Klarifikasi Rabithah Alawiyah: DN Aidit Gembong PKI Bukan Keturunan Alawiyyin Marga Al Aidid

 

 





SWARAKYAT.COM - Klarifikasi ini disampaikan oleh Rabithah Alawiyah, Organisasinya para Habaib/keturunan Alawiyyin, karena ada yang sebar informasi palsu bahwa Aidit tokoh PKI itu, keturunan Alawiyin. Padahal bukan.

 

Berikut selengkapnya...

 

RABITHAH ALAWIYAH

 

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

 

SURAT PERNYATAAN

 

Jakarta, Kamis, 21 September 2017

 

Bersama surat ini DPP Rabithah Alawiyah beserta Maktab Daimi sebagai lembaga resmi pencatatan nasab Alawiyin menyatakan bahwa DPP Rabithah Alawiyah maupun Maktab Daimi tidak pernah mengeluarkan kisah tentang gembong PKI yang bernama DN. Aidit dan menyatakan pula bahwa kisah tersebut tidak benar dan bahwa Aidit tersebut tidak ada hubungan sama sekali dengan keluarga Al-Aidid, dan hanya kemiripan nama semata. Sekian.

 

Semoga Alloh SWT menjaga kita semua dari segala macam fitnah.

 

DEWAN PENGURUS PUSAT

 

RABITHAH ALAWIYAH

 

Ketua Umum

Zen Umar Smith

 

Sekretaris Umum,

Husin Alatas

 

***

 

D.N AIDIT BUKANLAH KETURUNAN ALAWIYYIN MARGA AL AIDID

 

D.N. AIDIT, GEMBONG PKI DAN SILSILAHNYA

 

Banyak dipersoalkan dan dipertanyakan apakah D.N. Aidit, Gembong PKI selaku salah satu dalang pemberontakan G 30 S PKI, yang telah mati tertembak karena melarikan diri saat hendak ditangkap oleh ABRI, apakah berhubungan dengan keturunan ALAWIYYIN marga AIDID? Karena nama dan riwayat hidupnya tersohor baik di dalam dan di luar negeri dan telah diabadikan dalam kamus-kamus Ensiklopedia baik nasional dan Internasional, maka perlu kiranya dicari kebenarannya untuk jawaban tersebut diatas. Karena hal tersebut bukan saja akan menjelekkan nama baik Marga “AL-AIDID” semata-mata tetapi juga akan menjelekkan nama baik semua Marga Alawiyyin pada umumnya dimana seterusnya akan berdampak pula kenama baik Sayyidina Husein RA sebagai anak cucu Nabi Muhammad SAW.

 

Maka berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan analisa tersebut dibawah ini kiranya dapat dijadikan jawaban atas pertanyaan diatas


1. D.N Aidit bukanlah anak cucu Alawiyyin, karena silsilah nasabnya tidak ditemukan dalam kitab pegangan yang dijadikan pedoman lembaga nasab yang ada di Indonesia.

2. Berdasarkan penuturan atau fatwa dari para sesepuh Alawiyyin diantaranya fatwa Al-Habib Muhammad bin Aqil bin Yahya yang bermukim di Palembang dan dari sumber-sumber media cetak yang terbit sekitar tahun 1960, kiranya akan menjadi sebuah jawaban atas jawaban atas pertanyaan diatas. Bahwa fatwa tersebut berbunyi:

 

“Bahwa telah berhijrah seorang pedagang Arab dari marga “Al-Aidid” ke kota Palembang Sumatera Selatan dan menikah dengan seorang janda penduduk setempat yang telah mempunyai seorang anak bernama Nuh. Dari sejak kecil Nuh menjadi anak angkat saudagar arab tersebut dan MENGANGGAP DIRINYA SEBAGAI MARGA AL-AIDID, karena adanya cara penulisan AIDID pada waktu itu yang berbeda, maka nama AIDID berubah menjadi AIDIT oleh bahasa setempat, jelasnya huruf D pada akhir kata AIDID diganti dengan huruf T, sehingga namanya menjadi NUH AIDIT. Setelah NUH AIDIT dewasa dia menikah, dan dari pernikahannya lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama “JAKFAR”. Setelah Nuh dan istrinya meninggal dunia, JAKFAR BIN NUH dibawa ke Jakarta dan diasuh oleh keluarga pamannya (adik ibunya). Setelah Dewasa JAKFAR BIN NUH ini terpengaruh oleh ajaran-ajaran komunis, sehingga ia menjadi anggota Partai Komunis Indonesia. Selanjutnya ia mengganti namanya dengan DIPA NUSANTARA AIDIT yang kelak merupakan Gembong Komunis di Indonesia.


SUMBER :

 

Muhammad Hasan Aidid, Petunjuk Monogram Silsilah Berikut Biografi Dan Arti Gelar Masing-Masing Leluhur Alawiyyin, Jakarta, Penerbit Amal Shaleh, 1999. Hlm 29 - 30

MUSSO DAN ALIMIN

 

Apakah sengaja mereka ingin menghapus pelajaran sejarah
Musso Munawar dan Alimin Prawirodirdjo pernah bertemu langsung dengan Stalin, bagi mereka Aidit cuma anak magang yg baru masuk kerja.
Gontor – Pekaih – Laskar Hizbullah
“Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati,” inilah yel-yel yang diteriakkan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun pada tahun 1948.
Sejak 18 September 1948, Muso memproklamirkan negara Soviet Indonesia di Madiun. Otomatis, Magetan, Ponorogo, Pacitan menjadi sasaran berikutnya. Kyai di Pondok Takeran Magetan sudah dihabisi oleh PKI. Sekitar 168 orang tewas dikubur hidup-hidup. Kemudian PKI geser ke Ponorogo. Dengan sasaran Pondok Modern Darussalam Gontor.
KH. Imam Zarkasyi (Pak Zar) dan KH Ahmad Sahal (Pak Sahal) dibantu kakak tertua beliau berdua, KH Rahmat Soekarto (yang saat itu menjabat sebagai Lurah desa Gontor), pun berembug bagaimana menyelamatkan para santri dan Pondok.
“Wis Pak Sahal, penjenengan ae sing Budhal ngungsi karo santri. PKI kuwi sing dingerteni Kyai Gontor yo panjengan. Aku tak jogo Pondok wae, ora-ora lek dkenali PKI aku iki. (Sudah Pak Sahal, Anda saja yang berangkat mengungsi dengan para santri. Yang diketahui Kyai Gontor itu ya Anda. Biar saya yang menjaga Pesantren, tidak akan dikenali saya ini,” kata Pak Zar.
Pak Sahal pun menjawab: “Ora, dudu aku sing kudu ngungsi. Tapi kowe Zar, kowe isih enom, ilmu-mu luwih akeh, bakale pondok iki mbutuhne kowe timbangane aku. Aku wis tuwo, wis tak ladenani PKI kuwi. Ayo Zar, njajal awak mendahno lek mati“.
(Tidak, bukan saya yang harus mengungsi, tapi kamu Zar. Kamu lebih muda, ilmumu lebih banyak, pesantren ini lebih membutuhkan kamu daripada saya. Saya sudah tua, biar saya hadapi PKI-PKI itu. Ayo Zar, mencoba badan, walau sampai mati”.
Akhirnya, diputuskanlah bahwa beliau berdua pergi mengungsi dengan para santri. Penjagaan pesantren di berikan kepada KH Rahmat Soekarto.
Berangkatlah rombongan pondok Gontor kearah timur menuju Gua Kusumo, saat ini dikenal dengan Gua Sahal di Trenggalek. Mereka menempuh jalur utara melewati gunung Bayangkaki. Pak Sahal pun berujar,“Labuh bondo, labuh bahu, labuh pikir, lek perlu sakyawane pisan” (Korban harta, korban tenaga, korban pikiran, jika perlu nyawa sekalian akan aku berikan”.
Sehari setelah santri-santri mengungsi, akhirnya para PKI betul-betul datang. Mereka langsung bertindak ganas dengan menggeledah seluruh pondok Gontor.
Tepat pukul 15.00 WIB, PKI mulai menyerang pondok. Senjata ditembakkan. Mereka sengaja memancing dan menunggu reaksi orang-orang di dalam pondok. Setelah tak ada reaksi, mereka berkesimpulan bahwa pondok Gontor sudah dijadikan markas tentara.
Pukul 17.00 WIB, mereka akhirnya menyerbu ke dalam pondok dari arah timur, kemudian disusul rombongan dari arah utara. Tak lama kemudian datang lagi rombongan penyerang dari arah barat. Jumlah waktu itu ditaksir sekitar 400 orang.
Dengan mengendarai kuda pimpinan tentara PKI berhenti didepan rumah pendopo lurah KH. Rahmat Soekarto. Mengetahui kedatangan tamu, lurah Rahmat menyambut tamunya dengan ramah, serta menanyakan maksud dan tujuan mereka.
Tanpa turun dari kuda, pimpinan PKI ini langsung mencecar lurah Rahmat. Kemudian mereka meninggalkan rumah lurah Rahmat, nekat masuk tempat tinggal santri, lalu berteriak-teriak mencari kyai Gontor. “Endi kyai-ne, endi kyai-ne? Kon ngadepi PKI kene …” (Mana Kyainya, mana kyainya? Suruh menghadapi PKI sini…).
Karena tak ada sahutan, mereka pun mulai merusak pesantren. Gubuk-gubuk asrama santri yang terbuat dari gedeg bambu dirusak. Buku-buku santri dibakar habis. Peci, baju-baju santri yang tidak terbawa, mereka bawa ke pelataran asrama. Mereka menginjak-injak dan membakar sarana peribadatan, berbagai kitab dan buku-buku. Termasuk beberapa kitab suci Al-Qur’an mereka injak dan bakar.
Akhirnya, PKI pun kembali kerumah lurah Rahmat, lalu berusaha masuk ke rumah untuk membunuh KH. Rahmat Soekarto. Mereka sambil teriak “Endi lurahe? Gelem melu PKI po ra? Lek ra gelem, dibeleh sisan neng kene…!” (Mana lurahnya? Mau ikut PKI apa tidak? Kalau tidak mau masuk anggota PKI, kita sembelih sekalian di sini).
Namun, tak berapa lama sebelum mereka bisa masuk kerumah lurah Rahmat. Datanglah laskar Hizbullah dan pasukan Siliwangi. Pasukan itu dipimpin KH. Yusuf Hasyim, (putra bungsu KH. Hasyim Asy’ari). Pasukan PKI itu akhirnya lari tunggang langgang, karena serbuan itu. Membiarkan Pondok Modern Darussalam Gontor dalam keadaan porak poranda.
Semoga sejarah ini menjadi pengingat dan pelajaran berharga untuk perjuangan mempertahankan Islam, Pesantren, Bangsa dan Negara.
Ditulis oleh:
Ahmad Ghozali Fadli
Pelayan Pesantren Alam Bumi Al-Qur’an, Wonosalam, Jombang
Wasekjen Forum Muballigh Alumni (FMA) Gontor

KETIKA JENDERAL AH NASUTION MENUMBANGKAN REZIM SOEKARNO

 


Adalah salah kaprah, jika menganggap bahwa Soeharto lah yang menggulingkan Soekarno.
Jika melihat fakta sejarah, Jenderal Besar Abdul Haris Nasution adalah orang yang paling berperan dalam menjatuhkan Soekarno dari jabatan-nya Presiden Seumur Hidup.
Saat tragedi G30S/PKI, AH Nasution (sapaan akrab beliau) menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan serta menjabat Kepala Staff Angkatan Bersenjata.
Dia adalah target utama yang harus dihilangkan, kegagalan Cakrabirawa membunuhnya adalah awal serangan balik yang maha dashyat untuk Soekarno dan Dewan Revolusi.
Nasution adalah salah satu Jenderal Angkatan Darat (AD) yang terpaksa setuju pada perintah Soekarno untuk menyerang Malaysia.
Sebagian besar Jenderal AD menolaknya.
Mereka tak mau nyawa prajurit AD digadaikan untuk ambisi pribadi Soekarno.
Apalagi dalam perang tersebut, Ada upaya penyebaran faham komunisme oleh PKI dan menyokong Partai Komunis Malaysia.
Para relawan yang disusupkan juga dipersenjatai dengan senjata kiriman dari negara komunis, yang nantinya bakal diusulkan oleh DN Aidit untuk jadi angkatan kelima.
Nasution berhasil lolos dengan luka di kaki.
Dari tempat persembunyiannya, dia meraba-raba korps pasukan yang setia padanya.
Ketemulah Soeharto yang menjawab Panglima Kostrad (Pangkostrad).
Namun pada masa itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang.
Soeharto dengan cerdik memanggil komandan RPKAD (Kopassus) Sarwo Edhie dan meminta kesetiaan-nya dan pasukan-nya.
Setelah memiliki pasukan dan kelengkapan-nya, Soeharto meminta Nasution untuk datang ke markas Kostrad.
Di sinilah Nasution kali pertama mendapat perawatan atas luka-lukanya dan melancarkan serangan balik.
Sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Nasution memberi perintah pada Soeharto untuk menjaga kesiagaan pasukan Angkatan Darat sembari menyusun serangan balasan.
Ketika Dewan Revolusi diumumkan dari markas TNI AU di Halim. Nasution adalah orang pertama yang membangkang.
Dari Halim atas nama Dewan Revolusi, Soekarno langsung menunjuk Mayjen Pranoto Reksosamodra, sebagai Panglima Angkatan Darat.
Mengetahui ini, Nasution segera mengamankan Pranoto di Markas Kostrad, dia dibrifing agar tidak menerima jabatan ini.
Menyadari bahwa kekuatan Angkatan Darat saat itu hanya prajurit RPKAD, jumlah kostrad sendiri saat itu tak memiliki personel prajurit.
Nasution meminta bantuan Panglima Angkatan Laut, RE Martadinata.
Gabungan prajurit RPKAD dan KKO sukses memukul balik gerakan G30S dan memaksa Presiden Soekarno pulang ke istana negara.
Membubarkan Dewan Revolusi.
Nama Nasution, berkibar hati rakyat Indonesia saat, melebihi Soeharto.
Di saat bersamaan dia berduka atas kematian putranya.
Dalam beberapa minggu pertama setelah G30S, Nasution-lah yang terus-menerus melobi Soekarno untuk menunjuk Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat.
Soekarno, yang setelah 1 Oktober tetap menginginkan Pranoto sebagai pimpinan angkatan darat, awalnya dia ingin menjadikan Soeharto hanya sebagai Panglima Kopkamtib, tetapi dengan lobi terus-menerus yang dilakukan Nasution, Soekarno akhirnya dibujuk dan pada tanggal 14 Oktober 1965, ditunjuklah Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat.
Soekarno sebenarnya memahami sepak terjang Nasution, untuk mengebiri langkahnya, dia menawarkan posisi wakil presiden.
Nasution pintar, melalui Soeharto, Pada awal 1966 mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa tidak ada kebutuhan untuk mengisi kursi wakil presiden yang kosong.
Nasution dengan cerdik, dia membidik kursi ketua MPRS.
Tujuanya satu, Agar bisa menumbangkan Soekarno, agar penderitaan rakyat berakhir.
Soekarno telah diangkat oleh MPRS sebagai presiden seumur hidup, maka hanya MPRS saja yang bisa melengserkan-nya.
Setelah Soeharto menerima supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) dari Soekarno.
Nasution menyadari bahwa Supersemar tidak hanya memberikan kekuasaan darurat kepada Soeharto tetapi juga memberinya kontrol eksekutif.
Nasution menyarankan kepada Soeharto bahwa ia berhak membentuk kabinet darurat. Menggantikan kabinet yang pro PKI dan pro Soekarno.
Soeharto, masih hati-hati tentang apa yang dia bisa atau tidak bisa lakukan dengan kekuatan barunya, karena pembentukan kabinet adalah tanggung jawab presiden.
Nasution mendorong Soeharto, berjanji untuk memberikan dukungan penuh.
Tanggal 18 Maret 1966, Soeharto menangkap Chaerul Saleh, Ketua MPRS dan anggota MPRS yang dianggap pro PKI. Sebagai gantinya dibentuk MPRS pengganti.
MPRS yang baru pun bersidang, dan Nasution terpilih sebagai ketua secara aklamasi.
Dengan cerdik, pada tgl 21 Juni 1966 Nasution dan MPRS meratifikasi Supersemar. Dengan keputusan ini, berarti Soekarno dilarang menariknya kembali.
Pada tgl 22 Juni, Soekarno mencoba melawan dengan menyampaikan pidato berjudul Nawaksara (Sembilan butir) di depan sidang MPRS.
Namun Nasution bergeming, bahwa Supersemar tidak boleh dicabut atau ditarik kembali.
Selama dua minggu ke depan, Nasution sibuk memimpin Sidang Umum MPRS.
Di bawah kepemimpinannya, MPRS mengambil langkah-langkah seperti melarang paham Marxisme-Leninisme, mencabut keputusan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan memerintahkan pemilihan legislatif yang akan diselenggarakan pada bulan Juli 1968.
Sidang Umum MPRS juga meningkatkan kekuasaan Soeharto dengan secara resmi memerintahkan-nya untuk merumuskan kabinet baru.
Sebuah keputusan juga disahkan yang menyatakan bahwa jika presiden tidak mampu melaksanakan tugasnya, ia kini akan digantikan oleh pemegang Supersemar, bukan wakil presiden.
Inilah kenapa Nasution dulu, Ogah diangkat jadi Wapres, dengan jadi ketua MPRS dia bisa menumbangkan Soekarno.
Tahun 1966 pun berlalu, Soekarno semakin defensif dan popularitasnya di kalangan rakyat Indonesia semakin menurun.
Jika Soeharto masih berbelas kasihan pada Bung Karno seperti membelanya di hadapan demonstran rakyat. Tidak dengan Nasution,
Soekarno harus segera diganti.
Nasution menyatakan bahwa : Soekarno harus bertanggung jawab atas situasi buruk yang melanda pemerintahan dan masyarakat Indonesia pada saat itu.
Nasution juga menyerukan, Agar Soekarno dibawa ke pengadilan.
Pada 10 Januari 1967, Nasution dan MPRS bersidang lagi dan Soekarno menyerahkan laporannya (dia tidak menyampaikan hal itu secara pribadi sebagai pidato) yang diharapkan bisa mengatasi masalah G30S.
Diberi judul “Pelengkap Nawaksara”.
Salah satu poinya jika dirinya (Soekarno) akan disalahkan atas G30S, Menteri Pertahanan dan Keamanan pada saat itu (Nasution) juga harus disalahkan karena tidak melihat G30S datang dan menghentikannya sebelum terjadi.
Tentu saja laporan ini, Sekali lagi ditolak oleh MPRS yang dipimpin Nasution.
Nasution memberi selamat kepada Jenderal Soeharto atas pengangkatannya sebagai acting presiden, 12 Maret 1967.
Pada bulan Februari 1967, DPR-GR menyerukan Sidang Istimewa MPRS pada bulan Maret untuk mengganti Soekarno dengan Soeharto.
Soekarno tampaknya pasrah akan nasibnya, akhirnya pada 12 Maret 1967, Soekarno secara resmi dicabut mandatnya sebagai Presiden oleh MPRS.
Nasution kemudian menyumpah Soeharto ke tampuk kekuasaan sebagai pejabat presiden.
Setahun kemudian pada 27 Maret 1968, Nasution memimpin pemilihan dan pelantikan Soeharto sebagai Presiden penuh.
Setelah kemenangan-nya menumbangkan kediktatoran Soekarno. Jendral Nasution pelan-pelan menarik diri dari urusan Politik di era Presiden Soeharto.
Baginya, perjuangan telah usai,
Membebaskan rakyat Indonesia dari cengkeraman diktator bernama Soekarno.

Dibalik PKI tidak Menculik Jenderal H.M. Soeharto

 




Sebelum meneliti siapa Soeharto saat itu, kita musti lihat literatur dan kenali dulu siapa-siapa Jenderal yang menjadi korban PKI, literatur yang akurat berdasarkan fakta bisa dilihat di ANRI. Semua yang diculik PKI adalah satu gerbong dengan Nasution dan Yani. Kesemuanya Deputy dan Assisten Menpangad plus satu (1) Brigjen pimpinan Oditur Militer (Mayjen Anm Sutoyo). Rombongan inilah yang sering berhadapan dengan PKI, saat pertemuan satu meja di kabinet ataupun pada pertemuan/rapat kenegaraan lainnya.
Bisa dibayangkan betapa benci dan dendamnya PKI kepada kelompok petinggi militer ini. Bersama Pak Nas, pak Yani dan para Deputy serta asisten ini secara kompak sering bersitegang dan menentang apa-apa yang diusulkan PKI. Hingga kadang PKI tidak berkutik dibuatnya.
PKI terlihat akrab bersama Bung Karno (BK) dalam Nasakom, punya klaim pengikut hingga 10 juta massa, memiliki puluhan Underbow binaan. Dari yang namanya CGMI, SOBSI, PR, BTI, Fadjar Harapan, Pemuda sosialis Indonesia, Lekra, hingga Gerwani, namun saat itu ABRI tidak gentar menghadapi segala manuver-manuver PKI. mereka dengan tegas selalu melawan usulan-usulan PKI yang dinilai membahayakan Pancasila.
Negara saat itu mempunyai lebih dari 10 Menteri yang mendukung PKI, dan juga punya banyak anggota Parlemen karena menduduki peringkat ke-4 di Parlemen sebagai Legislator alias Anggota DPR RI. PKI tinggal berhadapan dengan ABRI agar bisa memuluskan rencananya menguasai Pemerintahan Negara ini bila Bung Karno Wafat. Namun berulang kali usaha-usaha mereka patah, saat berhadapan dengan orang yang mereka sebut dalam fitnahan Dewan Jenderal.
Dewan Jenderal merupakan sebutan untuk sebuah kumpulan khayalan PKI, dengan maksud agar dipropaganda-kan sebagai grup Jenderal penentang Bung Karno. Sebenarnya tidak ada istilah Dewan Jenderal dalam negara kita saat itu. Isu Dewan Jenderal sengaja dihembuskan PKI, namun fakta nyata saat itu menunjukkan bahwa para Jenderal yang dituduh PKI tersebut rupanya semuanya adalah Jenderal yang menentang PKI, mereka Jenderal yang sangat Pancasilais dan mencintai Bangsa serta patuh pada pemerintah yang sah.

Sejatinya mereka bukan seperti yang dituduhkan PKI, yaitu diam-diam menentang Soekarno. Agar BK dan rakyat membenci mereka, maka PKI mengkondisikan agar fakta sesungguhnya bisa dibalik menjadi fitnahan untuk Dewan Jenderal, hingga ada alasan menyudutkan Pak Nas, pak Yani dan rekan. Bahkan membunuh mereka.
Soeharto yang berada di luar gerbong tidak dianggap anggota Dewan Jenderal. Soeharto memang berpangkat Mayjen, namun bertugas menjadi Panglima Kostrad. Beliau berada di tengah pasukan, bukan berada di dalam pemerintahan. Otomatis PKI tidak memandang beliau sebagai sosok militer yang berbahaya.
Sekarang renungkan dan baca baik-baik secara logika yang sehat. Inilah contoh nyata sepak terjang Para Jenderal yang membuat PKI naik pitam. Pada awal 60-an, untuk melawan (baca: membendung) agitasi PKI maka ABRI membentuk Partai Politik bernama Golongan Karya, saat itu PKI dengan menggunakan Bung Karno berhasil memfitnah Masyumi dan Murba sampai-sampai BK membubarkan 2 Partai yang menjadi saingan PKI ini. Terbentuknya Golkar membuat PKI kesal, sebab sangatlah sulit untuk dihancurkan karena pendirinya para Jenderal aktif.
Selanjutnya ketika kampanye Dwikora yang mengeluarkan resolusi perang Ganyang Malaysia, inilah momen bagi PKI membentuk sukwan sukwani alias sukarelawan perang, dengan harapan kelak bisa mereka manfaatkan seperti Tentara Rakyat Komunis di China saat melakukan revolusi.


Namun sial bagi PKI, kekuatan dan kecerdasan intelejen MT.Haryono, Suprapto, S.Parman, dan Panjaitan membuat ABRI tidak terlalu mendukung perang itu. Kita saja tahu bahwa Perang Ganyang Malaysia itu akibat provokasi PKI terhadap BK, agar mendapat bantuan senjata dan dana dari RRC, apalagi Jenderal intelejen ABRI saat itu begitu ketat memperhatikan segala gerak gerik PKI. Hingga provokasi dan segala giat PKI mampu terbaca oleh ABRI, dan akhirnya konfrontasi dengan Malaysia tidak terlalu serius dijalani dan didukung oleh ABRI
Pertentangan terhadap PKI bersambung, Nasution dan Yani serta rekan-rekan kembali kompak dan keras menolak usulan angkatan kelima Buruh Tani. Ini adalah sebuah usulan gila karena PKI meminta pada BK agar buruh tani dipersenjatai oleh Negara. Petinggi ABRI sontak menolak, karena ABRI mencium adanya gerakan persiapan pemberontakan dibalik usulan ini jika Negara menyetujuinya.
ABRI juga melihat ada gelagat/niat PKI untuk membentuk pasukan bersenjata yang ilegal untuk memperkuat posisi mereka, gerakan ini tercium, dan serta merta ABRI menolak keras, meski usulan itu dibalut alasan untuk perang menghadapi Malaysia.
Belum lagi saat Brigjen Panjaitan menyita 50 ribu pucuk senjata mencurigakan selundupan dari RRC di Tanjung Priuk, senjata itu yang merupakan pesanan PKI, betapa hancurnya hati petualang-petualang Aidit, Syam, Nyoto, Sakirman, Lukman, Nyono, Sudisman, Latief. Hingga saking bencinya Sakirman maka dia memasukkan nama adiknya S.Parman agar turut dihabisi juga, karena S.Parman adalah Asisten Jend Yani.
Contoh lain adalah ketika begitu kerasnya statemen Ahmad Yani perihal pembunuhan Pelda Sujono, anggota TNI di Bandar Betsi, Sumatera Utara oleh segerombolan Komunis, Yani dalam pidatonya memerintahkan kepada semua Prajurit angkatan darat untuk “Asah Sangkurmu” dan bersiap menghadapi Komunis dan segala kemungkinan yang akan terjadi. Artinya Yani memproklamirkan persiapan perang terhadap PKI.
Puncaknya, PKI yang merasa sudah sangat dekat dengan Bung Karno kaget plus sakit hati, saat BK pun pernah mengatakan bahwa pengganti dia kelak adalah Yani. Aidit dan Syam panik luar biasa, apalagi Tim Dokter RRC mengatakan bahwa umur BK tidaklah lama lagi, antara mati atau lumpuh total. Aidit berkehendak menjadi Presiden. Namun BK berkehendak lain. Di luar dugaan BK berniat menyerahkan Negara Kepada Yani, tidak kepada Aidit.
Artinya kalo Yani jadi Presiden maka kecil harapan PKI untuk menguasai atau berkiprah di negara ini. Sangat susah mereka meloloskan niat untuk mengubah Pancasila dan menjadikan Komunis sebagai ideologi Negara. Dan pasti barisan S.Parman cs sebagai Deputy dan Assisten tadi semakin solid menentang PKI.
Soeharto walaupun seorang Mayor Jenderal saat itu, namun beliau tidak selalu bersama Nasution dan Yani karena lebih banyak bersama Pasukannya di Kostrad. Dia tidak ada urusan untuk berdebat dan menentang secara frontal seperti Pak Nas dan Yani karena Soeharto bukan memegang jabatan yang mengharuskan dia untuk selalu mendampingi Pak Nas atau Yani.
Soeharto tidak termasuk barisan ABRI yang bisa menganulir tiap usulan sesat PKI di pemerintahan. Begitupun Brigjen Oemar Wirahadikusuma dan Kol Sarwo Edhie dan juga para Pangdam teritorial lainnya. Semua rata-rata berpangkat bintang Jenderal. Belum lagi ditambah dengan para Kepala Staf 3 Angkatan lain, kecuali Oemar Dhani yang memang terlibat PKI. Semuanya adalah Laksamana, Komodor dan Jenderal. Namun mereka semua bukan Deputy dan Assisten dari Nasution maupun Yani.


PKI bergerak gegabah, dengan menganggap bahwa jika barisan Nasution dan Yani mereka hancurkan lantas, semua pasukan ABRI akan mampu mereka kuasai. Karena gerakan mereka tidak diridhoi Allah SWT, maka rencana gagal total. Rakyatpun tidak mendukung gerakan kudeta ini.
Mereka teramat tidak pintar dengan menganggap kalo kepala sudah ditundukkan maka badan dan ekor akan takluk. PKI lupa bahwa ketika menghantam kepala kalajengking maka seketika buntut ekornya balas ganas menyerang dengan sengatan beracun membunuh.
Ketika Pasukan gabungan dikerahkan Soeharto merangsek masuk ke wilayah Lubang Buaya, para dedengkot PKI panik. “Kita sudah kalah” ujar Brigjen Suparjo pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965.
” Jawa tengah akan berbicara teman-teman” balas Sjam Komaruzaman.
Sedang Letkol Untung sepanjang hari hanya diam termenung dan sorenya kabur ke Tegal.
Perhitungan PKI sangat buruk. Semakin parah kelakuan mereka dengan alih-alih percaya diri menangkap Jenderal tertinggi ABRI, di rumah Nasution, Tjakrabirawa hanya mampu menembak Balita kecil (Ade Irma gugur 6 Oktober 1965 setelah dirawat intensif), Prajurit Tjakra Kopral Hagiono memuntahkan 5 peluru menembus Balita Kecil itu, di halaman depan, pasukan menembak mati Polisi muda Satsuit Tubun, dia yang hanya piket pengawal di rumah Waperdam J Leimena, kebetulan bersebelahan dengan rumah Pak Nas. Berlanjut Saking gobloknya mereka tidak mampu membedakan mana Panglima ABRI dan mana Ajudannya. Pierre Tendean-pun mereka bawa dan di aniaya hingga gugur di Lubang Buaya.
Setelah lolos dari maut, selanjutnya Nasution bergabung dengan Soeharto untuk menyusun strategi melawan PKI. Andai Soeharto terlibat PKI maka tidaklah mungkin Pak Nas mau bergabung ke beliau dan bermarkas di Kostrad, serta bahu membahu menghantam PKI.
Dan jika memang Soeharto mendukung atau terlibat dengan PKI lantas apa ada saksi hidup saat itu yang melihat Soeharto bersama PKI, paling tidak apakah ada photo/dokumen yang menunjukkan dia bersama dan berkumpul bersama Aidit atau dengan pimpinan PKI lain? Dari sini saja bisa pelajari lagi.
Jika memang Soeharto tidak dibunuh karena terlibat PKI, maka tidak masuk akal kenapa sepanjang perjalanan gemilang PKI sejak 1948 hingga 1965 tidak ada satu photo-pun atau dokumen tentang kebersamaan petinggi-petinggi PKI bersama Soeharto.
Hanya fakta yang bisa memastikan fitnahan terhadap Soeharto ini benar atau tidak. Dan tidak ada fakta yang bisa menunjukkan keterlibatan Soeharto meski hanya selembar photo atau secarik dokumen.


Kemudian, dalam persidangan Subandrio dan Oemar Dhani serta yang lainnya, apa ada kesaksian mereka yang jelas menyebut Soeharto bagian dari mereka. Karena untuk mengakui hal itu sangatlah dimungkinkan mengingat para terdakwa semuanya tipis harapan untuk lolos dari hukuman mati. Bagi mereka eksekusi mati sudah pasti, lantas mau apa lagi jika tidak mau jujur. Nyatanya tidak ada kesaksian dari mereka tentang keterlibatan Soeharto.
Kesimpulan yang didapat, posisi Soeharto dianggap tidak penting, begitupun Pangdam DKI Umar dan Kasal RE Martadinata meski semua mereka adalah Jendral dan Laksamana setingkat Jenderal. Dan PKI bertindak langsung mengumumkan bahwa kekuasaan ABRI sementara diambil alih oleh Letkol Untung. Hal ini disampaikan pada pagi hari 1 Oktober 65 di RRI. PKI memperhitungkan bahwa semua Jenderal lain akan mematuhi pengumuman itu. Tapi perhitungan mereka salah besar. Justru Soeharto dan rekan-rekan yang menghancurkan mereka.
Jadi tuduhan yang berkembang bahwa Soeharto tidak diculik karena terlibat PKI adalah omong kosong belaka, tuduhan memutar balik fakta khas komunis, ditambah lagi keturunan dan simpatisan PKI dendam terhadap sikap heroik Soeharto dalam membumi hanguskan semua unsur-unsur yang mengandung Komunis, Marxis dan Leninsme.
Asumsi sederhana yang didapat yakni, kasus Soeharto tidak bisa disamakan ketika kejadian pada Marsekal Oemar Dhani dan Brigjen Suparjo. Kedua Jenderal ini terlibat G30S/PKI, jadi memang tidak mungkin diculik dan dibunuh. sangat berbeda dengan Mayjen Soeharto dan Brigjen Umar Wirahadikusuma dan Laksamana RE.Martadinata yang tidak terlibat PKI, mereka tidak dibunuh karena dianggap remeh PKI, dalam teori mereka cukup hanya bunuh semua pimpinan mereka di Mabes ABRI dan otomatis yang lain langsung tabik tunduk.
Antara Soeharto dan mereka memang sama-sama berpangkat Jenderal dan sama-sama tidak diculik, namun yang membedakan mereka adalah status ideologi yang dianut. Dan Soeharto tidak berhaluan Komunis. Soeharto Pancasilais dan militer sejati, tidak ke kanan dan ke kiri.
Setelah kekalahan telak PKI. Hanya simpatisan dan keturunan PKI yang selalu melontarkan asumsi negatif mengapa Soeharto tidak diculik, mereka juga menghembuskan isu bahwa Soeharto menjadi bagian dari pelaku G30S/PKI.
Menekan Negara agar minta maaf pada PKI sekaligus mendogma anak negeri agar menerima faham ini dengan mengubah fakta pada buku pelajaran sejarah sekolah, dengan menghapus sejarah kelam G30S/PKI.
Jika memang Soeharto berhaluan Komunis dan juga terlibat G30S/PKI, maka mengapa sepanjang 32 tahun berkuasa, secara luar biasa Pancasila sangat dijunjung tinggi. Entah berapa kali kami dulu diharuskan ikut Penataran P4.
Pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) masuk dalam kurikulum wajib di Ebtanas, mata kuliah Kewiraan di Universitas juga musti lulus. Belum lagi Resimen Mahasiswa dan ABRI masuk Desa digalakkan demi keamanan Negeri dari bahaya Laten komunis.
Jika ikutan test Tentara, Polisi atau PNS, dipastikan harus lulus test Mental Ideologi dan sedikitpun tidak mentolerir jika peserta terindikasi laten walaupun keluarga jauh yang pernah terlibat, meski hanya simpatisan PKI.
Jika merujuk dari cerita bahwa Soeharto tahu akan ada penculikan, saya fikir Jenderal lain juga sudah tahu, Jenderal Yani pun sudah tahu namun dia dan Pak Nas menolak agar pengamanan di rumah mereka ditambah.
Dan juga sangat tidak logis jikalau hanya gara-gara mengetahui lantas langsung dituduh terlibat, mengingat kondisi Soeharto pada hari-hari kelam tersebut disibukkan oleh kejadian putranya yang masuk RS akibat tersiram air panas kuah Sup. Secara militer-pun Soeharto pasti tidak terlalu khawatir sebab dia tahu bahwa PKI tidak memiliki pasukan bersenjata.
Soeharto baru mengetahui bahwa PKI memdoktrin Pasukan Tjakrabirawa menculik rekan-rekannya dari Pernyataan Letkol M Untung di RRI. Awalnya Soeharto berfikir tidak mungkin PKI dan antek-anteknya mampu menculik Para Jenderal.
Intinya, yang menuduh Soeharto tidak diculik subuh itu adalah simpatisan PKI. Sebagai Bangsa yang besar seyognyanya melindungi nama baik Pahlawan. Sebaiknya Bangsa Indonesia menghargai jasa Soeharto yang menyelamatkan Indonesia dari Komunis.
Andai PKI berhasil maka Negara ini dipastikan mirip dengan Korea Utara. Semoga negeri ini cerdas dalam melawan sebuah propaganda fitnah. — AN/FER —
Penulis: CEO HastaNews
Referensi: Dari berbagai sumber

Template by:

Free Blog Templates