![]() |
Irfianda Abidin Datuk Penghulu Basa |
Sebanyak tujuh kota dan sembilan kabupaten di Provinsi Sumatera Barat dalam beberapa tahun ini berlomba-lomba mengeluarkan produk hukum formal penegakkan syariat Islam. Hanya Kabupaten Kepulauan Mentawai saja yang belum ikut ambil bagian dalam “kompetisi” ini.
Hingga kini setidaknya telah lahir 18 peraturan daerah (perda) bernuansa penegakan syariah Islam di Sumatera Barat. Bahkan, dalam satu kabupaten ada 5 sampai 6 perda.
Salah satu perda tersebut adalah kewajiban mengenakan busana Muslim bagi pelajar, mahasiswa, dan pegawai negeri sipil yang beragama Islam. Juga perda tentang pemberantasan penyakit masyarakat (pekat).
Tentang aturan pasal demi pasal dan sanksi hukum bagi para pelanggar, ada daerah yang seragam, ada pula yang berbeda. Perda wajib pandai baca al-Qur`an, misalnya, di Kabupaten 50 Kota diberlakukan bagi pasangan yang akan menikah. Jadi, jika ada pasangan yang tak pandai membaca Qur`an, maka pernikahannya akan ditangguhkan hingga mereka bisa. Namun di Padang, aturan ini berlaku sejak anak usia sekolah dasar. Anak yang tak bisa baca Qur’an tidak akan diterima di SLTP.
Dalam konsideran perda tentang ketertiban umum (tibum), juga ada yang seragam dan ada yang tidak. Perda tibum di Kabupaten Agam , misalnya, melarang berkhalawat (berduaan dengan lawan jenis) dan berciuman di muka umum, termasuk bagi pasangan suami istri. Sedangkan di Padang, pasangan yang syah masih ditoleransi berciuman hanya tak boleh lebih dari satu menit.
Tentang hal-hal yang melanggar ketentuan syariat tapi belum diatur dalam perda khusus, tetap diberlakukan larangan. Acuannya pada perda yang berkaitan.
Misalnya, larangan merayakan hari valentine. Di kota Bukittingi, belum ada perda khusus tentang itu. Namun larangan sudah diberlakukan sejak tahun 2008 dengan memakai perda tibum. Puluhan tersangka telah diadili dengan ancaman hukuman denda Rp 500 ribu atau kurungan penjara satu minggu.
Lantas siapa sosok yang berperan dalam menegakkan ini semua?
Dialah H Irfianda Abidin Datuk Penghulu Basa, ketua umum Komite Penegakkan Syariat Islam (KPSI) Sumatera Barat.
Dialah H Irfianda Abidin Datuk Penghulu Basa, ketua umum Komite Penegakkan Syariat Islam (KPSI) Sumatera Barat.
“Beginilah realitas di Ranah Minang hari ini,” kata Irfianda kepada wartawan Majalah Suara Hidayatullah, Dodi Nurja, yang menemuinya belum lama ini. “Kendati perda dan konsiderannya masih ‘warna-warni’, tapi kita melihat kian tumbuh kesadaran untuk menegakkan dan mengamalkan syariat Islam,” kata tokoh Minang ini lagi.
Jika dibanding masa kejayaan kaum Paderi atau masa pemerintahan Sultan Pagaruyung, Muhammad Alif, di masa lampau, Irfianda mengaku, ini belum seberapa. Namun, ini patut disyukuri. Masyarakat Minang dan luar Minang banyak menganggap perda-perda itu cukup berarti.
Malah, bagi mereka yang anti Islam, perda yang jumlahnya ‘secuil’ itu buru-buru dianggap langkah terorganisir menuju pemberlakuan syariat Islam secara total di Sumatera Barat. Mereka ketakutan karena ketidaktahuannya.
Padahal, jalan menuju itu masih panjang. Masih banyak batu sandungan yang harus dihadapi. Perda pelarangan hari valentine, misalnya, sampai kini belum bisa dikeluarkan meski berbagai upaya telah dilakukan. Lobi, pendekatan, sampai tekanan kepada bupati, walikota, dan DPRD, rupanya tetap tak mempan. Bahkan, ada anggota dewan yang sama sekali tak mengerti apa itu hari valentine. Bagaimana bisa membendungnya bila artinya saja mereka tak tahu.
Irfianda dan rekan-rekannya di KPSI tentu tak menyerah. “Ini jihad!” tegas pria yang lahir di Nagari Kacang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat ini.
Bagaimana upaya Irfianda menegakkan syariat Islam serta membendung upaya pendangkalan akidah umat di Ranah Minang, berikut hasil wawancara Suara Hidayatullah dalam tiga tahap, awalnya di kediamannya, dilanjutkan di kantor KPSI, berlanjut sampai pulang kembali ke rumahnya di sisi kanan masjid Babussalam, Kelurahan Ulakarang, Padang.
Apa latar belakang Anda memperjuangkan syariat Islam?
Karena ini kewajiban seorang Muslim. Sesungguhnya kewajiban ini tidak perlu ditanya dan tidak butuh pendapat lagi. Nash-nash dalam al-Qur`an pun sangat tegas menjelaskan tentang kewajiban menegakkan hukum Islam. Tak butuh ijtihad lagi.
Banyak pula perintah Allah Subahanahu Wa Ta’ala yang menegaskan hal itu. Salah satunya berbunyi “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang zalim (al-Maidah [5]: 44).
Jadi, dan semestinya , tak ada keraguan lagi bagi setiap Muslim untuk berjihad menegakan syariah Allah. Ini konsekuensi logis sebagai wujud keimanan kita kepada Allah dan Rasul-Nya dan juga kepada al-Qur`an yang telah menegaskan perintah tersebut.
Sebesar apa peluang penerapan syariat Islam di Sumatera Barat?
Sangat besar. Data stastik menyatakan, 92 persen dari 4,6 juta jiwa penduduk Sumatera Barat adalah Islam.
Dari sisi sejarah peradaban, pada masa kekuasaan kaum Paderi, penegakan syariat Islam pernah mengalami masa kejayaan. Jangankan ber-khalawat (berduaan dengan lawan jenis), shalat saja pada waktu itu diawasi dengan ketat.
Laskar berkuda Paderi berpatroli keluar-masuk jorong dan nagari (desa).
Mereka yang masih berkeluyuran di jalanan dan pasar ketika azan berkumandang akan dihalau ke surau.
Di zaman Sultan Mohammad Alif berkuasa di Kesultanan Pagaruyung tahun 1421, Islam tidak saja berjaya, tapi juga sudah mengutus ulama dan wali-wali untuk mengembangkan Islam ke Tapanuli, Sulawesi, Gowa, Kalimantan, Jawa dan Malaka.
Hari ini, walaupun belum sehebat seperti zaman Paderi dan Sultan Alif, kesadaran untuk mengamalkan dan memperjuangkan syariah Islam sudah kian subur di Sumatera Barat.
Bagaimana respon pemerintah dengan usaha penegakan syariat di Sumatera Barat?
Cukup besar, baik bupati, walikota, maupun DPRD. Sudah ada walikota yang memimpin dan melaksanakan langsung gerakan Subuh Mubarokah di masjid dan surau-surau. Jadi, tak ada alasan bagi aparat lain untuk mempertebal selimut ketika azan subuh telah bergema.
Ada juga bupati yang melantik dan mengangkat sumpah pejabat baru bertempat di masjid agar benar-benar khidmat saat berjanji di hadapan Allah SWT. Ada walikota yang tegas-tegas melarang merayakan hari valentine.
Memang pelarangan itu belum didukung oleh peraturan daerah. Namun, ia sudah punya sanksi hukum. Sementara ini kami masih terus melakukan pendekatan agar perda itu lahir.
Kelompok mana yang mendukung dan kelompok mana yang menghalangi?
Semua komponen umat Islam di Sumatera Barat yang 92 persen itu mendukung penengakan syariat Islam. Buktinya, ketika kewajiban berpakaian Muslim diberlakukan, tak ada satu pun pelajar muslim yang menentangnya. Malah, ada pelajar non-Muslim yang ikut mengenakannya. Padahal, perda tersebut tak mengikat buat non-Muslim. Mereka hanya diminta untuk ‘menyesuaikan’ diri saja.
Sedangkan kelompok yang menentang jumlahnya tidak seberapa. Tidak signifikan. Kebanyakan dari mereka keliru dalam menafsirkan perda bernuansa syariat ini. Sebab, sekali lagi, perda ini tidak mewajibkan dan memaksakan kepada non-Muslim.
Bagaimana praktik penegakkan syariat Islam di lapangan?
Awalnya kita memproklamirkan berdirinya Forum Penegak Syariat Islam (FPSI) pada tahun 1998. Ini cikal-bakal berdirinya Komite Penegakan Syariat Islam (KPSI) yang ada sekarang.
Kami sadar, perjuangan menegakkan syariah Islam tidak cukup hanya pada tataran wacana di atas mimbar masjid, saat khutbah, diskusi, atau seminar. Tidak pula cukup dengan mengundang pembicara dari perguruan tinggi Islam terkemuka di Jakarta dan Malaysia sebagaimana sering kami lakukan sebelumnya.
Sebab, sedalam apa pun ilmu pengetahuan sang pakar tentang syariat Islam, dia baru beranjak dari kajian keilmuan, bukan dari pengalaman lapangan. Akibatnya, antara retorika yang disampaikan di seminar dengan realitas yang dihadapi di lapangan kerap tidak sama. Karena itu kami merasa perjuangan ini harus terorganisir dan termanej dengan baik.
FPSI mulanya forum kecil-kecilan saja. Waktu itu beberapa jamaah yang tinggal satu komplek di sekitar Masjid Babussalam, Ulakarang, Padang, sepakat membentuk FPSI.
Kecil, tapi unsurnya beragam. Buya Mansyur Malik (alm) adalah pendiri FPSI dari unsur Majelis Ulama Indonesia Sumatera Barat, H. Mustamir Makmur dari Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Ust Nurman dari Muhammadiyah, juga ada dari unsur pengurus masjid dan remaja. Bahkan, ada dokter yang hobinya mancing tapi punya komitmen tinggi dalam menegakan syariah Islam. Semua kami rangkul untuk masuk FPSI.
Meski tiga tahun kemudian FPSI berkembang menjadi KPSI, tetap yang ditonjolkan adalah tanzih, komitmen menegakan syariah Islam. Kita tidak menonjolkan harakah dan organisasi massa asal-usul pengurus dan anggota KPSI, apa lagi individu.
Adakalanya kami berjuang dalam bentuk aksi demo seperti ketika menuntut pembubaran Komnas HAM Sumatera Barat yang mendukung ajaran sesat Ahmadiyah dan Al-Qiyadah al-Islamiyah tempo hari.
Setiap aksi turun ke jalan, adakalanya kami melibatkan ratusan demonstran, adakalanya pula melibatkan tak lebih dari 10 orang saja. Tapi, unjuk rasa sebagai cara lain dari perjuangan memang harus dilakukan. Kami pernah membakar bendera Denmark. Ya, masa sih, Rasul kita tercinta dihina, kita diam saja!.
Memperjuangkan tegaknya syariat Islam tentu tak cukup lewat jalanan. Mesti ada strategi yang matang. Nah, apa strateginya?
Pertama, bentuklah wadah yang mampu dimenej dengan baik. Alhamdulillah, KPSI sudah didukung dengan Dewan Syariah dan telah membentuk unit-unit yang terkait dengan syariah, seperti unit pemberdayaan ekonomi umat dengan mendirikan BMT Syariah yang kantornya bersebelahan dengan KPSI.
Kita juga membentuk lembaga serupa di tingkat kabupaten dan kota seperti KPSI Payakumbuh, Bukittingi, Tanah Datar, Padang Panjang, dan KPSI Padang. Juga melakukan kaderisasi dan pelatihan-pelatihan.
Kami secara rutin juga melalukan silaturahim (road show) ke daerah-daerah, termasuk ke gubernur, bupati, walikota, dan DPRD-nya. Juga kepada perangkat Wali Jorong (Kades) dan Walinagari.
Sudah sejauh mana strategi berjalan dan sejauh mana hasil di lapangan?
Alhamdulillah, berbagai setrategi yang kami terapkan, mulai dari aksi turun ke jalan hingga pendekatan-pendekatan, baik bersifat personal maupun kelembagaan, mulai membuahkan hasil. Kami telah mendorong lahirnya perda kewajiban berpakaian Muslim meskipun awalnya hanya untuk satu atau dua daerah saja. Setelah sering kami datangi, bahkan kami lakukan road show ke daerah-daerah, kini semua daerah telah melahirkan perda serupa kecuali Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Demikian pula jauh sebelum heboh tuntutan pembubaran Ahamdiyah, kami telah bersilaturahim dengan Gubenur Sumatera Barat , Pak Gamawan Fauzi, untuk menjelaskan kesesatan ajaran Ahmadiyah. Tanggal 30 Agustus 2005 keluarlah surat keputusan gubernur yang melarang pengembangan ajaran Ahmadiyah dan pemasangan segala bentuk atribut, plang, atau merek Ahmadiyah.
Sayangnya, penegak hukum di lapangan tidak menegakkan SK tersebut. Makanya, saya pernah menurunkan plang Ahmadiyah dan membawanya ke Balaikota Padang (sebagai bentuk protes).
Kini Ranah Minang sudah jauh berubah. Alhamdulillah. Bila dulu hanya remaja masjid yang menggerakan pesantren saat Ramadhan, sekarang walikota dan bupati juga ikut serta. Bahkan, pesantren Ramadhan sudah masuk kurikulum sekolah sebagai jam tambahan pelajaran agama. Artinya, sudah berpengaruh pada nilai yang dicantumkan dalam ijazah.
Anak-anak dan remaja makin serius mangaji (belajar al-Qur’an) karena nanti tidak bisa melanjutkan sekolah, atau tidak dinikahkan sebelum pandai membaca al-Qur’an.
Dan, insya Allah, nanti semua daerah di Ranah Minang akan melarang merayakan hari valentine berikut dengan sanksi hukumnya. Sekarang aturan ini baru berlaku di Bukittingi.
Pada masa Paderi, syariat Islam pernah tegak di bumi Minangkabau. Mengapa sekarang tak bisa? Apa penyebabnya?
Karena belum tumbuh kesadaran menyeluruh tentang betapa penegakkan syariat Islam adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Lagi pula, di masa Paderi, pengaruh ulama sudah masuk ke lembaga kekuasan, sejak level atas (Kesultanan Pagaruyung) hingga ke level bawah (Pimpinan Nagari).
Sekarang tidak. Jangankan masuk ke lembaga kekuasaan, mengangkat penghulu, kepala kaum, atau suku saja, tidak berpatokan pada ajaran syariat. Dulu, di zaman Paderi, kepala kampung dipilih dari orang-orang yang pernah menjadi imam di surau-surau.
Mengembalikan era kejayaan Islam seperti zaman Paderi dan Sultan Mohammad Alif bukan pekerjaan mudah. Tapi saya amat yakin itu akan terwujud, cepat atau lambat.
Hina Bila Murtad dan Tak Beradat
Sebagai putra asli Minang, Sumatera Barat, Irfianda Abidin memahami betul kultur masyarakat di daerah bekas Kesultanan Pagaruyung ini. Fakta sejarah masa lampau maupun realitas masyarakat saat ini menggambarkan bahwa Ranah Minang sangat kental dengan dengan nilai-nilai Islam.
“Amat langka daerah yang secara budaya telah menjadikan syariat Islam sebagai dasar filosofis dan praktik adat istiadatnya. Itulah yang kita temukan di Minang,” ujar Irfianda.
Mungkin hanya di Minang saja kita bisa menemukan postulat adat berdasar al-Qur`an dengan adagium “Adat Basandi Sara, Sara Basandi Kitabullah (ABS SBK). Postulat adat ini sangat tegas menggariskan bahwa yang menjadi sendi dasar adat istiadat masyarakat Minang adalah sara’ (syariat) Islam yang bersumber dari Kitabullah (al-Qur`an) dan as-Sunnah.
Postulat ini dikunci dengan penegasan sara’ mangato, adaik mamakai, yang berarti apa yang dinyatakan dan digariskan oleh sara’, hanya itulah yang diaplikasikan (mamakai) adat istiadat Minang.
Bahkan, nama Minangkabau sendiri bukan berasal dari kalimat “kemenangan mengadu kerbau” seperti yang tersebar selama ini. Kalimat tersebut, kata Irfianda, sengaja dibuat oleh Kolonial Belanda untuk menghilangkan kesan Islam pada kata Minangkabau.
Kata Minangkabau sesungguhnya berasal dari kata-kata al-mu’minan khanabawiyah, yang berarti pemerintahan cara Nabi. “Ini baru kita ketahui setelah bersilaturahim dengan keluarga pewaris kesultanan Pagaruyung,” kata Irfianda.
Bagaimana efektivitas adagium ABS-SBK di masyarakat Minang sekarang dibanding masa lalu?
ABS-SBK, dikunci dengan kalimat sara’ mangato, adaik mamakai, bukan slogan, bukan pula kata mutiara. Ia adalah dasar filosofios adat dan budaya Minangkabau yang telah dipatrikan para tokoh adat, ulama, dan Kesultanan Pagaruyung di Puncak Pato Tanah Datar dalam perjanjian yang disebut “Piagam Bukit Marapalam”.
Apakah masyarakat menerima adagium tersebut?
Alhamdulillah, meski konspirasi segitiga, Yahudi, Salibis, dan Amerika, yang ingin menghacurkan gerakan penegakan syariah Islam di dunia sudah lama merambah Minang, namun adat istiadat yang bersendikan Kitabullah tetap kokoh di masyarakat. Ia tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.
Orang Minang hari ini masih merasa sangat terhina bila dikatakan tidak beradat. Orang Minang juga merasa hina dina bila ada saudaranya, angota kaumnya, atau sukunya, yang murtad.
Bahkan, orang Minang yang murtad, meski jumlahnya tak banyak, sesungguhnya bukan karena kesadaran mereka sendiri. Berdasarkan pemantauan kami, kebanyakan mereka ditipu, dipaksa, dihipnotis, atau diancam. Kasus Khairiyah (Wawah) yang sempat merebak beberapa waktu lalu adalah salah satu contohnya. Ia dijebak, diperkosa, dan dipaksa masuk Kristen.
Sejauh mana peluang ajaran sesat berkembang di Sumatera Barat?
Sangat kecil. Pontensi tumbuhnya ajaran sesat bahkan tidak ada. Dari berbagai kasus yang terungkap, semua berasal dari luar Minang.
Al-Qiyadah, misalnya, dibawa oleh mereka yang berguru pada Nabi palsu di Bogor (Jawa Barat). Ajaran Karim Jamak dibawa dari Kerinci (Jambi). Ajaran Ahmadiyah masuk dari Jawa. Begitu juga perayaan Tabuik yang menjadi tradisi kaum Syiah, berasal dari angkatan laut Belanda asal Pakistan yang melarikan diri ke pelabuhan Pariaman (Sumatera Barat).
Apa yang Anda lakukan untuk memberantas aliran sesat itu?
Pertama, kami melakukan deteksi dini. KPSI dan sejumlah organisasi massa Islam melalui kader-kader terlatihnya, senantiasa mencermati perkembangan di lingkungan masing-masing. Selanjutnya, bila ditemukan ada keganjilan, dibahas bersama Komite Dewan Syariah dan diteruskan ke MUI.
Ini semua membuat praktik ajaran sesat akan cepat terungkap dan cepat pula ditindak. Dalam kasus Al-Qiyadah, misalnya, MUI Sumatera Barat lebih dulu mengeluarkan fatwa sesat dan menyesatkan dibanding MUI Pusat dan daerah lainnya. Berdasarkan fatwa itulah kami bersama kawan-kawan lebih cepat pula menyerbu markas al-Qiyadah. SUARA HIDAYATULLAH APRIL 2008
Tegas dengan Alirat Sesat
Irfianda Abidin dilahirkan 51 tahun silam di kampungnya Nagari Kacang, Kabupaten Solok. Ia putera sulung dari pasangan H Zainal Abidin dan Hj Rosmini (keduanya telah berpulang ke Rahmahtullah).
Sejak kecil ia dididik rasa tanggung jawab dalam keluarga. Ia punya 14 saudara yang membutuhklan keteladanannya. “Saya lahir dalam keluarga besar. Sejak kecil saya harus pandai membimbing dan menjadi panutan bagi adik-adik,” ungkap Irfianda.
Di kampung yang tak jauh dari pinggiran Danau Singkarak itulah Irfianda mendalami ilmu Islam dan adat istiadat Minang, sampai akhirnya melanjutkan kuliah ke Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, Padang, tahun 1985.
Usai wisuda, Irfanda memilih berwirausaha. Ia memang tak pernah bercita-cita menjadi pegawai negeri sipil atau pegawai swasta. Sehingga, ia punya banyak waktu untuk mendalami ilmu agama. Ia rajin mengundang ustadz untuk mengaji di rumahnya.
Ia rajin pula mengikuti pengajian dan seminar di luar rumah, bahkan sampai ke Jakarta, Pekanbaru (Riau), dan Palembang (Sumatera Selatan).
Pada tahun 1994 Irfianda mengajak beberapa tokoh lintas harakah dan organisasi massa Islam untuk membentuk Forum Peduli Syariat Islam (FPSI). Ajakan ini disambut baik, bahkan berkembang menjadi Komite Penegakkan Syariat Islam (KPSI) Sumatera Barat. Dalam forum tersebut Irfianda diamanahi sebagai ketua umum.
Aktivitas dakwahnya cukup padat. Ia tak hanya diminta menjadi pemateri dalam seminar dan diskusi keislaman, juga sering menyambangi berbagai daerah untuk melihat penegakan syariat Islam di sana.
Irfianda tokoh yang tegas terhadap aliran-aliran sesat. Ia pernah mencopot plang Ahmadiyah dengan tangannya sendiri, dan mendatangi Komnas HAM Sumatera Barat yang ditengarai membela kelompok tersebut.
Ia juga pernah menyatroni sekretariat sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memutarbalikan fakta tentang perjuangan Islam dan tokoh-tokoh Islam Sumatera Barat.
Tahun 2004 Irfianda diangkat oleh kaum suku Piliang Nagari Kacang untuk memangku gelar pusaka adat sebagai Datuk Penghulu Basa. Ia bersama sejumlah datuk, penghulu, panungkek, imam-khatib, dan pemuka adat membangun kembali Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM). Ia menilai lembaga ini memiliki potensi besar memperjuangkan syariat Islam,
Irfianda mengajak seluruh masyarakat Minang untuk bersama-sama berjuang mengembalikan kejayaan Islam dan memilihara anak kemenakan dari kehancuran akhlak. Tugas ini, kata Irfianda, bukan cuma tanggungjawab masyarakat Minang yang ada di Sumatera Barat, juga mereka yang tersebar di perantauan.
Di balik besarnya gairah bersyariah di Sumatera Barat ini, aku Irfianda, masih tersimpan pekerjaan rumah yang tak gampang diselesaikan. Judi togel dengan kupon putih yang dulu gencar diperangi, kini telah tumbuh kembali dengan modus berbeda, yaitu via SMS.
Sebuah survei malah memaparkan bahwa lebih dari 50 persen pelajar SLTP di kota Padang pernah mengakses situs-situs porno. Sebanyak 19 persen siswa SLTA juga menyimpan gambar porno di ponsel mereka. “Dan, maaf, 48 persen siswa SLTA pernah berciuman saat berpacaran,” katanya. Ini semua butuh pembenahan. SUARA HIDAYATULLAH APRIL 2008