Di kalangan para ulama Nahdlatul Ulama, Bahtsul Masail
Diniyyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan) merupakan forum untuk
berdiskusi, bermusyawarah, dan memutuskan berbagai masalah keagamaan mutakhir
dengan merujuk berbagai dalil yang tercantum dalam kitab-kitab klasik.
Dalam forum seperti itu, Pondok Pesantren Al-Anwar (di
Desa Karangmangu, Sarang, Rembang, Jawa Tengah) sangat disegani. Bukan saja
karena ketangguhan para santrinya dalam penguasaan hukum Islam, tapi juga
karena sosok kiai pengasuhnya yang termasyhur sebagai faqih jempolan. Kiai yang
dimaksud adalah K.H. Maimoen Zoebair.
Meski sudah sangat sepuh, 78 tahun, alumnus Ma’had
Syaikh Yasin Al-Fadani di Makkah itu masih aktif menebar ilmu dan nasihat
kepada umat. Di sela-sela kegiatan mengajarkan kitab Ihya Ulumiddin dan
kitab-kitab tasawuf lainnya kepada pada santri senior setiap ba’da subuh dan
ashar, Mbah Maimoen, demikian ia biasa dipanggil, masih menyempatkan diri
menghadiri undangan ceramah dari kampung ke kampung, dari masjid ke masjid, dari
pesantren ke pesantren.
Dalam berbagai ceramahnya, kearifan Mbah Maimoen selalu
tampak. Di sela-sela tausiyahnya tentang ibadah dan muamalah, ia tidak pernah
lupa menyuntikkan optimisme kepada umat yang tengah dihantam musibah
bertubi-tubi.
Ia memang ulama yang sangat disegani di kalangan NU,
kalangan pesantren, dan terutama sekali kalangan kaum muslimin di pesisir utara
Jawa. Ceramahnya sarat dengan tinjauan sejarah, dan kaya dengan nuansa fiqih,
sehingga membuat betah jamaah pengajian untuk berlama-lama menyimaknya.
Kiai sepuh beranak 15 (tujuh putra, delapan putri) ini
memang unik. Tidak seperti kebanyakan kiai, ia juga sering diminta memberi
ceramah dan fatwa untuk urusan nonpesantren. Rumahnya di tepi jalur Pantura tak
pernah sepi dari tokoh-tokoh nasional, terutama dari kalangan NU dan PPP, yang
sowan minta fatwa politik, nasihat, atau sekadar silaturahmi. Ia memang salah
seorang sesepuh warga nahdliyin yang bernaung di bawah partai berlambang Ka’bah
itu.
Belum lagi ribuan mantan santrinya yang secara rutin sowan
untuk berbagi cerita mengenai kiprah dakwah masing-masing di kampung halaman.
Beberapa di antara mereka berhasil menjadi tokoh di daerah masing-masing,
seperti K.H. Habib Abdullah Zaki bin Syaikh Al-Kaff (Bandung), K.H. Abdul Adzim
(Sidogiri, Pasuruan), K.H. Hafidz (Mojokerto), K.H. Hamzah Ibrahim, K.H.
Khayatul Makki (Mantrianom, Banjarnegara), K.H. Dr. Zuhrul Anam (Leler,
Banyumas), dan masih banyak lagi.
Jika matahari terbit dari timur, maka mataharinya para
santri ini terbit dari Sarang. Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati
ini lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari
Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang
merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu'aib, ulama yang
kharismatis yang teguh memegang pendirian.
Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan
yang lahir dari gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, beliau meneladani
ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih
sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah
hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen,
semua itu tersinergi secara padan dan seimbang.
Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut
mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang.
Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi
pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan
bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif
dibanding yang lainnya.
Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu. Walau
banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak
menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering
kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak
menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan
dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.
Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab
sedari balita ia sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak
remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu
Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara' yang lain. Dan
siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahnda Kyai Maimoen, Kyai
Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa'id Al-Yamani serta Syaikh Hasan
Al-Yamani Al- Makky. Dua ulama yang kesohor pada saat itu.
Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi
langkahnya menuju dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau
sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah,
Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta
Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab
fiqh madzhab Asy-Syafi'I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu'in, Fathul Wahhab dan
lain sebagainya.
Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya
guna ngangsu kaweruh ke Pondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul
Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga
menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.
Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih
diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang
kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.
Tanpa kenal batas, Beliau tetap menceburkan dirinya dalam
samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun,
beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah.
Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu'aib.
Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya.
Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain Sayyid
'Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin
Al-Quthbi, Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani dan masih banyak lagi.
Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah.
Sekembalinya dari Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk "ngangsu
kaweruh" yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, Beliau
masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada
Ulama-ulama' besar tanah Jawa saat itu. Diantara yang bisa disebut namanya
adalah KH. Baidlowi (mertua beliau), serta KH. Ma'shum, keduanya tinggal di
Lasem. Selanjutnya KH. Ali Ma'shum Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa,
Rembang, KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abbas, Buntet
Cirebon, Sayikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH. Abul Fadhol, Senori.
Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat
pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang
berada disisi kediaman Beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama
Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.
Selain mengajar dan berdakwah, ia masih sempat menulis
kitab taqrirat (penetapan hukum suatu masalah) dan syarah (komentar atas kitab
salaf). Kitab yang dibuatkan taqrirat olehnya, antara lain, Jawharut
Tauhid, Ba’dul ‘Amali, Alfiyah. Sedangkan kitab yang dibuatkan syarah,
Syarah ‘Imriti. Semuanya dicetak dalam jumlah terbatas untuk kalangan
Pesantren Al-Anwar.
Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak bisa
dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang
berhasil "jadi orang" karena ikut di-gulo wentah dalam
pesantren Beliau. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma
membesarkan jiwa Beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri
yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari Beliau.
Tiada harapan lain, semoga Allah melindungi Beliau demi
kemaslahatan kita bersama di dunia dan akherat. Amin.