Catatan:
Sebuah tulisan otokritik yang menarik dari almarhum Buya Hamka.
Sebuah tulisan otokritik yang menarik dari almarhum Buya Hamka.
Harta Pusaka Tinggi, ladang nan babintalak, sawah nan bapamatang, pasak-kungkung Alam Minang.
Kekuatannya ialah bahwa orang Minang belum kehabisan harta. Dan yang
memegang harta itu ialah ibu, Bunda Kandung (matriarkhat). Inilah yang
mengistimewakan kita dari daerah lain. sehingga kalau harta dengan garis
jalur keibuan tidak ada lagi, berubahlah Minang. Apakah berubah kepada
yang buruk atau yang baik, belumlah kita persoalkan sekarang.
Dan di sinilah pula terletak kelemahan Pusaka Tinggi itu. Yaitu laki-laki tidak mempunyai hak. Laki-laki hanya: “Kabau pahangkuik abu, gajah palajang bukik“.
Mana yang dapat, bawalah pulang, serahkan kepada ibumu. Sejak masih
kecil sudah tidur di Surau, atau mengobrol di lepau. KaIau sudah bosan
di kampung, lekaslah berangkat, dengan lebih dahulu meminta izin kepada
ibu:
”Tangsi Curup, Muara Aman,
Labuang di buka masakapai.
Bunda Kandung teguhkan iman,
Malapeh anak dagang sansai.
Sikujur jo Batang Kapeh,
kambanglah bungo parautan.
Kalau mujur bundo malapeh,
Bak ayam pulang ka pautan“.
Kalau harta masih mencukupi, sawah-ladang masih sedang menyedangi,
belumlah terasa benar kekecewaan tidak adanya hak pribadi ini.
Sekarang, nagari tidak bertambah, sawah-ladang masih sawah-ladang
yang ditaruko oleh nenek-moyang ratusan tahun yang lalu itu juga,
padahal hidup kita sendiri sudah berubah dari zaman ke zaman. Sebab itu
maka telah terselip dalam hati laki-laki Minangkabau perasaan tidak puas
dengan harta pusaka itu. Laki-laki hanya disuruh melambuk, memperbanyak
dan memperkembang Pusaka Tinggi, tetapi dia tidak boleh mengambil
hasilnya.
Sebagai mamak, dia hanya mewilayah. Adat sangat mencela seorang mamak yang “tidak menukuk jo manambah, bersikuat menghabiskan“.
Sudah lama sekali, sudah sejak negeri memakai laras-laras dahulu di
beberapa nagari, pencaharian ninik-mamak tidak ada, hanya dari “komisi”
pungutan uang blasting (pajak) dari anak-kemenakan menggadaikan sawah.
Seorang Penghulu Pucuk, Penghulu Andiko, dari keempat suku, yang
pergi rapat ke balairung, atau masuk ke tengah helat-kenduri,
medan-keramaian, gagah perkasa di zaman muda, setelah tua harus kembali
ke surau buruk. Suatu suku mempunyai surau-surau sendiri untuk anak-anak
muda yang belum kawin dan orang-orang tua yang tidak diperlukan lagi
tenaganya, walaupun dia seorang penghulu. Dan di rumah anak-kandungnya
sendiri pun dia tidak dapat berbuat apa-apa, sebab rumah itu bukan dia
yang punya, dan bukan dia yang kuasa. Yang kuasa ialah ninik, mamak,
tungganai dalam payung-panji suku dari anak-anaknya itu.
Demikian pula kita lihat “orang sumando”, lengau di ekor kerbau, abu
di atas tunggul, lecah di kaki. Dia mengebat tidak erat, memancung tidak
putus. Pada nagari yang masih kuat adatnya, seorang ayah hanya diajak
musyawarah oleh mamak anaknya, ketika anak itu akan dikawinkan.
Oleh sebab itu maka soal tidak ada kebebasan pribadi ini, sudah
sangat lama dirasakan oleh laki-laki Minangkabau. Di negeri sendiri
mereka orang biasa, duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Betapa pun
cerdik seseorang, dia lelah terikat oleh pepatah:
“Indak nan tuo pado kako, indak nan cadiak pado mamak”.
Sebab itu kalau seorang mempunyai bakat, atau initiatif, susahlah mengembangkan bakat itu di negeri sendiri:
“Karatau madang di hulu,
babuah babungo balun.
Marantau bujang dahulu,
di rumah paguno balun.”
Setelah mereka merantau, barulah mereka mengenal hidup bebas. Dan ini bukan sejak zaman akhir-akhir ini saja, tapi sudah lama.
1. Rajo Bagindo.
Mengembara ke Kalimantan Utara, sampai ke Sabah dan sampai ke
Mindanao, kira-kira tahun 1390. Pada batu-bersurat Raja-raja Brunei,
tersebut bahwa Genta Alamat Kerajaan Brunei adalah
dibawa dari Minangkabau pulau Andalas. Di Serawak, orang besar-besar
bergelar Datuk, sampai sekarang mereka masih membanggakan keturunan
Minangkabau, yaitu rombongan Rajo Bagindo. Dan pula Rajo Bagindo pun
meneruskan pengembaraannya ke Mindanao, dan dialah yang menurunkan
raja-raja Sulu. Sampai sekarang orang Islam Pilipina masih mengakui
bahwa di antara Raja-raja mereka memang berasal dari Minangkabau.
Coba kalau Rajo Bagindo masih hidup di Minang, nasibnya tidak akan
lebih dari nasib beratus-ratus Rajo Bagindo yang lain, yang ada sampai
sekarang di Minangkabau.
2. Rajo Malewar.
Yang mendirikan Kerajaan Negeri Sembilan.
Rembau Sri Menanti hanyalah rantau dari Tuan Makhudum. Tetapi wakilnya di sana menjadi Yang Dipertuan Besar.
3. Makhudum Sati.
Yang membuka tanah di Aceh Selatan dan Aceh Barat, dari sanalah timbul Teuku Umar Johan Pahlawan.
Setelah diketahui bahwa dia kuat-kebal oleh Sultan Aceh, diberilah Makhudum Sati gelar pahlawan dan diberi tanah wilayah.
Dan di zaman moderen sekarang kita melihat pahlawan-pahlawan bangsa
yang berasal dari ranah Minang. Melihat bilangan penduduk Minang sendiri
yang tidak lebih dari 3 (tiga) juta orang, besarlah prosentase
pemimpin-pemimpin yang diberikan oleh Minang kepada Tanah Air Indonesia
ini.
Sejak dari Haji Agus Salim, Abdul Muis, Abdul Riva’I, Syekh Ahmad
Khatib, Syarif Thaher Jalaluddin, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir,
Mohammad Natsir, Assaat Datuk Mudo, Isa Anshary, Rasuna Said, Prof.
Mohammad Yamin, Adi Negoro, Nur St. Iskandar, Dr. Mohammad Amir, Dr.
Bahder Johan, Dr. Abdul Halim, dan Hamka (pen.-), serta berpuluh-puluh
orang lagi banyaknya yang lain.
Otak mereka cerdas, dan semuanya diilhami oleh pepatah Minang yang terkenal:
“Taraok tali alang-alang,
cabiak karateh tantang bingkai.
Hiduik nan usah mangapalang,
indak kayo barani pakai.”
Bukanlah saya seorang ahli ilmu jiwa dan bukanlah itu bidang saya.
Tetapi kalau kita kaji bersama, apa sebab kecerdasan luar biasa ini,
apa sebab keberanian ini, apa sebab berani bertualang mengadu untung?
Sebabnya yang utama ialah: “Tidak ada rasa terikat kepada harta-benda. Sebab semuanya tidak awak nan punya.”
Tidak ada anak Minang yang besar di negerinya. Sebab di negeri
sendiri tidak dapat mengembangkan bakat, terhambat oleh harta. Sebab itu
mana yang sudah merantau, jarang yang berani pulang. Sebab pulang
artinya hilang. Padahal semuanya bangga sebab mereka anak Minang. Mereka
mencintai negeri ini luar biasa. Negeri Minang yang indah itu telah
terpeta di dalam hati sejak dibawa turun mandi. Dan sungguhlah saya
berani mengatakan, tak ada satu daerah pun yang seindah Minang.
Dia indah tetapi tak dapat dikuasai, sawah berjenjang keluarga yang
punya, hutan-rimba suku yang punya, gunung-gunung Minang yang punya.
Engkau boleh meratapinya, menjadikannya buah-pantun, namun dia tidak
dapat engkau miliki. Mungkin oleh karena tidak dapat dimiliki ini maka
kita bertambah cinta kepadanya.
Dia indah tetapi tak dapat dipegang, dia dicintai tetapi tak dapat
dibuat “manga-manga”. Dia hanya indah buat ditengok pada gambar
panorama. Dia hanya indah buat dilihat seketika pulang sekali-sekali.
Dan buat ditangisi, kalau sudah terpaksa berangkat kembali, sebagai bunyi pantun:
“Bukit Purus, rimba Keluang,
direndang jagung dihangusi.
Hukum putus badan terbuang,
dipandang kampung ditangisi.”
Syekh Ahmad Khatib yang mengatakan memakan harta pusaka adalah
memakan harta haram, tinggal di Mekkah tidak pulang-pulang sampai
wafatnya, telah mencantumkan daerah yang dicintainya ini di ujung
namanya, yaitu: Syekh Ahmad Khatib bin Abdullatif Al Minangkabauwiy.
(Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, Pustaka Panjimas 1985, hal 108-112)