Lelaki, “Minang dan Kabau”

Tinjawan Sosiologi Sastra

Lelaki sebagaimana nama kehormatan bagi seorang manusia yang merupakan anak cucu adam yang memegang kekhalifahan di muka bumi ini, harus bersingungan dengan adat istiadat yang dimana mereka sebagai pemimimpin tidak hanya bagi keluarga tapi bagi kaumnya, jika kita menelik ke rumah-rumah gadang maka kita akan melihat lelaki gagah, muda, dan energik berdiri tegap di sana, namun apabila kita menengok pada surau-suarau, langar-langar maka kita akan temui yang namanya lelaki terbuang.

Kaganti ilang tanyo
Kaganti  paambek-ambek tanyo
Dek sadah iyo lah putiah

Lelaki  yang mungkin sudah hidup dari setengah abad diusir secara halus dari rumahnya sendiri baik di sengaja atau tidak hanya gara-gara persoalan yang sebenarnya tak jadi soal karena kita semua tahu, seorang lelaki tua gaya berjalannya tidak sesempurna dahulu. Lebih menyakitkan, bukan orang lain yang mengusirnya tetapi mungkin anaknya sendiri atau menantunya. Kehadiranya dirumah lebih kepada penganti penghilang Tanya dengan kondisi yang menyakitkan.

Tiga Maso Lelaki
Ado maso nan tigo
Patamo maso kudo pacu
Nan kaduo maso jawi pambajak
Nan katigo maso kuciang tuo

Dikisahkan  ada tiga masa yang akan dilewati oleh para lelaki. Masa pertama yaitu masa yang disebut “Kudo Pacu” atau masa muda. Seperti yang kita ketahui masa muda merupakan masa enerjik, penuh daya kreatif dan inovatif. Di masa ini pula, jiwa pemberontak selalu meletup-letup. Apa saja, yang dianggapnya berlawanan dari ke-idealisannya selalu di sanggah secara frontal ataupun pasif. Masa “Kudo Pacu”; selalu saja ada yang dikerjakan. Bahkan ungkapan “makan nggak makan asal kumpul”ungkapan dari grup musik Slank, seperti mendarah daging dalam diri atau jiwa muda tersebut. Banyak kerja pada masa ini.

Berbeda halnya dengan masa “kerbau Pambajak”. Masa-masa yang pasti akan dilewati setiap lelaki kecuali ia mati muda. Masa-masa yang menempa diri lelaki menjadi lelaki dewasa Pada masa ini pula, lelaki kebanyakan dituntut daripada menuntut. Lelaki harus memikirkan bagaimana caranya bisa makan hari ini esok dan seterusnya, bagaimana mengadakan rumah untuk berteduh bagi keluarganya, biaya sekolah anaknya, dan berbagai macam kebutuhan lainnya. Setiap hari, kerja mencari penghasilan.

Pagi-pagi kalua kandang
Di halau ka tangah sawah
Marancah di luluak dalam
Lah sudah sawah nan laweh

 Beruntung kiranya jika telah mendapatkan pekerjaan tetap, namun ketika pekerjaan itu hanya musiman, maka berputarlah otak lelaki sekali lagi, bagaimana caranya untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Beban harus di pikul Sedangkan pada masa yang ketiga yaitu masa “Kucing Tua”, merupakan akhir daripada petualangan hidup sang lelaki tersebut. Dimana;

Jan ka mancik ka tacakau
Kapuyuak jatuah
Mancik nan indak takuik lai

Masa dimana kegesitan hampir hilang. Sudah mulai jadi pikun, tidak teringat lagi hal-hal yang mungkin saja penting. Akibatnya, mulai diasingkan dari keluarga tidak diacuhkan,
dianggap tidak ada.

Jan manyanda jo malamun
Anak minantu di kamar muko
Cucu di kamar tangah
Urang gaek paliang balakang

Tentulah, bagi orang-orang tua yang sudah jompo, hal ini begitu menyakitkan di hati. Ibaratnya, makan kacang lupa kulitnya. Keluarganya lupa, bahwa realitanya kenyataannya sang lelaki yang ternyata sudah jompo itu yang sudah menghidupi keluarga. Akhirnya, hanya karena sebab yang sepele  harus keluar dari rumah. Bergegas pergi ke surau dengan tekad sampai mati disana.Begitu ironis, dan sepertinya jika kita melihat pada zaman ke-kinian, hal itu telah sangat banyak terjadi. Hanya gara-gara persoalan sepele membuat sebuah jiwa harus terusir dari anak cucunya. Ini mungkin fenomena yang terjadi di Minangkabau sendiri, dimana ketika seorang tua merasa tersisih dari keluarganya, ia berpindah menuju surau atau tempat ibadah dan, menghabiskan sisa-hidupnya disana.Walaupun begitu, seharusnya cerita ini dapat menjadi pijakan kepada kita bahwa hidup itu berada di tangan Tuhan. Logikanya, jika si orang tua itu misalkan meninggal terlebih dahulu dari kita tanpa kita pernah meminta maaf kepadanya, tentulah hal ini merupakan sebuah kerugian besar yang akan kita derita. Apalagi, sampai terjadi seperti yang disampaikan pada cerita ini, tentulah kemurkaan Tuhan yang akan datang kepada kita.

Tapi barangkali ado hikmah di dalamnyo
Dek karano angok di tangan Tuhan
Barilah-rilah bari maaf gaek dek awak


Fenomena ini terus terjadi antara ajaran agama yang di pegang dan antara ajaran keluarga yang turun-temurun yang kaitanya bersandikan agama tetapi ketika hendak dibenturkan dengan agama  maka budaya akan seperti pohon yang tingi di terpa angin, budaya yang beprilaku agamis dan budaya yang berprilaku hewan, semua ini perlu dipertanyakan dimana adat bersandi sarak, sarak bersandi kitabullah yang selalu diagung-agungkan masyarakat Minang ketika bersentuhan dengan budaya seperti ini ataukah Minang kabau itu tinggal Minangnya saja sendangkan sifat kehewanan ditingal atau sebaliknya  Minang yang berpegangan pada tradisi keislamanya yang hilang berganti dengan sifat kerbau. Namun inilah realitas yang terjadi sekarang ini dan tidak dipungkiri dapat menimpa siapa saja baik yang menikah dengan wanita minang maupun tidak.

(Rico Aprisa mahasiswa UMSB Padangpanjang), (Pandangan ini bersumber pada http://kabar-indonesia.com, artikel budaya,  Sayyid Madany Syani)

Template by:

Free Blog Templates