Haul XIX Syeikh Muhammad Yasin Al-Fadani Dan Haul VI Syeikh K.H. Abdul Hamid Ad-Dary



“Jika tak ulama manusia seperti binatang ternak”

SELEPAS ISYA, di Jalan Prapanca Buntu tampak terlihat berbeda dari biasanya. Malam senin (01/02), jalan-jalan menuju kawasan elite itu terlihat diramaikan oleh orang-orang berpakaian putih-putih. Ratusan roda empat dan roda dua menyemut disisi jalan. 

Memasuki Jalan Prapanca Buntu, tempatnya di masjid Jami’ Al-Amjad, yang menyitir sebuah hadits, Al-Mar’u Ma’a Man Ahabba, yang maknanya, kelak seseorang wafat akan dikumpulkan oleh Allah Ta’ala bersama orang-orang yang dicintainya.

Ia juga mengutarakan bagaimana peran penting yang dijalan seorang ulama seperti sosok yang tergambar pada diri Syeik Muhammad Yasin Bin Muhammad Isa Al-Fadani Al Makki dan Syeikh Abdul Hamid Bin Abdul Halim Ad-Dari. Syeikh Yasin menjadi mata rantai sangat penting dalam penyebaran ilmu-ilmu Islam, tidak saja di Jakarta bahkan hampir di seluruh dunia Islam.

Ulama menjadi pewaris nabi dalam menyampaikan risalah Islam. Bila tidak ada mereka, atau mereka dilupakan begitu saja, manusia akan terperosok dalam kejahiliyahan. Ia menukil sebuah maqalah;

Lawla al-‘ulama
Lakana an-nasu ka al-baha-im

Jika tak ada ulama
Manusia seperti binatang ternak
Setelah sambutan K.H. Abdul Muhith, giliran Menteri Agama Dr. H. Maftuh Basyuni, dan juga murid syeikh yasin. Maftuh mengisahkan kesannya yang mendalam pada sosok Syeikh Yasin (selengkapnya baca sambutan Menteri Agama Dr. H. Maftuh Basyuni).
Syeikh Yasin al-Fadani
 
Menurut penglihatannya, yang lama bermukim di Saudi, Syeikh Yasin adalah seorang alim besar dimasanya berbudi halus, tawadhu. Terkadang penampilannya yang bersahaja dengan mengenakan kain sarung dan kaus oblong serta peci putih menutupi sosoknya, yang dijuluki oleh para ulama diseluruh penjuru dunia sebagai MUSNID AD-DUN-YA (orang yang memiliki sanak terbayak didunia dimasanya). Bahkan, katanya, setiap kali para ulama mesir berkunjung ke Mekkah, mereka selalu menjenguk Syeikh Yasin untuk berdiskusi tentang ilmu dan mengharap keberkahannya.
 
Maftuh Basyuni berharap, para murid terdekat Syeikh Yasin al-Fadani, seperti K.H. Abdul Muhith, dan keluarga Syeikh Yasin al-Fadani sendiri, menghimpun karya-karya Syeikh Yasin al-Fadani. “Bilamana keluarga Syeikh Yasin al-Fadani bersedia, Departemen Agama siap untuk mencetak dan menerbitkannya, untuk disebar luaskan ke lembaga-lembaga Islam, khususnya tanah air”, katanya, yang disambut tepukan meriah ribuan jamaah.

Tukang Sapu Makam Nabi

Setelah ceramah Dr. H. Maftuh Basyuni, giliran Syaikh Al-‘Allamah K.H. Maimun Zubair, pendiri dan pemimpin pesantren Sarang, Rembang, menyampaikan tausyiah.
 
Mbah Maimun, demikian ia biasa disapa, adalah salah seorang sesepuh ulama yang sangat dihormati saat ini. Ia mungkin satu-satunya murid senior Syeikh Yasin al-Fadani yang masih hidup. Sebagaimana diutarakannya, ia telah berguru pada Syeikh Yasin al-Fadani sejak tahun 1370 H/1940 M. kepada Syeikh Yasin al-Fadani  ia mengaji kitab Sunan Abi Daud hingga tamat. Syeikh Yasin al-Fadani mensyarah kitab tersebut hingga mencapai 36 jilid. Syarahnya ini belum dicetak hingga saat ini.

Syeikh Yasin al-Fadani pernah bercerita pada Mbah Maimun tentang kisah Syeikh Al-Ajrum yang melarang sebuah karyanya dicetak pada masa itu. Karya yang berjudul Al-Ajrumiyyah baru dicetak setelah wafatnya dan menjadi kitab yang baku dalam Pelajaran Tata Bahasa Arab dan termasyur dilembaga-lembaga pendidikan Islam. Mungkin itulah sebab ada sebagian ulama yang melarang karyanya dicetak dimasa itu. Mereka melihat dengan mata batinnya, kelak kitab itu dibutuhkan dan menjadi amal jariah setelah wafatnya.

Begitu pula dengan karya Al-Qadhi Abu Syuja, Matn At-Taqrif. Al-Qadhi Abu Syuja hidup selama 160 tahun lebih selama 60 tahun ia mengajar, dan 100 tahunnya dari usianya ia abdikan sebagai Kannas Qabr An-Nabiyy (tukang sapu makam Nabi SAW). Ia senang dengan gelar itu sehingga ia tak mau dirinya disebut Syeikh atau Allamah. Acap kali, saat membersihkan makam Nabi SAW, ia bermunajat agar dirinya diberikan keberkahan umur dan karyanya akan kelak berguna bagi umat. Dan dikemudian hari, kitabnya, Matn At-Taqrib, memang termasyur dikalangan Thalabah Al-‘Ilm  (para penuntut Ilmu).

Ia merasakan keberkahan ilmu dari gurunya itu sehingga ia mampu membangun pesantren di sarang, rembang. Ia pun bergembira dengan diadakan peringatan haul sang guru dimana-mana. Hal itu menandakan percintaan umat kepada sosok Syeikh Yasin al-Fadani, yang amat bersahaja dan berwibawa.

Mbah Maimun juga menyampaikan bahwa periodesasi setiap abad dalam tahun hijriyyah mengalami pergantian corak yang tetap berjalan sesuai haluan yang diarahkan Rasulullah SAW. Ia menukil ucapan Nabi Ibrahim as, ‘Ala Kulli ‘Aqilin An Yakuna Aliman Fi Zamanihi, Mustaqbillan Fi Sya’nihi Arifan Biwadh’ihi (bagi setiap orang yang berakal, harus ada orang yang mengerti dizamannya, dan menerima urusannya, dan mengerti kedudukannya).

Pasca-Rasulullah, seratusan tahun pertama, tepatnya tahun 101 H/720 M, Umar Bin Abdul Azis menjadi Mujaddid pertama dalam hal penulisan baku (tadwin) hadits. Pada tahun 201 H/817 M timbul istilah Al-Adillah Al-Arba’ah (dalil dalil yang empat), yakni Al-Quran, Hadits, Ijma Dan Qiyas, yang diusung para Aimmah Al-Madzahib (imam-imam madzhab).

Kemudian ditahun 301 H/914 M, gilirian masuknya Falsafah dan Kalam yang memunculkan pemikiran tentang dalil-dalil Naqli dan Aqli, hingga memunculkan Faham Ahlussunnah Wal Jama’ah, yang dipelopori Imam Al-Asy’ari dan Imam Al-Maturidi, sebagai respon atas Faham Mu’tazilah, yang dianggap menyimpang.

“Begitulah perkembangan Islam dari masa ke masa, sehingga tidak perlu ditakutkan akan sirna, karena adanya kesinambungan ulama. Karena rasulullah saw bersabda dan menyakinkan kita, la yazaluummati zhahirin ‘ala al-haqq. Yakni, umat nabi muhammad saw, selama ada, akan condong memegang kebenaran yang sesungguhnya,” demikian Mbah Maimun mengakhiri tausyiahnya yang panjang dan sarat ilmu tersebut. 

Jangan jauh dari ulama
Syaikh K.H. Abdul Hamid Ad-Dary

Malam yang kian larut dan diguyur hujan sangat lebat tidak membuat ribuan jama’ah beringsut dari tempat duduknya. Dalam kesempatan tersebut juga di informasikan pembangunan pesantren Khalidin digagas Fadhilatusy Syaikh K.H. Abdul Hamid Ad-Dary, bertempat di Jampang Parung, Bogor.

Dalam kesempatan tausyiah berikutnya, K.H. Abdur Rosyid Abdullah Syafi’i menyampaikan perkataan Hadhratusy Syeikh K.H. Hasyim Asy’ari, Innal Bai’id ‘An Al-‘Ulama Ba’id ‘An Ad-Din, yang artinya sesungguhnya jauh dari ulama akan membuat jauh dari agama.

Hadirnya jama’ah dalam peringatan haul itu diharapkan membuat mereka semakin dekat dengan ulama. Baik untuk belajar kepada mereka, maupun mengenang mereka yang telah tiada. “Guru kita adalah bapak rohani kita, sehingga salah bila kita menyebutnya mantan atau bekas guru. Karena guru itu bukan sesuatu yang bisa usang dimakan waktu”, ujarnya penuh semangat mengingatkan peran Syeikh Yasin al-Fadani dan Syeikh K.H. Abdul Hamid Ad-Dary.

Pukul 23.30 WIB, jama’ah disuguhi tausyiah terakhir, yang disampaikan oleh DR. K.H. zainuddin M.Z. dalam ceramahnya yang diselingi guyonan-guyonan segar yang menambah kehangatan suasana malam itu, Kyai  yang di juluki Dai Sejuta Umat ini mengingatkan kemuliaan Syaikh Yasin dan ulama-ulama di tanah Betawi , seperti K.H. Abdul Hamid , K.H. Muhammad Na’im, K.H. Ishaq Yahya, K.H. Abdullah Syafi’i Hadzami. “Kita patut bersyukur dengan adanya mereka. Walaupun telah tiada, mereka seolah masih hadir diantara kita, “ujarnya.

Sedemikian berkesannya acara malam itu, jama’ah seolah masih belum mau beringsut. Namun malam kian larut, dan acarapun disudahi dengan pembagian oleh-oleh kepadaribuan jama’ah berupa sekantong bahan sembako dan santapan nasi kebuli ala Betawi. Insya’Allah berkah.

Lampiran :


SAMBUTAN MENTERI AGAMA RI
PADA PERINGATAN HAUL XIX SYEIKH MUHAMMAD YASIN BIN MUHAMMAD ISA AL FADANIY AL MAKKI DAN
HAUL KE VI SYEIKH KH ABD HAMID ABD HALIM ADDAARY
JAKARTA, 1 FEBRUARI 2009

Assalamu' alaikum wr. wb.

Para ulama dan habaib yang saya hormati,

Hadirin, hadirat yang berbahagia,

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi dan rasul terakhir, Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, dan segenap pengikut risalahnya hingga akhir zaman.

Saya bersyukur pada malam ini dapat hadir dalam rangka peringatan Haul ke XIX Syeikh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa Al Fadani Al Makki rahimahullah, dan peringatan Haul ke VI Syeikh KH Abd Hamid Abd Halim Addaary rahimahullah.

Syekh Muhammad Yasin bin Isa Al-Fadani yang lahir di kota Makkah tahun 1916 dan wafat tahun 1990, adalah seorang ulama besar di Masjidil Haram yang memiliki darah Minangkabau, Sumatera Barat. Nama beliau terukir di hati para muridnya yang tersebar di berbagai negara, mengikuti jejak pendahulunya Syekh Ahmad Khatib, pelopor pembaharuan Islam di awal abad 20 yang sama berasal dari Minangkabau dan bermukim di Makkah sebagai ulama besar di Masjidil Haram.

Pada malam ini kita juga memperingati Haul Syeikh KH Abd Hamid Abd Halim Addaary. Semasa hidupnya almarhum adalah pengasuh Yayasan Pendidikan Pondok Pesantren Al-Kholidin, bertempat di komplek Masjid Syarif Hidayatullah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pengabdian dan jasa almarhum di bidang pendidikan dan dakwah tetap dikenang sampai sekarang.

Untuk itu, marilah kita berdoa ke hadirat Allah SWT, semoga amal bakti mereka diterima di sisiNya, dan kita semua diberi petunjuk dan kekuatan untuk dapat melanjutkan apa yang telah mereka rintis dan lakukan di masa lalu.

Kita boleh berbangga bangsa ini pernah melahirkan ulama-ulama terkemuka yang diakui keluasan ilmu dan kebesaran pribadinya di masa lalu. Tapi, kita tidak cukup hanya berbangga mengenang jasa jasa mereka. Kita harus pula berbuat dalam rangka melanjutkan estafet perjuangan dakwah dalam arti seluas-luasnya untuk meninggikan kalimatullah di muka bumi. Orang-orang shaleh masa lampau tidak dapat menolong kita kalau bukan kita sendiri yang harus beramal dan berjihad di jalan Allah.

Allah S WT berfirman,

"Umat ini telah berlalu. Mereka menerima apa yang layak mereka terima, dan kamu akan menerima apa yang layak kamu terima. Kamu tidak akan ditanya tentang apa-apa yang mereka telah lakukan. " (QS [2] Al Baqarah: 134).

Marilah kita merenung dan bertanya kepada diri kita sendiri, apakah yang telah kita perbuat dan usahakan untuk menjawab permasalahan dan tantangan yang dihadapi umat Islam dewasa ini.

Hadirin dan Hadirat yang saya hormati,

Para ulama dalam kedudukannya sebagai pemimpin informal di tengah masyarakat memiliki peran yang penting dan strategis, khususnya untuk memperkokoh sendi-sendi etika, moral dan spiritual kehidupan berbangsa dan bernegara. Para ulama tidak hanya berperan dalam menjaga moral bangsa, tetapi sekaligus mencerahkan dan mencerdaskan umat dengan ajaran dan nilai-nilai Islam secara kaffah.

Dalam dunia moderen pun, peran, fungsi, serta tanggungjawab ulama tidak akan pernah dapat tergantikan. Ketika peran ulama mulai surut dan beralih perhatian ke masalah-masalah yang lebih pragmatis dan mengejar keuntungan jangka pendek, maka itu sesungguhnya adalah musibah dalam kehidupan umat.

Kita semua prihatin dengan tingkah laku dan budaya masyarakat Indonesia yang belakangan ini cenderung berubah ke arah yang tidak terpikirkan sebelumnya. Perubahan tingkah laku dan budaya masyarakat, seperti menjamurnya perilaku permisif (serba boleh), perilaku adiktif (serba kecanduan), kemudian perilaku brutalistik (serba kekerasan), selanjutnya transgresif (serba melanggar aturan), hedonistik (mau serba enak dan berfoya-foya) serta materialistik (serba benda atau uang). Selain itu, rasa malu bangsa ini semakin hari tampak kian terkikis.

Para ulama dan lembaga-lembaga keagamaan memang bukanlah pihak yang paling bertanggungjawab terhadap terjadinya krisis dalam kehidupan masyarakat. Peran dan fungsi ulama sebagai kekuatan moral dalam masyarakat yang selalu berbicara dengan kaidah-kaidah agama dan moral, tentu saja memiliki keterbatasan jika dihadapkan dengan kekuatan di luar wilayah keulamaan, yang berkolaborasi dengan kekuatan ekonomi, teknologi dan informasi.

Di samping itu, tantangan terhadap akidah umat Islam saat ini seperti bahaya liberalisasi paham keislaman dan munculnya aliran-aliran sesat, serta kemiskinan yang berpotensi menimbulkan kerawanan akidah dan akhlak, memerlukan perhatian, pemikiran, dan penanganan serius. Jika semua komponen terpanggil untuk memelihara dan menjaga kehidupan beragama, maka berbagai persoalan yang muncul akan dapat diatasi sebagaimana mestinya.

Para ulama tidak boleh tinggal diam, apalagi bersikap apatis terhadap kondisi dan fenomena yang berlangsung di masyarakat. Ulama harus berdiri paling depan dalam menyuarakan kebenaran dan mencegah kerusakan di masyarakat. Ulama memiliki tanggungjawab moral yang tidak hanya mencakup masalah ibadah (ubudiyah), tapi juga termasuk kemaslahatan di dunia, yaitu menyangkut muamalah (hubungan sosial yang lebih luas).

Dalam kaitan itu, saya memandang pentingnya revitalisasi peran dan fungsi ulama di tengah kehidupan umat dan bangsa. Dalam masyarakat yang sedang berubah dari masyarakat tradisional ke masyarakat moderen yang cenderung berpikir rasional dan pragmatis, peran dan fungsi ulama harus lebih diperkuat. Peran dan fungsi sentral ulama di tengah-tengah masyarakat perlu terus dikembangkan seiring dengan kemajuan masyarakat.

Hadirin dan Hadirat yang saya homati,

Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan dalam kesempatan ini.

Semoga Allah S WT meridhai segala amal dan usaha kita untuk meninggikan kalimatullah serta mewujudkan kemaslahatan umat dan bangsa yang maju dan bermartabat.

Terima kasih.
Waffaqonallahu Waiyyakum
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Jakarta, 1 Februari 2009

Menteri Agama RI
ttd
Muhammad M. Basyuni
Sumber :
Al-Kisah No.04/23 FEB-8 MAR 2009, Hal.128-131

Template by:

Free Blog Templates