Syeikh Muhammad Saad al-Khalidiy Mungka (selanjutnya disebut
Syeikh Mungka) dikenal dalam khazanah intelektual muslim nusantara (khususnya
kazanah intelektual muslim Minangkabau) sebagai mahaguru terbesar tariqat
Naqsyabandiah-Khalidiyah sesudah Syeikh Ismail al-Khalidi al-Minankabawi. Syeikh Mungka, dilahirkan di Jorong Koto Tuo Kenagarian
Mungka pada tahun 1859 M/1277 H dari pesukuan Kuti Anyir Pitopang Payakumbuh
Luak 50 Minangkabau. Secara genetik, Syeikh Mungka merupakan keturunan ulama.
Beliau anak dari ulama setempat yang bernama Muhammad
Tanta’ yang disegani dan dihormati karena kepribadian, kedalaman ilmu,
kewibawaan dan dedikasinya terhadap kampung halamannya. Nama kecil Syeikh
Mungka adalah Anggun. Beliau memiliki saudara sebanyak 3 orang, yaitu Husin,
Sulaiman dan Simba. Salah seorang saudaranya tersebut yaitu Simba, melahirkan 4
orang putra dan putri. Kelak salah seorang putri dari Simba yang bernama
Nuriyah menjadi menantu Syeikh Muhammad Sa’ad yaitu istri anak beliau yang
bernama Muhammad Jamil Sa’adi.
Pada waktu muda, Syeikh Mungka belajar ilmu-ilmu agama kepada Syeikh Abu Bakar Tabing Pulai Payakumbuh dan juga belajar kepada Syeikh Mhd. Saleh Mungka, Tanah Datar Batusangkar. Pada tahun 1894 M. beliau naik haji ke Mekkah dan bermukim di situ menuntut ilmu sampai tahun 1900 M. Selama lebih kurang enam tahun belajar ilmu agama di Mekkah tersebut, Syeikh Mungka memperdalam ilmu agamanya kepada ulama-ulama besar di Jazirah Arab pada masa itu seperti Sayyid Zaini Dahlan, Sayyid Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki, Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain bin Musthafa al-Fathani dan lain-lain. Selama beliau di Mekkah ini, Syeikh Mungka tidak pernah belajar pada Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi – seorang ulama Minangkabau yang dalam sejarah memiliki reputasi unggul di Mekkah pada masanya dan dijadikan ”guru favorit” para ulama-ulama nusantara yang menuntut ilmu agama di Mekkah dan murid-muridnya tersebut kemudian dikenal sebagai para ulama pembaharu di Minangkabau. Ketika Syeikh Mungka berada di Mekkah, beliau masih banyak menjumpai ulama-ulama nusantara yang mengajarkan tareqat. Diantara mereka tersebut adalah Syeikh Abdul Karim al-Bantani (berasal dari Banten, Jawa Barat) yang merupakan murid dari Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Ghafur as-Sambasi (asal Sambas Kalimantan Barat). Dua ulama asal Banten dan Sambas Kalimantan Barat ini mendalami tareqat Qadariyah dan Naqsyabandiah.
Disamping dua ulama nusantara yang ditemui Syeikh Mungka
untuk mendalami tareqat di Mekkah ini, ada juga ulama nusantara lainnya yang
juga pada waktu itu sedang intens mendalami ilmu tareqat yaitu Syeikh Abdul
’Azhim al-Manduri (diasumsikan beliau ini berasal dari Madura Jawa Timur),
dimana beliau mendalami ilmu tareqat kepada ulama besar tareqat masa itu di
Mekkah yang bernama Syeikh as-Sayyid asy-Syarif Muhammad Shaleh bin Sayyid
Abdurrahman az-Zawawi. Tareqat yang didalaminya adalah tareqat Naqsyabandiah
Muzhariyah/Al-Mujaddidiyah al-Ahmadiyah.
Ulama yang cukup terkenal yang juga merupakan guru besar
ilmu tasawuf di Mekkah pada masa Syeikh Mungka belajar di ”kota kelahiran nabi
SAW.” ini adalah Syeikh Abdul Qadir bin Abdurrahman al-Fathani. Beliau ini
fokus pada pendalaman dan transfer ilmu tareqat Syatariyah. Dengan ditemui dan
adanya interaksi antara Syeikh Mungka dengan para ulama tareqat tersebut,
membuat Syeikh Mungka tetap istiqomah dan konsisten mempertahankan keyakinan
tareqat. Apalagi, ”modal awal” pemahaman tareqat telah didapatkan oleh Syeikh
Mungka sejak beliau masih berada di kampung halamannya.
Mungkin ini pula yang menyebabkan Syeikh Mungka menjadi
guru besar tareqat di Minangkabau, walaupun kawan-kawannya pada masa beliau
sama-sama menuntut ilmu agama di Mekkah, banyak yang berada pada posisi
berseberangan bahkan konfrontatif dengan tareqat. Hal ini tidak terlepas dari
interaksi Syeikh Mungka dengan ulama-ulama tareqat besar di Mekkah, dan beliau
tidak belajar pada Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi – sang penentang tareqat
tersebut. Sementara kawan-kawannya yang lain justru berada dibawah bimbingan Syeikh
Ahmad Khatib al-Minankabawi. Jadi tidaklah megherankan apabila kemudian Syeikh
Mungka dikenal sebagai ulama pembela tareqat (khususnya tareqat
Naqsyabandiah-Khalidiyah).
Salah seorang murid beliau, Haji Siradjuddin Abbas (yang juga seorang ulama) mengatakan :
”Sewaktu penulis buku ini (maksudnya Haji Siradjuddin
Abbas : penulis) remaja, pernah mengikuti pelajaran tareqat dengan beliau ini
di Munka Payakumbuh setiap hari Arba’a (Rabu). Dalam mengiringkan ulama-ulama
besar Minangkabau yang belajar kepada beliau tiap-tiap Arba’a tersebut terlihat
oleh mata kepala kami sendiri yang belajar ke sana adalah Syeikh Sulaiman
Ar-Rasuli, Syeikh Abbas Ladang Lawas Bukittinggi, Syeikh Abdul Wahid Tabek
Gadang, Syeikh Abdurrasyid Parambahan Payakumbuh, Syeikh Abdul Madjid Koto Nan
Gadang Payakumbuh, Syeikh Ahmad Baruah Gunung Suliki, Syeikh Arifin Batu Hampar
Payakumbuh, Syeikh Yahya el-Khalidi Magek Bukittinggi dan banyak lagi yang
lainnya. Beliau ini adalah seorang ulama besar yang juga merupakan guru dari
para ulama besar pula”.
Disamping ulama-ulama tersebut diatas, beberapa sumber
juga mengatakan bahwa banyak juga ulama-ulama Minangkabau yang memiliki
pengaruh dan nama besar di Minangkabau, pernah berguru pada Syeikh Mungka,
diantaranya Syeikh Muhammad Jamil Djaho,
Syeikh Makhudum dari Solok, Syeikh Sulaiman Gani dari Magek, Syeikh Abdul Majid
dari Payakumbuh, Syeikh Abdul Tamim dari Koto Baru Agam, Syeikh Muhammad dari
Sarilamak Payakumbuh, Syeikh Daramin dari Lipat Kain Kampar Riau dan
ulama-ulama lainnya dari luar Payakumbuh juga pernah belajar pada Syeikh Mungka
ini. Konon kabarnya Syeikh Abdullah Halaban, seorang ulama tua kharismatik yang
sebaya dengan beliau juga pernah mengakui kealiman Syeikh Mungka.
Kehadiran Syeikh Mungka dalam khazanah sejarah pemikiran
Islam Minangkabau, identik dengan tareqat. Sudah menjadi tradisi sejak lama di
Minangkabau, mayoritas para ulama tersebut mengamalkan dan memiliki konsistensi
yang konsisten terhadap tareqat (baik Syatariyah maupun Naqsyabandiah). Namun
banyak juga yang memposisikan diri mereka pada posisi yang ”berseberangan”. Ada
dua mainstream besar yang terdapat dalam sejarah intelektual keagamaan (Islam)
di Minangkabau pada masa ini. Sebagian orang tetap dengan tekun dan konsisten
mengamalkan tareqat dan pada pihak lain memandangnya sebagai bid’ah. Syeikh
Ahmad Khatib al-Minankabawi gigih sekali dalam membid’ahkan tareqat. Namun
pendapat Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi ini juga banyak mendapat tantangan.
Tantangan tersebut bahkan juga dari para murid-muridnya. Diantara murid Syeikh
Ahmad Khatib al-Minankabawi yang tetap memperjuangkan eksistensi tareqat
(khususnya tareqat Naqsyabandiah-Khalidiyah) dan berseberangan dengan gurunya
(untuk kasus ini) adalah Syeikh Muhammad Zain Simabur.
Tentang Syeikh Muhammad Zain Simabur ini, Siradjuddin Abbas
pernah mengatakan :
”Setelah beliau berada di Perak Malaysia (beliau pernah menjadi Mufti Besar Perak, sebuah negara bahagian Kerajaan Malaysia: Penulis), beliau sekali-sekali ada juga pulang ke kampung halamannya di Simabur. Tetapi ketika beliau pulang, beliau merasakan bahwa suasanya bukan suasana beliau lagi. Penduduk Simabur telah banyak yang sesat, telah menjadi ”Kaum Muda”. Pada tahun 1955 beliau pensiun dari jabatan Mufti di Perak dan berkeinginan menetap di Simabur. Beliau tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi di Simabur, karena beliau sangat menyukai tareqat. Yang berpengaruh di Simabur waktu beliau kembali ini adalah pemimpin-pemimpin kaum muda dari organisasi Muhammadiyah. Maka atas permintaan murid-muridnya, beliau kemudian bermukim di Pariaman dalam Suluk dan khalwatnya sampai beliau meninggal dunia pada tahun 1957”.
Bentuk konsistensi Syeikh Mungka dalam mempertahankan amalan dan ajaran tareqat terefleksi dan terlihat dari kitab yang dikarangnya. Kitab-kitab tersebut lebih tepatnya merupakan refleksi dari keteguhan hati seorang Syeikh Mungka membela tareqat naqsyabandiah yang ditujukannya kepada sang penentang – Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi. Kitab-kitab tersebut juga merupakan ”dialog-intelektual” produktif antara Syeikh Mungka dengan Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi yang kelak memberikan pencerahan bagi orang-orang yang suka dan tidak suka terhadap tareqat pada masa mereka dan pada masa belakangan. Ada dua kitab yang dikarang oleh Syeikh Mungka :
”Setelah beliau berada di Perak Malaysia (beliau pernah menjadi Mufti Besar Perak, sebuah negara bahagian Kerajaan Malaysia: Penulis), beliau sekali-sekali ada juga pulang ke kampung halamannya di Simabur. Tetapi ketika beliau pulang, beliau merasakan bahwa suasanya bukan suasana beliau lagi. Penduduk Simabur telah banyak yang sesat, telah menjadi ”Kaum Muda”. Pada tahun 1955 beliau pensiun dari jabatan Mufti di Perak dan berkeinginan menetap di Simabur. Beliau tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi di Simabur, karena beliau sangat menyukai tareqat. Yang berpengaruh di Simabur waktu beliau kembali ini adalah pemimpin-pemimpin kaum muda dari organisasi Muhammadiyah. Maka atas permintaan murid-muridnya, beliau kemudian bermukim di Pariaman dalam Suluk dan khalwatnya sampai beliau meninggal dunia pada tahun 1957”.
Bentuk konsistensi Syeikh Mungka dalam mempertahankan amalan dan ajaran tareqat terefleksi dan terlihat dari kitab yang dikarangnya. Kitab-kitab tersebut lebih tepatnya merupakan refleksi dari keteguhan hati seorang Syeikh Mungka membela tareqat naqsyabandiah yang ditujukannya kepada sang penentang – Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi. Kitab-kitab tersebut juga merupakan ”dialog-intelektual” produktif antara Syeikh Mungka dengan Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi yang kelak memberikan pencerahan bagi orang-orang yang suka dan tidak suka terhadap tareqat pada masa mereka dan pada masa belakangan. Ada dua kitab yang dikarang oleh Syeikh Mungka :
- Irghaamu Unuufil Muta’annitiina fii Inkarihim Rabhithatil Washiliin yang merupakan sanggahan dari kitab karangan Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi yang berjudul Iz-haaru Zaghlil Kaazibiina fii Tasyabbuhihim Bish Shadiqiin.
- Setelah Syeikh Mungka menyanggah melalui kitab pertamanya di atas tersebut, maka Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi menyanggah pula dalam kitabnya yang berjudul Al-Aayatul Baiyinati lil Munsyifiina fii Izaalati Khaurafati Ba’dhil Muta’ash-shibiina. Selanjutnya kitab ini dibantah Syeikh Mungka dengan kitabnya yang kedua berjudul Tanbihuul ’Awaami ’ala Taqrirrati Ba’dhil Anaami.
Selain dua kitab monumnetal ini, Syeikh Mungka juga mengarang beberapa kitab lainnya, terutama dalam bahasa Arab. Tidaklah dapat dipungkiri bahwa Syeikh Mungka merupakan satu-satunya ulama Minangkabau pada masanya yang memiliki ilmu setaraf dengan Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi, walaupun kedudukan Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi lebih prestisius – imam dan khatib di Masjidil Haram Mekkah. Syeikh Mungka-lah satu-satunya ulama Minangkabau yang mampu berpolemik secara intens mengenai tareqat secara ”elegan-intelek” dan berani dengan ulama besar sekaliber Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi tersebut.
Syeikh Mungka berhasil pula mencetak kader-kader tareqat
(khususnya tareqat Naqsyabandiah), diantaranya Syeikh Yahya al-Khalidi – yang
”terang dan jelas” mencantumkan label Al-Khalidi dibelakang namanya. Syeikh
Yahya al-Khalidi lebih tua kira-kira satu tahun dari Syeikh Mungka. Selain Syeikh
Yahya al-Khalidi, murid Syeikh Saad Mungka yang namanya cukup terkenal dalam
”ranah tareqat” adalah Syeikh Abdul Wahab ash-Shalihi. Beliau yang lahir di
Jopang Suliki Payakumbuh ini membuka pondok pesantren dan memiliki banyak
murid. Pondok pesantren tersebut didirikannya di daerah Tabek Gadang Padang
Jopang Suliki Payakumbuh.
Sumber :
http://mukjizatrasulullah.blogspot.com/2011/05/syekh-muhammad-saad-al-khalidiy-mungka.html