Mengumbar Sensual dan Krisis Sosial

Fenomena Seni Pertunjukan (di) Minangkabau
Padang Ekspres • Rabu, 03/04/2013 14:04 WIB
Ilustrasi
Belasan adegan erotis bikin jantung berdegup kencang. Tiga perempuan muda berjoget dengan pakaian seksi di Tanahdatar. Lalu seorang bapak bergoyang mesra dengan perempuan seksi dalam pertunjukan saluang dangdut. Di Pariaman, tampak perempuan dan laki-laki berjoget sambil berpelukan. Ditonton banyak orang, termasuk anak-anak.

ADEGAN sensual itu ha­nyalah foto-foto yang diperli­hatkan Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Padang­pan­jang, Prof Dr Mahdi Bahar dalam sebuah diskusi seni pertunjukan tradisional yang bertema “Konsepsi dan Peru­bahan dalam Seni Pertun­jukan” di Galery Taman Bu­daya Sumbar, Senin (1/4).

Realitas itu hanya contoh kasus dari seni pertunjukan kontemporer (kekinian) di Minangkabau yang menjadi bahan penelitiannya beberapa tahun terakhir. Ya, bertolak belakang dengan seni pertun­jukan tradisional Minang­kabau yang sarat nilai-nilai islami. Faktanya, pertunjukan seni kontemporer ini justru mempengaruhi seni tradisi Minangkabau saat ini. Sebut saja saluang dangdut.

Pandangan Mahdi Bahar disetujui pembicara lainnya, Nusyirwan Effendi. Hanya saja, Profesor Antropologi dari Universitas Andalas ini me­ngi­ngatkan, saluang dang­dut atau rabab dangdut, se­perti yang dicontohkan Mah­di Bahar harus dikaji apakah membuat kesenian asal atau aslinya mengalami pening­katan kua­litas atau penu­runan? Kalau yang terjadi penurunan, kata­nya, perlu diberantas juga.

“Yang jelas, pemaparan Prof Mahdi Bahar merupa­kan alarm bagi orang Mi­nang, bahwa seni tradisi Mi­nangkabau sedang dalam ancaman perubahan sosial,” sebut Dekan FISIP Unand itu.

Salah satu penyebabnya, seni pertunjukan tradisional Minangkabau sepi dalam kehidupan keseharian. Kesenian Minangkabau tidak lagi diapresiasi mendalam oleh seluruh anggota pendukung kebudayaan Minangkabau. “Ini karena telah terjadi perubahan orientasi pemaknaan kesenian Minangkabau. Apresiasi kesenian cenderung pada tari modern, kontemporer dan popular,” ulasnya.

Bagi Nusyirwan, masalah sesungguhnya bukan pada seninya. Tapi, pada perilaku individu pelaku seninya. Fenomena itu mengindikasikan sosial masyarakat Minangkabau dalam kondisi krisis. “Seni itu identitas sosial, yang diperlihatkan dalam pola gaya hidup,” ujarnya Nusyirwan.

Dia menyimpulkan konsepsi masyarakat Minangkabau tentang kesenian tradisional telah berubah. Kini, cara-cara hidup modern dan adopsi cara hidup orang lain mempengaruhi posisi kesenian tradisional. Terakhir, kesenian tradisional Minangkabau menjadi korban perubahan sosial pada tahap yang sangat serius.

Pembicara ketiga dari IAIN Imam Bonjol, Yulizal Yunus, berpendapat, Minang dengan konsepnya pastilah Islam. Ini termaktub dalam mamangan, “adat mangato, syarak mamakai”. Demikian pula dengan seni tradisinya. “Jadi, persoalannya adalah akidah dari seniman itu sendiri,” tuturnya.

Perlu Komisi Etika

Menanggapi realitas itu, sastrawan Darman Moenir mengusulkan agar dibentuk komisi etika dunia kesenian.

Salah seorang ninik mamak dari Padangpariaman, Rajo Ulu Anso, setuju adanya komisi etik. “Kami ninik mamak sebenarnya sudah melarang kesenian yang tidak sesuai adat dan agama tersebut. Tapi, tetap saja dilaksanakan,” sebutnya.

Mahdi Bahar tampak setuju usulan pembentukan lembaga komisi etika atau paga nagari kesenian. “Ini harus dibicarakan dan dikaji. Paga nagari, salah satu kemungkinannya. Paga ini yang harus didudukkan dalam bentuk-bentuk lembaga sosial di tengah-tengah masyarakat, yang disetujui pemerintah dan didukung pula oleh masyarakat,” jelasnya.

Terkait dengan itu, Nusyirwan mengingatkan orang Minangkabau harus terlebih dahulu menjaga seni tradisinya tidak menyimpang dari nilai-nilai Minangkabau dan nilai-nilai islami, atau membiarkannya. “Kalau memilih untuk menjaganya, penyimpangan harus disingkirkan secara represif,” usulnya.

Yang paling moderat, tambah Nusyirwan,  adalah cara kontestasi. “Masyarakat sendiri yang menentukan, akan memilih seni kontemporer yang tidak sesuai nilai-nilai adat dan agama atau memilih seni tradisi yang sesuai dengan nilai-nilai adat dan agama. Ini tergantung orang Minangkabau sendiri, maunya seperti apa.” ucap Nusyirwan.

Pandangan berbeda diungkapkan seniman tari Ery Mefri. Pimpinan Nan Jombang itu menyebut, seni Minangkabau atau Minangkabau itu sendiri masih kokoh, belumlah krisis. Kalaupun ada ketidaksesuaian nilai-nilai adat dan agama pada kesenian hari ini, menurutnya, itu terjadi bukan karena anak-anak muda yang mudah terpengaruh dengan perkembangan zaman.

 ”Intropeksilah yang tua-tua ini, jangan salahkan anak muda itu. Kita yang tidak ada menegur jika anak-anak di sekitar kita berlaku tidak sopanm baik sikap maupun pakaiannya. Solusinya, mulailah kembali untuk melakukan kontrol dari lingkungan terdekat, keluarga,” tukasnya. (***)
[ Red/Administrator ]

Template by:

Free Blog Templates