Oleh Wisran Hadi
Setelah tiga puluh tahun lebih
hidup anak beranak di rantau, Datuk Asa yang kini sudah kaya raya dan terpandang, pulang. Namun sesampai di
kampung, sang datuk kecewa sekali
karena dilihatnya orang Minangkabau tidak seperti dulu lagi. Berubah. Didepan
masjid Jamik Datuk Asa bertemu dengan Wali Nagari dan mencurahkan segala kekesalannya.
“Orang Minangkabau kini sudah
berada di pinggir jurang kehancuran. Akhlak,moral, tata krama tidak sesuai lagi dengan norma-norma adat basandi syara’,
syara’basandi kitabullah! Budaya dan adat yang tidak lekang dek panas dan tidak
lapuk dekhujan, kini sudah keropos, tinggal kerabang. Tidak ada lagi sopan
santun! Tidak ada lagi penghormatan
terhadap tamu! Tidak ada lagi penghargaan terhadap tokoh-tokoh penting dari rantau! Kasar!
Sewaktu saya turun dari pesawat,
saya dikerbuti sopir-sopir di bandara. Tanpa sopan santun, tanpa basa basi, dia memaksa saya ikut dengan
taksinya. Kemudian, dia minta
bayaran tinggi. Begitu juga ketika saya menanyakan ke mana jalan ke kantor pos pada seorang anak, dia hanya
memanjangkan mulutnya menghadap ke arah kantor pos.
Tidak ada tegur sapa, sopan
santun!
Minangkabau apa ini! Sudah jadi
kerbau semua! Mestinya semua kerusakan moral
ini harus menjadi tanggung jawab wali negeri! Wali negeri harus mendidik masyarakat
Minangkabau kembali menjadi manusia yang berbudaya! Wali negari harus mengarahkan ninik mamak agar mereka
mengajar kemenakannya!
Huh..! Minangkabau sekarang tidak
seperti dulu lagi! Dulu kami sangat hormatpada orang-orang tua, penghulu dan
tamu-tamu yang datang. Sekarang, uh! Tidak seorangpun yang menghormati orang
lain, terlebih pada orang yang pulang dari rantau.You tahu kan, kami pulang
sekarang kan untuk melepaskan kerinduan kami terhadap tanah leluhur. Karena
ranah Minang inilah kebanggaan kami.
Di sini kami lahir!You sekarang
sudah menjadi wali nagari! Kenal saya tidak? Saya Datuk Asa yang sudah tigapuluh tahun lebih merantau.
Saya tidak mengira orang seperti you terpilih menjadi wali negeri! Tidak punya tanggung jawab terhadap
kerusakan akhlak, adat orang-orang
Minangkabau. Apa komitmen you terhadap adat dan budaya Minang ini,ha?”
Dengan tenang Wali Nagari
menjawab kekesalan orang dari rantau itu; “Apa tidak sebaiknya datuk menetap di kampung ikut memperbaiki akhlak
dan adat anak kemenakan kita?”
“O, tidak bisa! Saya sibuk!
Bisnis saya harus diurus setiap hari. Kalau dikampung ini, di mana saya harus
tinggal? Tidak ada hotel yang representatif. Jangankan hotel, rumah tumpangan pun tidak ada. Rumah gadang? Uh! Kamar
mandinya saja tidak ada. Apa saya
harus mandi, buang air di sungai yang jaraknya satu kilometer dari rumah gadang itu? Negeri apa ini!
Ketinggalan! Tidak beradab! Minangkabau sudah hancur.
Hancur! ” balas Datuk Asa dengan
berang.
Bagaimanapun sabarnya Wali Nagari
itu, kesabaran tentu ada batasnya. Dengan
bahasa sederhana dijawabnya segala sumpah serapah orang dari rantau itu.
“Sepengetahuan kami, belum
serupiahpun Datuk menyumbang untuk negeri ini. Apa hak Datuk untuk marah-marah, sementara Datuk tak memberikan apa-apa
pada kami?”
Datuk Asa semakin naik pitam.
Wali Nagari tersenyum dan pergi.
“Jaankan pitih, kantuik se indak
nyo lapehan doh. Pandai lo berang-berangbagai,” kata Wali Nagari membatin.