“Jika tak ulama
manusia seperti binatang ternak”
SELEPAS
ISYA, di Jalan Prapanca Buntu tampak terlihat berbeda dari biasanya. Malam
senin (01/02), jalan-jalan menuju kawasan elite itu terlihat diramaikan oleh
orang-orang berpakaian putih-putih. Ratusan roda empat dan roda dua menyemut
disisi jalan.
Memasuki
Jalan Prapanca Buntu, tempatnya di masjid Jami’ Al-Amjad, yang menyitir sebuah
hadits, Al-Mar’u Ma’a Man Ahabba, yang maknanya, kelak seseorang wafat
akan dikumpulkan oleh Allah Ta’ala bersama orang-orang yang dicintainya.
Ia
juga mengutarakan bagaimana peran penting yang dijalan seorang ulama seperti
sosok yang tergambar pada diri Syeik Muhammad Yasin Bin Muhammad Isa Al-Fadani
Al Makki dan Syeikh Abdul Hamid Bin Abdul Halim Ad-Dari. Syeikh Yasin menjadi
mata rantai sangat penting dalam penyebaran ilmu-ilmu Islam, tidak saja di Jakarta
bahkan hampir di seluruh dunia Islam.
Ulama
menjadi pewaris nabi dalam menyampaikan risalah Islam. Bila tidak ada mereka,
atau mereka dilupakan begitu saja, manusia akan terperosok dalam kejahiliyahan.
Ia menukil sebuah maqalah;
Lawla al-‘ulama
Lakana an-nasu ka al-baha-im
Jika tak ada ulama
Manusia seperti binatang ternak
Syeikh Yasin al-Fadani |
Menurut
penglihatannya, yang lama bermukim di Saudi, Syeikh Yasin adalah seorang alim
besar dimasanya berbudi halus, tawadhu. Terkadang penampilannya yang bersahaja
dengan mengenakan kain sarung dan kaus oblong serta peci putih menutupi
sosoknya, yang dijuluki oleh para ulama diseluruh penjuru dunia sebagai MUSNID
AD-DUN-YA (orang yang memiliki sanak terbayak didunia dimasanya).
Bahkan, katanya, setiap kali para ulama mesir berkunjung ke Mekkah, mereka
selalu menjenguk Syeikh Yasin untuk berdiskusi tentang ilmu dan mengharap
keberkahannya.
Maftuh
Basyuni berharap, para murid terdekat Syeikh Yasin al-Fadani, seperti K.H. Abdul
Muhith, dan keluarga Syeikh Yasin al-Fadani sendiri, menghimpun karya-karya Syeikh
Yasin al-Fadani. “Bilamana keluarga Syeikh Yasin al-Fadani bersedia, Departemen
Agama siap untuk mencetak dan menerbitkannya, untuk disebar luaskan ke
lembaga-lembaga Islam, khususnya tanah air”, katanya, yang disambut tepukan
meriah ribuan jamaah.
Tukang Sapu Makam Nabi
Setelah
ceramah Dr. H. Maftuh Basyuni, giliran Syaikh Al-‘Allamah K.H. Maimun Zubair,
pendiri dan pemimpin pesantren Sarang, Rembang, menyampaikan tausyiah.
Mbah
Maimun, demikian ia biasa disapa, adalah salah seorang sesepuh ulama yang
sangat dihormati saat ini. Ia mungkin satu-satunya murid senior Syeikh Yasin
al-Fadani yang masih hidup. Sebagaimana diutarakannya, ia telah berguru pada Syeikh
Yasin al-Fadani sejak tahun 1370 H/1940 M. kepada Syeikh Yasin al-Fadani ia mengaji kitab Sunan Abi Daud hingga
tamat. Syeikh Yasin al-Fadani mensyarah kitab tersebut hingga mencapai 36
jilid. Syarahnya ini belum dicetak hingga saat ini.
Syeikh
Yasin al-Fadani pernah bercerita pada Mbah Maimun tentang kisah Syeikh
Al-Ajrum yang melarang sebuah karyanya dicetak pada masa itu. Karya
yang berjudul Al-Ajrumiyyah baru dicetak setelah wafatnya dan menjadi
kitab yang baku dalam Pelajaran Tata Bahasa Arab dan termasyur dilembaga-lembaga
pendidikan Islam. Mungkin itulah sebab ada sebagian ulama yang melarang
karyanya dicetak dimasa itu. Mereka melihat dengan mata batinnya, kelak kitab
itu dibutuhkan dan menjadi amal jariah setelah wafatnya.
Begitu
pula dengan karya Al-Qadhi Abu Syuja, Matn At-Taqrif.
Al-Qadhi Abu Syuja hidup selama 160 tahun lebih selama 60 tahun ia
mengajar, dan 100 tahunnya dari usianya ia abdikan sebagai Kannas Qabr
An-Nabiyy (tukang sapu makam Nabi SAW). Ia senang dengan gelar itu sehingga
ia tak mau dirinya disebut Syeikh atau Allamah. Acap kali, saat membersihkan
makam Nabi SAW, ia bermunajat agar dirinya diberikan keberkahan umur dan
karyanya akan kelak berguna bagi umat. Dan dikemudian hari, kitabnya, Matn
At-Taqrib, memang termasyur dikalangan Thalabah Al-‘Ilm (para penuntut Ilmu).
Ia
merasakan keberkahan ilmu dari gurunya itu sehingga ia mampu membangun
pesantren di sarang, rembang. Ia pun bergembira dengan diadakan peringatan haul
sang guru dimana-mana. Hal itu menandakan percintaan umat kepada sosok Syeikh
Yasin al-Fadani, yang amat bersahaja dan berwibawa.
Mbah
Maimun juga menyampaikan bahwa periodesasi setiap abad dalam tahun hijriyyah
mengalami pergantian corak yang tetap berjalan sesuai haluan yang diarahkan
Rasulullah SAW. Ia menukil ucapan Nabi Ibrahim as, ‘Ala Kulli ‘Aqilin An
Yakuna Aliman Fi Zamanihi, Mustaqbillan Fi Sya’nihi Arifan Biwadh’ihi (bagi
setiap orang yang berakal, harus ada orang yang mengerti dizamannya, dan menerima
urusannya, dan mengerti kedudukannya).
Pasca-Rasulullah,
seratusan tahun pertama, tepatnya tahun 101 H/720 M, Umar Bin Abdul Azis menjadi
Mujaddid pertama dalam hal penulisan baku (tadwin) hadits. Pada tahun 201 H/817
M timbul istilah Al-Adillah Al-Arba’ah (dalil dalil yang empat), yakni Al-Quran,
Hadits, Ijma Dan Qiyas, yang diusung para Aimmah Al-Madzahib (imam-imam
madzhab).
Kemudian
ditahun 301 H/914 M, gilirian masuknya Falsafah dan Kalam yang
memunculkan pemikiran tentang dalil-dalil Naqli dan Aqli, hingga memunculkan Faham
Ahlussunnah Wal Jama’ah, yang dipelopori Imam Al-Asy’ari dan Imam
Al-Maturidi, sebagai respon atas Faham Mu’tazilah, yang dianggap
menyimpang.
“Begitulah perkembangan Islam dari masa ke masa, sehingga tidak perlu ditakutkan akan sirna, karena adanya kesinambungan ulama. Karena rasulullah saw bersabda dan menyakinkan kita, la yazaluummati zhahirin ‘ala al-haqq. Yakni, umat nabi muhammad saw, selama ada, akan condong memegang kebenaran yang sesungguhnya,” demikian Mbah Maimun mengakhiri tausyiahnya yang panjang dan sarat ilmu tersebut.
Jangan jauh dari ulama
Syaikh K.H. Abdul Hamid Ad-Dary |
Malam
yang kian larut dan diguyur hujan sangat lebat tidak membuat ribuan jama’ah
beringsut dari tempat duduknya. Dalam kesempatan tersebut juga di informasikan
pembangunan pesantren Khalidin digagas Fadhilatusy Syaikh K.H. Abdul
Hamid Ad-Dary, bertempat di Jampang Parung, Bogor.
Dalam
kesempatan tausyiah berikutnya, K.H. Abdur Rosyid Abdullah Syafi’i menyampaikan
perkataan Hadhratusy Syeikh K.H. Hasyim Asy’ari, Innal Bai’id ‘An Al-‘Ulama
Ba’id ‘An Ad-Din, yang artinya sesungguhnya jauh dari ulama akan membuat
jauh dari agama.
Hadirnya
jama’ah dalam peringatan haul itu diharapkan membuat mereka semakin dekat
dengan ulama. Baik untuk belajar kepada mereka, maupun mengenang mereka yang
telah tiada. “Guru kita adalah bapak rohani kita, sehingga salah bila kita
menyebutnya mantan atau bekas guru. Karena guru itu bukan sesuatu yang bisa
usang dimakan waktu”, ujarnya penuh semangat mengingatkan peran Syeikh
Yasin al-Fadani dan Syeikh K.H. Abdul Hamid Ad-Dary.
Pukul
23.30 WIB, jama’ah disuguhi tausyiah terakhir, yang disampaikan oleh DR. K.H.
zainuddin M.Z. dalam ceramahnya yang diselingi guyonan-guyonan segar yang
menambah kehangatan suasana malam itu, Kyai
yang di juluki Dai Sejuta Umat ini mengingatkan kemuliaan Syaikh Yasin
dan ulama-ulama di tanah Betawi , seperti K.H. Abdul Hamid , K.H. Muhammad Na’im,
K.H. Ishaq Yahya, K.H. Abdullah Syafi’i Hadzami. “Kita patut bersyukur
dengan adanya mereka. Walaupun telah tiada, mereka seolah masih hadir diantara
kita, “ujarnya.
Sedemikian
berkesannya acara malam itu, jama’ah seolah masih belum mau beringsut. Namun malam
kian larut, dan acarapun disudahi dengan pembagian oleh-oleh kepadaribuan jama’ah
berupa sekantong bahan sembako dan santapan nasi kebuli ala Betawi. Insya’Allah
berkah.
Lampiran :
SAMBUTAN MENTERI AGAMA RI
PADA PERINGATAN HAUL XIX SYEIKH MUHAMMAD YASIN BIN MUHAMMAD ISA AL FADANIY
AL MAKKI DAN
HAUL KE VI SYEIKH KH ABD HAMID ABD HALIM ADDAARY
JAKARTA, 1 FEBRUARI 2009
Assalamu' alaikum
wr. wb.
Para ulama dan
habaib yang saya hormati,
Hadirin, hadirat
yang berbahagia,
Pertama-tama
marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, atas limpahan
rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita sekalian. Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurah kepada nabi dan rasul terakhir, Nabi Besar Muhammad SAW
beserta keluarga, para sahabat, dan segenap pengikut risalahnya hingga akhir
zaman.
Saya bersyukur pada
malam ini dapat hadir dalam rangka peringatan Haul ke XIX Syeikh Muhammad
Yasin bin Muhammad Isa Al Fadani Al Makki rahimahullah, dan peringatan Haul ke
VI Syeikh KH Abd Hamid Abd Halim Addaary rahimahullah.
Syekh Muhammad
Yasin bin Isa Al-Fadani yang lahir di kota Makkah tahun 1916 dan wafat tahun
1990, adalah seorang ulama besar di Masjidil Haram yang memiliki darah
Minangkabau, Sumatera Barat. Nama beliau terukir di hati para muridnya yang
tersebar di berbagai negara, mengikuti jejak pendahulunya Syekh Ahmad Khatib,
pelopor pembaharuan Islam di awal abad 20 yang sama berasal dari Minangkabau
dan bermukim di Makkah sebagai ulama besar di Masjidil Haram.
Pada malam ini kita
juga memperingati Haul Syeikh KH Abd Hamid Abd Halim Addaary. Semasa hidupnya
almarhum adalah pengasuh Yayasan Pendidikan Pondok Pesantren Al-Kholidin,
bertempat di komplek Masjid Syarif Hidayatullah Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan. Pengabdian dan jasa almarhum di bidang pendidikan dan dakwah tetap
dikenang sampai sekarang.
Untuk itu, marilah
kita berdoa ke hadirat Allah SWT, semoga amal bakti mereka diterima di sisiNya,
dan kita semua diberi petunjuk dan kekuatan untuk dapat melanjutkan apa yang
telah mereka rintis dan lakukan di masa lalu.
Kita boleh
berbangga bangsa ini pernah melahirkan ulama-ulama terkemuka yang diakui
keluasan ilmu dan kebesaran pribadinya di masa lalu. Tapi, kita tidak cukup
hanya berbangga mengenang jasa jasa mereka. Kita harus pula berbuat dalam
rangka melanjutkan estafet perjuangan dakwah dalam arti seluas-luasnya untuk
meninggikan kalimatullah di muka bumi. Orang-orang shaleh masa lampau tidak
dapat menolong kita kalau bukan kita sendiri yang harus beramal dan berjihad di
jalan Allah.
Allah S WT
berfirman,
"Umat ini
telah berlalu. Mereka menerima apa yang layak mereka terima, dan kamu akan
menerima apa yang layak kamu terima. Kamu tidak akan ditanya tentang apa-apa
yang mereka telah lakukan. " (QS [2] Al Baqarah: 134).
Marilah kita
merenung dan bertanya kepada diri kita sendiri, apakah yang telah kita perbuat
dan usahakan untuk menjawab permasalahan dan tantangan yang dihadapi umat Islam
dewasa ini.
Hadirin dan Hadirat yang saya hormati,
Para ulama dalam
kedudukannya sebagai pemimpin informal di tengah masyarakat memiliki peran yang
penting dan strategis, khususnya untuk memperkokoh sendi-sendi etika, moral dan
spiritual kehidupan berbangsa dan bernegara. Para ulama tidak hanya berperan
dalam menjaga moral bangsa, tetapi sekaligus mencerahkan dan mencerdaskan umat
dengan ajaran dan nilai-nilai Islam secara kaffah.
Dalam dunia moderen
pun, peran, fungsi, serta tanggungjawab ulama tidak akan pernah dapat
tergantikan. Ketika peran ulama mulai surut dan beralih perhatian ke
masalah-masalah yang lebih pragmatis dan mengejar keuntungan jangka pendek,
maka itu sesungguhnya adalah musibah dalam kehidupan umat.
Kita semua prihatin
dengan tingkah laku dan budaya masyarakat Indonesia yang belakangan ini
cenderung berubah ke arah yang tidak terpikirkan sebelumnya. Perubahan tingkah
laku dan budaya masyarakat, seperti menjamurnya perilaku permisif (serba
boleh), perilaku adiktif (serba kecanduan), kemudian perilaku brutalistik
(serba kekerasan), selanjutnya transgresif (serba melanggar aturan), hedonistik
(mau serba enak dan berfoya-foya) serta materialistik (serba benda atau uang).
Selain itu, rasa malu bangsa ini semakin hari tampak kian terkikis.
Para ulama dan
lembaga-lembaga keagamaan memang bukanlah pihak yang paling bertanggungjawab
terhadap terjadinya krisis dalam kehidupan masyarakat. Peran dan fungsi ulama
sebagai kekuatan moral dalam masyarakat yang selalu berbicara dengan
kaidah-kaidah agama dan moral, tentu saja memiliki keterbatasan jika dihadapkan
dengan kekuatan di luar wilayah keulamaan, yang berkolaborasi dengan kekuatan
ekonomi, teknologi dan informasi.
Di samping itu,
tantangan terhadap akidah umat Islam saat ini seperti bahaya liberalisasi paham
keislaman dan munculnya aliran-aliran sesat, serta kemiskinan yang berpotensi
menimbulkan kerawanan akidah dan akhlak, memerlukan perhatian, pemikiran, dan
penanganan serius. Jika semua komponen terpanggil untuk memelihara dan menjaga
kehidupan beragama, maka berbagai persoalan yang muncul akan dapat diatasi
sebagaimana mestinya.
Para ulama tidak
boleh tinggal diam, apalagi bersikap apatis terhadap kondisi dan fenomena yang
berlangsung di masyarakat. Ulama harus berdiri paling depan dalam menyuarakan
kebenaran dan mencegah kerusakan di masyarakat. Ulama memiliki tanggungjawab
moral yang tidak hanya mencakup masalah ibadah (ubudiyah), tapi juga termasuk
kemaslahatan di dunia, yaitu menyangkut muamalah (hubungan sosial yang lebih
luas).
Dalam kaitan itu,
saya memandang pentingnya revitalisasi peran dan fungsi ulama di tengah
kehidupan umat dan bangsa. Dalam masyarakat yang sedang berubah dari masyarakat
tradisional ke masyarakat moderen yang cenderung berpikir rasional dan
pragmatis, peran dan fungsi ulama harus lebih diperkuat. Peran dan fungsi
sentral ulama di tengah-tengah masyarakat perlu terus dikembangkan seiring
dengan kemajuan masyarakat.
Hadirin dan Hadirat yang saya homati,
Demikian beberapa
hal yang dapat saya sampaikan dalam kesempatan ini.
Semoga Allah S WT
meridhai segala amal dan usaha kita untuk meninggikan kalimatullah serta
mewujudkan kemaslahatan umat dan bangsa yang maju dan bermartabat.
Terima kasih.
Waffaqonallahu
Waiyyakum
Wassalamu'alaikum
wr. wb.
Jakarta, 1 Februari
2009
Menteri Agama RI
ttd
Muhammad M. Basyuni
Sumber :
Al-Kisah No.04/23 FEB-8 MAR 2009, Hal.128-131