VII. ANGIN BERKISAR


S
ANGAT banyak perobahan fikirannya sejak balik dari kampung. Banyak hal-hal yang selama ini tidak diperhatikannya, sekarang telah menarik fikirannya. Pertama ialah perhubungan famili yang rapat itu, sebab anak minangkabau tidak dapat mengeluarkan dirinya dari lingkungan kerabat. “suku tidak dapat dialih, malu tidak dapat dibagi”, demikian tersebut dalam pepatah adat. 

Oleh sebab itu, walaupun dimana dia beristri dan walaupun siapa istrinya itu, walau bangsa apa, “setinggi-tinggi melambung akan jatuh ketanah jua”. Sekali dalam setahun sekurangnya perlulah pulang ke kampung, memperkuat tali kasih sayang dengan famili. Yang paling teringat olehnya ialah kesulitan perhubungan dengan istrinya sekarang. Dahulu hal itu belum teringat, tetapi sekarang telah menjadi fikiran yang tak dapat di hindarkan dari dalam kepalanya lagi. Yaitu kalau memang dia akan pulang sekali setahun bagaimanakah istrinya, dibawanyakah atau tidak. Kalau dibawa, kemana si istri itu akan ditumpangkan, dimana akan ditinggalkan. Kalau dibawa kerumah famili sendiri, adalah itu satu cela besar, karena bilik untuk saudara laki-laki dengan istrinya tidak ada dalam rumah di Minangkabau. Akan dibelikan tanah dan diperbuatkan rumah tidak ada orang yang akan sudi menjual harta tuanya. Yang dapat membeli tanah hanyalah dikota, sebagai contoh di Padang Panjang, Bukittinggi dan Padang. Dikampung tidak ada tanah yang dapat dibeli, semuanya kepunyaan suku. Akan ditegakkan rumah untuk istri di dalam tanah kepunyaan persukuan sendiri, meski diminta dahulu kesepakatan kaum kerabat selengkapnya, ninik mamak dan tungganai, ditentukan kedudukkan rumah itu, dipinjamkan atau pemberiankah. Kalau istri itu meninggal, rumah itu mesti kembali kepada suku. Itu lah sikap kalau pergaulan itu kekal. Tetapi kalau tidak kekal, perempuan itu boleh keluar dari rumah itu dengan sebuah bungkusan kecil. Ada pun rumah itu sendiri dan segala yang berhubungan dengan dia tidak lah menjadi hak milik perempuan itu. 

Sebuah lagi yang paling penting ialah kedudukkan di dalam adat seorang anak muda walaupun kaya raya melimpah-limpah uangnya, penuuh pundi-pundinya, padat kantongnya dan berpintu-pintu kedainya dirantau orang, namun sekali dalam selama hidupnya haruslah ia membayar hutang kepada negeri dan kampung halamannya. Hutang itu bukan emas bertahil dan uang berbilang, tetapi hutang malu. Namun sekurang-kurangnya sekali selama hidup, hendaknya dia kawin di kampungnya sendiri. Setelah ada istrinya dikampung, walaupun dia akan kawin pula sekali lagi, dua atau sepuluh kali lagi di negeri orang, tidak lah dia akan tercela, sebab dia telah sanggup mendirikan adat dan lembaga, sudah memakai gelar pusaka yang telah tersedia didalam persukuannnya yang diterima dari nenek, di turunkan dari mamak kepada kemenakan.

Sekarang adat itu belum dapat di dirikan, dia masih tetap si Leman, belum berhak memakai gelar sutan Sulaiman, sebab belum kawin di kampung. Kalau dia hanya tetap beristri orang lain saja, kalau sekiranya dapat anak, dimanakah nenek anak itu, siapa mamaknya, apa sukunya. Tentu saja anak itu tidak dapat memakai gelar, sebab dia tidak bersuku. Dia hanya dapat meminjam gelar dari famili ayahnya “hinggap menumpu, terbang mencerkam”.

Apa lagi ketika tinggal di kampung itu dia banyak sekali mendapat nasehat yang penting-penting dari kaum kerabatnya yang tua-tua, bahwa seudah sepatutnya benar dia kawin seorang lagi dikampung, bukankah dia bukan sembarang orang, harta pun telah ada pula !

Pada suatu malam dia bertandang kerumah kerabatnya yang dekat, disana perempuan-perempuan telah berkumpul membisikinya, bahwa mereka amat malu, sebab tidak ada menantu mereka di kampung. Kalau Leman merantau, tidak ada tempat menyambungkan basa-basi di kampung, karena mertua Leman tak ada. Padahal menantu itu adalah kemegahan yang paling tinggi di kampung. Terutama bila hari baik bulan baik, misalnya dibulan hari raya, dibulan haji dan di bulan maulud. Biasanya perempuan-perepuan muda membawa juadah berbagai ragam kerumah mertuanya. Cuma mereka saja yang tidak menerima juadah itu, karena menantu sendiri tidak dikampung dan tidak pulang orang kampung sendiri.

Lantaran bagusnya bujukan mereka, tergengganglah pintu hati yang tadinya terkunci erat. Leman bertanya : “Bagaimana nasib istri saya yang sekarang, kalau saya beristri seorang lagi ?”

“Itu pekara gampang, perkara mudah,” jawab mereka. “dia jangan di ceraikan. Perempuan sebagus itu, seelok itu perangainya, mesti dipegang terus. Asal saja dia sabar. Tetapi kalau dia tidak sabar, tentu pulang timbangan kepada dirinya sendiri. Karena orang laki-laki tidak boleh diperintah oleh orang perempuan. Perlu di ceraikan, tentu di ceraikan”.

“Menceraikan itu lah saya yang takut,” jawab Leman sambil mengeluh menarik nafas panjang.

“Kami pun tidak mau kalau engkau bercerai dengan dia, karena budi bahasanya dengan kami sangat elok. Tetapi ada pula yang harus difikirkan. Kalau kita beristri orang yang bukan orang kampung kita, adalah amat sulit, kesulitannya di hari tua”. Jawab perempuan-perempuan itu pula. “Dan kalau engkau bawa dia ke kampung di hari tua mu, dimana dia kau tinggalkan dan kemana dia akan engkau bawa. Engkau buatkan dia rumah, tidak ada tanah buat dia. Tanah kita sempit, sawah kita telah banyak di jadikan perumahan, karena tak cukup tanah. Lagi pula menurut pesan orang tua-tua, apabila dimasukkan orang suku lain ke dalam pekarangan tanah kita, dia akan kekal dan persukuan kita sendiri akan punah. Kalau engkau turutkan kemana dia, baik pulang kenegerinya atau sama-sama tinggal di rantau tentulah engkau hilang larat buat selama-lamanya, terpisah dari kami. Ini benarlah yang kami rusuhkan”.

Ternyata benar bagaimana sulit keadaan yang di hadapi Leman ketika mendengarkan perkataan itu. Seorang perempuan yang separo umur melihat bagaimana kesulitan yang di fikirkan oleh Leman itu. Dia berkata : 

“Kesulitan yang kau rasai itu hanyalah sebelum ditempuh. Kalau sudah ditempuh sudah mudah. Malah kalau sekali beristri muda, engkau akan ingin beristri sekali lagi, sekali lagi. Sehingga engkau berulang-ulang jadi orang muda”.

“Saya takut Poniem tidak akan sabar. Rasa-rasa saya lihat bagaimana dia menguraikan air mata kelak”.

“Itu sudah kebiasaan kami orang perempuan, sebab meskipun segala orang perempuan di dunia ini menangis dan meratap, namun mereka tidak akan dapat memaksa orang laki-laki, karena beristri lebih seorang itu kelak aturan agama kita dan adat kita”.

Leman masih menekur, tetapi muram mukanya sudah berkurang. Gerak-gerik dan perobahan muka Leman dapat juga di baca oleh perempuan-perempuan itu.

“Kalau suka”, kata seorang perempuan yang agak muda sambil tersenyum;

“Seorang janda muda setahun, yang baru meminta taklik dan mengantarkan chuluk kepada suaminya yang dahulu, sekarang ada. Kalau kita yang melanjur-lanjurkan mulut, tentu akan mau ibu bapak dan mamaknya menerima”.

“Mengapa yang janda muda”, kata yang lebih muda dengan wajah sebagai orang kecewa. Padahal yang gadis gedang ada tiga orang. Si Nursiam anak Sutan Bagindo, belum juga bertunangan sampai sekarang, si Rohani kemenakan datuk Panduko baru saja keluar dari sekolah mengaji di Padang Panjang, belum pula bertunangan; si Mariatun putus pula tunangannya, karena berjanji akan kawin di Hari Raya, yang perempuan meminta tangguh, sehingga tunangannya mencari gadis lain. Pendeknya, kalau engkau suka Leman, bukan ayam yang mencari padi tetapi padi lah yang mengejar ayam”. 

Demikian saja percakapan mereka semalam itu. Semalam sebelum dia berangkat, ketika dia pergi sembahyang magrib ke surau, Sutan Panduko mengajaknya berbicara empat mata saja. Maksud Sutan Panduko rupanya tidak berlain dengan maksud perempuan-perempuan yang berbicara dengan dia semalam. Sutan Panduko membawa pesan dari mamak si Mariatun, yaitu anak perempuan yang putus pertunangannya itu, karena tunangannya telah mencari gadis yang lain. Dia hanya sebagai orang perantara saja, kalau Leman suka. Kalau engkau suka, kata Sutan Panduko, tidaklah akan susah, sebab mamak si Mariatun itu orang berada, dia akan diperbuatkan rumah, sawahnya cukup, apalagi bukan orang sembarangan pula. Rupanya tidak kalah dari perempuan-perempuan lain. Sutan Panduko memperlihatkan potret anak perempuan itu, yang mulai saja dilihat oleh Leman, hatinya sudah bergerak.

Semua hal itulah yang menimbulkan keraguan Leman ketika dia akan berangkat. Apalagi, kalau dia sudi, maka perembukkan itu biarlah di sempurnakan di belakang, setelah dia berangkat. Pada malam pertemuan itu kelihatan benar bagaimana keraguan Leman hendak menempuh hal itu. Akan di katakan mau, kasihan kepada Poniem, akan di katakan tidak, kecantikan Mariatun telah terbayang-bayang dimukanya. Tersenyum-senyum simpul dia ketika Sutan Panduko memuji-muji gadis itu, bahwa gadis itu akan padan dengan dia, bagaimana apabila mereka berjalan beriring-iringan, sekupu atau sederajat, sekampung sehalaman sama-sama muda pula.

Setelah nyata bahwa jeratnya mengena, barulah Sutan Panduko bertanya “Bagaimana Leman ?”
“Biarlah saya fikir-fikir dulu”.

Apabila dia menjawab “Saya berfikir-fikir dulu”, alamat hatinya telah kena. Karena kalau dia enggan, pada waktu itu juga dia sudah dapat menjawab terus terang. Memang timbangan fikiran selalu dikalahkan oleh darah muda. 

“Tapi saya harap “fikir” yang memberi harapan, jawab Sutan Panduko pula dengan jinaknya.

“Bagaimana saya dapat memberi kepastian dengan segera, padahal saya akan berangkat ?” tanya pula dengan keraguan dan mulai agak menyesal karena mulutnya telah terdorong memberi harapan. 

“Itu kan pekara mudah,” jawab Sutan Panduko.

“Negeri Medan kan tidak sejauh dahulu lagi, ambil kertas, kirimkan surat. Dalam pada itu, kami orang di rumah menyempurnakan rembukkan ini sampai sematang-matangnya.”

Ke esokkan harinya pagi-pagi ketika oto akan berangkat itu, dari jauh kelihatan Sutan Panduko tegak meyisi ditepi jalan. Tidak berapa jauh dari padanya berdiri seorang perempuan agak tua berdekatan dengan seorang anak gadis cantik, sehat dan bersih, badannya tegap semampai, matanya besar dan hitam, alisnya seraut jauh, berdiri melihat orang akan berangkat. Sutan Panduko menunggu bila Leman akan melihat kepadanya. Ketika Leman melihat kepadanya, mulutnya di ulurkannya kemuka dan matanya di sendengkannya kepada anak gadis yang berdiri tidak jauh daripadanya itu. Dia memberi isyarat kepada Leman, bahwa itulah Mariatun, Leman melihat kesana, pandang bertemu pandang, dada berdebar dan dia gugup, gadis itu tertekur dan tak kuat memandang mata Leman.

Itulah yang meragukan hati Leman. Dia memang sayang kepada Poniem. Tetapi ia, wajah Mariatun telah terbayang-bayang di ruang matanya. Muda-mudahan sekali. Lagi pula, bukan dia tidak sayang kepada Poniem. Iya, lagi pula, wahai, alangkah beruntungnya beristri muda seorang lagi istri perawan pula, padahal dia belum pernah beristri perawan. Bukan itu, bukan memikirkan pekara perawan, yang lebih penting ialah supaya beroleh anak, sebab belum pernah beranak. Dan alangkah senangnya jika Mariatun itu di suruh memakai pakaian yang bagus-bagus, di beri slop tinggi tumit, dibelikan gelang dan subang. Dan bukan itu dia orang kampung sendiri. “Wahai, kulitnya putih, kuning, tumitnya merah ditinjakkannya, jauh lebih cantik dari Poniem, bulat penuh mukanya, meskipun Poniem cantik juga, sayang telah agak tua, mukanya telah agak keriput. Kasihan Poniem, sudah hampir lima tahun bergaul tetapi kalau jadi saya kawin dengan Mariatun, Poniem tidak akan saya ceraikan, jasanya kepada saya telah banyak. Tetapi kalau dia mencoba hendak membantah, hendak  menghukum saya, itu lain pekara Ia di buang, habis perkara”.

Perasaan-perasaan demikianlah yang selalu berpegang dalam hatinya sejak dia kembali dari kampung, hingga Poniem sendiri merasa heran melihat perobahan tabiat suaminya. Perempuan yang malang itu menyangka bahwa dia masih berhak, mendapat kemenangan, dia masih menyangka bahwa kedudukkannya masih baik dan kukuh, dia tidak tahu bahwa dari kiri kanan orang sedang mengatur kepungan hendak menjatuhkan kedaulatannya. Kesetiaannya kepada suaminya sejak kembali dari kampung, boleh dikatakan berlebih daripada yang sudah-sudah, dia bertambah setia, nasi terhidang pada waktunya, sambal enak dan mukanya manis. Sekarang berkudung, sebab dilihatnya di negeri Leman orang perempuan semuanya memakai tutup kepala, sembahyangnya sudah lebih taat…. …….

Kasihan……………!

Dalam mengalami peperangan yang hebat dalam hatinya itu, di antara akan menduakan istri dan akan tetap beristri satu, akan berhubungan dengan kampung kembali atau diputuskan buat selama-lamanya, lalu membeli tanah saja di perantauan, sedang dalam keraguan yang demikian, datanglah sepucuk surat dari kampung.

Isi surat itu rupanya meminta keterangan dari dirinya sendiri, sukakah dia melangsungkan perkawinan itu apa tidak. Karena rupanya sepeninggalannya, rembukkan itu telah dilangsungkan antara familinya dengan Sutan Panduko. Orang telah bekerja keras di belakang. Di dalam surat itu dia di desak, sebab mereka merasa malu sebelum “putus dengan yang dahulu, sebelum ada hubungan yang baru, jatuh belum bersambut”. Kalau sekiranya Leman mau, maka dia tiada perlu pulang, sebab memang amat berat ongkos pulang. Cukup kalau perempuan itu diantarkan saja orang ke rantau, ke Deli. Dengan jalan demikian tentu ongkos-ongkos perkawinan akan dapat diringankan. Tetapi kalau Leman bertangguh, tentu anak perempuan itu lepas ketangan orang lain. Bukan saja famili yang dikampung yang merasa malu kalau hal itu terjadi, melainkan Leman sendiri yang akan rugi. Karena keadaan Mariatun bertemu ruas dengan buku. Apalagi mamak-mamaknya, kaum kerabat, yang jauh dan yang dekat, sudah tersebut juga orang-orang yang baik basa. Pendeknya……..pendeknya, tidak ada yang kurang !

Setelah selesai membaca suratitu, terbang pulalah kembali di ruang matanya wajah gadis cantik yang berdiri di dekat oto ketika dia akan berangkat itu. Badan penuh, dada bidang, tinggi semampai, kalau itu dikenangnya, dia lupa akan pekerjaannya, lupa akan perniagaannya. Dia hanya rintang mengantang asap, memandang langit, memikir-mikirkan keberuntungan di zaman yang akan datang. Kalau dia tengah berfikir itu, perniagaan sudah di serahkannya saja kepada anak semangnya yang setia itu, Suyono. Akan hilang akan menungnya apabila di kejutkan oleh Poneim bahwa nasi telah terhidang. Dan sedang dia makan itu, walaupun ditegur bagaimana, jawabannya hanya satu-satu saja, sebab fikirannya kepada yang lain………….. kepada yang jauh……… Pendeknya, sejak kembali dari kampung dan di datangi pula oleh sepucuk surat itu dia gelisah saja, tidurnya tidak senang lagi, dan tidurnya usik. Sehingga sudah pernah Poniem cemas, kalau-kalau suaminya di timpa sakit.

“Sakitkah Abang ?” tanya Poniem pada suatu sore.

“Memang kurang sehat”, jawab Leman. Poniem lalu mengambil uang sen sebuah, di “kerok”nya lemusir suaminya, diambilnya limau kapas, di belah duanya, kedua belahnya di lumarinya dengan minyak cap macan, di gosokkannya ke kening Leman. Kelihatan pada wajahnya bagaimana cintanya terhadap suaminya. Tetapi Leman kian lama kian bingung saja.

Pada suatu malam, kira-kira sudah pukul dua belas, Poniem telah tidur dengan nyenyaknya, tetapi Leman masih membalik kekiri membalik kekanan, kadang-kadang dia menghadap saja ke atap sambil berfikir. Rupanya peperangan fikirannya pada malam itu sangat hebatnya. Dia lihatnya istrinya tenang-tenang, maka timbullah iba kasihannya memikirkan perempuan yang tiada berpelindung itu, dia tengah tidur nyenyak, dengan penuh kepercayaanng  akan keselamatan dirinya. Sesaat kemudian dia memandang pula ke atas, maka lupalah dia kepada perempuan yang tidur disampingnya itu, terbayang pula kembali keindahan hidup yang akan datang, duduk bersanding dengan perempuan yang lebih cantik, lebih celita. Tiba-tiba dengan diam-diam, dia bangkit dari tempat tidurnya, dia pergi kemeja tulis dan dibesarkannya lampu. Di ambilnya pulpen dari sakunya, dia ambilnya kertas dan dimulianya membuat sepucuk surat. Asik sekali dia menulis. Setelah kira-kira lima belas menit lamanya menulis, terbangunlah istrinya sebentar. Sayang perempuan itu tak tahu tulis baca. Dia bertanya : “Apakah yang Abang buat tengah malam ini ? masih mencatat jual beli jugakah ?”
“Iya,” jawabnya : “Pekerjaan siang hari tadi terbengkalai”.

“Lebih baik lekas tidur, sempurnakan saja pekerjaan itu besok,” ujar Poniem pula.

“Ah, Cuma tinggal sedikit,” jawab Leman pula dengan senangnya.

Poniem diam tidak menjawab lagi, dia telah kembali kepada tidurnya yang nyenyak. 

Isi surat itu tidak lain ialah membalas dan mengabulkan permintaan orang di kampung. Dengan menulis surat itulah menurut fikirannya baru akan terobat detak detik jantung yang telah berhari berpekan itu yang menyebab dia tidak mau tidur. Setelah selesai dibuatnyalah addres di amplopnya lalu di simpan baik-baik masuk sakunya. Dia pun tidurlah kembali. 

Ke esokkan harinya pagi-pagi dengan tergesa-gesa di antarkannya lah surat itu ke Pos. aneh sekali, kerap kali benar dia menoleh kebelakang. Dia merasa was-was. Merasa menyesal memasukkan surat itu kedalam Bis Surat. Teringat dia kembali bagaimana sulitnya hal yang akan ditempuhnya. Bagaimanakah nanti kalau jadi perempuan itu dibawa orang kepadanya, jika jadi perempuan itu datang ke Deli. Bagaimanakah kelak caranya dia menyampaikan hal itu kepada istrinya yang tua ?. Kalau Poniem keras kepala, pelawan, tentu hal itu mudah saja. Tetapi tidak, Poniem akur, patuh, tak penyanggah, menurut saja apa kemauannya. Bagaimankah kelak dia menyusun perkataan untuk perempuan yang malang itu ? Yang kedua, dimanakah kelak istri yang muda itu akan di tempatkannya ? Akan disewakan rumah lainkah ? Siapa yang akan ditempatkan dirumah itu ? Istri tuakah atau yang muda ? Akan di serumahkan kah ? Tidak kah akan berkelahi jika serumah ? 

“Ah,” kata hatinya, untuk menghapus segala was-was yang timbul itu. “Dimana tumbuh, diwaktu itulah di siangi habis pekara !”

Sehari surat itu di kirimkan, adalah waktu pergi ke Medan untuk membeli barang-barang baru dan membayar hutang-hutang lama kepada toko tempatnya berhutang. Orang-orang gajian telah disuruhnya pergi berjaja. Suyono tinggal di kedai, karena dia lah yang dipercaya memegang tas. Poniem bekerja sebagaimana bisa. Dia sendiri terus berangkat ke Medan. Tiba-tiba bertemulah dia dengan sahabat lamanya Bagindo Kayo.

Dia terkejut : “Hai, mak Bagindo Kayo, sudah amat lama kita tidak bertemu, dimana mamak berniaga selama ini ?” 

“Saya baru saja kembali ke Deli, sudah lebih lima tahun tanah Deli saya tinggalkan, saya coba berniaga ke Lampung, karena kata orang di sana lebih bagus menunggu musim Lada. Tetapi akhirnya Deli, tidaklah dapat dilupakan selama hidup,” sekali terminum air sungai Deli tak terlupakan lagi selama hidup”, ujar Bagindo Kayo pula dengan tenang sambil tersenyum.

“Dan engkau dimana sekarang ? tidakkah kembali ketempat yang lama ? Apa kabar tentang istrimu itu….. Poniem, masihkah engkau dengan dia ?”

“Masih, sampai sekarang saya masih dengan dia”, jawab Leman, tetapi mukanya agak muram. 

“Sudah beranak ?” tanya Bagindo kayo sambil menentang mata Leman.

“Ada-ada saja tanya mamak,” sambil menepuk punggung Bagindo Kayo sambil tersenyum.

“He…? Itu perlu juga saya tanyakan, bukan ? bukankah anak itu buah hati pengarang jantung, pateri berumah tangga ?”

“Nantilah saya jawab, marilah kita pergi minum kopi dahulu ke kedai itu,” jawab Leman.

Mereka pun pergilah ke kedai kopi. Banyaklah “obrolan” tentang hal yang dulu-dulu, tentang perniagaan, zaman sekarang, kabar kampung dan lain-lain, yang di perkatakan sambil minum. “Air apabila sudah terlalu penuh, melimpahlah dia,” maka demikianlah pula perasaan Leman. Dengan sangat girang dan muka berseri-seri dimulainyalah mengatakan perasaan hatinya. 

“Tadi mamak bertanya, apakah saya telah beranak dengan Poniem, belum lagi saya jawab. Syukur juga hal itu mamak tanyakan. Sebetulnya sudah lebih lima tahun bergaul hingga sekarang, Poniem belum juga beranak”.

“Sebab itu ?” tanya Bagindo Kayo sebagai membaca perkataan yang masih tersimpan dalam hati, belum lagi keluar ke mulut, tetapi dia sudah seperti tahu.

“Baru-baru ini kami sudah pulang bersama-sama menemui famili. Orang kampung semuanya tidak ada yang tidak menyetujui perkawinan saya dengan Poniem, meskipun dia bukan orang kampung kita. Cuma itu saja yang mendukakan hati mereka, yaitu karena Poniem tiada beranak”.

“Sebab itu orang kampung tidak saja merasa berduka, tetapi merasa tidak senang hati bukan ?” tanya Bagindo Kayo. “Dan engkau akan di suruh beristri seorang lagi ?”

“Dimana mamak tahu,” tanya Leman keheranan.

“Iya, saya sudah tahu, sudah memang begitu mestinya. Mereka susah kalau engkau tidak ber istri seorang lagi di kampung”.

“Memang, apa yang mamak katakan itu benar. Saya sudah di desak orang supaya kawin seorang lagi, orang kampung kita sendiri”.

“Mau kah engkau” tanya Bagindo Kayo.

“Bagaimana pertimbangan mamak ?” 

“Dalam perkawinan tidaklah boleh memintak pertimbangan dengan orang lain. Kalau tidak setuju dengan bunyi suara hati kecil kita, tentu tidak juga akan kita turutkan. Hanya suara hati kita juga yang akan kita turuti”.

“Tidak, kalau sekiranya mamak tidak setuju dengan alasan yang cukup, tentu saya tidak akan melangsungkan,” kata Leman.

“Saya tak percaya mulut mu, Leman ! dahulu ketika engkau akan membawa Poniem pergi nikah saya beri nasehat supaya jangan engkau langsungkan, tetapi engkau langsungkan juga. Sekarang, kalau saya nyatakan fikiran saya, tidak juga akan engkau ikut, saya percaya !”

“Apa fikiran mamak ?” tanya Leman.

“Pendirian saya yang sejati, saya tidak akur engkau kawin lagi. Walau tidak ber anak, walaupun yang akan menjadi istrimu itu orang kampung kita. Sebab kalau engkau telah beristri dengan orang kampung kita, tentu saja yang lebih muda, lebih cantik, perawan bukan ?” tanya Bagindo Kayo.

“Iya, perawan !” jawab Leman sambil menghirup kopinya tersenyum.

“Perawan dan sekampung pula lagi. Saya percaya, Poniem akan engkau buangkan, akan engkau campakkan. Ada-ada saja nanti alasan mu untuk membuangkan perempuan itu”.

“Tidak mamak, masakkan dia akan saya buangkan ! padahal jasanya terlalu banyak terhadap saya. Bukankah dia yang mengeluarkan saya dari lembah kemiskinan ? Bukankah karena pertolongannya maka saya bisa jadi begini, sehingga sudah dapat membantu kekampung ?”

“Itu hanya bicara mu sekarang, Leman. Yakni ketika fikiran mu masih tenang. Engkau hanya seorang manusia, umur mu masih muda pula. Bagaimana fikiran mu akan tenang kelak kalau di hadapan mu berdiri dua orang perempuan, yang seorang kulitnya masih halus dan kuning, rupanya cantik, sekampung sehalaman, sedang yang seorang lagi sudah agak tua, sudah lama engkau pakai, tak beranak, tak berkaum berfamili, dan orang lain pula”.

“Saya sayang dan hiba kepadanya, mamak !”

“Itu Cuma kata mu sekarang”, jawab Bagindo Kayo pula. Leman termenung mendengarnya. 

“Kalau engkau jadi beristri seorang lagi leman, percayalah perkataan ku, engkau akan menyesal kelak. Karena engkau bangsa orang yang tak tahan hati, engkau belum tahu tipu daya perempuan. Salah satu dari dua jalan akan engkau tempuh. Pertama, selama hidup engkau pegang kedua perempuan itu, tetapi hatimu menyesal. Sebabnya ialah yang tua engkau kasihani, tetapi yang muda engkau sayangi. Antara kasihan dan sayang jauh bedanya. Yang ke Dua, engkau ceraikan salah satu karena tak tertanggung. Saya jamin dari sekarang, bahwa yang akan engkau ceraikan itu adalah yang tua, Poniem. Sebab engkau menceraikan dia, barulah terlepas dari beban yang berat”.

Di hirupnya pula kopinya sehirup, di patahkannya kue bolu dan dia pun meneruskan bicaranya pula : 

“Tentu Poniem yang akan kau ceraikan, sulit menceraikan yang muda”.

“Tetapi bukan saja saya kasihan kepada Poniem, saya pun cinta kepadanya”. 

“Engkau bohong !” jawab Bagindo Kayo.

“Kalau memang engkau cinta kepada perempuan yang melarat itu yang hanya engkau ibarat se utas tali tempatnya bergantung, hanya engkau ayah ibunya, engkau hanya familinya, tentu dia tidak akan engkau duakan dengan yang lain, tentu hatinya tidak akan engkau tikam”.

“Tetapi bagaimana dengan famili ? tentu kita tidak dapat bercerai dengan famili”. Tanya Leman pula.

“Ah, jawab mu hanya menginginkan tempat jatuh saja Leman. Sekarang orang merasa berfamili dengan engkau, yakni setelah engkau berada, beruang. Dahulu orang tidak ingat engkau. Dahulu famili mu hanya Poniem sendiri saja, engkau jatuh dia yang menyambut, engkau karam dia yang menyelami”.

“Sungguh mamak, saya cinta terhadap Poniem”.

“Kalau engkau cinta terhadap perempuan itu, tentu tidak engkau duai dengan yang lain, bukankah tadi sudah saya tanyakan ? Kalau engkau cinta kepada Poniem, engkau beranikan hatimu, engkau beli tanah di rantau, engkau perbuat rumah. Kalau engkau mati dahulu daripadanya, maka harta itu bulat ke tangannya, karena saudara mu yang kandung tidak ada lagi. Dan kalau dia mati dahulu, harta itu pula ke tangan mu, boleh engkau bawa pulang ke kampung, berikan sanak saudara yang akan mengatakan engkau mamaknya, atau kemenakannya, karena engkau sudah berharta”.

“Jadi bagaimana dengan kehendak famili itu ?” tanya Leman.

“Famili hanya berkehendak saja, yang akan mengemudikan rumah tangga mu bukan mereka, tetapi engkau sendiri. Engkau akan kembali hidup di rantau, jauh dari pelupuk mata mereka. Mereka hanya pandai meluncurkan engkau kedalam lembah kesusahan. Kalau ada harta mu kirimkan pulang, belikan sawah, lekatkan kerumah, semuanya untuk mereka, umur mu habiskan di rantau, setelah tua pulanglah supaya dilekatkan dengan orang di surau buruk. Sudah begitu adat, sudah begitu lembaga, apalagi ! Mestinya engkau sudah terlepas dari mereka kehidupan mu di hari tua lantaran beristrikan Poniem, sekarang engkau hendak mencari penyakit mu sendiri. Hati mu kalau engkau beristri seorang lagi tidak akan tetap lagi, bertambah soal yang akan engkau fikirkan sebuah lagi, yaitu menjaga perhubungan istri mu di dalam rumah. Tetapi bukan macam mu ini orang yang akan teguh yang menghadapi itu. Letak kanlah teguh, syukurlah kalau teguh, tetapi sesal tak hilang dari hatimu. Itu lah sebabnya maka dahulu saya halangi engkau beristrikan Poniem, saya kalangkan leher, karena saya tahu akibat yang akan engkau hadapi sekarang”.

“Tidak kah engkau fikirkan sampai pada urusan dia tidak akan beranak itu waktu dia akan engkau nikahi ? tidak kah engkau fikirkan bahwa perempuan-perempuan kebun itu memang tak dapat beranak lagi, kalau sudah banyak suaminya yang lain ? sekarang baru engkau ingat akan hal itu, setelah perempuan itu taubat dalam tangan mu, telah menjadi orang baik-baik. Cobalah fikirkan, bagaimana perbuatan mu itu namanya, Leman ?” Leman termenung dan menggelengkan kepala. Perkataan-perkataan itu termakan rupanya.
“Bagaimana ?” tanya Bagindo Kayo pula.

“Sayang…… surat sudah terkirim mengabulkan pintaknya orang di rumah.” Bagindo Kayo terkejut mendengarnya.

“Sudah lamakah surat itu engkau kirimkan ?”

“Kira-kira sudahlah akan sampai di kampung”, jawab Leman.

“Kalau memang hati mu enggan beristri seorang lagi, itu pekara gampang. Sebab tali kawat antara Medan dan Minangkabau belum diputuskan angin”, jawab Bagindo Kayo pula.

Leman kembali termenung. 

Melihat wajah Leman dia sendiri yang berkehendak rupanya beristri seorang lagi itu, sedang dia meminta buah fikiran kepadanya hanya karena memperlihatkan hati yang meluap saja, Bagindo Kayo pun mengalih pembicaraan ke soal lain. Dia tersenyum sambil menepuk punggung Leman pengobat hatinya :

“Ah…… perkara gampang. Perkataan saya Cuma olok-olok saja. Beristri satu lagi, habis pekara ! mudah-mudahan dapat anak Heem….. dan memang Poniem sudah agak tua. Lagi pula kalau dia fikirkan panjang sebagai perkataan saya itu, tidak ada orang beristri dua di dunia ini, akhirnya banyak perempuan yang terlantar…! Serahkan saja kepada Tuhan, habis pekara !

Harga kopi dihitung dan dibayar oleh Leman, mereka pun keluarlah dari situ.

Template by:

Free Blog Templates