Adapun sebab-sebab yang menimbulkan rasa
beruntug di hati, ialah rasa percaya mempercayai di dalam rumah tangga, di
anatara suami dengan istrinya, Leman dan Poniem. Perbedaan bangsa berjauhan
pulau, di batasi oleh selat Sunda yang dalam, semua itu tidak ada sedikit juga
pengaruhnya kepada cinta sejati, cinta keberuntungan yang telah tertanam di
dalam hati kedua belah pihaknya.
Dari sebulan ke sebulan, dari setahun ke setahun, bertambah bersinarlah
hidup mereka, baik kekayaan lahir atau kekayaan bathin.
Kedainya yang tadinya hanya kecil saja, sekarang telah besar, sudah
banyak saudagar besar di Medan yang suka melepaskan barang kepadanya, dan sudah
banyak pula langganan yang datamg membeli. Lain dari itu, banyak pula anak semang
yang berkerja siang malam sebagai peyambung tanggan. Poniem telah duduk
menghadapi kotak uang. Leman menyelnggarakan pembeli. Bila hari telah malam dan
kedai di tutup, merea duduk berdua berhadap hadapan dengan muka yang penuh
riang gembira. Kadang-kadang karena teringgat akan pertemuan mereka yang
mula-mula, dan kadang-kadang pula teringgat akan keadaan mereka yang tidak
disangka sangka sekarang ini.
Mandur besar di kebun dekat Siantar dahulu kabarnya telah kembali ke
tanah Jawa.
Sekali-sekali waktu pekerjaan ringgan, di tinggalkan nya kedai kepada
anak-anak semangnya mereka pun pergilah
ziarah ke tempat pertemuan yang mula-mula itu. Kalau bertemu bekas kenalan
lama, ada yang masih tetap menjadi kuli dan ada pula yg telah menjadi orang
pereman, tidak lupa mereka memberikan sedikit persenan. Pendeknya sudah jauh
berbeda keadaan mereka dari pada yang dahulu, hanya di dalam beberapa tahun
saja.
Nama Leman telah terdenggar ke kampungnya, bahwa dia telah kaya sejak
beristri orang Jawa. Dan istrinya sangat setia kepadanya pun tersebut juga
dikampung. Keadaan itu telah menarik hati yang lain-lain buat datang ke
perantauan yang baru itu, karena tak obahnya anak dagang itu merupakan unggas
pipit terbang berbondong, hinggap di pohon yanag sedang lebat bunganya. Kelak
bila bunga itu telah gugur ke bumi, burung-burung itu pun akan hinggaplah kepada
pohon-pohon yang lain pula, yang masih segar bunganya.
Kaum kerabat Leman datanglah ke perantauan, seoarang demi seorang, yang satu mendawakan
bahwa Leman mamaknya, yang seorang mengatakan bahwa Leman adalah saudara
sepersukuan, yang lain mengatakan bertali darah. Padahal selama ini Leman tak
tau, entah banyak familinya entah tidak. Dan sama sekali itu tak seorang juga
yang di tolak. Meskipun kadang-kadang timbul juga kesal Leman, tetapi karena
permintaan isterinya, mereka dibiarkan tinggal dengan dia. Karena Poniem merasa
bahagia mendapat banyak keluarga. Kalau telah pandai mereka memegang
perniagaan, diberi pulalah modal dan suruh tegak sendiri. Lantaran itu bertambahlah
masyur nama Poniem sampai ke kampung, sampai menjadi buah bibir. Ada orang
berkata : “bukan main baik hatinya perempuan Jawa itu, pamili kita yang datang
berlindung kepadanya jarang sekali yang terlantar atau pulang dengan tangan
hampa”.
Tetapi apabila telah lama pujian itu, ada pula yang mengeluh:”Sayang dia
bukan orang awak”.
Pada suatu hari datang pula ke toko mereka seorang anak muda Jawa, bekas
kuli kontrak pada sebuah perkebunan. Sebagaimana dengan keadaan kuli-kuli yang
lain, datangnya ke Delipun karena tertipu pula. Dia di bujuk dengan
bermacam-macam mulut manis. Telah di cobanya bekerja selama tiga tahun tidaklah
sanggup badannya menderita lagi. Itulah sebabnya ketika akan di terima
kuli-kuli yang hendak menyambung kontraknya, dia telah keluar dari kebun itu
dengan sembunyi dan tidak hendak menyambung lagi.
Dia berjalan di kaki lima kedai-kedai orang dengan pakaian yang telah
berbau, ikat kepalanya terjuntai ke keningnya, cahaya matanya amat muram.
Tiap-tiap kedai orang yang di masukinya dia melamar pekerjaan, jadi tukang cuci
piring pun cukuplah, asal dia di beri makan. Tetepi tidak ada orang yang sudi
menerima. Setelah lama berjalan dan hampir putus asa, sampailah dia ke muka
kedai Leman.
“Masuklah mau beli apa?” tegur Leman kepada kuli yang malang itu.
“Saya tidak membeli barang, saya hanya seorang melarat !”
“Engkau dari mana ?” tanya Leman sambil menoleh pada istrinya menyuruh
menegur orang itu dalam bahasanya.
Poniempun datanglah kemuka, lalu turut menanyai pula :
“Sampean dari mana ?”
“Saya seorang bekas kuli yang telah habis kontrak. Saya tidak tahan
bekerja dikebun lagi, tidak saya sangka akan seberat itu penanggungan saya.
Sekarang saya mencari pekerjaan, saya hendak mencari makan. Den Ayu !
Kasihanilah saya !”
“Pekerjaan apa yang hendak engkau kerjakan ?” Tanya Poniem dengan wajah
yang penuh mengandung rasa hiba kasihan.
“Jadi tukang cuci piringpun cukuplah Den Ayu, supaya perut saya jangan
sampai kosong”.
Maka melihatlah Poniem kepada suaminya tenang-tenang dan Lemanpun
membalas pula memandang mata istrinya.
Entah apa yang jadi sebabnya, entah karena melihat bayangan ketulusan
yang terlukis dimuka kuli itu atau entah karena melihat badangnya yang telah
lemah karena kurang makan, jatuh sajalah rasa rahim dan kasihan lihati
keduanya.
“Pandaikah menimba air, membuka pintu kedai pagi-pagi dan menutupnya
bila telah malam ?”
“Pandai engkau, akan saya coba engku; bahwa yang lebih dari itupun akan
saya kerjakan, asal engkau perintahkan”.
“Sekarang engkau boleh tinggal disini ! tetapi berapakah gaji mu ?”
“Soal gaji, saya menurut saja dan tidak digajipun saya terima. Karena
telah dapat saja saya bekerja disini, sudah sangat besarlah pertolongan engku
terhadap diri saya”.
“Ya, bekerjalah disini, tinggallah dengan kami, bersungguh-sungguhlah, tolonglah
mbak ayu mu bekerja, baik di muka atau di belakang. Kalau engkau setia, saya
tidak akan lupa membalas jasamu dengan setimpal’. Ujar Leman pula, yang mukanya
kelihatan berseri-seri karena telah dapat menolong orang lain, dan
memperlihatkan kepada istrinya, bukanlah orang-orang yang senegeri dia saja
yang akan ditolongnya, orang-orang yang seasal dengan istrinya sendiripun tidak
dilupakannya.
Nama kuli itu Suyono. Sangat
insyafnya akan nasibnya, tahu dia bahwa dia orang menumpang dirumah itu. Sekali-kali
tidak pernah dia membantah perintah. Sikapnya ramah tamah terhadap pembeli,
apalagi terhadap kuli yang sebangsanya. Sehingga didalam masa beberapa bulan saja dia tidak lagi
menjadi tukang cuci piring, atau membuka dan menutupkan pintu kedai, tetapi
telah turut pula berdagang.
Sejak itu bertambah-tambahlah kemajuan perniagaan Leman dan Poniem
daripada yang selama ini, langganan dan kenalan bertambah banyak. Meskipun
telah ada seorang anak semang yang setia dan boleh dipercayai, tidaklah lekas
Leman menyenang-nyenangkan diri, usahanya lebih giat daripada biasanya. Sudah
banyak pula dia melepas orang lain pergi berdagang dengan mengendarai sepeda ke
perkebun-kebunan yang agak jauh. Tiap-tiap bulan tua, dia sendiri yang pergi ke
Medan membeli barang-barang baru, tuan-tuan toko telah percaya untuk memberikan
barang-barang yang laku untuk di jualkan, walaupun dengan bayaran yang tidak
kontan. Saudagar-saudagar yang berada sebelah menyebelah kedainya merasa
tercengang, ada pula yang iri hati melihat kemajuan yang telah dicapainya.
Apalagi setelah mereka lihat yang berniaga itu seorang-orang biasa, seorang
Padang yang agaknya dahulu yang hanya seorang tukang menjajakan kain kasur
sehelai dua helai, bersama dengan istrinya bekas kuli kontrak, dibantu oleh seorang
bekas kuli kontrak pula. Biasanya kalau bintang akan naik walaupun bagaimana
tebalnya awan tidak akan dapat menghalangi cahayanya.
Cuma satu perkara saja yang kian lama kian menambah kedudukan kedua hati
suami istri itu. Sudah lebih dari empat tahun lamanya mereka bergaul, belum
juga beroleh anak.
Poniem ingin benar hendak mempunyai anak, keinginan Lemanpun tidak pula
kurang dari itu. Kemana-mana saja mereka telah pergi untuk berobat. Seorang
dukun tua yang telah termasyur di Sicanggang, dekat Langkat telah mereka
datangi, segala ramuan obat telah diberikan oleh dukun itu, tidak juga ada
hasilnya. Kedokter yang pandai mereka telah datang pula, anak belum juga dapat.
Oleh karena itu tidaklah heran jika Poniem penyayang benar terhadap
anak-anak. Anak Tauke Tionghoa disebelah rumahnya kerab kali di larikannya
didalam kedainya, di belikannya makanan, dan anak-anak biasanya memanggilkannya
bibi. Kalau datang kuli-kuli kontrak mengendong anak dan berbelanja di tokonya,
tidak lupa dia memberikan uang atau lebih-lebih pengguntingan untuk bekal baju
anak itu.
Dan itu pulalah sekarang yang menghambarkan pergaulan. Itulah pula yang
kerab kali menjadi angan-angan Poniem, kalau hati suaminya kelak akan renggang
daripadanya, tidak ada anak yang akan mengikat. Leman sendiri kasihan pula
melihat istrinya yang amat penyayang terhadap kanak-kanak itu. Dia kerap pula
berpikir, meskipun perniagaan akan lebih maju, kedai akan bertambah semarak,
buat siapakah kelak segenap kepercayaandan segenap pencaharian. Padahal
dikampungnya sendiri, saudara yang kandung atau keluarga dekat tak ada lagi.
Kalau sekarang dia dijunjung-junjung
dipuji-puji setinggi langit, bukanlah karena yang memuji itu memang bertali
darah dengan dia, hanyalah semata-mata karena uangnya. Itu pulallah sekarang yang
menjadi pangkal keluahan.
Tetapi jika suami istri itu telah merasa duka cita karena sudah beberapa
lama bergaul tidak juga beroleh anak, selain hanya dengan kaum kerabat yang ada
dikampung. Mereka merasa syukur mendengar berita bahwa Leman tidak juga beranak
dengan istrinya orang Jawa itu. Sebab kalau mereka telah beranak kelak, akan
sukar memutuskan pernikahan itu. Tetapi kalau tetap tidak ada anak, mudahlah
membuang perempuan itu dan mengantinya dengan orang kampung sendiri, sehingga
kekayaan tidak mengalir ketangan orang lain !.
Sekarang bertemu pulalah kesulitan dan gelombang yang lain. Karena sudah
demikian mestinya hidup itu, habis kesulitan yang satu akan menimpa pula
kesulitan yang lain. Kita hanya beristirahat buat sementara, guna mengumpulka
kekuatan untuk menempuh perjuangan yang baru dan mengatasinya. Sebab itulah
maka tak usah kita menangis diwaktu mendaki, sebab dibalik puncak perhentian
pendakian itu telah menunggu daerah yang menurun. Hanya satu yang akan kita
jaga disana, yaitu kuatkan kaki, supaya jangan tergelincir. Dan tak usah kita
tertawa diwaktu menurun, karena kelak kita akan menempuh pendakian pula, yang
biasanya lebih tinggi dan menggoyahkan lutut daripada pendakian yang dahulu.
Dan barulah kelak diakhir sekali, akan berhenti pendakian dan penurunan itu, di
satu sawang luas terbentang, bernama maut.
Di sana akan bertemu alam datar, tak berpendakian, tak berpenurunan
lagi.