Lelaki Minang ‘Pejantan’ Doang?

Kalau adat Minang benar-benar berjalan sebagaimana yang digariskan, alangkah beratnya beban lelaki Minang, karena dia takkan mengenal kehidupan berkeluarga dalam arti sebenarnya, karena tanggungjawab terbesarnya justru terletak pada kaumnya, bukan pada keluarga intinya.

Setiap lelaki Minang, menurut adat Minang yang saya pahami, adalah aset bagi kaumnya. Kaum adalah kerabat berdasarkan garis keturunan ibunya.

Dia dibesarkan dengan harta kaum dan harus berbuat sebanyak mungkin terhadap kaum, termasuk menambah pundi-pundi kekayaan kaum, terutama kalau dia dibesarkan dengan modal kaum, yang besar sendiri saja di rantau masih dituntut banyak berbuat dan berkontribusi untuk kaum, apalagi yang dimodali, bisa dicap tak tahu di nan ampek dia (tak tahu yang empat, pegangan perilaku seseorang menurut aturan adat Minangkabau).


Anak dipangku kamanakan dibimbiang (anak dipangku keponakan dibimbing) begitulah idealnya, tapi kalau disimak cerita-cerita Minang masa lalu, lelaki Minang tak pernah dekat dengan anaknya. Mereka datang malam dan pergi pagi-pagi sekali, adalah tabu bagi lelaki untuk berada di rumah siang-siang dengan anak istrinya. Jadi kapan dia akan punya kesempatan memeluk anaknya?


Itu artian harafiah saja, bagaimana pula yang tersirat? Kapan dia akan punya waktu untuk anaknya kalau dia tak pernah di rumah, datang ketika anaknya sudah tidur dan pergi ketika anaknya belum bangun?


Kalau disimak lagi peran lelaki Minang dalam keluarga istrinya yang ibarat abu di ateh tunggua (abu di atas tunggul, atau abu di atas sisa pokok kayu bekas tebangan) betapa tak berakarnya, betapa rapuhnya, sehingga tiupan angin selemah apapun akan membuatnya terbang ke udara tak bersisa.


Karena lelaki Minang hanya diperlukan untuk menjaga agar garis keturunan ibu terus eksis dan dia tak diharapkan menafkahi istri dan anaknya, karena istri dan anaknya sudah diurus dengan baik oleh kaum mereka, bisakah dikatakan lelaki Minang itu hanyalah ‘pejantan’ doang bagi keluarga besar istrinya?


Untungnya banyak yang tak mematuhi adat yang satu ini, atau memang adat Minang telah berubah, sehingga para ayah kini bisa lebih berkonsentrasi terhadap keluarga intinya sendiri, lebih dekat dan bertanggungjawab terhadap anak-anaknya sendiri, dan membina hubungan baik dengan para keponakan sebatas hubungan persaudaraan?


Namun bagaimanapun fakta memperlihatkan, aturan adat ini telah banyak makan korban, Banyak hubungan kekerabatan dengan para saudara laki-laki terputus, karena kekerabatan yang hanya mempedulikan garis keturunan ibu membuat para lelaki dan keluarga intinya menghilang dari ranji. Apakah memang begini harusnya adat itu? Apakah ini harga yang pantas untuk lelaki Minang?


http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/27/lelaki-minang-%E2%80%98pejantan%E2%80%99-doang-103919.html

Template by:

Free Blog Templates