Oleh : Ahmad Sabiq bin Abdul
Latif
Pada kesempatan lalu telah
dikupas masalah mahrom bagi wanita. Nah pada kesempatan kali ini, kita simak
pembahasan tentang beberapa kekeliruan sebagian kalangan dalam memahami mahrom.
Dilanjutkan tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan mahrom. Semoga
bermanfaat.
DIANGAP MAHROM PADAHAL BUKAN
Disebabkan keogahan dalam
mendalami ilmu agama Islam, maka banyak kita jumpai adanya beberapa anggapan
keliru dalam mahrom. Otomatis berakibat fatal, orang-orang yang sebenarnya
bukan mahrom dianggap sebagai mahromnya. Sangat ironis memang, tapi demikianlah
kenyataannya. Oleh karena itu dibutuhkan pembenahan secepatnya.
Berikut ini beberapa orang yang
dianggap mahrom tersebut:
[1]. Ayah Dan Anak Angkat.
Hal ini berdasarkan firman Allah
:
"Dan Allah tidak menjadikan
anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu." [Al-Ahzab: 4]
[2]. Sepupu (Anak Paman/Bibi).
Hal ini berdasarkan firman Allah
setelah menyebutkan macam-macam orang yang haram dinikahi:
"Dan dihalalkan bagi kamu
selain yang demikian. [An-Nisa': 24]
Menjelaskan ayat tersebut, Syaikh
Abdur Rohman Nasir As-Sa'di berkata:
" Hal itu seperti anak
paman/bibi (dari ayah) dan anak paman/bibi (dari ibu)". [Lihat Taisir Karimir
Rohman hal 138-139]
[3]. Saudara Ipar.
Hal ini berdasarkan hadits
berikut:
"Waspadailah oleh kalian
dari masuk kepada para wanita, berkatalah seseorang dari Anshor: "Wahai
Rasulullah bagaimana pendapatmu kalau dia adalah Al-Hamwu (kerabat suami)? Rasulullah
bersabda; "Al-Hamwu adalah merupakan kematian". [HR Bukhori; 5232 dan
Muslim 2172]
Imam Baghowi berkata; " Yang
dimaksud dalam hadits ini adalah saudara suami (ipar) karena dia tidak termasuk
mahrom bagi si istri. Dan seandainya yang dimaksud adalah mertua padahal ia
termasuk mahrom, lantas bagaimanakah pendapatmu terhadap orang yang bukan
mahrom?" Lanjutnya: "Maksudnya, waspadalah terhadap saudara ipar
sebagaimana engkau waspada dari kematian".
[4]. Mahrom Titipan.
Kebiasaan yang sering terjadi,
apabila ada seorang wanita ingin bepergian jauh seperti berangkat haji, dia
mengangkat seorang lelaki yang 'berlakon' sebagai mahrom sementaranya. Ini
merupakan musibah yang sangat besar. Bahkan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani
menilai dalam Hajjatun Nabi (hal 108) ; "Ini termasuk bid'ah yang sangat
keji, sebab tidak samar lagi padanya terdapat hiyal (penipuan) terhadap
syari'at. Dan merupakan tangga kemaksiatan".
WANITA DENGAN MAHROMNYA
Setelah memahami macam-macam mahrom,
perlu diketahui pula beberapa hal yang berkenaan tentang hukum wanita dengan
mahromnya adalah:
[1]. Tidak Boleh Menikah
Allah berfirman :
"Dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruknya jalan (yangditempuh). saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu);,dan menghimpunkan (dalam perkawinan)dua perempuan
yang bersaudara,kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, [An-Nisa' :22-23]
[2]. Boleh Menjadi Wali
Pernikahan
Wali adalah syarat saya sebuah
pernikahan, sebagaiman diriwayatkan oleh 'Aisyah radliyallahu 'anha bahwasannya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:
"Siapa saja wanita yang
menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil (tidak sah), maka nikahnya batil,
maka nikahnya batil." [HSR Abu Daud 2083, lihat Irwaul Golil 6/243]
Juga riwayat dari Abi Musa Al
Asy'ari berkata Rasulullah shallallahu 'alaih wassallam bersabda :
"Tidak sah nikah kecuali ada
wali. [HSR Abu Daud 2085,lihat Irwaul Gholil 6/235]
Berkata Imam At-Tirmidzi:
"Yang diamalkan oleh para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wassallam dalam
masalah wali pernikahan adalah hadits ini, diantaranya adalah Umar bin Khothob,
Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan juga selain mereka."
[Lihat Sunan Tirmidzi 3/410 Tahqiq Muhammad Fu'ad Abul Baqi]
Namun tidak semua mahrom berhak
menjadi wali pernikahan begitu juga sebaliknya tidak semua wali itu harus dari
mahromnya. Contoh wali yang bukan dari mahrom seperti anak laki-laki paman
(saudara sepupu laki-laki), orang yang telah memerdekakannya, sulthon. Adapun
Mahrom yang tidak bisa menjadi wali seperti karena sebab mushoharoh.
[3]. Tidak Boleh Safar (Bepergian
Jauh) Kecuali Dengan Mahromnya
Banyak sekali hadits yang
melarang wanita mengadakan safar kecuali dengan mahromnya, diantaranya:
Dari Abu Sa'id Al Khudri
radhiyallahu 'anhu berkata: Berkata Rasulullahu shallallahu 'alahi wassallam:
"Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir
untuk mengadakan safar lebih dari tiga hari kecuali bersama ayah, anak
laki-laki, suami, saudara laki-laki atau mahrom lainnya." [HR Muslim 1340]
Dari Abdullah bin Amr bin Ash
radhiyallahu 'anhuma dari Rasulullahu Shallallahu 'alaihi wassallam berkata:
" Janganlah seorang wanita muslimah bepergian selama dua hari kecuali
bersama suaminya atau mahromnya." [HR Ibnu Khuzaimah: 2522]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu bersabsa Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassallam : "Tidak halal
bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengadakan safar
sehari semalam tidak bersama mahromnya." [HR Bukhori: 1088, Muslim 1339]
Dari beberapa hadits ini, kita
ketahui bahwa terlarang bagi wanita muslimah untuk mengadakan safar kecuali
bersama mahromnya, baik safar itu lama ataupun sebentar. Adapun batasan
beberapa hari yang terdapat dalam hadits di atas tidak dapat di fahami sebagai
batas minimal.
Berkata Syaikh Salim Al Hilali:
"Para Ulama' berpendapat bahwa batasan hari dalam beberapa hadits di atas
tidak dimaksudkna untuk batasan minimal. Dikarenakan ada riwayat yang secar
umum melarang wanita safar kecuali bersama mahromnya, baik lama maupun sebentar,
seperti riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma beliau berkata: Saya mendengar
Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:
"Jangan seorang laki-laki
berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali bersama mahromnya, juga
jangan safar dengan wanita kecuali bersama mahromnya, maka ada seorang lelaki
berdiri lalu berkata :
"Wahai Rasulullah,
sesungguhnya istri saya pergi haji padahal saya ikut dalam sebuah peperangan.
Maka Rasulullah menjawab: "Berangkatlah untuk berhaji dengan
istrimu."[HR Bukhori: 3006,523, Muslim 1341, Lihat Mausu'ah Al Manahi Asy
Syari'ah 2/102]
Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar
rahimahullah: "Kebanyakan ulama' memberlakukan larangn ini untuk semua
safar karena pembatasn yang terdapat dalam hadits-hadits tersebut sangat berbeda-beda."
[Lihat Fathul Bari 4/75]
Syaikh sholeh Al Fauzan
Hafidzuhullah ditanya tentang hukum wanita safar dengan naik pesawat domestik
dalam negeri tanpa mahrom, apakah itu diperbolehkan? Jawab beliau: "Tidak
boleh bagi seorang wanita mengadakan safar tanpa mahrom, baik naik pewasat atau
mobil, karena Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassalam bersabda: "Tidak
halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir mengadakan safar
sehari semalam kecuali bersama mahrom." Maka safar wanita tanpa mahrom itu
tidak boleh meskipun dengan alat transportasi yang cepat, karena pesawat atau
mobil itu mungkin saja bisa terlambar, rusak, atau terjadi hal-hal lain yang
mengharuskan wanita itu harus bersama mahromnya agar bisa menjaganya saat
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan." [Al Muntaqo min Fatwa Syaikh
Sholeh Al Fauzan 5/387]
[4]. Tidak Boleh Kholwat
(Berdua-Duaan) Kecuali Bersama Mahromnya
[5]. Tidak Boleh Menampakkan
Perhiasannya Kecuali Kepada Mahromnya
[6]. Tidak Boleh Berjabat Tangan
Kecuali Dengan Mahromnya
Jabat tangan dengan wanita di
zaman ini sudah menjadi sesuatu yang lumrah, padahal Rasullah shallallahu
'alaihi wassallam sangat mengancam keras pelakunya: Dari Ma'qil bin Yasar
radhyallahu 'anhu :
Bersama Rasulullah shallallahu
'alaihi wassallam: "Seandainya kepala seseorang di tusuk dengan jarum dari
besi itu lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya."
(Hadits hasan riwayat Thobroni dalam Al-Mu'jam Kabir 20/174/386 dan Rauyani
dalam Musnad: 1283 lihat Ash Shohihah 1/447/226)
Berkata Syaikh Al Albani
rahimahullah: "Dalam hadits ini terdapat ancaman keras terhadap
orang-orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya, termasuk masalah
berjabat tangan, karena jabat tangan itu termasuk menyentuh." [Ash
Shohihah 1/448]
Dan Rasulullahi Shallallahu
'alaihi wassalam tidak pernah berjabat tangan dengan wanita, meskipun dalam
keadaan-keadaan penting seperti membai'at dan lain-lain.
Dari Umaimah bintih Ruqoiqoh
radhiyallahu 'anha: Bersabda Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassallam:
"Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita." [HR Malik
2/982, Nasa'i 7/149, Tirmidzi 1597, Ibnu Majah 2874, ahmad 6/357, dll]
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha:
"Demi Allah, tangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam tidak pernah
menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun dalam keadaan membai'at. Beliau
tidak memba'iat mereka kecuali dengan mangatakan: "Saya ba'iat
kalian." [HR Bukhori: 4891]
Keharaman berjabat tangan dengan
wanita yang bukan mahromnya ini berlaku umum, baik wanita masih muda ataupun
sudah tua, cantik ataukah jelek, juga baik jabat tangan tersebut langsung
bersentuhan kulit ataukah dilapisi dengan kain.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah pernah ditanya tentang hal tersebut, maka beliau menjawab: Tidak
boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahromnya secara mutlak, baik
wanita tersebut masih muda ataukah sudah tua renta, baik lelaki yang berjabat
tangan tesebut masih muda ataukah sudah tua, karena berjabat tangan ini bisa
menimbulkan fitnah. Juga tidak dibedakan apakah jabat tangan ini ada
pembatasnya atau tidak, hal ini dikarenakan keumuman dalil (larangan jabat
tangan), juga untuk mencegah timbulnya fitnah". [Fatawa Islamiyah 3/76
disusun Muahmmad bin Abdul Aziz Al Musnid]
[Disalin dengan sedikit diringkas
dari: Majalah "Al Furqon", Edisi 4 Th. II, Dzulqo'idah 1423, hal
29-31]