VIII. SURAT DARI KAMPUNG



Benarlah apa yang disangka Bagindo Kayo, bahwa Leman meminta berbicara dengannya itu hanyalah semata-mata untuk menumpahkan perasaan hatinya yang sangat tertutup itu. Kalau tidak demikian, mengapa dia berdusta mengatakan bahwa surat itu telah lama dikirimkannya, sudah patutlah sampai dikampung, padahal baru hari itu masuknya ke pos.

Setelah lebih dari sepuluh hari ditunggu-tunggunya dengan dada berdebar dan kadang-kadang timbul juga sesal dalam hati, datanglah opas pos mengantarkan sepucuk surat dari kampung. Surat itu dibukanya dengan tangan gemetar, dengan harap dan cemas, harap akan keuntungan yang terisi dalamnya dan cemas akan keadaan yang akan ditempuhnya. Isi surat itu menerangkan sudah dapat kebulatan, baik pihak Leman atau Mariatun. Mariatun akan diantarkan oleh seorang mamaknya ke Deli, dan pernikahan akan dilangsungkan di Deli saja. Mereka akan datang seminggu lagi.

Leman tersenyum membaca surat itu, tetapi lama-lama senyumnya terhenti dan dadanya berdebar kembali, memikirkan bagaimanakah dia akan menyampaikan hal itu kepada Poniem ? Akan di sampikan dengan terus terangkah ? Jika dia menyanggah, jika dia melawan, jika dia tidak setuju dipermadukan ? Tetapi sebaliknya, jika dia tidak membantah, hanya air matanya saja yang titik bagaimana pulakah ? Tidak kah akan hiba hatinya melihat perempuan itu menangis ? Atau kejadian pula sebaliknya lagi, melepas dengan hati yang suci dan muka cernih, dia suka dipermadukan. Alangkah besarnya korban yang akan ditempuh oleh perempuan itu !

Hari telah dekat, seminggu lagi, dan besok harinya tentu sudah tinggal enam hari, setelah itu tinggal lima hari, tinggal empat dan seterusnya, Mariatun nyata akan datang, dimanakah akan diletakkan, kemana akan dibawa ? Akan di sembunyikan saja kah kepada istrinya yang tua ? Padahal tidak ada hal yang demikian yang akan dapat disembunyikan, apalagi di negeri kecil, apa akal ? 

Tinggal tiga hari lagi.

Maka di beranikannya saja hatinya. Kira-kira pukul sepuluh malam sebelum masuk tidur, di ajaknyalah istrinya duduk bercakap-cakap. 

“Poniem, kemarilah engkau duduk !”

Poniem duduk ke kursi dengan penuh kepercayaan dan tak menyangka apa-apa. 

“Ada yang akan kanda bicarakan dengan engkau”.

“Apa kah agaknya ?” tanya Poniem dengan sedikit keheranan.

“Oh, ……. Ru…….. rupa-rupanya kakanda sudah di desakkan oleh orang kampung supaya….. supaya kakanda suka…… kawin seorang lagi ! Jadi ….. sekarang ini sengaja kakanda hendak meminta fikiranmu, engkau ijin kan apa tidak ?”

Poniem masih menyangka bahwa suaminya hanya bermain-main saja. Lalu dengan cepat saja di jawabnya :
“Kawinlah seorang lagi, siapa pula yang melarang”, katanya tersenyum.

“Ini, …… ini cakap kanda ini, sebetulnya Poniem, tidak bersenda gurau. Orang kampung menyesakkan agar kawin seorang lagi. Mereka katanya hendak mengantarkan seorang perempuan kemari, tiga hari lagi akan menjadi istri kakanda. Sebab itu pada malam ini kakanda sebenarnya hendak meminta pertimbangan mu, engkau ijin kan apa tidak ?”

Melihat suaminya yang bercakap sungguh-sungguh itu, Poniem pun sebelum sanggup lagi menyambung pembicaraannya. Hanya dilihatnya saja muka suaminya tenang-tenang, seakan-akan dia tidak percaya, seakan-akan masih disangkanya bahwa percakapan itu hanya main-main belaka. Dilihatnya, lagi sekali dilihatnya dan di tatapnya muka Leman, bertambah di lihatnya muka laki-laki yang laksana mengemis itu, teringatlah kembali sumpah yang di ucapkan Leman dihadapannya, ketika Leman mengajak lari kawin dahulu. Sumpah itu akan di berikannya seberat bumi dan langit, cuma Poniem juga yang menghambat. Itu kah laki-laki yang beberapa tahun yang lalu membujuk-bujuknya, mengatakan akan sehidup semati, yang kepadanya segenap kepercayaannya telah dilimpahkannya, bahwa dia lah yang akan menjadi suami, jadi junjungan, jadi ganti ibu bapak. Sekarang dihadapannya pula dia sebagai mengemis-ngemis, mengatakan akan beristri seorang lagi, tiga hari lagi, dengan orang kampungnya sendiri, dan akan dibawa pula ke tempat tinggal dengan dia ? 

Dia belum menjawab, karena belum percaya. Belum disangkanya sedikit juga, laki-laki yang telah bertahun-tahun bergaul, yang telah sehidup semati, yang kepadanya segenap kepercayaannya, akan berputar haluan selekas itu.

“Bermimpikah saya” katanya dalam hatinya sambil menatap muka suaminya juga. Dia masih tersenyum, tetapi matanya melihat dengan penuh keheranan. 

“Bagaimana Poniem ?” tanya Leman dengan tiba-tiba, sehingga keheningan beberapa saat itu menjadi hilang dan Poniem terkejut.

“Akan… ber…. Beristri seorang lagi ?” tanyanya pula menegaskan.

“Iya !” jawab Leman, tetapi wajahnya tidak lagi sebagai pengemis, melainkan sebagai terbayang suatu pertentangan.

“Iya,……. Beristrilah, siapa pula yang melarang”, hujar Poniem pula. Tetapi nyata badannya gemetar dan dadanya berombak-ombak, seakan-akan ada seseuatu yang ditahannya. Dia segera berdiri dari tempat duduknya, dia hendak segera pergi ketempat tidurnya. Tetapi dengan segera pula Leman memegang tangannya : “Duduklah dahulu Poniem, jawab mu itu belum memuaskan hatiku. Apakah engkau melepaskan aku beristri seorang lagi dengan rela…. Dengan serela-rela hati mu ? Mengapa engkau berdiri saja sebagai merajuk, pada hal selama ini belum pernah engkau berbuat begitu ? Sudah lebih lima tahun kita bergaul. Ijin kan engkau apa tidak ? Katakanlah terus terang Yem !”

Ditariknya tangannya sekuat-kuatnya dari pegangan suaminya, dan dengan segera dia pergi ke tempat tidur. Sampai disana dihempaskannya kepalanya diatas bantal yang lunak itu. Disanalah dilepaskannya segenap air matanya yang tertahan. Karena kekuatan orang perempuan dan persediaannya yang menghabiskan hanyalah air mata itu jua. 

Leman termangu saja melihat. Dia heran mengapa begitu sifat istrinya, selama ini patuh menurut, tidak membantah, sekarang telah melawan. Dia hanya heran melihat perobahan istrinya, dia tidak heran bahwa selama ini hanya Poniem istrinya, sekarang hendak di dua kannya. Dia tidak heran akan perobahan haluannya sendiri.

Mula-mula dia berdiri kebinggungan. Sikap apakah lagi yang akan dilakukannya selihat istrinya menangkupkan mukanya keatas bantal dan terus menangis terisak-isak. Mula-mula dia diam-diam saja, lalu dengan berangsur-angsur dia naik ketempat tidur. Sepicing matanya haram nak tidur karena fikirannya amat kusut mengahadapi langkah yang pertama ini, selintas-lintas mau juga fikirannya mengundurkan perkawinan yang kedua kali itu, tetapi datang pula himpitnya : “Mana bisa. Orang telah bersiap dikampung dan akan datang segera. Hal ini bisa ku selesaikan”, katanya.

Kira-kira dua jam kemudian tidak kedengaran lagi tangis Poniem, meskipun bantal telah basah oleh air mata. Setelah nyata bahwa tangis itu telah undur, barulah Leman hendak memulai pembicaraannya kembali. Dan oleh Poniem sendiri rupanya masa yang dua jam itu telah digunakan untuk membulatkan hati dan fikiran, sehingga lantaran air mata sudah habis keluar, mudahlah menyusun kata. Dia menelentang kembali baik-baik, air matanya tak ada lagi.

“Sudah lepas terkejutnya Poniem ?” tanya Leman.

Poniem tidak menjawab, tetapi mukanya telah tenang kembali.

“Memang saya terkejut mendengarkan perkataan kakanda itu. Sudah lazimnya saya terkejut, karena tidak saya sangka-sangka bahwa Abang akan beristri seorang lagi. Masih rasa-rasa kemarin, saya mendengar Abang berjanji bahwa diri saya akan Abang pelihara betul-betul. Hati saya tidak akan Abang kecewakan. Hanya Abang tempat saya bergantung dunia akhirat. Ketika Abang hendak bersumpah, ku halangi, ku tegahkan”.

“Memang Abang pun ingat akan sumpah itu. Tetapi bagaimanakah akal kita, orang kampung sangat keras meminta Abang supaya kawin seorang lagi. Kalau Abang tak mau, mereka katanya akan “berkerat-keratan rotan” dengan Abang, tidak akan mengakui bersaudara lagi”.

“Ah….. itu Cuma dalih saja, lain tidak. Karena hal itu putusannya hanya ditangan Abang juga. Abang seorang laki-laki, masakan ada orang lain yang akan menguasai kalau Abang tidak mau. Akan bersudah-sudah berfamili, akan berkerat-keratan rotan, kalau tak mau beristri seorang lagi, itu Cuma cakap angin”. Leman terdiam mencari jawab yang baru. Poniem menyambung pula : 

“Adinda tidak susah atau marah kalau bermadu, akan berdua dalam rumah tangga ini dengan perempuan lain, apalagi perempuan itu lebih karib, sekampung sehalaman dengan Abang, sedang saya ini hanya orang jauh, orang lain”. 

“Jangan begitu bercakap Poniem, maksud ku tidak sampai kesana”, ujar Leman pula.

“Meskipun maksud Abang tidak sampai kesana, tetapi kejadian telah menyampaikan kesana”.

Leman termenung pula.

“Saya tak menghalangi Abang beristri seorang lagi, apalagi dengan orang kampung sendiri, lebih-lebih akan putus pula berfamili kalau saya halangi. Manakah saya bisa menghalangi. Lagi pula saya telah biasa bermadu. Masa dalam tangan Mandor besar dahulu, enam orang madu saya. Dalam permaduan itulah saya Abang ambil”.

“Jadi apa yang engkau tangiskan tadi, kalau betul engkau sudi membiarkan kanda kawin seorang lagi ?”

“Oo, Abang ! banyak…… banyak sekali yang teringat oleh ku. Kian lama saya menangis, kian banyak yang terupa, sehingga air mataku jatuh tak tertahan-tahan. Pertama, sudah terbayang-bayang di muka saya bagaimana kesengsaraan yang akan kita tempuh, yang berat dan ringannya akan terpikul di atas pundak Abang sendiri. Akan sanggupkah Abang beristri seorang lagi ? Bukankah menurut adat kampung halaman Abang sendiri, sebagaimana adinda lihat sewaktu kita pulang, seorang laki-laki kemanapun dia merantau, maka hasil pencariannya itu mesti Abang cukupkan, apalagi hawa nafsu istri sendiri. Dia meminta sawah dan rumah, meminta perkakas gelang dan perhias-hiasan yang lain. Dan dia tidak akan tahu dari mana Abang memeras tenaga untuk keperluannya itu. Selama ini istri Abang hanya adinda seorang, dinda tidak mengharapkan uang atau harta benda Abang. Berilah adinda sehelai selimut penutup badan, berilah sepertegak kain penutup tubuh, beroleh nasi setempurung pagi setempurung petang, cukuplah itu bagi ku. Tetapi kalau Abang beristri seorang lagi, apalagi dia lebih muda, sekampung pula, Abang akan sengsara, percayalah ! lain gayanya dinda lihat, berbeda benar tanggung jawab orang perempuan di negeri Abang dengan di negeri kami”.

Poniem terdiam dan Leman pun terdiam pula ! Dan sesaat kemudian Leman mulai pula bertutur : “Terasa oleh ku capak mu Poniem, sudah jauh engkau memikirkan, sedang kanda belum sampai kesitu”.

“Hendaknya kan sampai kesana di pikirkan !” jawab Poniem pula.

“Itulah kelemahan yang ada di diri ku, Poniem. Abang tak tahan mendengar bisik desus orang menurut orang kampung, walaupun kaya berlindak[1] harta ku dan maju perniagaan ku, menurut langgam dan pandangan orang di kampung, Abang masih terpandang hina kalau belum memakai adat dalam kampung sendiri. Kata orang tua-tua dikampung ; beristrilah, berbinilah walau berapa suka, asal saja agak seorang ada dikampung sendiri. Tandanya awak ada berkaum famili, berkarib berbaid. Ku akui kelemahan ku terus terang, Poniem. Abang belum tahan mendengarkan itu. Apalagi sebelum itu kita bergaul, belum beruntung beroleh anak. Apakah yang akan ditunjuk-tunjuk oleh kaum kerabatku, siapakah yang akan dibawanya bertandang sebagai anak pisang[2] dikampung sendiri ? Inilah yang menimpa diriku kini, Abang harapkan benar supaya engkau jangan saja menunjukkan penyakit, tetapi mencarikan obatlah.

“Engkau hendaknya menolong Abang, mengetahui benar keadaan yang mendesak Abang kini, karena Abang percaya seberat-berat beban ku, semarah-marahnya engkau kepada ku, namun disudut hati mu masih ada rasa kasihan melihat keadaan ku ini”.

Poniem menangis mendengarkan rayuan suaminya : “Wahai Abang, kalau bukan kasihan kepada mu, apalah gunanya adinda menangis sekali lagi menangis, padahal sudah terlalu banyak air mata yang ku tumpahkan sejak gadis ku, setitik pun belum ada yang membela aku dan memperbaiki nasib malang yang telah tertentu buat diriku”. 

“Jadi kau ijinkan kah Abang beristri seorang lagi ?” tanya Leman.

“Dengar dahulu, itu baru yang pertama, yang kedua belum kakanda dengar”.

“Katakanlah Poniem, supaya hati kita sama-sama puas !”

“Ya yang kedua, dinda takut…..”

“Apa yang kau takutkan ?” 

“Dinda takut, dinda takut….” Kata Poniem, dan dia pun tidak dapat pula menahan hatinya lagi, sekali lagi telengkupkannya pula kepalanya kebantal menghabiskan sisa-sisa air mata yang masih tinggal.

Leman kebingungan sampai Poniem mengangkat mukanya pula.

Beberapa saat kemudian dia berhenti menangis dan dihapusnya air matanya dengan ujung selendangnya, yang belum juga ditanggalinya sejak dia menghempaskan dirinya yang pertama.

“Adinda takut kalau setelah mendapat yang baru, orang sekampung, perawan cantik, gadis jelita, adinda akan Abang pisahkan dan hindarkan dari sisi Abang yang telah menjadi tulang punggung ku. Bukankah bukit telah sama kita daki, lurah sudah sama kita turuni”. 

“Abang tidak akan menganjur surut, percayalah ! jawab Leman.

“Pada mulut mu sekarang tentu dinda percaya”, ujar Poniem pula : “Tetapi keadaan yang akan datang, tidaklah dapat kita menentukannya sekarang. Karena, apakah yang akan Abang harapkan lagi dari pada ku, Abang akan mendapatkan yang baru, yang lebih cantik”.

“Tidak Poniem….. Demi Allah!”

“Sst, jangan bersumpah seberat itu”.

“Betul Poniem, yang lebih berat dari itu pun mau Abang bersumpah, asal engkau masih tetap setia kepada ku sebagai sekarang”.

“Adinda tidak akan berjanji dan bersumpah akan setia, Cuma keadaan yang sudah-sudah sajalah Abang buktikan bagaimana kesetiaan saya. Cuma adinda takutkan ialah Abang ceraikan. Perkara kasih Abang walaupun berpindah kepada yang muda, adinda tidak akan menyesal. Dimana pun di dunia ini, yang baru lebih menarik hati dari yang lama. Cuma itulah, sekali lagi adinda minta, walau bagaimana kasih Abang kepada istrimu yang muda kelak,  janganlah adinda diceraikan. Abang …..! Tidakkah Abang ingat, bahwa langkahku sesat, maka Abanglah yang telah membawaku kepada penghidupan yang lurus ; aku di dalam gelap hidup, Abanglah yang membimbing tangan ku kepada cayaha terang. Aku sekarang telah kenal kepada hidup berfamili. Famili Abang telah ku anggap famili ku, kampung Abang menjadi kampung ku. Bagaimanakah nasib ku kalau Abang ceraikan pula. Alangkah gelapnya hari kemudian ku, langit manakah tempat ku berlindung, bumi mana tempat ku berpijak. Akan ku tuntut penghidupan yang lama, ke kebun ! Ya Tuhan ku ! ampunilah hamba mu ini dan jauhkan lah aku dari sana. Sekali selendang ini telah lekat di kepala ku, teruslah hendaknya ku bawa masuk kubur ku, jangan sampai tanggal lagi”.

Dia termenung.

“Abang !” ujarnya lagi.

“Poniem !” 

“Besar dosa mu di hadapan Allah kalau lantaran kasih mu terhadap istri muda yang cantik itu kelak, aku Abang ceraikan. Dan jika aku mati, mengutuk arwah ku kepada Abang dari kubur ku !.

“Tidak, Poniem !” 

“Benarkah tidak akan engkau ceraikan daku ?” 

“Demi Allah ! keatas biarlah kanda tak berpucuk, kebawah tak berurat, kalau sekiranya engkau ku sia-siakan”. Dia gugup, sumpahnya benar berat, lalu di tukarnya dengan kata lain untuk peringankan sumpah itu : “Kecuali jika engkau yang tak setia kepada ku lagi”.

“Badan dan Nyawa ku serahkan, Abang …..”



[1] lin·dak, ber·lin·dak-lin·dak Mk a bertimbun-timbun
[2] Anak pisang disebutkan terhadap anak saudara laki-laki oleh saudara perempuan dan saudara perempuan ayah disebut bako.

Template by:

Free Blog Templates