SUKU ADALAH SIMBOL NASAB YANG KOSONG DI MINANGKABAU

Adat dan sistem matrilineal bersama-sama diciptakan yang berdasarkan pengamatan terhadap alam terkembang bagi orang Minangkabau. Dan kita seharusnya angkat tangan dan mengakui kehebatan dua orang yang terkenal sebagai peletak batu pertama dasar-dasar falsafah adat dan sistem sosial Minangkabau, yaitu Datuak Katumangguangan dan Datuak Parapatiah Nan Sabatang. Mereka berdua merupakan filosof besar yang telah mampu membaca ayat-ayat Allah yang terdapat dalam alam nyata ini dan menafsirkan untuk keperluan hidup masyarakat. Padahal kalau kita lihat, masa itu jauh sebelum agama Islam datang membawa ajaran-ajarannya yang terangkum dalam kitab suci Alquran.

Namun mereka telah sanggup berpikir filosofis tentang alam dan realitas yang ada. Sehingga ketika Islam ke tanah Minangkabau tidak mengalami pertentangan yang berarti. Tidak banyak dari unsur-unsur adat dan sistem sosial itu yang berubah, akan tetapi Islam malah sebaliknya, menyempurnakan dan melengkapinya. Alquran sendiri juga memerintahkan manusia mengamati dan meneliti ayat-ayat Allah yang terdapat dalam alam nyata ini. Karena dapat dijadikan ajaran bagi orang yang berpikir.

Sistem sosial matrilineal di Minangkabau dibentuk berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan alam yang qodrati berdasarkan peranan mengandung, melahirkan, menyusukan, mengajarkan anak berkata-kata dan mendidiknya adalah seorang ibu. Sedangkan ayah sedikit sekali mendapat kesempatan untuk bergaul dengan anak-anak dan memperhatikan kebutuhan kebutuhannya. Seorang ayah lebih banyak berada diluar rumah karena harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya. Disinilah peranan penting bundo kanduang dalam menyelamatkan posisi kaum ibu terhadap kepemilikkan keluarga dengan membuat sistem suku yang bernasab kepada ibu.


Jika ibunya Sikumbang maka anak otomatis bersuku Sikumbang dan akan menjadi milik keluarga besar Sikumbang. Dan keluarga bapak yang diistilahkan dengan bako sangat lemah. Anak-anak masih merasakan ada jarak dengan keluarga bapaknya betapapun intimnya mereka degan si bapak. Bahkan ada semacam ketakutan campur tangan keluarga si bapak yang mereka lihat secara negatif, kata Dr. Umar Yunus. Dan kalau pulang kampung mereka akan mencari keluarga ibu, bukan keluarga bapak. Dan jadilah posisi seorang bapak begitu lemahnya, hingga ada ungkapan bahwasanya seorang sumando (bapak) posisinya ibarat abu di atas tunggul. Sungguh begitu lemahnya, padahal dia sendiri yang punya anak yang mengalir di nadi-nadi sang anak darah genetiknya.

Seiring dengan berkembangnya kehidupan dan meningkatkatnya kecerdasan mnusia yang semakin kritis terhadap sebuah permasalahan, pergeseran nilaipun tak dapat dihindari. Semakin banyak putra-putri Minang mendalami bermacam bentuk keilmuan. Terutama dibidang agama Islam. Timbulah semacam kritik-kritik yang menentang dibeberapa bagian fundamental yang nyata telah tidak seiring dengan masalah hukum Alquran dan sunnah Nabi Muhammad SAW yang menjadi patron contoh utama. Hal ini seperti yang dilakukan begitu ekstrim oleh seorang ulama besar Minangkabau yang akhirnya menghabiskan sisa hidupnya di Mekah, karena sedih dengan keadaan yang tidak bisa diterima akalnya di negeri yang sangat dirindukanya ini. Dan hal ini jadi inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya yang juga kritis karena bakat alam sifat masyarakat yang terkenal egaliter dan berani mengungkapkan pendapatnya itu. Sehingga bisa dilihat semakin hari begitu pudarnya peranan adat mewarnai generasi demi generasi. Meskipun masyarakat Minangkabau tenang hidup dalam sistem yang bertolak belakang. ...

*[Sabrul Jamiel Sikumbang]

Template by:

Free Blog Templates