III. K A W I N



Betul juga apa yang di katakannya kepada Leman , bahwa perkawinan adalah suatu tujuan yang suci dari segenap manusia laki-laki dan perempuan. Tiga kali kita menyebrangi hidup. Apa bila ketiga kalinya telah terseberangi dengan selamat. Bahagialah kita. Pertama hari kelahiran,hari suci. Ke dua hari perkawinan, hari bakti. Ke tiga hari kematian, hari yang sejati.

Tetapi dimanakah jalan kehidupan dan dimanakah nafsu manusia ?  Terutama di tanah : “Poenale Sanctei” yang sebahagian besar dari manusia bukan di pandang manusia lagi, tetapi dipandang sebagai alat perkakas, sebagai cangkul dan linggis yang mereka pegang di tangan mereka sendiri ? 

Beratus – ratus perempuan muda yang datang ke kebun, karena tipuan bahwa perkerjaan di kebun itu amat enteng. Tetapi apabila telah sampai ke dalam kebun, mereka menangis berurai air mata. Menangis buat lamanya sehari dua hari, sepekan dua pekan, menangisi kehormatan yang hilang. Lepas dari itu biasala mereka dalam dunia yang demikian ganas. Mana yang cantik, maka kecantikkan itulah yang menjadi bahaya bagi mereka, terposok ke dalam lumpur kejahatan laki-laki. Sehingga bertahu-tahun, bahkan sampai tua, tidaklah akan lepas dari bahaya itu. kalau dia cantik boleh jadi isteri centeng atau mandur besar, boleh jadi ”babu” tuan besar dan boleh pula jadi nyainya. Kelak kalau kelihatan oleh anak-anak muda luaran yang kehidupannya hanya dari pada menipu nyai-nyai dan kuli-kuli kontrak perempuan yang cantik-cantik, dia dibujuk dan dicumbu, diajak kawin secara “Islam”. Maksudnya tiada lain hanyalah hendak merampas barangnya dengan jalan yang kejam. Kelak apabila barang itu telah pindah ke dalam tangan mereka, perempuan yang malang itupun terbuanglah, menjadi sampah masyarakat : kalau baru, pindahlah dari satu tangan ke tangan yang lain. Dan kalau sudah agak luntur, terpaksalah masuk kedalam hotel-hotel kepunyaan orang Tionghoa atau orang Jepang. Di sanalah dia mesti mencari makan dengan menjual diri, menyeka air mata karena sensara, setelah diseka, ditunjukkan pula senyuman ketika menerima tetamu sehingga bibir jadi penat. Kalau jatuh sakit, dibuang oleh tauke hotel itu keluar. Dan kalau kelat telah tua, meninggal dunia, bertengkar ulama-ulama dengan pendeta dimana mayitnya akan di kuburkan ; dikuburkan Islamkah, padahal dia mati fasiq, atau di kuburkan Kristen, padahal dia bukan orang Kristen. Sungguh tidak boleh cepat-cepat masyarakat menjatuh hukum di dalam pekara yang demikian. Dosa tidak boleh ditimpakan kepada mereka yang jadi korban itu saja. Karena ini adalah suatu penyakit masyarakat yang lebih patut diratapi daripada dikutuki.

Semua ini terbayang, didengar kabar beritanya oleh Poniem. Meskipun belum lama dia di tanah Deli, pahit getir Deli sudah diketahuinya. Sebab itu takutlah dia akan nikah dengan Leman, takut dia akan terlantar sebagaimana perempuan-perempuan lain telah terlantarkan. Kalau hal itu di ingatnya, dia lebih suka jadi gundik yang ke tujuh dari Kang mandur besar, sebab hidupnya lebih aman.

Dia mula-mula telah mengambil keputusan hendak menolak saja permintaan Leman itu. Leman akan disuruhnya saja menganjurkan langkah surut, dan dia akan tetap dengan Kang mandur.

Tetapi heran, mengapa sejak dia bercakap-cakap dengan Leman itu matanya tidak hendak tidur, hanya gelisah saja ? Leman mengucapkan pembicaraan dengan sedikit gemetar. Bujuk rayu Leman terdengar kembali dalam telinganya :”Poniem, lebih baik kita kawin lari saja. Poniem, sukakah engkau bersuami saya ?”

Pertimbangan yang ditempuhnya amat hebat, peperangan diantara pertimbangan dan perasaan. Pertimbangan mengatakan jangan, perasaan mengatakan terimalah ! Tetapi setelah ditelungkup ditelentangkan, pertimbangan itulah yang lekat  di otaknya. Dengan pertimbangan itu dia hendak menemui Leman tanggal 22. 

Permintaan Leman akan ditolaknyasaja dengan baik, mereka hanya akan tinggal bersaudara. Tetapi setelah bertemu dengan Leman, setelah melihat wajahnya, entah kekuatan apa yang mengalahkan pertimbangannya, dia sendiripun tidak tahu. Dari rumah telah putus benar di dalam hatinya bahwa permintaan Leman akan di tolaknya, tetapi setelah Leman menyampaikan permintaan itu, telah dikabulkannya saja.

Terjadilah apa yang akan terjadi, suara hatiku sendiri mengatakan, bahwa aku mesti menjadi isteri Leman, demikian pikir Poniem.

Demikianlah korban yang selalu ditempuh oleh kaum wanita yang lemah itu.

Datanglah pemberitahuan dari tuan besar kebun, bahwa kuli-kuli yang lama yang telah habis kontraknya, boleh pula menekan kontrak baru. Orang yang ditunggu-tunggu itu telah datang. Pada penekenan kontrak baru itu, uang persekot bisa diterima lebih banyak dari biasanya, yang pemain bisa bermain di tikar judi, yang baru kawin bisa membeli kasur dan bantal, atau kereta angin yang akan dikendarai ke pasar kalau hari prei. Dan kuli-kuli yang masih teguh memegang adat Jawa, pada hari itu mengadakan “selamatan” di pondoknya. Meskipun demikian kesusahan yang mereka tanggung, namun waktu-waktu yang tentukan, waktu kelahiran anak, waktu berkawin, waktu sembuh dari sakit, dan lain-lain, waktu yang telah terdapat dalam buku-buku primbon Jawa Kuno, mereka masih teguh menjalankan upacara selamatan itu.

Adat orang Jawa yang suka ‘selamatan” itu telah pindah pula kepada Kerani-Kerani orang Padang dan orang Tapanuli yang tinggal di perkebunan, menjadi adat pula kepada tandil-tandil Tionghoa yang bekerja diperkebunan tembakau. Kadang-kadang mandur yang sayangi diberi pula sedikit “persen” oleh tuan besar supaya dapat melangsungkan “selamatan” itu.

Pada waktu itu mandur besar yang menjadi “suami” Poniem mengadakan “selamatan” pula dirumahnya. Mandur-mandur dari kebun-kebun lain banyak yang datang di undang. Ronggeng dengan gamelan yang merdu bermain di halaman. Apabila “susu macan” telah bermain dikepala, maka kuli-kuli itu tidak malu-malu lagi tampil kemuka, “ngibing”, yaitu bersahut-sahutan pantun dengan perempuan tandak itu, dengan sehelai selendang di tangannya.

Tetapi heran yang semalam itu muka mandur besar muram saja, dia kelihatan kesal. Kerap kali dia marah-marah saja terhadap kuli laki-laki dan perempuan yang sedang kerja di dapur dan yang sedang nyembah jongkok kepada “den ayu” isteri mandur besar yang paling tua, isteri yang sah. Yang sangat mendatang kesal kepada hatinya ialah bahwa sejak tadi pagi Poniem tidak ada di rumah lagi. Dia tidak datang menyambung kontrak dan tidak mengatakan pula bahwa tidak akan disambungnya lagi, melainkan dari pagi dia hilang saja. Disuruhnya dua orang kuli mencari berkeliling, sampai-sampai ke Siantar, dan tadi sore kuli-kuli itu telah pulang kembali. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak bertemu dengan Poniem. Ketika hal ini dibicarakan kepada mandur-mandur besar yang menjadi tetamunya itu, wajh mereka masing-masing tidaklah begitu kesal. Seorang hanya berkata ; “Tentu dia sudah mabur sama gendaknya, barangkali orang Padang pula, karena orang Padang itu suka sekali mengecek kuli-kuli kebun yang cantik-cantik sehingga dapat ditokohnya barang-barangnya kelak.[1]
 
Mandur besar tidak lagi berkeberatan, dan tidak lagi kesal, karena sebagai orang laki-laki maka orang perempuan berhak pula ikut kepada siapa yang lebih disukainya. Orang laki-laki ada kesempatan menggantinya dengan orang lain. Cuma yang sangat mengesalkannya bahwa ialah Poniem lari dengan barang-barangnya sekali. Padahal barang itu dibelikan oleh mandur ialah ganti menyimpan kemenangan main judi. Biasanya kalau orang menang main, isteri dibelikan barang banyak-banyak, ganti menyimpan kemenangan itu. Kelak kalau kalah pula, mudahlah manggali  barang barang itu dari badannya…….


Memang Poniem telah lari. Harta emasnya yang banyak itu dibawanya bersama-sama, tidak sebuah jua yang di tinggalkannya, dia telah pergi mendaptkan Leman yang telah lama menunggu di Siantar. Dari Siantar mereka meneruskan perjalanan sepagi itu juga dengan diam-diam, menuju Medan. Di Medan mereka akan kawin, dan di Medan pula akan ditentukan kelak arah mana mereka akan pergi.

Banyak pula kawan-kawan Leman yang memberi pandangan kepadanya, bahwa perbuatan itu salah benar, salah pada pemandangan orang di kampung dan merusakkan kawan-kawan yang masih tinggal dikebun itu, sebab boleh jadi mandur besar melepaskan dendamnya kepada mereka dengan mengusir mereka.

Apalagi dia masih muda, dia masih dapat kawin lagi dikampungnya dengan perempuan yang patut-patut. Tetapi semua nasehat itu belum ada yang masuk kedalam hatinya. “Sedang muda dunia dicapai, kalau sudah tua apagunanya” Demikian agaknya pikir Leman.

Bagindo Kayo seorang yang lebih tua dalam perantauan itu mengatakan : “Saya takut kalau-kalau engkau menyesal kelak, Leman !

“Apa sebab saya menyesal mamak ?”

“Sebab perempuan itu bukan orang negeri kita !”

“Bukankah dia orang Islam juga ?” tanya Leman.

“Benar, tetapi karena kau perdapat dia dengan mudah, saya takut kalau-kalau engkau lepaskan pula dia dengan mudah”.

“Tidak mamak, beristeri kali ini saya insyaf betul. Perempuan itu setia tampaknya, dan dia akan pegang teguh, saya telah berjanji”.

“Saya belum dapat memastikan betul, apakah dia akan setia, apa tidak. Kalau dia setia saya bersyukur, saya do’akan moga-moga pergaulanmu dengan dia beruntung hendaknya. Tetapi bagaimana kelak kalau engkau sendiri yang tidak setia ? Artinya engkau sia-siakan kesetiaan orang kepadamu ?”

“Do’akan sajalah mamak, mudah-mudahan tidak”.

“Tetapi apakah engkau akan tahan dikatakan orang : Si Leman melarikan kuli kontrak ?”

“Saya bukan lari atau melarikan dia, mamak. Saya membelanya, mengeluarkannya dari lembah kehinaan, karena dia selama ini hanya sebagai gundik !”

“Ya, tetapi dia merasa nikmat dalam kehinaannya ! Apakah engkau sanggup menjaga kenikmatannya di dalam kemuliaannya ?”

“Apakah maksud mamak ?”

“Apakah engkau nikahi dia, lalu engkau jaga dan engkau pertahankan kemuliaan itu, sehingga dia benar-benar menjadi orang baik ?”

“Itulah yang akan saya coba mamak !”

“O.., jadi rupanya masih hendak mencoba-coba ! Saya Cuma memberi ingat. Karena siapapun perempuan, bagaimanapun hinanya, buruk dan baiknya adalah kepandaian laki-laki memegang, lain tidak. Kalau sekiranya engkau pandai mengasuh engkau akan beroleh isteri yang setia, walaupun dia bukan orang “awak”. Tetapi kalau hatimu balik belahan, engkau akan dikhianatinya. Berlain pendapat saya dengan kawan-kawan yang lain. Buat saya beristerilah dan berguraulah dengan setia, pergilah kemanapun yang baik buat mu dibelakangan hari, jangan sampai serupa saudara-saudara kita yang lain, yangtelah pernah pula beristeri orang yang bukan orang sekampungnya, maksudnya bukan benar-benar mengambil jadi isteri, hanyalah melepas nafsu muda. Akhirnya orang-orang yang demikian menyesal juga”.

Itulah nasehat kawan yang lebih tua, yang telah lama memakan garam kehidupan di tanah Deli, nasehat bukan menghina bakal isterinya, tetapi menunjukkan jalan yang akan ditempuhnya. Entahlah termakan olehnya nasehat itu entah tidak, entah memang sebenarnya niatnya hendak insaf dan sadar, hendak mencari teman hidup atau hendak melepaskan nafsu muda saja, pada waktu itu belumlah dapat ditentukan.

Mereka telah berangkat ke Medan pada hari itu juga, dan terus kerumah tuan Qadhi. Mereka telah dinikahkan dengan sah, secara Islam.

Di luar rumah tempat mengakadkan ijab dan kabul itu telah menanti pergaulan dan kehidupan, yang akan ditempuh oleh ke dua sejoli itu, akan mereka rasai pahit dan getirnya.




[1] Mabur = lari, gendak=kecintaan mengecek=membujuk, ditokohnya=ditipunya. Semua adalah perkataan-perkataan kasar yang terdapat di dalam perkebunan-perkebunan, tetapi telah popular pula di dalam kata-kata Deli

Template by:

Free Blog Templates