengar Abang berjanji bahwa diri
saya akan Abang pelihara betul-betul. Hati saya tidak akan Abang kecewakan. Hanya
Abang tempat saya bergantung dunia akhirat. Ketika Abang hendak
bersumpah, ku halangi, ku tegahkan”.
“Memang Abang pun ingat akan sumpah itu. Tetapi bagaimanakah akal kita,
orang kampung sangat keras meminta Abang supaya kawin seorang lagi. Kalau Abang
tak mau, mereka katanya akan “berkerat-keratan rotan” dengan Abang,
tidak akan mengakui bersaudara lagi”.
“Ah….. itu Cuma dalih saja, lain tidak. Karena hal itu putusannya hanya
ditangan Abang juga. Abang seorang laki-laki, masakan ada orang lain yang akan
menguasai kalau Abang tidak mau. Akan bersudah-sudah berfamili, akan
berkerat-keratan rotan, kalau tak mau beristri seorang lagi, itu Cuma cakap
angin”. Leman terdiam mencari jawab yang baru. Poniem menyambung pula :
“Adinda tidak susah atau marah kalau bermadu, akan berdua dalam rumah
tangga ini dengan perempuan lain, apalagi perempuan itu lebih karib, sekampung
sehalaman dengan Abang, sedang saya ini hanya orang jauh, orang lain”.
“Jangan begitu bercakap Poniem, maksud ku tidak sampai kesana”, ujar Leman
pula.
“Meskipun maksud Abang tidak sampai kesana, tetapi kejadian telah
menyampaikan kesana”.
Leman termenung pula.
“Saya tak menghalangi Abang beristri seorang lagi, apalagi dengan orang
kampung sendiri, lebih-lebih akan putus pula berfamili kalau saya halangi.
Manakah saya bisa menghalangi. Lagi pula saya telah biasa bermadu. Masa dalam
tangan Mandor besar dahulu, enam orang madu saya. Dalam permaduan itulah saya Abang
ambil”.
“Jadi apa yang engkau tangiskan tadi, kalau betul engkau sudi membiarkan
kanda kawin seorang lagi ?”
“Oo, Abang ! banyak…… banyak sekali yang teringat oleh ku. Kian lama saya
menangis, kian banyak yang terupa, sehingga air mataku jatuh tak
tertahan-tahan. Pertama, sudah terbayang-bayang di muka saya bagaimana
kesengsaraan yang akan kita tempuh, yang berat dan ringannya akan terpikul di
atas pundak Abang sendiri. Akan sanggupkah Abang beristri seorang lagi ?
Bukankah menurut adat kampung halaman Abang sendiri, sebagaimana adinda lihat
sewaktu kita pulang, seorang laki-laki kemanapun dia merantau, maka hasil
pencariannya itu mesti Abang cukupkan, apalagi hawa nafsu istri sendiri. Dia
meminta sawah dan rumah, meminta perkakas gelang dan perhias-hiasan yang lain.
Dan dia tidak akan tahu dari mana Abang memeras tenaga untuk keperluannya itu.
Selama ini istri Abang hanya adinda seorang, dinda tidak mengharapkan uang atau
harta benda Abang. Berilah adinda sehelai selimut penutup badan, berilah
sepertegak kain penutup tubuh, beroleh nasi setempurung pagi setempurung
petang, cukuplah itu bagi ku. Tetapi kalau Abang beristri seorang lagi, apalagi
dia lebih muda, sekampung pula, Abang akan sengsara, percayalah ! lain gayanya
dinda lihat, berbeda benar tanggung jawab orang perempuan di negeri Abang
dengan di negeri kami”.
Poniem terdiam dan Leman pun terdiam pula ! Dan sesaat kemudian Leman
mulai pula bertutur : “Terasa oleh ku capak mu Poniem, sudah jauh engkau
memikirkan, sedang kanda belum sampai kesitu”.
“Hendaknya kan sampai kesana di pikirkan !” jawab Poniem pula.
“Itulah kelemahan yang ada di diri ku, Poniem. Abang tak tahan mendengar
bisik desus orang menurut orang kampung, walaupun kaya berlindak[1]
harta ku dan maju perniagaan ku, menurut langgam dan pandangan orang di
kampung, Abang masih terpandang hina kalau belum memakai adat dalam kampung
sendiri. Kata orang tua-tua dikampung ; beristrilah, berbinilah walau berapa
suka, asal saja agak seorang ada dikampung sendiri. Tandanya awak ada berkaum
famili, berkarib berbaid. Ku akui kelemahan ku terus terang, Poniem. Abang
belum tahan mendengarkan itu. Apalagi sebelum itu kita bergaul, belum beruntung
beroleh anak. Apakah yang akan ditunjuk-tunjuk oleh kaum kerabatku, siapakah
yang akan dibawanya bertandang sebagai anak pisang[2]
dikampung sendiri ? Inilah yang menimpa diriku kini, Abang harapkan benar
supaya engkau jangan saja menunjukkan penyakit, tetapi mencarikan obatlah.
“Engkau hendaknya menolong Abang, mengetahui benar keadaan yang mendesak Abang
kini, karena Abang percaya seberat-berat beban ku, semarah-marahnya engkau
kepada ku, namun disudut hati mu masih ada rasa kasihan melihat keadaan ku
ini”.
Poniem menangis mendengarkan rayuan suaminya : “Wahai Abang, kalau bukan
kasihan kepada mu, apalah gunanya adinda menangis sekali lagi menangis, padahal
sudah terlalu banyak air mata yang ku tumpahkan sejak gadis ku, setitik pun
belum ada yang membela aku dan memperbaiki nasib malang yang telah tertentu
buat diriku”.
“Jadi kau ijinkan kah Abang beristri seorang lagi ?” tanya Leman.
“Dengar dahulu, itu baru yang pertama, yang kedua belum kakanda dengar”.
“Katakanlah Poniem, supaya hati kita sama-sama puas !”
“Ya yang kedua, dinda takut…..”
“Apa yang kau takutkan ?”
“Dinda takut, dinda takut….” Kata Poniem, dan dia pun tidak dapat pula
menahan hatinya lagi, sekali lagi telengkupkannya pula kepalanya kebantal menghabiskan
sisa-sisa air mata yang masih tinggal.
Leman kebingungan sampai Poniem mengangkat mukanya pula.
Beberapa saat kemudian dia berhenti menangis dan dihapusnya air matanya
dengan ujung selendangnya, yang belum juga ditanggalinya sejak dia
menghempaskan dirinya yang pertama.
“Adinda takut kalau setelah mendapat yang baru, orang sekampung, perawan
cantik, gadis jelita, adinda akan Abang pisahkan dan hindarkan dari sisi Abang
yang telah menjadi tulang punggung ku. Bukankah bukit telah sama kita daki,
lurah sudah sama kita turuni”.
“Abang tidak akan menganjur surut, percayalah ! jawab Leman.
“Pada mulut mu sekarang tentu dinda percaya”, ujar Poniem pula : “Tetapi
keadaan yang akan datang, tidaklah dapat kita menentukannya sekarang. Karena,
apakah yang akan Abang harapkan lagi dari pada ku, Abang akan mendapatkan yang
baru, yang lebih cantik”.
“Tidak Poniem….. Demi Allah!”
“Sst, jangan bersumpah seberat itu”.
“Betul Poniem, yang lebih berat dari itu pun mau Abang bersumpah, asal
engkau masih tetap setia kepada ku sebagai sekarang”.
“Adinda tidak akan berjanji dan bersumpah akan setia,
Cuma keadaan yang sudah-sudah sajalah Abang buktikan bagaimana kesetiaan saya.
Cuma adinda takutkan ialah Abang ceraikan. Perkara kasih Abang walaupun
berpindah kepada yang muda, adinda tidak akan menyesal. Dimana pun di dunia
ini, yang baru lebih menarik hati dari yang lama. Cuma itulah, sekali lagi
adinda minta, walau bagaimana kasih Abang kepada istrimu yang muda kelak, janganlah adinda diceraikan. Abang …..!
Tidakkah Abang ingat, bahwa langkahku sesat, maka Abanglah yang telah membawaku
kepada penghidupan yang lurus ; aku di dalam gelap hidup, Abanglah yang
membimbing tangan ku kepada cayaha terang. Aku sekarang telah kenal kepada
hidup berfamili. Famili Abang telah ku anggap famili ku, kampung Abang menjadi
kampung ku. Bagaimanakah nasib ku kalau Abang ceraikan pula. Alangkah gelapnya
hari kemudian ku, langit manakah tempat ku berlindung, bumi mana tempat ku
berpijak. Akan ku tuntut penghidupan yang lama, ke kebun ! Ya Tuhan ku !
ampunilah hamba mu ini dan jauhkan lah aku dari sana. Sekali selendang ini
telah lekat di kepala ku, teruslah hendaknya ku bawa masuk kubur ku, jangan
sampai tanggal lagi”.
Dia termenung.
“Abang !” ujarnya lagi.
“Poniem !”
“Besar dosa mu di hadapan Allah kalau lantaran kasih mu terhadap istri
muda yang cantik itu kelak, aku Abang ceraikan. Dan jika aku mati, mengutuk
arwah ku kepada Abang dari kubur ku !.
“Tidak, Poniem !”
“Benarkah tidak akan engkau ceraikan daku ?”
“Demi Allah ! keatas biarlah kanda tak berpucuk, kebawah tak berurat,
kalau sekiranya engkau ku sia-siakan”. Dia gugup, sumpahnya benar berat, lalu
di tukarnya dengan kata lain untuk peringankan sumpah itu : “Kecuali jika
engkau yang tak setia kepada ku lagi”.
“Badan dan Nyawa ku serahkan, Abang …..”