S
|
ANGAT banyak perobahan fikirannya sejak balik dari
kampung. Banyak hal-hal yang selama ini tidak diperhatikannya, sekarang telah
menarik fikirannya. Pertama ialah perhubungan famili yang rapat itu, sebab anak
minangkabau tidak dapat mengeluarkan dirinya dari lingkungan kerabat. “suku
tidak dapat dialih, malu tidak dapat dibagi”, demikian tersebut dalam
pepatah adat.
Oleh sebab itu, walaupun dimana dia beristri dan walaupun siapa istrinya
itu, walau bangsa apa, “setinggi-tinggi melambung akan jatuh ketanah jua”.
Sekali dalam setahun sekurangnya perlulah pulang ke kampung, memperkuat tali
kasih sayang dengan famili. Yang paling teringat olehnya ialah kesulitan
perhubungan dengan istrinya sekarang. Dahulu hal itu belum teringat, tetapi
sekarang telah menjadi fikiran yang tak dapat di hindarkan dari dalam kepalanya
lagi. Yaitu kalau memang dia akan pulang sekali setahun bagaimanakah istrinya,
dibawanyakah atau tidak. Kalau dibawa, kemana si istri itu akan ditumpangkan,
dimana akan ditinggalkan. Kalau dibawa kerumah famili sendiri, adalah itu satu
cela besar, karena bilik untuk saudara laki-laki dengan istrinya tidak ada
dalam rumah di Minangkabau. Akan dibelikan tanah dan diperbuatkan rumah tidak
ada orang yang akan sudi menjual harta tuanya. Yang dapat membeli tanah
hanyalah dikota, sebagai contoh di Padang Panjang, Bukittinggi dan Padang.
Dikampung tidak ada tanah yang dapat dibeli, semuanya kepunyaan suku. Akan
ditegakkan rumah untuk istri di dalam tanah kepunyaan persukuan sendiri, meski
diminta dahulu kesepakatan kaum kerabat selengkapnya, ninik mamak dan
tungganai, ditentukan kedudukkan rumah itu, dipinjamkan atau pemberiankah.
Kalau istri itu meninggal, rumah itu mesti kembali kepada suku. Itu lah sikap
kalau pergaulan itu kekal. Tetapi kalau tidak kekal, perempuan itu boleh keluar
dari rumah itu dengan sebuah bungkusan kecil. Ada pun rumah itu sendiri dan
segala yang berhubungan dengan dia tidak lah menjadi hak milik perempuan itu.
Sebuah lagi yang paling penting ialah kedudukkan di dalam adat seorang
anak muda walaupun kaya raya melimpah-limpah uangnya, penuuh pundi-pundinya,
padat kantongnya dan berpintu-pintu kedainya dirantau orang, namun sekali dalam
selama hidupnya haruslah ia membayar hutang kepada negeri dan kampung
halamannya. Hutang itu bukan emas bertahil dan uang berbilang, tetapi hutang
malu. Namun sekurang-kurangnya sekali selama hidup, hendaknya dia kawin di
kampungnya sendiri. Setelah ada istrinya dikampung, walaupun dia akan kawin
pula sekali lagi, dua atau sepuluh kali lagi di negeri orang, tidak lah dia
akan tercela, sebab dia telah sanggup mendirikan adat dan lembaga, sudah
memakai gelar pusaka yang telah tersedia didalam persukuannnya yang diterima
dari nenek, di turunkan dari mamak kepada kemenakan.
Sekarang adat itu belum dapat di dirikan, dia masih tetap si Leman, belum
berhak memakai gelar sutan Sulaiman, sebab belum kawin di kampung. Kalau dia
hanya tetap beristri orang lain saja, kalau sekiranya dapat anak, dimanakah
nenek anak itu, siapa mamaknya, apa sukunya. Tentu saja anak itu tidak dapat
memakai gelar, sebab dia tidak bersuku. Dia hanya dapat meminjam gelar dari
famili ayahnya “hinggap menumpu, terbang mencerkam”.
Apa lagi ketika tinggal di kampung itu dia banyak sekali mendapat nasehat
yang penting-penting dari kaum kerabatnya yang tua-tua, bahwa seudah sepatutnya
benar dia kawin seorang lagi dikampung, bukankah dia bukan sembarang orang,
harta pun telah ada pula !
Pada suatu malam dia bertandang kerumah kerabatnya yang dekat, disana
perempuan-perempuan telah berkumpul membisikinya, bahwa mereka amat malu, sebab
tidak ada menantu mereka di kampung. Kalau Leman merantau, tidak ada tempat
menyambungkan basa-basi di kampung, karena mertua Leman tak ada. Padahal
menantu itu adalah kemegahan yang paling tinggi di kampung. Terutama bila hari
baik bulan baik, misalnya dibulan hari raya, dibulan haji dan di bulan maulud.
Biasanya perempuan-perepuan muda membawa juadah berbagai ragam kerumah
mertuanya. Cuma mereka saja yang tidak menerima juadah itu, karena menantu
sendiri tidak dikampung dan tidak pulang orang kampung sendiri.
Lantaran bagusnya bujukan mereka, tergengganglah pintu hati yang tadinya
terkunci erat. Leman bertanya : “Bagaimana nasib istri saya yang sekarang,
kalau saya beristri seorang lagi ?”
“Itu pekara gampang, perkara mudah,” jawab mereka. “dia jangan di
ceraikan. Perempuan sebagus itu, seelok itu perangainya, mesti dipegang terus.
Asal saja dia sabar. Tetapi kalau dia tidak sabar, tentu pulang timbangan
kepada dirinya sendiri. Karena orang laki-laki tidak boleh diperintah oleh
orang perempuan. Perlu di ceraikan, tentu di ceraikan”.
“Menceraikan itu lah saya yang takut,” jawab Leman sambil mengeluh menarik
nafas panjang.
“Kami pun tidak mau kalau engkau bercerai dengan dia, karena budi
bahasanya dengan kami sangat elok. Tetapi ada pula yang harus difikirkan. Kalau
kita beristri orang yang bukan orang kampung kita, adalah amat sulit,
kesulitannya di hari tua”. Jawab perempuan-perempuan itu pula. “Dan kalau
engkau bawa dia ke kampung di hari tua mu, dimana dia kau tinggalkan dan kemana
dia akan engkau bawa. Engkau buatkan dia rumah, tidak ada tanah buat dia. Tanah
kita sempit, sawah kita telah banyak di jadikan perumahan, karena tak cukup
tanah. Lagi pula menurut pesan orang tua-tua, apabila dimasukkan orang suku lain
ke dalam pekarangan tanah kita, dia akan kekal dan persukuan kita sendiri akan
punah. Kalau engkau turutkan kemana dia, baik pulang kenegerinya atau sama-sama
tinggal di rantau tentulah engkau hilang larat buat selama-lamanya, terpisah
dari kami. Ini benarlah yang kami rusuhkan”.
Ternyata benar bagaimana sulit keadaan yang di hadapi Leman ketika
mendengarkan perkataan itu. Seorang perempuan yang separo umur melihat
bagaimana kesulitan yang di fikirkan oleh Leman itu. Dia berkata :
“Kesulitan yang kau rasai itu hanyalah sebelum ditempuh. Kalau sudah
ditempuh sudah mudah. Malah kalau sekali beristri muda, engkau akan ingin
beristri sekali lagi, sekali lagi. Sehingga engkau berulang-ulang jadi orang
muda”.
“Saya takut Poniem tidak akan sabar. Rasa-rasa saya lihat bagaimana dia
menguraikan air mata kelak”.
“Itu sudah kebiasaan kami orang perempuan, sebab meskipun segala orang
perempuan di dunia ini menangis dan meratap, namun mereka tidak akan dapat
memaksa orang laki-laki, karena beristri lebih seorang itu kelak aturan agama
kita dan adat kita”.
Leman masih menekur, tetapi muram mukanya sudah berkurang. Gerak-gerik dan
perobahan muka Leman dapat juga di baca oleh perempuan-perempuan itu.
“Kalau suka”, kata seorang perempuan yang agak muda sambil tersenyum;
“Seorang janda muda setahun, yang baru meminta taklik dan mengantarkan
chuluk kepada suaminya yang dahulu, sekarang ada. Kalau kita yang
melanjur-lanjurkan mulut, tentu akan mau ibu bapak dan mamaknya menerima”.
“Mengapa yang janda muda”, kata yang lebih muda dengan wajah sebagai orang
kecewa. Padahal yang gadis gedang ada tiga orang. Si Nursiam anak Sutan
Bagindo, belum juga bertunangan sampai sekarang, si Rohani kemenakan datuk
Panduko baru saja keluar dari sekolah mengaji di Padang Panjang, belum pula
bertunangan; si Mariatun putus pula tunangannya, karena berjanji akan kawin di
Hari Raya, yang perempuan meminta tangguh, sehingga tunangannya mencari gadis
lain. Pendeknya, kalau engkau suka Leman, bukan ayam yang mencari padi tetapi
padi lah yang mengejar ayam”.
Demikian saja percakapan mereka semalam itu. Semalam sebelum dia
berangkat, ketika dia pergi sembahyang magrib ke surau, Sutan Panduko
mengajaknya berbicara empat mata saja. Maksud Sutan Panduko rupanya tidak
berlain dengan maksud perempuan-perempuan yang berbicara dengan dia semalam.
Sutan Panduko membawa pesan dari mamak si Mariatun, yaitu anak perempuan yang
putus pertunangannya itu, karena tunangannya telah mencari gadis yang lain. Dia
hanya sebagai orang perantara saja, kalau Leman suka. Kalau engkau suka, kata
Sutan Panduko, tidaklah akan susah, sebab mamak si Mariatun itu orang berada,
dia akan diperbuatkan rumah, sawahnya cukup, apalagi bukan orang sembarangan
pula. Rupanya tidak kalah dari perempuan-perempuan lain. Sutan Panduko
memperlihatkan potret anak perempuan itu, yang mulai saja dilihat oleh Leman,
hatinya sudah bergerak.
Semua hal itulah yang menimbulkan keraguan Leman ketika dia akan
berangkat. Apalagi, kalau dia sudi, maka perembukkan itu biarlah di sempurnakan
di belakang, setelah dia berangkat. Pada malam pertemuan itu kelihatan benar
bagaimana keraguan Leman hendak menempuh hal itu. Akan di katakan mau, kasihan
kepada Poniem, akan di katakan tidak, kecantikan Mariatun telah
terbayang-bayang dimukanya. Tersenyum-senyum simpul dia ketika Sutan Panduko
memuji-muji gadis itu, bahwa gadis itu akan padan dengan dia, bagaimana apabila
mereka berjalan beriring-iringan, sekupu atau sederajat, sekampung sehalaman
sama-sama muda pula.
Setelah nyata bahwa jeratnya mengena, barulah Sutan Panduko bertanya
“Bagaimana Leman ?”
“Biarlah saya fikir-fikir dulu”.
Apabila dia menjawab “Saya berfikir-fikir dulu”, alamat hatinya telah
kena. Karena kalau dia enggan, pada waktu itu juga dia sudah dapat menjawab
terus terang. Memang timbangan fikiran selalu dikalahkan oleh darah muda.
“Tapi saya harap “fikir” yang memberi harapan, jawab Sutan Panduko pula
dengan jinaknya.
“Bagaimana saya dapat memberi kepastian dengan segera, padahal saya akan
berangkat ?” tanya pula dengan keraguan dan mulai agak menyesal karena mulutnya
telah terdorong memberi harapan.
“Itu kan pekara mudah,” jawab Sutan Panduko.
“Negeri Medan kan tidak sejauh dahulu lagi, ambil kertas, kirimkan surat.
Dalam pada itu, kami orang di rumah menyempurnakan rembukkan ini sampai
sematang-matangnya.”
Ke esokkan harinya pagi-pagi ketika oto akan berangkat itu, dari jauh
kelihatan Sutan Panduko tegak meyisi ditepi jalan. Tidak berapa jauh dari
padanya berdiri seorang perempuan agak tua berdekatan dengan seorang anak gadis
cantik, sehat dan bersih, badannya tegap semampai, matanya besar dan hitam,
alisnya seraut jauh, berdiri melihat orang akan berangkat. Sutan Panduko
menunggu bila Leman akan melihat kepadanya. Ketika Leman melihat kepadanya,
mulutnya di ulurkannya kemuka dan matanya di sendengkannya kepada anak gadis
yang berdiri tidak jauh daripadanya itu. Dia memberi isyarat kepada Leman,
bahwa itulah Mariatun, Leman melihat kesana, pandang bertemu pandang, dada
berdebar dan dia gugup, gadis itu tertekur dan tak kuat memandang mata Leman.
Itulah yang meragukan hati Leman. Dia memang sayang kepada Poniem. Tetapi
ia, wajah Mariatun telah terbayang-bayang di ruang matanya. Muda-mudahan
sekali. Lagi pula, bukan dia tidak sayang kepada Poniem. Iya, lagi pula, wahai,
alangkah beruntungnya beristri muda seorang lagi istri perawan pula, padahal
dia belum pernah beristri perawan. Bukan itu, bukan memikirkan pekara perawan,
yang lebih penting ialah supaya beroleh anak, sebab belum pernah beranak. Dan
alangkah senangnya jika Mariatun itu di suruh memakai pakaian yang bagus-bagus,
di beri slop tinggi tumit, dibelikan gelang dan subang. Dan bukan itu dia orang
kampung sendiri. “Wahai, kulitnya putih, kuning, tumitnya merah ditinjakkannya,
jauh lebih cantik dari Poniem, bulat penuh mukanya, meskipun Poniem cantik juga,
sayang telah agak tua, mukanya telah agak keriput. Kasihan Poniem, sudah hampir
lima tahun bergaul tetapi kalau jadi saya kawin dengan Mariatun, Poniem tidak
akan saya ceraikan, jasanya kepada saya telah banyak. Tetapi kalau dia mencoba
hendak membantah, hendak menghukum saya,
itu lain pekara Ia di buang, habis perkara”.
Perasaan-perasaan demikianlah yang selalu berpegang dalam hatinya sejak
dia kembali dari kampung, hingga Poniem sendiri merasa heran melihat perobahan
tabiat suaminya. Perempuan yang malang itu menyangka bahwa dia masih berhak,
mendapat kemenangan, dia masih menyangka bahwa kedudukkannya masih baik dan
kukuh, dia tidak tahu bahwa dari kiri kanan orang sedang mengatur kepungan
hendak menjatuhkan kedaulatannya. Kesetiaannya kepada suaminya sejak kembali
dari kampung, boleh dikatakan berlebih daripada yang sudah-sudah, dia bertambah
setia, nasi terhidang pada waktunya, sambal enak dan mukanya manis. Sekarang
berkudung, sebab dilihatnya di negeri Leman orang perempuan semuanya memakai
tutup kepala, sembahyangnya sudah lebih taat…. …….
Kasihan……………!
Dalam mengalami peperangan yang hebat dalam hatinya itu, di antara akan
menduakan istri dan akan tetap beristri satu, akan berhubungan dengan kampung
kembali atau diputuskan buat selama-lamanya, lalu membeli tanah saja di
perantauan, sedang dalam keraguan yang demikian, datanglah sepucuk surat dari
kampung.
Isi surat itu rupanya meminta keterangan dari dirinya sendiri, sukakah dia
melangsungkan perkawinan itu apa tidak. Karena rupanya sepeninggalannya, rembukkan
itu telah dilangsungkan antara familinya dengan Sutan Panduko. Orang telah
bekerja keras di belakang. Di dalam surat itu dia di desak, sebab mereka merasa
malu sebelum “putus dengan yang dahulu, sebelum ada hubungan yang baru, jatuh
belum bersambut”. Kalau sekiranya Leman mau, maka dia tiada perlu pulang, sebab
memang amat berat ongkos pulang. Cukup kalau perempuan itu diantarkan saja
orang ke rantau, ke Deli. Dengan jalan demikian tentu ongkos-ongkos perkawinan
akan dapat diringankan. Tetapi kalau Leman bertangguh, tentu anak perempuan itu
lepas ketangan orang lain. Bukan saja famili yang dikampung yang merasa malu
kalau hal itu terjadi, melainkan Leman sendiri yang akan rugi. Karena keadaan
Mariatun bertemu ruas dengan buku. Apalagi mamak-mamaknya, kaum kerabat, yang
jauh dan yang dekat, sudah tersebut juga orang-orang yang baik basa.
Pendeknya……..pendeknya, tidak ada yang kurang !
Setelah selesai membaca suratitu, terbang pulalah kembali di ruang matanya
wajah gadis cantik yang berdiri di dekat oto ketika dia akan berangkat itu.
Badan penuh, dada bidang, tinggi semampai, kalau itu dikenangnya, dia lupa akan
pekerjaannya, lupa akan perniagaannya. Dia hanya rintang mengantang asap,
memandang langit, memikir-mikirkan keberuntungan di zaman yang akan datang.
Kalau dia tengah berfikir itu, perniagaan sudah di serahkannya saja kepada anak
semangnya yang setia itu, Suyono. Akan hilang akan menungnya apabila di
kejutkan oleh Poneim bahwa nasi telah terhidang. Dan sedang dia makan itu,
walaupun ditegur bagaimana, jawabannya hanya satu-satu saja, sebab fikirannya
kepada yang lain………….. kepada yang jauh……… Pendeknya, sejak kembali dari
kampung dan di datangi pula oleh sepucuk surat itu dia gelisah saja, tidurnya
tidak senang lagi, dan tidurnya usik. Sehingga sudah pernah Poniem cemas,
kalau-kalau suaminya di timpa sakit.
“Sakitkah Abang ?” tanya Poniem pada suatu sore.
“Memang kurang sehat”, jawab Leman. Poniem lalu mengambil uang sen sebuah,
di “kerok”nya lemusir suaminya, diambilnya limau kapas, di belah duanya, kedua
belahnya di lumarinya dengan minyak cap macan, di gosokkannya ke kening Leman.
Kelihatan pada wajahnya bagaimana cintanya terhadap suaminya. Tetapi Leman kian
lama kian bingung saja.
Pada suatu malam, kira-kira sudah pukul dua belas, Poniem telah tidur
dengan nyenyaknya, tetapi Leman masih membalik kekiri membalik kekanan,
kadang-kadang dia menghadap saja ke atap sambil berfikir. Rupanya peperangan
fikirannya pada malam itu sangat hebatnya. Dia lihatnya istrinya tenang-tenang,
maka timbullah iba kasihannya memikirkan perempuan yang tiada berpelindung itu,
dia tengah tidur nyenyak, dengan penuh kepercayaanng akan keselamatan dirinya. Sesaat kemudian dia
memandang pula ke atas, maka lupalah dia kepada perempuan yang tidur
disampingnya itu, terbayang pula kembali keindahan hidup yang akan datang,
duduk bersanding dengan perempuan yang lebih cantik, lebih celita. Tiba-tiba
dengan diam-diam, dia bangkit dari tempat tidurnya, dia pergi kemeja tulis dan
dibesarkannya lampu. Di ambilnya pulpen dari sakunya, dia ambilnya kertas dan
dimulianya membuat sepucuk surat. Asik sekali dia menulis. Setelah kira-kira
lima belas menit lamanya menulis, terbangunlah istrinya sebentar. Sayang
perempuan itu tak tahu tulis baca. Dia bertanya : “Apakah yang Abang buat
tengah malam ini ? masih mencatat jual beli jugakah ?”
“Iya,” jawabnya : “Pekerjaan siang hari tadi terbengkalai”.
“Lebih baik lekas tidur, sempurnakan saja pekerjaan itu besok,” ujar
Poniem pula.
“Ah, Cuma tinggal sedikit,” jawab Leman pula dengan senangnya.
Poniem diam tidak menjawab lagi, dia telah kembali kepada tidurnya yang
nyenyak.
Isi surat itu tidak lain ialah membalas dan mengabulkan permintaan orang
di kampung. Dengan menulis surat itulah menurut fikirannya baru akan terobat
detak detik jantung yang telah berhari berpekan itu yang menyebab dia tidak mau
tidur. Setelah selesai dibuatnyalah addres di amplopnya lalu di simpan
baik-baik masuk sakunya. Dia pun tidurlah kembali.
Ke esokkan harinya pagi-pagi dengan tergesa-gesa di antarkannya lah surat
itu ke Pos. aneh sekali, kerap kali benar dia menoleh kebelakang. Dia merasa
was-was. Merasa menyesal memasukkan surat itu kedalam Bis Surat. Teringat dia
kembali bagaimana sulitnya hal yang akan ditempuhnya. Bagaimanakah nanti kalau
jadi perempuan itu dibawa orang kepadanya, jika jadi perempuan itu datang ke
Deli. Bagaimanakah kelak caranya dia menyampaikan hal itu kepada istrinya yang
tua ?. Kalau Poniem keras kepala, pelawan, tentu hal itu mudah saja. Tetapi
tidak, Poniem akur, patuh, tak penyanggah, menurut saja apa kemauannya.
Bagaimankah kelak dia menyusun perkataan untuk perempuan yang malang itu ? Yang
kedua, dimanakah kelak istri yang muda itu akan di tempatkannya ? Akan
disewakan rumah lainkah ? Siapa yang akan ditempatkan dirumah itu ? Istri
tuakah atau yang muda ? Akan di serumahkan kah ? Tidak kah akan berkelahi jika
serumah ?
“Ah,” kata hatinya, untuk menghapus segala was-was yang timbul itu.
“Dimana tumbuh, diwaktu itulah di siangi habis pekara !”
Sehari surat itu di kirimkan, adalah waktu pergi ke Medan untuk membeli
barang-barang baru dan membayar hutang-hutang lama kepada toko tempatnya
berhutang. Orang-orang gajian telah disuruhnya pergi berjaja. Suyono tinggal di
kedai, karena dia lah yang dipercaya memegang tas. Poniem bekerja sebagaimana
bisa. Dia sendiri terus berangkat ke Medan. Tiba-tiba bertemulah dia dengan
sahabat lamanya Bagindo Kayo.
Dia terkejut : “Hai, mak Bagindo Kayo, sudah amat lama kita tidak bertemu,
dimana mamak berniaga selama ini ?”
“Saya baru saja kembali ke Deli, sudah lebih lima tahun tanah Deli saya
tinggalkan, saya coba berniaga ke Lampung, karena kata orang di sana lebih
bagus menunggu musim Lada. Tetapi akhirnya Deli, tidaklah dapat dilupakan
selama hidup,” sekali terminum air sungai Deli tak terlupakan lagi selama hidup”,
ujar Bagindo Kayo pula dengan tenang sambil tersenyum.
“Dan engkau dimana sekarang ? tidakkah kembali ketempat yang lama ? Apa
kabar tentang istrimu itu….. Poniem, masihkah engkau dengan dia ?”
“Masih, sampai sekarang saya masih dengan dia”, jawab Leman, tetapi
mukanya agak muram.
“Sudah beranak ?” tanya Bagindo kayo sambil menentang mata Leman.
“Ada-ada saja tanya mamak,” sambil menepuk punggung Bagindo Kayo sambil
tersenyum.
“He…? Itu perlu juga saya tanyakan, bukan ? bukankah anak itu buah hati
pengarang jantung, pateri berumah tangga ?”
“Nantilah saya jawab, marilah kita pergi minum kopi dahulu ke kedai itu,”
jawab Leman.
Mereka pun pergilah ke kedai kopi. Banyaklah “obrolan” tentang hal yang
dulu-dulu, tentang perniagaan, zaman sekarang, kabar kampung dan lain-lain,
yang di perkatakan sambil minum. “Air apabila sudah terlalu penuh, melimpahlah
dia,” maka demikianlah pula perasaan Leman. Dengan sangat girang dan muka
berseri-seri dimulainyalah mengatakan perasaan hatinya.
“Tadi mamak bertanya, apakah saya telah beranak dengan Poniem, belum lagi
saya jawab. Syukur juga hal itu mamak tanyakan. Sebetulnya sudah lebih lima
tahun bergaul hingga sekarang, Poniem belum juga beranak”.
“Sebab itu ?” tanya Bagindo Kayo sebagai membaca perkataan yang masih tersimpan
dalam hati, belum lagi keluar ke mulut, tetapi dia sudah seperti tahu.
“Baru-baru ini kami sudah pulang bersama-sama menemui famili. Orang
kampung semuanya tidak ada yang tidak menyetujui perkawinan saya dengan Poniem,
meskipun dia bukan orang kampung kita. Cuma itu saja yang mendukakan hati
mereka, yaitu karena Poniem tiada beranak”.
“Sebab itu orang kampung tidak saja merasa berduka, tetapi merasa tidak
senang hati bukan ?” tanya Bagindo Kayo. “Dan engkau akan di suruh beristri
seorang lagi ?”
“Dimana mamak tahu,” tanya Leman keheranan.
“Iya, saya sudah tahu, sudah memang begitu mestinya. Mereka susah kalau
engkau tidak ber istri seorang lagi di kampung”.
“Memang, apa yang mamak katakan itu benar. Saya sudah di desak orang
supaya kawin seorang lagi, orang kampung kita sendiri”.
“Mau kah engkau” tanya Bagindo Kayo.
“Bagaimana pertimbangan mamak ?”
“Dalam perkawinan tidaklah boleh memintak pertimbangan dengan orang lain.
Kalau tidak setuju dengan bunyi suara hati kecil kita, tentu tidak juga akan
kita turutkan. Hanya suara hati kita juga yang akan kita turuti”.
“Tidak, kalau sekiranya mamak tidak setuju dengan alasan yang cukup, tentu
saya tidak akan melangsungkan,” kata Leman.
“Saya tak percaya mulut mu, Leman ! dahulu ketika engkau akan membawa
Poniem pergi nikah saya beri nasehat supaya jangan engkau langsungkan, tetapi
engkau langsungkan juga. Sekarang, kalau saya nyatakan fikiran saya, tidak juga
akan engkau ikut, saya percaya !”
“Apa fikiran mamak ?” tanya Leman.
“Pendirian saya yang sejati, saya tidak akur engkau kawin lagi. Walau
tidak ber anak, walaupun yang akan menjadi istrimu itu orang kampung kita.
Sebab kalau engkau telah beristri dengan orang kampung kita, tentu saja yang
lebih muda, lebih cantik, perawan bukan ?” tanya Bagindo Kayo.
“Iya, perawan !” jawab Leman sambil menghirup kopinya tersenyum.
“Perawan dan sekampung pula lagi. Saya percaya, Poniem akan engkau
buangkan, akan engkau campakkan. Ada-ada saja nanti alasan mu untuk membuangkan
perempuan itu”.
“Tidak mamak, masakkan dia akan saya buangkan ! padahal jasanya terlalu
banyak terhadap saya. Bukankah dia yang mengeluarkan saya dari lembah
kemiskinan ? Bukankah karena pertolongannya maka saya bisa jadi begini,
sehingga sudah dapat membantu kekampung ?”
“Itu hanya bicara mu sekarang, Leman. Yakni ketika fikiran mu masih
tenang. Engkau hanya seorang manusia, umur mu masih muda pula. Bagaimana
fikiran mu akan tenang kelak kalau di hadapan mu berdiri dua orang perempuan,
yang seorang kulitnya masih halus dan kuning, rupanya cantik, sekampung
sehalaman, sedang yang seorang lagi sudah agak tua, sudah lama engkau pakai,
tak beranak, tak berkaum berfamili, dan orang lain pula”.
“Saya sayang dan hiba kepadanya, mamak !”
“Itu Cuma kata mu sekarang”, jawab Bagindo Kayo pula. Leman termenung
mendengarnya.
“Kalau engkau jadi beristri seorang lagi leman, percayalah perkataan ku,
engkau akan menyesal kelak. Karena engkau bangsa orang yang tak tahan hati,
engkau belum tahu tipu daya perempuan. Salah satu dari dua jalan akan engkau
tempuh. Pertama, selama hidup engkau pegang kedua perempuan itu, tetapi hatimu
menyesal. Sebabnya ialah yang tua engkau kasihani, tetapi yang muda engkau
sayangi. Antara kasihan dan sayang jauh bedanya. Yang ke Dua, engkau ceraikan
salah satu karena tak tertanggung. Saya jamin dari sekarang, bahwa yang akan
engkau ceraikan itu adalah yang tua, Poniem. Sebab engkau menceraikan dia,
barulah terlepas dari beban yang berat”.
Di hirupnya pula kopinya sehirup, di patahkannya kue bolu dan dia pun
meneruskan bicaranya pula :
“Tentu Poniem yang akan kau ceraikan, sulit menceraikan yang muda”.
“Tetapi bukan saja saya kasihan kepada Poniem, saya pun cinta kepadanya”.
“Engkau bohong !” jawab Bagindo Kayo.
“Kalau memang engkau cinta kepada perempuan yang melarat itu yang hanya
engkau ibarat se utas tali tempatnya bergantung, hanya engkau ayah ibunya,
engkau hanya familinya, tentu dia tidak akan engkau duakan dengan yang lain,
tentu hatinya tidak akan engkau tikam”.
“Tetapi bagaimana dengan famili ? tentu kita tidak dapat bercerai dengan
famili”. Tanya Leman pula.
“Ah, jawab mu hanya menginginkan tempat jatuh saja Leman. Sekarang orang
merasa berfamili dengan engkau, yakni setelah engkau berada, beruang. Dahulu
orang tidak ingat engkau. Dahulu famili mu hanya Poniem sendiri saja, engkau
jatuh dia yang menyambut, engkau karam dia yang menyelami”.
“Sungguh mamak, saya cinta terhadap Poniem”.
“Kalau engkau cinta terhadap perempuan itu, tentu tidak engkau duai dengan
yang lain, bukankah tadi sudah saya tanyakan ? Kalau engkau cinta kepada
Poniem, engkau beranikan hatimu, engkau beli tanah di rantau, engkau perbuat
rumah. Kalau engkau mati dahulu daripadanya, maka harta itu bulat ke tangannya,
karena saudara mu yang kandung tidak ada lagi. Dan kalau dia mati dahulu, harta
itu pula ke tangan mu, boleh engkau bawa pulang ke kampung, berikan sanak
saudara yang akan mengatakan engkau mamaknya, atau kemenakannya, karena engkau
sudah berharta”.
“Jadi bagaimana dengan kehendak famili itu ?” tanya Leman.
“Famili hanya berkehendak saja, yang akan mengemudikan rumah tangga mu
bukan mereka, tetapi engkau sendiri. Engkau akan kembali hidup di rantau, jauh
dari pelupuk mata mereka. Mereka hanya pandai meluncurkan engkau kedalam lembah
kesusahan. Kalau ada harta mu kirimkan pulang, belikan sawah, lekatkan kerumah,
semuanya untuk mereka, umur mu habiskan di rantau, setelah tua pulanglah supaya
dilekatkan dengan orang di surau buruk. Sudah begitu adat, sudah begitu
lembaga, apalagi ! Mestinya engkau sudah terlepas dari mereka kehidupan mu di
hari tua lantaran beristrikan Poniem, sekarang engkau hendak mencari penyakit
mu sendiri. Hati mu kalau engkau beristri seorang lagi tidak akan tetap lagi,
bertambah soal yang akan engkau fikirkan sebuah lagi, yaitu menjaga perhubungan
istri mu di dalam rumah. Tetapi bukan macam mu ini orang yang akan teguh yang
menghadapi itu. Letak kanlah teguh, syukurlah kalau teguh, tetapi sesal tak
hilang dari hatimu. Itu lah sebabnya maka dahulu saya halangi engkau
beristrikan Poniem, saya kalangkan leher, karena saya tahu akibat yang akan engkau
hadapi sekarang”.
“Tidak kah engkau fikirkan sampai pada urusan dia tidak akan beranak itu
waktu dia akan engkau nikahi ? tidak kah engkau fikirkan bahwa
perempuan-perempuan kebun itu memang tak dapat beranak lagi, kalau sudah banyak
suaminya yang lain ? sekarang baru engkau ingat akan hal itu, setelah perempuan
itu taubat dalam tangan mu, telah menjadi orang baik-baik. Cobalah fikirkan,
bagaimana perbuatan mu itu namanya, Leman ?” Leman termenung dan menggelengkan
kepala. Perkataan-perkataan itu termakan rupanya.
“Bagaimana ?” tanya Bagindo Kayo pula.
“Sayang…… surat sudah terkirim mengabulkan pintaknya orang di rumah.”
Bagindo Kayo terkejut mendengarnya.
“Sudah lamakah surat itu engkau kirimkan ?”
“Kira-kira sudahlah akan sampai di kampung”, jawab Leman.
“Kalau memang hati mu enggan beristri seorang lagi, itu pekara gampang.
Sebab tali kawat antara Medan dan Minangkabau belum diputuskan angin”, jawab
Bagindo Kayo pula.
Leman kembali termenung.
Melihat wajah Leman dia sendiri yang berkehendak rupanya beristri seorang
lagi itu, sedang dia meminta buah fikiran kepadanya hanya karena memperlihatkan
hati yang meluap saja, Bagindo Kayo pun mengalih pembicaraan ke soal lain. Dia
tersenyum sambil menepuk punggung Leman pengobat hatinya :
“Ah…… perkara gampang. Perkataan saya Cuma olok-olok saja. Beristri satu
lagi, habis pekara ! mudah-mudahan dapat anak Heem….. dan memang Poniem sudah
agak tua. Lagi pula kalau dia fikirkan panjang sebagai perkataan saya itu,
tidak ada orang beristri dua di dunia ini, akhirnya banyak perempuan yang
terlantar…! Serahkan saja kepada Tuhan, habis pekara !
Harga kopi dihitung dan dibayar oleh Leman, mereka pun keluarlah dari
situ.