Cerpen : Farizal Sikumbang
Ini bulan yang kesepuluh itu, Puti. Maka
kini kau kutunggu di Sungai Batang Kuranji. Seperti janji kita. Kita akan
bertemu di sini, bukan? Sambil menunggumu, aku mencelupkan jari-jari kakiku ke
dalam sungai ini. Memain-mainkannya. Dingin yang menjalar ke seluruh tubuh
kujadikan perisai kegundahan ini. Di sini, di sungai ini, kuharap tidak ada
yang melihatku, Puti.
Kemarin, kudapatkan dirimu termenung di
depan jendela kamarmu ketika aku lewat hendak mencangkul sawah bersama abak.
Kau menatapku dengan raut sendu. Aku tahu apa yang ada dalam hatimu. Aku iba.
Aku ingin menyabarkanmu kala itu, tapi itu tak mungkin, Puti, sebab ada abak.
Aku tak ingin hari itu diceramahi abak dan kemudian kami bertengkar. Kamu tahu?
Semalam kami telah melakukan itu. Puti, aku sudah tak sabar membawamu, seperti
janji kita berdua. Membawamu ke kota jauh.
Puti, di awal cerita, kuingat, kita
tumbuh beriring bersama kanak-kanak. Seperti mencabuti bunga-bunga di halaman
rumah. Berlarian sepanjang kampung dengan dada telanjang. Membakar diri di
sawah di samping rumah. Atau mengerjakan pekerjaan sekolah bersama-sama. Ah,
masa lalu itu Puti, tak bisa aku lupakan. Ia seperti kenangan yang selalu
menggaris seluruh ingatan. Kau juga begitu, bukan?
Kini kita tidak lagi menjadi putik itu
Puti. Kita telah menjelma dua kupu-kupu dewasa yang sering menghabiskan senja
di tepi Sungai Batang Kuranji ini. Atau bila malam, kita sering mencurinya
sambil memandangi bulan yang sepotong. Seperti dirimu, aku juga tidak tahu
bermula dari mana rasa itu menyembul hingga kita terjebak pada lingkaran kasih
yang tak mau terpisahkan. Berulangkali aku mengingatkan diri bahwa kita berada
dalam satu kaum yang tabu untuk disatukan. Kau juga paham itu, bukan? Tapi
seperti dirimu juga, aku tak punya daya. Rasa itu lebih kuat dari keinginan
kita. Juga atas keinginan mereka semua: sanak saudara.
Keinginan itu telah terbentur oleh
tembok yang sudah dibangun oleh orang tetua kita, Puti. Tapi jika mereka mau
jujur, jarak pertalian itu sangatlah jauh. Mereka sendiri saja tidak tahu lagi
dari mana kekerabatan itu berawal. Bahkan mereka pun tak punya ranji yang dapat
menguraikan, lalu menyatakan bahwa kita berkaum. Ah, nasib hanya terjebak
karena kita sama-sama dua tanjung. Tak lebih.
Kuingat, puluhan tahun lampau, kau dan
kedua orangtuamu datang ke kampung kami. Kedua orangtuamu yang ditugaskan
berdinas sebagai guru di kampungku akhirnya membeli sebuah tanah tidak jauh
dari rumahku. Dan itu pulalah akhirnya membuat kita begitu dekat, bukan?
Bukan kita saja, Puti, tapi kedua orangtua
kita juga, karena kedua ibu kita ternyata mempunyai suku yang sama. Mereka lalu
terlihat begitu akrab. Seperti kita yang selalu menghabiskan masa kanak-kanak.
Tidak. Tidak hanya sampai kanak-kanak. Tapi sampai remaja. Sampai perasaan itu
tumbuh. Setelah itu aku seperti kupu-kupu yang tidak boleh memasuki taman
rumahmu.
Akhirnya kau mengaduh. Dan aku mengeluh.
Oleh hidup yang seperti dicabut. Seperti terjajah. Maka saat itu kita mulai
mencuri malam. Mencuri detik demi detik dan melarikannya ke tempat yang sunyi.
Tapi, tak ada yang bisa disembunyikan apabila ia itu bernama kebohongan, bukan?
Lalu aku dirajam, oleh kata-kata yang berbaur pituah. Aku diceramah abak. Tapi
aku, lelaki si kepala batu. Dan kau juga begitu, bukan?
“Anak mada. Tak mau mendengar kata
orangtua. Jangan kau mencoreng kening di kepala kami,” begitu hardik abak suatu
malam, Puti.
“Tapi, abak, coba uraikan, dari mana
ranji itu bisa menghubungkan kekerabatan kita dengan mereka.”
“Tak mesti dengan ranji, kesamaan itu
sudah menjadi halangannya. Jangan kau keras kepala anak durhaka,” bentak amak
pula.
Begitulah abak dan amak Puti, bila aku
tak mendengar kata-katanya, beliau akan melemparku dengan kata anak durhaka.
Itu semenjak dulu, ketika aku masih kanak-kanak.
Ah, begitulah selanjutnya, kita merajut
rindu dalam hari-hari belenggu. Dalam sebuah kampung yang seperti mengurung
kita. Tapi dasar kita, dua manusia yang diciptakan dari dua kepala batu. Tak
mau tahu apa kehendak orangtua. Kita terus saja mencuri malam.
Sampai pada suatu sore, kau menjumpaiku
di sawah dengan wajah basah. Rambutmu acak-acakan. Kutahu kau habis menangis.
“Aku akan disunting orang,” begitu
erangmu.
Lalu kau rebahkan tubuhmu di pematang.
Kau tahu kala itu Puti, aku seperti seekor burung yang terkena anak panah. Terkapar.
Hatiku perih. Terbakar. Langit seperti menimba tubuhku. Nafasku sesak. Sungguh,
aku tak ingin kau disunting orang. Tapi ayah dan ibumu melakukan itu. Menerima
pinangan orang kampung seberang.
Begitu sedih kau jelaskan laki-laki itu:
seorang laki-laki mapan yang berprofesi sebagai guru seperti ayahmu. Kau
katakan juga bahwa dia pilihan ayahmu. Mengingat itu, antara aku dengannya
memang begitu jauh. Aku laki-laki yang hanya tamat es-em-a dan tidak punya
pekerjaan tetap kecuali hanya membantu abak mencangkul di sawah. Musnah. Gairah
hidupku begitu musnah. Karena kau disunting orang. Kuyakin kau merasakan
deritaku.
“Aku tak ingin dinikahkan,” begitu
katamu selanjutnya, dengan mata berlinang tentunya.
“Aku juga tak ingin,” jawabku pula.
“Tapi ayahmu telah menerima lamarannya. Lalu bagaimana caranya?”
“Ayah dan Ibu memang keras kepala.
Beliau selalu menjadikan kita sesuku untuk melarang hubungan kita.”
“Jadi bagaimana caranya,” kataku lagi
dengan kepala terasa berat. Juga dengan pikiran buntu.
“Kita lari saja.”
“Lari?”
“Ya. Lari.”
Aku tatap wajahmu beberapa lama. Mencari
kesungguhan di kedua bola matamu.
“Apa yang kau ragukan?” katamu.
“Bukan ragu,” jawabku. “Tapi….”
“Tak ada kata tetapi, bawalah aku lari
jika kau sungguh-sungguh,” kalimat itu begitu bergemuruh. Mendebarkan jantung.
Memacu semangatku. Dan beginilah kini, di Sungai Batang Kuranji ini, aku
menunggumu. Tepat pada hari akad nikahmu….
Ini memang bulan yang ke sepuluh itu,
Uda. Di sini orang-orang bergemuruh. Hiruk-pikuk. Sibuk mempersiapkan akad
nikahku yang begitu tergesa tanpa kurencanakan. Dua orang sumando di rumahku
dan beberapa tetangga dekat telah diutus pihak ibu untuk menjemput calon
pengantinku ke kampung seberang. Kini aku di kamar dengan kebaya kuning lengkap
dengan riasan yang terasa meresahkan.
Akad nikahku akan dilangsungkan hari
ini, Uda. Hanya menunggu sang pengantin laki-laki itu saja. Sedari tadi pintu
kamar di awasi oleh suruhan ayah. Ayah memang telah mewanti-wanti jika aku
lari. Tapi memang aku ingin lari. Menemui Uda Kalidin di tepi Sungai Batang
Kuranji. Sebab kita memang telah berjanji akan meninggalkan kampung menuju kota
jauh sebelum acara akad nikah ini bukan? Kulirik arloji di tangan, sudah
menunjukkan pukul sebelas. Beberapa saat lagi tentu si pengantin laki-laki itu
akan datang. Di luar, suara si penghulu juga sudah sibuk menanyakan pengantin
laki-laki. Bertanda dia juga sudah tidak sabar akan menikahkanku.
Ah, tak ada celah. Tapi aku tak ingin
pasrah. Aku harus menembus kamar ini. Kulihat hanya ventilasi di kamar ini yang
bisa diharapkan. Kayu-kayunya bisa aku buka. Meski tinggi. Meja dan kursi
bisalah aku gunakan sebagai peninggi. Aku ingat ketika ayah dulu melarangku
keluar rumah. Ventilasi itu juga pernah aku buka.
Bergegas kututup pintu kamar. Kukunci.
Namun suara hiruk-pikuk masih terdengar menembus kamar: suara tawa, cekikan
(tentu sebagian memperbincangkan kelangsungan acara akad nikahku). Kugeser meja
di bawah ventilasi itu, kutambahkan kursi di atasnya. Perlahan kubuka satu-satu
kayu yang melintang. Satu demi satu akhirnya terbuka. Hingga ventilasi itu kini
menjelma seperti sebuah petakan. Kujulurkan kepala. Memperhatikan ke
sekeliling. Tapi beginilah, di belakang kamar ini memang kosong, sengaja
sebagai kebun kecil ayah.
Akhirnya aku melompat. Dan terjerembab
pada rumput. Pinggangku terasa sakit. Tak kupedulikan. Dengan kebaya kuning
rias pengantin aku bergegas meninggalkan belakang rumah. Tentu dengan
mengendap-endap. Menghindari orang-orang, dengan tatapan penuh selidik.
Kini, kami saling berdekapan pada siang
yang panjang di tepi Sungai Batang Kuranji. Menembus sekat-sekat adat yang
mengekang. Menembus kampung menuju kota yang jauh seperti yang kami idamkan.
Sungai ini, yang airnya bergemuruh, jernih seperti kristal menjadi saksi
kepergian kami. Kemudian kami melangkah meninggalkan tepi Sungai Batang
Kuranji. Tapi di kejauhan kami dengar suara-suara
“Cari pengantinnya. Cari pengantinnya.”
“Di sana!
“Di sana!”
Ah, suara itu terasa begitu menggelegar.
Dan kami terus berjalan. Berjalan. Tapi tiba-tiba di tepi kaki kami ada jurang
yang menanti. Sejenak kami terpaku, sedangkan suara-suara itu terus menyeru.
Menyeru!