Uang Jemputan

Cerpen : Farizal Sikumbang
Aku seperti seonggok batu yang bisu di malam hari. Diam dan kaku. Tubuhku disepuh cahaya bulan. Aku duduk di gubuk sawah milik abak yang tak berdinding dan beratap daun rumbia. Udara dingin menyergap dari berbagai arah. Entah sampai berapa lama aku akan mampu bertahan dari udara malam ini. Udara malam yang mengilu kulit sampai ke semua rusuk tulang. Juga sampai ke hati, karena hati membuka diri untuk membunuh rasa sepi dan pedih tak terperi ini. Sebab bukankah kesedihan hati juga akan membuat suasana akan terkondisi?

Iya. Seperti malam ini rasanya entah apa. Kesedihan menyergap dari berbagai arah. Luka serasa semakin menyiksa karena malam yang sunyi seperti sembilu yang turut melukai hati. Tapi hanya malam dan di gubuk ini aku bisa merenung diri. Menimbang-bimbang nasib. Menyesali diri, mengapa dulu pindah ke kampung halaman ini. Menyepelekan saran sahabat dan kerabat. Kini aku terperangkap dalam keputusan yang digulung adat. Mengunyah harapan dan mematikan keinginan. Di bawah langit yang berbintang, berkali-kali berkelebat wajahmu sambil menusuk sepi ini. Wahai Faraswati, adakah engkau rasakan deritaku ini ?

Semua berawal dari enam bulan yang lalu. Pada sebuah perkenalan yang tak disengaja. Di atas bus ANS pertama kali aku melihatmu. Kala itu aku pulang ke Padang setelah pengajuan surat pindah tugasku dikabulkan. Kutahu engkau naik dari Bukittinggi pada pagi hari. Di kala kedua mataku masih mengantuk dan tubuh terasa penat setelah satu hari aku duduk di kursi bus itu.


Entah sebuah kebetulan atau tidak. Kamu menghempaskan tubuh di tempat duduk di sebelahku. Di antara kantukku yang masih menggantung, aroma tubuhmu berputar-putar menusuk hidungku. Buru-buru aku cepat memperbaiki duduk. Merapikan pakaian yang terlihat kusut. Meraba rambut supaya tidak terlihat semrawut. Faraswati, kau tahu, di masa itu aku sebenarnya begitu gugup. Betapa tidak. Engkau muncul di sisiku seperti bidadari di pagi hari. Tubuhmu ramping. Kulitmu kuning bersih. Pakaian yang kau kenakan memperlihat lekuk tubuhmu.

Maka ketika bus melaju meninggalkan terminal Bukittingi yang sempit itu, aku mulai mencari kata untuk mengenalmu.

Di dalam bus yang melaju. Berlari gegas menyusuri jalan berkelok. Kuperhatikan wajahmu. Kamu seperti memikirkan sesuatu. Tatapanmu lurus ke depan memperhatikan ujung-ujung jalan yang akan dilewati bus itu.
Tepat pada jalan yang agak meluncur, kamu terlihat agak susah payah mengeluarkan handphone di saku celana jeans-mu yang ketat. Lalu kamu mengutak-atik handphone-mu itu. Sepertinya kamu ingin mengirimkan pesan singkat buat seseorang. Setelah selesai kembali kau sorongkan handphone ke dalam celana jeans-mu. Dan di saat itulah, siku tanganmu menyentuh bahuku.

“Maaf,” katamu pelan sambil sedikit tersenyum.

“Tak apa,” jawabku pula.

Lalu kamu kembali duduk seperti semula. Menatap ke depan.

“Mau ke mana,” tanyaku.

“Ke Padang,” jawabmu.

Aku terdiam. Mencoba mencari kembali kata untuk mengajakmu berbicara.

“Ke Padang tempat siapa,” begitu kataku selanjutnya.

Sejenak engkau diam. Seperti mencari sebuah jawaban.

“Ke rumah orangtua,” jawabmu.

“Lalu di Bukittingi tempat siapa?”

“Tempat kakak.”

“O.”

“Kalau uda dari mana?”

“Dari Medan,” jawabku

“Dari Medan,” katamu pelan.

Lalu selanjutnya kita terus berbicara berbagai hal. Menghabiskan jam demi jam. Sampai kau ceritakan tentang dirimu yang akan segera diwisuda di Universitas Negeri Padang. Di atas bus yang menderu, kita bagai dua orang yang sudah lama cukup kenal. Aku pun tak mengerti, mengapa kita lekas begitu akrab. Ketika kamu akan turun di tempat tujuan, tidak lupa kuminta nomor handphone-mu.

Esok harinya aku mencari rumahmu lewat SMS yang kau kirim. Seperti seekor kumbang dengan sayap penuh bunga aku terbang menyusuri kampungmu. Kutahu kampungmu masih dipenuhi sawah-sawah membentang. Ada jalan setapak dari simpang tiga yang menuju ke rumahmu seperti yang kau tulis lewat SMS. Setelah terbang cukup lama akhirnya aku menemukan rumahmu.

Rumahmu berupa rumah panggung. Dipagari bilah-bilah bambu yang melingkar. Bunga-bunga mekar di dalamnya. Setumpuk bunga mawar yang tumbuh di dekat anak tangga memperlihatkan bunga-bunganya yang merah hati. Sewaktu kuinjak anak tangga pertama, jantungku berdebar kencang membayangkan kamu akan membukakan pintu dengan tersenyum. Tapi, ternyata tidak. Setelah pintu kuketuk, rupanya bukan kamu yang membukakan pintu. Akhirnya kutahu dia ayahmu. Badannya kekar. Berkumis tebal. Faraswati, di saat itu aku merasa sangat penakut. Namun setelah berbicara dengan ayahmu, nyatanya dia sangat baik.

Kebaikannya itu pulalah yang membuat aku di hari-hari berikutnya kembali ke rumahmu. Menemuimu di setiap aku merasa seekor kumbang yang ingin hinggap pada sekuntum bunga. Hari dan bulan berlalu. Aku seekor kumbang yang semakin mabuk harum bunga. Akhirnya pada suatu malam, kita memutuskan untuk menikah.

“Menikah? Dengan Siapa? Anak siapa dia, ha. Di mana rumahnya,” tanya abak setelah kunyatakan keinginanku itu.

“Rumahnya di Air Dingin,” jawabku

“Di Air Dingin? Ham. Bagus, berarti masih orang Minang juga. Kutakut, kau bawa pula gadis Batak itu kemari,” jawab amak.

“Tidak-lah mak. Sewaktu bertugas di Medan. Sudah kutanamkan bahwa aku tak akan kawin di sana.”

“Kalau memang sudah begitu, kau suruhlah orangtuanya ke mari. Biar kita buat kesepakatan.”

“Iya bak.”

Lalu dua hari selanjutnya kedua orangtuamu datang. Kuingat itu pada suatu malam. Di dalam kamar, di antara hati yang berbunga-bunga aku berusaha mencuri percakapan mereka. Ternyata, di malam itu, semuanya berubah. Semuanya seperti yang tidak kita duga.

“Apa? Sepuluh juta?”

“Ya.”

“Bagaimana kalau tiga juta. Karena kami tidak punya uang sebanyak itu. Belum lagi uang untuk pesta dan membeli perlengkapan lain.”

“Itu sudah sepantasnya. Kalau tiga juta itu-kan, untuk laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tapi anak kami seorang guru pegawai negeri. Kami rasa sepuluh juta itu sudah sepadan.”

“Terus terang kami tidak bisa memenuhi uang jemputan sebanyak itu. Untuk saat ini kami mengalah. Uang itu terlalu besar buat kami.”

Lalu tidak berapa lama kemudian kudengar kedua orangtuamu minta pamit diri.

“Abak, mengapa jadi begitu. Mengapa harus ada uang jemputan sebanyak itu,” tanyaku.

“Sepuluh juta itu sudah biasa buyung. Kau tahu, si Husen anak Apak Kahar yang bekerja sebagai montir Honda dijemput lima juta. Apalagi kau, seorang pegawai negeri.”

“Tapi abak, aku tak butuh uang sebanyak itu. Aku punya uang untuk pesta pernikahanku.”

“Ini soal adat dan harga diri buyung. Apa kata orang nanti. Masa anak seorang pegawai negeri tidak ada uang jemputan.”

“Itu kan lebih bagus abak.”

“Tidak. Tidak ada uang jemputan itu lebih tidak bagus. Pokoknya uang jemputannya sebanyak itu. Jika tidak, jangan harap kau bisa menikah dengannya. Kau sudah susah payah aku sekolahkan. Biayamu besar. Kau tahu.”

Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku mondar-mandir di kamar seperti orang kesurupan. Hatiku gelisah. Ruangan kamar itu berubah seperti sebuah petakan yang siap hendak menjepit tubuhku. Setelah lelah berputar, aku akhirnya menghempaskan tubuh di atas kasur. Tidak lama kemudian kuterima kiriman SMS-mu.

“Uda, ayah sudah pulang dari rumah uda. Ayah sudah menceritakan semuanya. Katanya ayah tidak punya sebanyak itu. Itu memang benar. Ayah beberapa bulan yang lalu sudah menjual satu ekor sapinya untuk uang wisudaku yang lalu. Kami bukan orang kaya uda. Jadi bagaimana kami bisa memenuhi uang sebanyak itu? Aku bingung uda. Apakah kasih kita akan patah sampai di sini? Aku tunggu jawaban uda”
Begitu bunyi SMS-mu yang semakin membuat mataku tak bisa dipejamkan malam itu.

Kini, di malam ini aku belum juga bisa membalas SMS-mu itu. Aku tidak bisa memutuskan apa-apa. Aku tak bisa menentang abak. Aku benar-benar menjelma seperti batu. Diam dan kaku. Oh Faraswati, di bawah cahaya bulan, di dalam gubuk tak berdinding ini, kuharap kau mengerti deritaku ini.
Padang 2007
Farizal Sikumbang 

Analisis Cerpen KOMPAS "Uang Jemputan"

Cengkeraman Uang Jemputan di Tanah Minang
Oleh Fitri Nuur Alimah
Karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sosial yang ada di masyarakatnya. Begitu pula dengan cerpen Uang Jemputan yang ditulis oleh Farizal Sikumbang. Cerpen ini telah berhasil dan kuat dari segi pengungkapannya dan dari segi pemilihan latar dan tokoh-tokohnya yang berasal dari wilayah Minangkabau, Sumatera Barat.
Cerpen Uang Jemputan yang ditulis oleh Farizal Sikumbang berkisah tentang Aku (penulis) dan Faraswati yang menjalin cinta, kemudian berencana untuk menikah. Akan tetapi, karena keluarga pihak calon pengantin perempuan tidak dapat menyanggupi uang jemputan sebesar Rp 10 juta yang dimintakan keluarga (mamak) lelaki, maka lamaran ditolak.
Dalam pengisahan cerpen Uang Jemputan, kita dapat merasakan kuatnya pengungkapan pengarang, baik di dalam mengolah bahasa, maupun dalam menyusun struktur cerita. Hal itu dapat kita rasakan sejak dari penggambaran latar. Tanpa pengarang melakukan penjelasan panjang lebar tentang wilayah Sumatera Barat dan masyarakatnya, pembaca mendapat gambaran mengenai wilayah dan masyarakat yang menjadi latar cerpen tersebut. Karena yang diambil pengarang adalah hal pokok dan khas dari wilayah Minangkabau, seperti jalan yang berkelok, kampung Faraswati yang dipenuhi sawah-sawah membentang, rumah yang berupa rumah panggung, abah dan amak yang memegang erat adat uang jemputan. Untuk memperkental suasana kefloresan, pengarang menyelipkan beberapa kata sapaan dari bahasa lokal, seperti uda, amak, dan abak.
Selain dalam penggambaran latar, kuatnya pengungkapan pengarang terasa pula ketika menggambarkan karakter tokoh. Pengarang lebih banyak menggunakan dialog untuk menggambarkan karakter para tokoh. Aku (penulis) memiliki watak yang patuh pada orang tua, digambarkan penulis lewat dialog batin “Aku tak bisa memutuskan apa-apa. Aku tak bisa menentang abak.” Akan tetapi dia tidak menganggap adat uang jemputan sebagai suatu keharusan, digambarkan penulis lewat dialog, “….Mengapa harus ada uang jemputan sebanyak itu,””….Aku punya uang untuk pesta pernikahanku.
Faraswati digambarkan sebagai seorang gadis sederhana, dia menerima apapun keputusan dari tokoh (Aku), pengarang menggambarkannya lewat kata-kata pada SMS, “Kami bukan orang kaya uda. Jadi bagaimana kami bisa memnuhi uang sebanyak itu? Aku bingung uda. Apakah kasih kita akan sampai disini? Aku tunggu jawaban uda” Abak dan amak memiliki watak yang teguh memegang adat, diantaranya lewat dialog “Di Air Dingin? Ham. Bagus, berarti masih orang Minang juga. Kutakut, kau bawa pula gadis batak itu kemari.”, “Ini soal adat dan harga diri buyung….”, dan “Tidak. Tidak ada uang jemputan itu lebih tidak bagus…”. Ayah Faraswati adalah ayah yang perawakannya menakutkan tetapi sangat baik. Digambarkan lewat narasi “Badannya kekar. Berkumis tebal. Faraswati, di saat itu aku merasa sangat penakut. Namun setelah berbicara dengan ayahmu, nyatanya dia sangat baik.”.
Pengarang menggunakan alur sorot balik lewat kenangan tokoh Aku akan peristiwa enam bulan ke belakang. Kenangan tersebut bangkit kembali ketika tokoh Aku sedang sendirian duduk di gubuk sawah milik Abak. Dalam kenangan tersebut ada suasana ketegangan bercampur kegembiraan ketika berkenalan dengan Faraswati di bis, menjalin cinta dengan Faraswati. Kegelisahan bercampur kesedihan ketika Abak mensyaratkan bahwa uang jemputan harus sebesar sepuluh juta rupiah dan kasihnya dengan Faraswati harus berakhir di saat-saat terakhir ketika mereka telah memutuskan untuk menikah.
Temanya adalah tradisi Bajapuik di Pariaman (Sumatera Barat). Bajapuik (japuik, jemput) adalah tradisi mas kawin yang masih bertahan sampai saat ini di Pariaman (tidak di seluruh tanah Minangkabau) Sumatera Barat. Tema adat bajapuik ini sampai dengan baik kepada pembaca karena pengarang mengambil sudut pandang tokoh Aku yang merasakan sendiri kesulitan menikah dengan orang yang dicintainya karena terbelenggu oleh adat uang jemputan yang masih kental di keluarganya, sementara calon pengantin perempuan tidak dapat memenuhi uang jemputan itu. Dengan demikian, membuat pesan yang ingin disampaikan pengarang sampai kepada pembaca. Sehingga akhirnya cerpen ini dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca.
Secara sosiologi sastra, cerpen Uang Jemputan ini dapat dijadikan gambaran mengenai kondisi dan situasi sosial budaya masyarakat Minang, Sumatera Barat. Menurut Rozalina, soal mempelai lelaki (marapulai) dijemput secara adat dalam suatu perkawinan adalah masalah lumrah dan umum terjadi dalam masyarakat di daerah lain di Minangkabau. Akan tetapi, marapulai dijemput dengan mensyaratkan adanya uang jemputan (japuik) adalah kebiasaan khas masyarakat dan merupakan ciri Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman. Sementara 13 kota/kabupaten lain di Provinsi Sumatera Barat tidak menganut tradisi demikian. Dalam cerpen ini dikisahkan bahwa tokoh Aku tinggal di Padang dan Faraswati tinggal di Air Dingin, keduanya sama-sama orang Minang. Sehingga, keluarga mereka masih menganut adat uang jemputan.
Pada mulanya, yang menjadi orang jemputan adalah orang yang secara sosial dianggap sebagai terhormat, yaitu keturunan bangsawan (bergelar atau mewarisi gelar sidi, bagindo, atau sutan). Sekarang, karena perubahan zaman, muncul "bangsawan" baru sebagai produk pendidikan. Mereka orang-orang terpelajar, berpengetahuan, dan berketerampilan dengan profesi sebagai guru, pamong praja, polisi, tentara, dokter dan sebagainya. Dalam hal pernikahan, mereka juga menjadi orang-orang jemputan. Bagaimanapun tingginya pendidikan perempuan, nilai uang jemput dan uang hilang tetap menjadi tuntutan adat. Dikisahkan dalam cerpen ini, Faraswati baru saja di wisuda dari Universitas Negeri Padang, sedangkan tokoh Aku bekerja sebagai guru pegawai negeri sipil. Karena itu, abak dari tokoh Aku meminta uang jemputan sebanyak sepuluh juta rupiah, Abak mengatakan, “Itu sudah sepantasnya. Kalau tiga juta itu-kan, untuk laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tapi anak kami seorang pegawai negeri. Kami rasa sepuluh juta itu sudah sepadan.”
Bupati Anas Malik, pada masa jabatannya tahun 1980, pernah menghimbau agar masyarakat Pariaman menghapus tradisi uang jemputan dan uang hilang. Kemudian pada tanggal 25 Januari 1990 dikeluarkan keputusan bersama antara bupati, lembaga adat, dan lembaga agama setempat untuk menghapus uang hilang. Gagasan ini sangat mengejutkan dan menimbulkan pro dan kontra. Namun yang jelas, lewat cerpen Uang Jemputan yang ditulis oleh Farizal Sikumbang pada tahun 2007 ini kita mengetahui bahwa sampai saat ini tradisi tersebut masih hidup.

Template by:

Free Blog Templates