Perempuan Matriarchat

Suatu kali aku dan suami berkenalan dengan seorang pria yang bukan dari daerah Sumbar. Dalam pembicaraan kami yang menceritakan daerah masing-masing ia memberikan pendapat dan kesannya terhadap wanita minang kabau. Kesan dan pendapatnya itu membuatku terkaget-kaget.

“Gimana mas rasanya punya istri orang minang?” kata si pria ini pada suamiku. Suamiku sempat bingung menjawabnya, tapi dijawabnya juga “ yaa..rasanya ya ..rasa punya istri…” kata suamiku sambil tertawa.

“Bukan, maksud saya beristrikan wanita minang gimana rasanya? Katanya ngotot. Akupun tergoda untuk menimpalinya“ maksudnya rasa apanya nih pak..jelaskanlah..” kataku. Dia tersenyum dan tetap mengarahkan pandangannya kesuami ku : “ setahu saya wanita minang itu sangat dominan dalam rumah tangga…bahkan kesannya seperti kaum pria dijajah saja.

Adat minangkabau saja sudah menampakkan hal itu. Tak heran watak wanitanya menjadi berkuasa seperti itu. Saya merasa adat minang kesannya seperti membuang anak laki-laki. Coba saja lihat, secara rohaniah yang memiliki rumah adalah wanita ,kaum pria hanya menumpang. Kalau sudah menjadi suami ,kedudukannyapun lemah sebagai seorang bapak dari anaknya, yang memutuskan kehidupan anaknya terutama dalam masalah perkawinan justru adik laki-laki istrinya.


Masyarakat minang itu juga menganut sistim matriakat yang mana kekuasaan terletak ditangan Ibu atau wanita.hm…ini benar-benar bikin wanita diatas angin. Dalam keluarga saya ada dua orang yang sempat beristrikan orang minang ,dua-duanya berakhir dengan perceraian dengan didahului pertengkaran demi pertengkaran. Istri-istri mereka sangat dominan bahkan terkesan tidak menghargai suami. “.

Aku segera ingat dengan teman karibku Nirita yang baru saja dua hari yang lalu curhat datang kerumah. Nirita adalah teman kecilku sejak disekolah dasar. Garis nasib kemudian berbeda jauh diantara kami. Aku sekarang berstatus Ibu rumah tangga yang berwiraswasta, sedangkan ia adalah seorang Manager Public Relation dan marketing di sebuah hotel berbintang. Ia meminta saranku ketika ia merasa harus mengakhiri kehidupan perkawinanya dengan Syaiful yang dulunya juga adalah teman satu perguruan tinggi denganku. “Dia lamban sekali ..aku bosan mendorongnya terus,dia maunya mengembangkan dunia tulis menulisnya padahal diakan sarjana tehnik mesin.. apalah yang akan dapat dari dunia tulis menulis..aku udah susah-susah cariin kerjaan bergengsi buat dia ..eh dicuekin..maunya dia apa? Hasil tulis menulisnya cuma cukup beli korek kuping..tak lebih..!”.

Aku juga ingat dengan Lulu anak bibiku. Sampai umurnya mencapai 53 tahun saat ini, tak ada minatnya sedikitpun untuk berumah tangga. Sekarang ia bekerja disebuah stasiun televisi swasta di Australia. Ketika kami semua mencoba-coba menyodorkan ‘calon” padanya, semua dijawabnya dengan kata-kata ” Ngga level…!”. Sampai saat ini, ia masih merasa bahwa levelnya adalah lebih tinggi dari pria manapun yang diperkenalkan padanya. Akhirnya kami menyerah dan membiarkan ia memilih kehidupannya sendiri.

Dirumah aku termenung-menung sendiri memikirkan kalimat-kalimat “dakwaan” dari pria kenalan baru kami tadi sewaktu diperhelatan kenalan suamiku. Kuhubung-hubungkan semua ini. Kucoba pula mengoreksi diriku sendiri, apakah aku bersikap seperti yang ia sebutkan itu kepada suamiku sendiri?. Pikiranku itu terbaca oleh suamiku. Ia tersenyum-senyum menggodaku .

“ Tersinggung ni yeee… dibilang penjajah… katanya tergelak-gelak.

“ Tidak juga…cuma mencoba koreksi diri saja…” kataku kalem mencoba menutupi perasaanku sebenarnya.. Suamiku manggut-manggut sambil menepuk-nepuk punggungku

“tenang…tenang..aku ngga merasa dijajah kok….” Katanya memperlebar senyumnya .

Esok paginya ketika aku sedang menyiapkan sarapan pagi keluarga, aku didatangi Ranti tetangga baru kami. Ia baru dua bulan menngontrak rumah sebelah kiri rumah kami. Ia seorang wanita Minang berasal dari Padang Panjang. Begitu dia tahu aku juga orang minang, hampir tiap hari dia main kerumah kami. Katanya ia bekerja disebuah perusahaan muliti nasional . Waktu baru berkenalan kami sempat heran , katanya dia sudah mempunyai suami dan tiga orang anak, tapi kok dirumah itu yang keliatan hanya dia saja. Baru kemudian kami paham setelah ia menceritakan kehidupan rumah tangganya kepadaku.

‘ Suamiku pengangguran tingkat tinggi..sudah masuk tahun kelima sekarang..ada teman yang nawarin kerja padaku di Jakarta ini, gajinya cukup besar..yaa daripada anak-anakku ngga makan aku terima pekerjaan itu…, di Padang udah susah cari kerja sementara anak-anakkan perlu makan dan biaya sekolah..sekarang dia yang ngurusin anak-anak aku kerja..,harus ada salah satu kami bertindak kalau mau bangkit…ya kan Des? aku akan mencari peluang kerja buat dia disini , baru setelah itu memungkin bagi kami untuk kumpul lagi…”katanya waktu itu.

Aku memandang kepergian Ranti dari balik jendela dapur. Ia hanya datang untuk mengembalikan piringku sebelum pergi kekantornya. Kemarin kuisi nasi uduk bikinanku untuknya. Pikiranku dipenuhi dengan beberapa pertanyaan dan menerawang kemana-mana. Apakah wanita minang seperti Ranti juga disebut sebagai seorang wanita yang dominan?. 

Apakah keluhan yang disampaikan Nirita atau Lulu padaku dulu mewakili pola watak wanita minang kabau secara keseluruhannya?. Apakah benar adat minangkabau yang matriakat membuat wanita minang kabau membabi buta memburu kesetaraan gender?. Apakah hak dan kekuasaannya yang diberikan kepada mereka dalam adat membuat mereka menjadi melemahkan kedudukan pria sebagai pendamping hidup mereka?.

Kalau menelusuri kehidupan kekeluargaan orang minang sendiri memang adat minang seperti sudah melahirkan watak perantau bagi pria minang, dan watak bundo kanduang bagi wanita minang.Kaum laki-laki di Minang, dianggap sebagai kaum yang “menumpang” di Rumah Gadang. Rumah yang sesungguhnya bagi kaum laki-laki minang adalah Surau. Dari kecil mereka sudah diajar mengaji dan belajar silat berpindah-pindah dari satu surau/tempat ke lainnya. Namun inipula yg kemudian menjadi sumber dinamika pria minang untuk menjadi pengembara/perantau .

Sebaliknya untuk kaum wanita Minang telah diberikan sebuah kekuasaan dalam kepemimpinan dan tanggung jawab yang besar untuk mereka. Kekuasaan dan tanggung jawab yang besar dimulai dari sebuah mitos mengenai seorang pemimpin wanita yang disebut Bundo Kanduang. Sebetulnya banyak pendapat mengenai asal muasal sosok Bundo Kanduang ini. Tapi dalam cerita /kaba cindua mato ada bahagian yang menyebutkan bahwa keberadaan Bundo kanduang sama dengan awal adanya alam ini. Jangan salah pengertian dengan kata” alam” disini. Alam dalam bahasa kiasan minang bukan berarti sejak jaman Adam dan Hawa ada, tapi alam disini berarti sebuah wilayah kekuasaan. 

Jadi dalam cerita/kaba cindua mato keberadaan Bundo kanduang itu diawali dari sebuah kerajaan yang dipimpinnya. Nah, dalam kepemimpinan Bundo Kanduang ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang arif dan bijaksana dan mempunyai tingkat kharisma yang sangat tinggi diantara bawahan dan penghuni rumah gadang yaitu Istana pagaruyung dulunya. Ia disegani dan sangat dihormati karena kepiawaian serta kecerdasan dalam buah pikirannya untuk mengelola tanah pusako dan memimpin semua yang tinggal dalam rumah gadang tersebut.

Untuk selanjutnya dengan berjalannya waktu Bundo kanduang kemudian dijadikan sebuah limbago yang menajdi panggilan untuk golongan kaum wanita minang kabau.Dalam hal ini wanitapun telah ditetapkan untuk mempunyai beberapa tanggung jawabnya terhadap rumah gadang dan tanah pusako dikampung halaman . Perlu ditekankan disini, bahwa yang diberikan kepada wanita adalah “hak tanggung jawab “ bukan kekuasaan. Artinya istilah “matriakat yang berarti “ibu yang berkuasa” sudah ditinggalkan. Sedangkan hak tanggung jawab yang dibebankan ke pada kaum wanita minang tersebut diantaranya yang inti adalah :

1.    Sebagai untuk menarik garis keturunan yang disebut sebagai sistim garis keturunan ibu atau matrilineal

2.    Sebagai yang bertanggung jawab atas kepemilikan rumah gadang

3.    Sebagai yang bertanggung jawab atas sumber ekonomi seperti sawah,ladang ,tanah garapan dll

4.    Sebagai tempat penyimpanan hasil ekonomi dengan pepatah “umbun puruak pegangan kunci,umbun puruak alunan bunian” maksudnya wanita adalah sebagai pemegang kunci ekonomi harta pusako

5.    Sebagai penanggung jawab dalam pengaturan rumah tangga dan menentukan baik buruknya jalan roda rumah tangga. Disini wanita yang berfungsi sebagai Ibu dianggap sangat berpengaruh dalam pembentukan watak manusia . Ini terlihat dalam pepatahnya : “ Kalau karuah aie dihulu, sampai kamuaro karuah juo.Rintiak anaknyo,turunan atok ka palimbahan”.

6.    Sebagai penanggung jawab pemeliharaan harta pusako, anak dan kemenakan.

Jelaslah sudah, dari tanggung jawab yang diberikan adat kepada kaum wanita disini membuat kaum wanita minang kabau dituntut untuk menjadi cerdas,cerdik,pandai dan berilmu pengetahuan yang tinggi. Sedangkan kaum pria yang dianggap sebagai kaum yang “menumpang” secara tak langsung pula mempengaruhi nilai tingginya harga diri mereka dikampung halaman sendiri.

Contohnya saja dalam memproduktivitaskan tanah pusako wanita dan laki-laki boleh berdampingan mengolahnya. Namun begitu ada hasilnya, kaum wanita boleh-boleh saja langsung memakan hasilnya tersebut ditengah rumah bersama keluarganya. Sebaliknya kaum laki-laki akan menitipkannya dulu dilumbung rumah gadang. Adalah sebuah harga diri bagi kaum pria memakan hasil itu kalau tidak terpaksa betul. Kaum pria malah memantangkan diri mengambil haknya,karena mereka lebih merasa mempunyai harga diri bila hidup dari hasil jerih payah sendiri.

Perbedaan yang tajam ini membuat kaum pria mengembara mencari kesuksesan dan keberhasilan dalam hidupnya sendiri. Sementara tampuk tanggung jawab di kampung halaman jatuh ketangan wanita. Hal inilah yang membuat kaum wanita minang terkenal dengan sikapnya sebagai pekerja keras. Tidak mau hanya berpangku tangan atau berleha-leha saja walau ia sudah mempunyai harta sekalipun. Jiwa bisnis wanita minangpun sangat tinggi,karena dengan tanggung jawab yang diberikan pada mereka dalam mengatur roda perekomonian tanah pusako membuat mereka harus cerdik dan pandai dalam perdagangan.

Walaupun pada catatan pada Badan Pusat Statistik Sumbar masih menunjukkan angka keterlibatan wanita dilapangan kerja masih dbawah angka pria, namun yang terlibat membuka lapangan kerja sendiri atau berwiraswasta lebih banyak dilakukan oleh kaum wanita di Sumbar. Diantaranya banyak yang membuka lapangan kerja dibidang kewanitaan yang berbentuk makanan, kerajinan tangan,jahit menjahit dll.

Waktu kami baru-baru ini pulang kampung, kami melewati kawasan pasar Koto Baru yang kebetulan sedang ada “hari Pasar”. Perjalanan kami sedikit terkena macet dengan keramaian pasar tersebut. Uniknya pasar ini adalah, para pedagangnya semua didominasi oleh kaum perempuan. Hampir setiap sudut kami lihat yang menawarkan beragam sayuran dan rempah-rempah dapur adalah rata-rata para wanita. Namun catatan BPS juga menyatakan bahwa angka putus sekolah lebih banyak terdapat pada prosentase untuk kaum pria . Artinya, semakin masuk kedalam jaman modern semakin terlihatlah kesadaran kaum wanita minangkabau untuk tampil lebih cerdas dan berilmu pula.

Dari kenyataan-kenyataan yang ada ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa adat minang kabau bukan bertujuan untuk membentuk wanita bersikap otoriter atau berkuasa melebihi kekuasaan kaum pria apalagi meletakkan posisi kaum pria dibelakang kaum wanita. Adat minang kabau selama ini sesungguhnya mengajarkan dan mendidik dua gender ini untuk bisa tampil dalam kekuatan mereka masing-masing dengan kepribadian yang kokoh untuk mampu hidup diatas kaki sendiri tanpa mengemis-ngemis apalagi bersikap culas,licik dalam memperjuangkan kehidupannya sendiri. Wanita minangkabau dengan tanggung jawab yang dibebankan pada mereka membuat mereka bisa memahami sifat kepemimpinan yang arif dan bijaksana. Sebaliknya kaum pria yang lebih diberikan kesempatan mengembara atau merantau membuat mereka tampil sebagai kaum yang kenyang akan pengalaman hidup hingga mereka lebih ahli menyelami dan mengukur kehidupan itu sendiri untuk target keberhasilan mereka.

Seharusnya memang begitu. Tapi sebuah tata aturan dalam kehidupan yang dirancang manusia tidak semuanya akan bisa tertata dengan lancar dan rapi sesuai yang dikehendaki. Ada saja yang melenceng dari aturan yang sebenarnya. Dalam hal ini rasanya aneh bila kita menyalahkan adat,karena sebuah adat tentu lahir dari tata aturan yang tujuannya adalah untuk sebuah kebaikan. 

Sebuah egolah yang merusak tata aturan tersebut. Ego tersebut akan tampil tidak hanya dari bersendirian dari kedua gender ini karena mereka saling kait mengait untuk membuat ego tersebut berkembang menjadi sikap individualistis yang saling menyalahkan. Wanita yang berkuasa karena berada pada sistim matriakat akan mempergunakan egonya untuk membelakangi kaum pria. Sebaliknya kaum pria yang merasa hidup dengan wanita matriakat dalam kekuasaan berharta ,akan mempergunakan kesempatan pula untuk bermalas-malasan dengan hanya duduk menopang dagu memakan harta istri/wanita. Sikap dari kedua gender ini akan melahirkan ego yang ditindas dan menindas.

Maka tak ada salahnya kalau aku merasa terdorong untuk mengupas masalah ini, karena disebabkan begitu kentalnya darah minang melekat pada diriku. Dan dengan jujur kusampaikan bahwa watak wanita minang yang terbentuk dari adatnya adapula melekat dalam diriku. Aku yakin, semua wanita minang yang merasa mempunyai darah minang yang kental mengalir pada dirinya akan merasakan hal yang sama denganku. Dan dengan jujur pula aku sampaikan bahwa akupun pernah melalui masa “transisi” berumah tangga dalam menselaraskan kehidupan kami, agar tetap seimbang. Perbedaan pandangan dan prinsip hidup pernah terbagi dua antara kami suami istri karena berasal dari adat dan budaya yang berbeda. Aku dari minang, suamiku dari Jawa. Namun ini bukanlah masalah adat, tapi adalah dari “ego” kita masing-masing. Aku yakin, sikap Nirita, Lulu maupun Ranti juga lahir karena ego bukan karena adat. 

Adat memang membentuk wanita minang menjadi sosok yang kuat, tegas dan mandiri. Tapi adat tidak mengolah mereka menjadi sosok yang merasa lebih benar dan jauh dari timbang rasa. Ada kalanya memang wanita minang harus terpaksa tampil lebih dulu seperti yang dilakukan Ranti. Sikap mandiri darah minangnya membuat ia tampil sebagai pengambil keputusan disaat kehidupan sudah menuntut untuk adanya sebuah keputusan. Sebaliknya sikap Nirita dan Lulu adalah sikap keras dan tegas yang lebih mencondongkan ego, sehingga timbullah kesalah pahaman dalam keterlanjuran sikap berkuasa bagi wanita minang itu sendiri disini. Mungkin keruwetan buhul perkawinan dua orang saudara kenalan baru kami diperhelatan dua hari yang lalu juga begitu adanya.

Akhir kata, memang tuntutan untuk kesetaraan gender atau emansipasi atau apalah namanya haruslah dikaji ulang.Bila tuntutan itu ternyata menimbulkan sebuah kesombongan, sikap menguasai dan merasa harus melebihi kaum pria atau bahkan yang lebih parah lagi adalah merendahkan dan melecehkan martabat kaum pria,tentulah ini sudah salah pemahamannya. Artinya, bila ia seorang wanita lajang iapun harus memahami batas-batas pergaulannya yang tidak merusak norma-norma kaedah dirinya sendiri sebagai wanita. Baik itu batas dalam memperoleh pendidikan, lapangan kerja maupun sebuah kekuasaan. Bila ia seorang istri, tentulah yang pertama yang menjadi panutan dan tempat ia bersepakat adalah suami sendiri.Walaupun pendidikan, kedudukan atau penghasilannya lebih memadai dari sang suami adalah suatu kewajiban utama baginya untuk tetap berada dibelakang suaminya. Selayaknyalah ia harus terlebih dahulu mendengar dan bertindak sesuai arahan suami kecuali bila keadaan tidak memungkinkan lagi untuk berbuat demikian. Semoga tulisan ini dapat menjadi pedoman diriku sendiri, teman2ku wanita maupun pria, baik yang berdarah minang maupun bukan.

Template by:

Free Blog Templates