Ateis, Minang, dan Analisis Materialisme

Oleh : Taufiqurrahman

Pemerhati Masalah Sosiologi Agama, Tinggal di Sijunjung

Padang Ekspres • Selasa, 31/01/2012 10:47 WIB • 561 klik

Terkuaknya pemilik Akun “Ateis Minang” di Facebook beberapa waktu yang lalu cukup menggemparkan masyarakat Sumatera Barat. Pasalnya akun yang dimiliki oleh seorang oknum CPNS tersebut memakai embel-embel “Minang” yang merupakan simbol dari alam nagari yang bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah.

Secara hukum, Alexander Aan si pemilik akun layak diperkarakan ke meja hijau karena telah mempropagandakan keyakinan yang bertentangan dengan komitmen berbangsa di Indonesia ini, dan juga menyinggung perasaan banyak orang di ranah Minang yang secara teguh meyakini Islam dan tidak pernah membayangkan suku Minang yang dibanggakan ini memiliki label ateis.

Terlepas dari persoalan hukum, ada fakta menarik yang perlu kita cermati, bahwa akun ini diikuti oleh lebih dari 1.200 follower, dan jika dilihat dari bahasa komentar-komentar yang diberikan, bisa dipastikan mereka semua adalah orang Minangkabau. Dari 1.200 member dalam group ini, kalau 1.000 orang saja adalah mereka yang sepakat dengan ide ateis tersebut, berarti ada sekitar 1.000 orang anak kemenakan di Minangkabau ini yang diam-diam menjadi ateis dan tidak percaya dengan Tuhan.


Angka yang cukup mengkhawatirkan untuk negeri yang hidup bersandikan syarak, syarak bersandi Kitabullah ini. Pertanyaannya, kenapa orang Minang yang terkenal dengan masyarakat agamis ini mudah sekali menjadi ateis?

Cara Pandang Meterialisme
Materialisme adalah salah satu cabang dalam filsafat, yang biasa disebut dengan filsafat materialisme. Filsafat materialisme punya sejarah yang panjang dalam perjalanan kehidupan ummat manusia. Dalam pemahaman penganut materialisme, dunia tidak lebih dari pergerakan-pergerakan materi yang memiliki hubungan sebab akibat dari interaksi antara materi tersebut. Materialisme tidak menerima adanya faktor di luar itu, termasuk faktor Tuhan sebagai pencipta dan penyebab segala sesuatu (prima causa).

Dalam ilmu pengetahuan misalnya, paham materialisme direpresentasikan oleh Teori Evolusi Darwin. Dalam teori evolusi Darwin, alam dan makhluk hidup hanya dilihat sebagai sesuatu yang “menjadi”, bukan “tercipta”. Konsep tercipta tidak ada dalam teori Darwin. Monyet berevolusi menjadi manusia, jentik berevolusi menjadi serangga, ulat berevolusi menjadi makhluk yang lebih besar dan lain sebagainya. Semuanya berubah sesuai proses alamiah dalam waktu jutaan tahun. Teori Evolusi Darwin ini adalah teori yang ateistik, dia tidak mengenal apa yang disebut “Ciptaan Tuhan”.

Sejak ditemukannya sistem DNA dalam ilmu genetika, pada saat itu sebenarnya teori evolusi Darwin sudah menjadi sampah ilmu pengetahuan. Sistem uji DNA memastikan bahwa mutasi DNA dari satu spesies ke spesies lain mustahil terjadi. Artinya, DNA seekor monyet tidak mungkin bermutasi menjadi DNA manusia, karena DNA adalah rangkaian yang rumit yang dimiliki oleh masing-masing spesies yang tidak sama dengan spesies lainnya, bahkan antar manusiapun memiliki DNA yang tidak sama. Ini cukup menjadi bukti bahwa manusia dan kehidupan ini “diciptakan” oleh Sang Pencipta, bukan pergerakan-pergerakan materi yang membuatnya “menjadi”. (Harun Yahya: Runtuhnya Teori Evolusi Darwin, 2002)

Meski sudah terbukti usang, tapi entah kenapa teori evolusi Darwin ini masih diajarkan di sekolah-sekolah SMP dan SMA oleh guru-guru kita. Teori yang sudah runtuh ini seakan-akan diusahakan untuk ditopang bersama-sama demi mengajarkan paham materialisme pada anak-anak kita yang dianggap “seolah-olah” sebagai satu-satunya yang paling ilmiah. Karena sesuatu yang ilmiah biasa diidentikkan tanpa peran Tuhan. Padahal inilah pintu bagi paham materialisme  untuk memasuki pikiran anak-anak kita yang berpotensi menjadikan mereka seorang ateis.

Dalam kehidupan sosial dan politik, materialisme didominasi dialektika materialisme Hegel. Bahwa kesempurnaan itu akan terwujud dengan adanya dialektika dari materi-materi yang ada. Dalam kehidupan sosial politik, dialektika materialisme ini diwujudkan oleh Karl Marx dengan konsep pertentangan kelasnya, yakni pertentangan antara kelas borjuis dengan kelas proletar, kelas pemilik modal dengan kelas pekerja. Intinya, bagi penganut materialisme, kesejahteraan dan kesempurnaan kehidupan sosial dan politik akan terwujud dengan dialektika yang terjadi dari kelas-kelas ini.

Komunisme yang pernah hidup di Indonesia adalah salah satu pandangan politik yang diturunkan dialektika materialisme ini. Dalam wilayah teologis, pandangan materialisme ini menjadi apa yang kita sebut dengan “ateis”, karena hampir semua gerakan sosial politik dan ilmu pengetahuan yang berangkat dari pandangan materialism cenderung untuk menjadi ateis.

Materialisme di Miangkabau
Menarik apa yang pernah ditulis oleh Almarhum Prof. Dr. Khaidir Anwar dalam bukunya Aspek-Aspek Sosio Kultural Miangkabau Dalam Bahasa. Menurutnya, bahwa cara berpikir orang Minangkabau (khususnya orang Minangkabau pra Islam) sangat materialisme. Khaidir Anwar menjelaskan falsafah-falsafah Minang sebelum datangnya Islam, seperti “alam takambang jadi guru”, “Mancaliak contoh ka nan sudah, maambiak tuah ka nan manang”, “ mato condong ka nan rancak, salero condong ka nan lamak”, semua itu adalah falsafah-falsafah hidup yang realistis dan pragmatis.

Menurut Khaidir Anwar, orang Minangkabau tidak terbiasa dengan sesuatu yang mengawang-ngawang dan abstrak. Karena itu kisah-kisah Ramayana dan Mahabrata tidak pernah poluler di Minangkabau (meskipun Hindu dan Budha pernah bercokol lama di sini). Orang Minangkabau sangat realistis dan cenderung pragmatis, kakinya berpijak ke bumi. Orang Minang tahu persis cara mencari untung dan mendapatkan laba.

Dasar-dasar berpikir seperti ini bisa kita pahami dalam beberapa sisi. Pertama, dengan cara berpikir seperti ini, wajar saja Hindu dan Budha tidak meninggalkan bekas yang begitu dalam bagi kehidupan masyarakat Minangkabau. Kedua, dengan cara berpikir seperti ini, Islam dianggap sebagai agama yang cukup realistis dan “masuk akal” bagi orang Minangkabau, karena inilah agama yang bisa dijelaskan dengan mudah dan sederhana.

Karena itu juga Islam dengan mudah berintegrasi dengan adat Minangkabau yang tertuang dalam falsafah, Adat basabdi syarak, syarak basandi Kitabullah. Ketiga, seperti yang disebutkan oleh Khaidir Anwar, dengan cara berpikir yang cenderung materialism tersebut, orang Miangkabau “rentan” untuk menjadi seorang ateis, karena mereka biasa mengkalkulasikan segala hal dengan apa yang tampak dan apa yang dilihatnya dari alam. Seperti pertanyaan yang dikemukakan di awal, kenapa banyak anak muda Minang yang cendrung menjadi ateis bisa dilihat dalam analisis ini.

Kebanyakan mereka terjebak dan terperangkap dalam cara berpikir materialism yang dangkal.
Kalau kita lihat komentar-komentar para follower di akun Ateis Minang tersebut, tampak bahwa logika-logika yang dimunculkan adalah logika-logika materialism, persis seperti apa yang dikemukakan Tan Malaka dalam Madilognya. Contohnya, Kalau Tuhan itu ada, kenapa kejahatan tambah merajalela, kenapa tuhan tidak bisa menghentikan? Kalau Tuhan itu ada, kenapa ia tidak bisa menghentikan banjir, gempa, bencana? dan lain sebagainya.

Alam pikiran materialism tidak bisa melihat sesuatu di luar yang tampak. Kajian terhadap hikmah di balik peristiwa, pelajaran, peringatan dan lain sebahgainya tidak bisa dicerna oleh mereka yang pikirannya didominasi oleh paham materialism. Padahak semua kejadian tersebut, baik dan buruk, nikmat dan musibah, semuanya itu adalah kejadian yang dalam kekuasaan Allah, dan tugas manusia adalah untuk mengambil pelajaran dari semua itu, seperti yang berulang-ulang ditegaskan Allah dalam Al-Quran, afala tatafakkarun, afala ta’qilun, apakah kamu tidak memikirkan semuanya, apakah kamu tidak mengambil pelajaran? Dengan mengambil pelajaran dari setiap kejadian, orang bisa bertambah imannya kepada Allah dan semakin baik perilakukan terhadap orang lain dan kehidupan ini.

Karena itu sangat masuk akal, kenapa Islam bisa klop dengan masyarakat Miangkabau, karena Islam mampu menyeimbangkan dominasi cara berpikir materialisme orang Minang dengan cara pandang ketuhanan (ilahiyaah). Orang Minangkabau membutuhkan Islam untuk tidak terjebak dalam logika-logika materialism yang dangkal, melihat peristiwa sebatas peristiwa tanpa mampu melihat makna yang jauh lebih luas dan lebih dalam dari sekedar pergerakan-pergerakan materi.

Tugas Dakwah
Ateis itu bukanlah fitrah manusia. Fitrah manusia adalah bertuhan, siapapun dia. Allah sudah tegaskan hal itu dalam ayatNya: Alastu birobbikum, qoolu, bala sahidna. Bukankah aku Tuhanmu, ya benar, aku bersaksi Engkau Tuhanku (Al-Quran 7:172). Artinya kalau ada sekarang sekitar seribu orang anak Minang menjadi ateis, itu bukanlah fitrahnya. Menjadi ateis adalah akibat. Akibat dari sebuah proses sosial yang salah.

Dakwah Islam adalah salah satu medium yang perlu kita evaluasi bersama. Beberapa tahun terakhir ini dakwah Islam mengalami distorsi yang sistematis. Di media televisi misalnya, sudah terjadi “entertainisasi” terhadap dakwah Islam. Dakwak sudah dientertain sedemikian rupa, baik kemasannya maupun ustadz-nya. Dakwah menjadi satu paket dengan hiburan, bahkan di sebuah stasiun televisi dakwah Islam hanya menjadi selingan dari sebuah acara hiburan.

Di surau, di masjid dan di kantor-kantor, pengajian-pengajian keislaman juga mengalami distorsi, disederhanakan menjadi bagian dari seremoni dalam peringatan-peringatan hari besar. Di sini dakwah Islam kehilangan otoritas dan daya sentuhnya. Lebih mengumbar lelucon daripada isi. Belum lagi rasionalisasi yang terjadi pada penceramah-penceramah yang (maaf) didominasi oleh “buya-buya” di depertemen tertentu yang lengket dengan citra proyek dan amplop. Realitas seperti ini semakin membuat dakwah Islam tidak memiliki daya getar terutama kepada mereka yang sangat membutuhkan pencerahan.

Karena itu wajar para follower di akun ateis itu menyebut para penceramah dan pengkhotbah dengan sebutan “tukang kicuah” karena memang yang mereka sampaikan hanya sebatas lisan dan sampai di pendengaran, tidak menyentuh ke hati. Pada saat-saat seperti ini rasanya kita membutuhkan ulama dengan otoritas kharismatik yang menyejukkan, seperti buya Hamka yang dulu pernah dilahirkan dari rahim alam Minangkabau ini.
(*)

[ Red/Redaksi_ILS ]
http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=1514

Template by:

Free Blog Templates