Pada awal aad ke-19 (1803) tiga orang pemuda yang lahir dan 
dibesarkan di lingkungan komunitas konservatif-orthodoks (muqallid) 
serta diasuh dan dididik dengan cara konservatif-orthodoks (muqallid) 
berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji.
Di Mekkah mereka sempat bermukin beberapa waktu (kira-kira lima 
tahun), di tengah-tengah komunitas radikal fundamentaalis (muttabi’) 
Wahabi, serta menimba, menyerap (mengadopsi) paham radikal-fundamentalis
 (muttabi’) Wahabi.
Kemudian mereka kembali ke kampung halaman di Ranah Minang dengan
 membawa paham radikal-fundamentalis (muttabi”) Wahabi serta 
menyebarkannya dengan cara radikal-fundamentalis. Ketiga mereka dikenal,
 masing-masing dengan sebutan Haji Miskin (dari Pandai Sikek 
Bukittinggi), Haji Sumanik (Muhammad Arif dari Tanah Datar Batu 
Sangkar), Haji Piobang (Abdurrahmnan dari Limapuluh Koto Payakumbuh). 
(Prof Dr Hamka menyebutkan bahwa pada tahun 1802 atau 1803 itu, ketiga 
Haji itu pulang dari Mekkah ke Minangkabau. Demikian disebutkan Hamka 
dalam “Antara Fakta dan KhayalTuanku Rao”, 1974:32,34,40).
Secara radikal, dengan penuh semangat mereka gigih membasmi, 
memberantas adat kebiasaan yang menyalahi syari’at Islam, seperti 
kebiasan menyabung (mengadu) ayam, berjudi, mengisap candu (kokain, 
narkotika), meminum tuak (miras), merampok, membunuh, dan lain-lain. 
Mereka gigih menyeru menjalankan syari’at Islam, seperti mendirikan 
shalat lima waktu, puasa Ramadhan, berzakat fitrah dan mendirikan shalat
 Jum’at pada tiap negeri (desa).
Haji Miskin sangat radikal (keras) dalam mengembangkan agama 
Islam, menyeru menjalankan syari’at Islam, bahkan ia melarang orang 
merokok dan makan sirih. Ia bersunguh-sungguh membasmi adat kebiasaan 
jahiliyah (yang menyalahi syari’at Islam) dan berupaya agar orang hanya 
menjalankan syari’at islam semata-mata. Ia mendapat tantangaan yang 
keras dari pemuka-pemuka adat. Ada delapan orang pemuda (termasuk Haji 
Miskin) yang dikenal dengan sebutan Tuanku nan Salapan (Walisongonya 
Minangkabau) berupaya menjalankan syari’at Islam secara radikal (keras),
 yang barangkali dalam pandangan para pemuka bangsa masa kini dapat 
dikategorikan sebagai kelompok jama’ah Islamiyah, kelompok teroris. 
Salah seorang dari Tuanku nan Salapan tersebut (yaitu Tuanku Nan Renceh 
dari Bangsah kamang) pernah mengundah (bukan diundang) pemuka-pemuka 
Islam (alim ulama) dalam suatu jamuan makan. dalam jamuan itu, Tuanku 
Nan Renceh berpidato menguraikan suruhan Rasulullah saw : Pertama, 
beriman. Kedua, berkhitan. Ketiga, tidak meminum yang memabukkan. 
Keempat, makrifat, pengetahuan tentang Allah. Agar shalat. Tidak meminum
 minuman keras. Tidak mengasah gigi. Tidak menyabung ayam. Tidak 
berjudi. Ia juga meminta lelaki agar tidak mencukur jenggot, dan 
perempuan agar menutup mukanya (memakai cadar).
Terhadap yang melanggar aturan ditetapkan sanksi hukum, antara 
lain sebagai berikut : Lelaki yang mencukur jenggot dikenakan denda dua 
suku(satu suku = lima puluh sen uang kolonial Belanda pada awal abad 
ke-19). Perempuan yang mengasah gigi didenda seekor kerbau. Yang tidak 
menutup lutut (aurat) didenda dua suku. Yang tidak menutup muka didenda 
tiga suku. yang memukul anak didenda dua suku. Yang menjual atau 
mengisap tembakau (rokok) didenda lima suku. Yang meninggalkan shalat 
didenda lima real, kalau telah dua kali, dihukum bunuh (Disimak dari 
buku Prof H Mahmud Yunus : “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia”, 
1979:27-30, bersumber dari “Tambo Minangkabau”, Anwar Sanusi : “Sejarah 
Indonesia untuk Sekolah Menengah”, 1951, III:61-64, Prog Dr Hamka : 
“Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao”, 1974:40-41, bersumber dari catatan
 Fakih Shagir, Yasrif Ya’kub Tambusai : “Peranan Gerakan Sufi dan 
Kontradiksi Sejarah”, dlam PANJI MASYARAKAT, No.521, 11 November 1986, 
hal 10, Forum Pendapat).
1
1

 
.bmp)

 
 
 
 
 
.png) 
 
 
 


