Jeffrey Hadler, Muslims and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism (Ithaca and London: Cornell University Press, 2008. xii, [i], 211 halaman.
Muslims and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism (‘Muslim dan Pengamal Nasab Ibu: Kelenturan Budaya di Indonesia melalui Jihad dan Kolonialisme’) adalah publikasi terbaru tentang sejarah lokal Indonesia, tepatnya mengenai masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat.
Perkenalan
Jeffrey Hadler, dosen pada Program Studi Asia Tenggara Universitas
California Berkeley, dengan masyarakat Minangkabau telah dimulai sejak
1985. Ketika
itu ia masih duduk di bangku SMA di Amerika Serikat. Setelah menjadi
mahasiswa, Jeffrey berulang kali mengunjungi Indonesia lagi, lebih
sering ke Sumatera Barat.
Tilikan
akademis Jeffrey tentang masyarakat Minangkabau baru benar-benar dapat
diketahui publik 15 tahun kemudian ketika pada tahun 2000 ia berhasil
mempertahankan disertasinya “Places like Home: Islam, Matriliny and the History of Family in Minangkabau” di Cornell University. Disertasi tersebut, setelah direvisi, akhirnya diterbitkan dalam bentuk buku yang kita bicarakan ini.
Etnis yang terus-menerus menarik perhatian para ahli
Dewasa
ini mayoritas umat manusia menganut sistem patriarkat yang menempatkan
kekuasaan di tangan laki-laki dan menarik hubungan keturunan dari garis
bapak. Ini berbeda dengan manusia zaman kuno yang—berdasarkan temuan
arkeologis dan sumber tradisi lisan—diyakini kebanyakan menganut sistem
matriarkat (nasab ibu) yang menempatkan kekuasaan di tangan kaum wanita
dan menarik hubungan keturunan dari garis ibu.
Kini satu-satunya kelompok masyarakat matriarkal beragama islam terbesar di dunia yang masih tersisa adalah etnis Minangkabau.
Seperti para
peneliti lainnya—P.E. de Josselin de Jong, Franz von Benda-Beckmann,
Christine Dobbin, Elizabeth E. Graves, Joel S. Kahn, Tsuyoshi Kato, Jane
A. Drakard, Evelyn Blackwood, Joke van Reenen, Peggy Reeves Sanday,
Marcell Vellinga, untuk sekedar menyebut beberapa nama—Jeffrey juga
sangat tertarik kepada sistem kekeluargaan (kinship) masyarakat Minangkabau yang unik dan khas: mereka menganut sistem matriarkat sekaligus memeluk agama Islam yang patriarkal.
Banyak
kajian ilmiah yang telah dibuat mengenai dampak sosial dan psikologis
akibat penggabungan kedua sistem yang memiliki prinsip dasar yang
bertentangan itu dalam kebudayaan Minangkabau. HHB Saanin Dt. Tan
Pariaman dalam “Kepribadian Orang Minangkabau dan Psikopatologinya”
(1980) menyebut istilah “keduaan”—istilah lain untuk split personality—untuk
menggambarkan kepribadian Minangkabau yang menurutnya potensial
menimbulkan penyakit jiwa tertentu, mulai dari rasa cemas sampai
skizofrenia. Menurutnya, hal ini diakibatkan oleh berbagai paradoks yang
dihadapi dan dipraktekkan oleh orang Minangkabau dalam kehidupan sosial
mereka. Mochtar Naim (1979) menunjukkan bahwa dialektika antara sistem
matriarkat dan Islam telah menjadi salah satu faktor pendorong munculnya
budaya merantau yang kuat di kalangan orang Minangkabau.
Selamat dari serangan dua ideologi asing
Jeffrey
menganalisa bagaimana sistem matriarkat Minangkabau mampu melakukan
resistensi terhadap serangan dua ideologi asing pada abad ke-19 dan
ke-20: Islam dan kolonialisme (Belanda).
Di
tempat lain di dunia sistem matriarkat punah karena serbuan berbagai
ideologi dari luar. Hal yang sama pernah diramalkan oleh pengamat akan
terjadi juga di Minangkabau. Namun ternyata hal sebaliknyalha yang terjadi: sistem matriarkat Minangkabau mampu bertahan. Jeffrey bertanya: “Why does matriarchy persists?—has been dodged by scores of researchers who have been lured to Minangkabau by the seeming paradox of a matrilineal Muslim society” (hlm.8).
Alih-alih
melakukan studi kasus seperti dilakukan oleh banyak peneliti lain
(misalnya Kato 1982; Reenen 1996; Sanday 2002), Jeffrey mencoba menjawab
pertanyaan di atas dengan membandingkan dinamika dan transformasi kebudayaan
etnis Minangkabau dan masyarakat matriarkal lainnya yang juga pernah
dikolonisasi oleh bangsa Barat, khususnya Negeri Sembilan di Malaysia
dan orang Kerala di India.
Perubahan konseptualisasi rumah dan keluarga
Di
dalam buku ini Jeffrey membangun sebuah narasi yang membongkar fakta
yang berada di balik kolonialisme dan nasionalisme dengan memfokuskan
pada tema-tema kultural: perubahan konseptualisasi rumah (house) dan keluarga (family);
gagasan modernitas yang berhubungan dengan budaya Minangkabau sendiri,
agama Islam, dan kebudayaan Eropa; dan persaingan antara kekuasaan dan
pendidikan.
Buku
yang disusun secara semi kronologis ini menggunakan banyak sumber
lokal: surat kabar, majalah, buku-buku pelajaran, novel, pamflet, dan
tumpukan teks schoolschriften peninggalan mantan siswa-siswa
Sekolah Radja di Fort de Kock (Bukittinggi) koleksi
Universiteitsbibliotheek Leiden yang selama ini jarang dimanfaatkan oleh
peneliti lain.
Bab 1 (Contention Unending) membahas sejarah ringkas Perang Paderi (1803-1837). Penulis menggambarkan usaha
panglima Paderi yang kontroversial Tuanku Imam Bonjol (TIB)
menggantikan sistem matriarkat di Minangkabau dengan model masyarakat
Islam yang merujuk secara ketat kepada Al-Quran dan hadis. Namun dalam
sebuah momen yang menentukan TIB dalam memoirnya memohon maaf atas
tindakannya yang telah menjerumuskan sesama orang Minangkabau ke dalam
konflik berdarah dan menarik kembali ideologinya.
TIB berusaha mencari kompromi antara adat Minangkabau dan hukum Islam yang kemudian dikenal sebagai doktrin “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.
Perjuangannya itu membingkai buku ini karena keputusannya itu telah
membentuk debat berterusan di Minangkabau sepanjang abad ke-19 dan abad
ke-20.
Di akhir Perang Paderi Belanda keluar sebagai pemenang dan menggabungkan Sumatera Barat ke dalam negara kolonial Hindia Belanda. Bab 2-4 menguraikan perdebatan tentang bentuk fisik rumah (Shapes of the House), konsep keluarga (Interiors and Shapes of the Family), dan pendidikan untuk anak-anak (Educating Children).
Sepanjang abad ke-19 Minangkabau
mengalami transformasi dari masyarakat agraria tradisional yang
menempatkan wanita sebagai pengontrol institusi rumah dan sawah (oleh
karenanya mereka memiliki kekuasaan yang besar) ke masyarakat kolonial
tempat negara partiarkal memberi otoritas kepada kaum lelaki untuk
berkuasa.
Negara
kolonial memaksakan sebuah kekuasaan patriarkal kepada masyarakat
Minangkabau. Perempuan Minangkabau dipaksa mengikuti tradisi yang
sekarang justru digunakan untuk menentang kuasa mereka sendiri,
‘mengikat’ mereka di rumah gadang, membatasi akses mereka untuk meraih berbagai peluang baru, dan membatasi ruang gerak mereka.
Pada
masa itu muncul berbagai pertanyaan seputar sistem matriarkat
Minangkabau, menyebabkan peran politik wanita dan pengertian tentang
keluarga menjadi pusat perhatian para intelektual Minangkabau di awal
abad ke-20.
Bab 5 (Intimate Contention) menganalisa berbagai gagasan tentang moral dan peran perempuan Minangkabau di awal abad ke-20, era ketika kata pergerakan
menjadi tren dan partisipasi politik orang Minangkabau meluas di kancah
lokal maupun nasional tetapi sedikit konsensus yang diperoleh.
Nagari
Koto Gadang yang sangat progresif dan sangat berorientasi budaya
Belanda tempat konflik jender pertama kali muncul—seperti terefleksi
dalam petisi wanita Koto Gadang untuk dapat bebas memilih jodoh (Mei
1924)—adalah contoh tentang derasnya transformasi sosial yang terjadi di
Sumatera Barat di awal abad ke-20.
Bab 6 (Earthquake) dan Bab 7 (Families in Motion)
membahas politisasi budaya Minangkabau dalam dekade 1910-an dan
1920-an, masa ketika kontroversi publik mengenai matriarkat, ideologi
Islam reformis, dan gagasan mengenai kemajuan (progressiveness) begitu mewarnai dunia pergerakan dan masyarakat Minangkabau.
Wanita
Minangkabau pun terseret ke dalam gerakan-gerakan yang disulut oleh
benturan ketiga ideologi itu. Mereka ikut terjun ke dunia jurnalisme dan
politik, berenggang dengan tradisi karena ikut ambil bagian dalam
budaya migrasi kaum lelaki ke rantau, meninggalkan (dunia) rumah gadang yang menjadi simbol kuasa nasab ibu.
Ketakutan
terhadap efek modernitas yang merusak seolah diingatkan oleh terjadinya
gempa hebat di tahun 1926 yang meluluhlantakkan dataran tinggi
Minangkabau dan kemudian disusul dengan Pemberontakan Komunis di tahun
1927.
Dalam
gejolak sosial yang melanda Minangkabau yang telah berlangsung
sepanjang abad ke-19 dan kemudian berakhir dengan pemberangusan gerakan
politik dan penerapan sensor oleh Pemerintah Kolonal Belanda selepas
Pemberontakan Komunis, peran perempuan Minangkabau dan definisi tentang
rumah dan keluarga tak henti-hentinya menjadi fokus perdebatan. Lelaki
dan perempuan Minangkabau digiring ke dalam percaturan yang kemudian
membentuk generasi pertama pemimpin politik Indonesia yang dinamis.
Dalam kesimpulan akhir (Victorious Buffalo: Resilient Matriarchate)
Jeffrey menulis bahwa konflik dan interaksi antara sistem matriarkat,
Islam reformis, dan negara kolonial telah membuat elemen-elemen yang
paling esensial dalam kebudayaan Minangkabau mengalami destabilisasi,
menyebabkan orang Minangkabau merasa kampung halaman sendiri bukan lagi
sebagai tempat yang ‘aman’. Kontribusi yang tidak sepadan dibanding
jumlah mereka yang kecil yang telah diberikan oleh etnis Minangkabau
kepada politik nasional Indonesia adalah akibat langsung dari
destabilisasi itu (hlm.180).
Walau
telah digojlok oleh gerakan Islam reformis sepanjang paruh pertama abad
ke-19 dan kemudian berlanjut dengan serangan yang tak kalah gencarnya
oleh negara kolonial Hindia Belanda yang mengintervensi ranah kehidupan
(publik dan domestik) masyarakat Minangkabau selama hampir satu abad
kemudian, sistem matriarkat Minangkabau ternyata lolos dari kepunahan.
Di
zaman kemerdekaan, ketika Rezim Orde Baru melancarkan modernisasi dan
politik sentralisasi, banyak laporan etnografis menyebutkan bahwa
kehidupan masyarakat di desa-desa Minangkabau tetap bersifat matrifokal.
Pengalaman
sejarah telah menempa hidup orang Minangkabau dalam dialektika kritis
antara nilai-nilai adat, ide-ide Islam reformis, dan gagasan-gagasan
pembaharuan Barat. Berkaca kepada konflik berdarah selama Perang Paderi,
dalam menghadapi ketiga ideologi yang bertentangan itu, masyarakat
Minangkabau lebih sering menempuh jalur kompromi ketimbang memilih
konflik berdarah lagi.
Dalam paragraf terakhir buku ini Jeffrey menulis: “The history of West Sumatran politics is of recurring defeat. But the story of Minangkabau culture is one of survival” (hlm.180). Agaknya kata-kata Jeffrey itu tidaklah berlebihan.
Catatan: Resensi ini pernah dimuat di Kompas, Minggu, 19 April 2009
Suryadi, dosen dan peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Indonesië, Faculteit Geesteswetenschappen, Universiteit Leiden, Belanda