Waqaf dan Ketentuannya

DEFINISI

Menurut bahasa Arab (liter
al), kata "al-waqaf" bermakna "al-habsu" (menahan).[1] Bentuk mutaradif (sinonim) dari kata "waqaf" adalah tahbiis dan tasbiil.[2]

Sedangkan menurut syariat, "al-waqaf" adalah menahan benda yang menjadi milik pewaqaf dan menyedekahkan kemanfaatannya. Menurut Abu Yusuf dan Mohammad, waqaf adalah menahan benda agar tidak bisa dimiliki , dan agar manfaatnya bisa disedekahkan. Oleh karena itu, kepemilikan benda tersebut beralih kepada kepemilikan Allah.[3]

Menurut 'ulama-ulama Syafi'iyyah, waqaf dalam konteks syariah adalah menahan harta yang mungkin bisa dimanfaatkan selama bendanya masih langgeng (awet) dengan cara memutuskan hak kepemilikan atas harta tersebut, dan dialihkan untuk kepentingan-kepentingan yang dibolehkan. [Tuhfatul Muhtaaj fi Syarhil Minhaaj, juz 25/307]
HUKUM DAN PENSYARIATAN WAQAF

Hukum waqaf adalah sunnah (mandub); dan ia termasuk sarana mendekatkan diri kepada Allah swt yang sangat disukai dan dianjurkan di dalam Islam[4]. Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya menurut Imam Asy Syafi’iy, waqaf merupakan kekhususan bagi umat Islam, dan belum pernah dikenal pada masa jahiliyyah. [Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy, Fath al-Baariy, juz 8/350]

Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy[5], asal pensyariatan waqaf didasarkan pada hadits riwayat Ibnu Umar ra tentang kisah waqafnya Umar bin Khaththab ra:

"Sesungguhnya Umar ra pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Lalu, beliau mendatangi Nabi saw dan meminta nasehat mengenai tanah itu, seraya berkata, "Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu". Nabi saw pun bersabda, "Jika engkau berkenan, tahanlah batang pohonnya, dan bersedekahlah dengan buahnya. Ibnu Umar berkata, "Maka bersedekahlah Umar dengan buahnya, dan batang pohon itu tidak dijual, dihadiahkan, dan diwariskan. Dan Umar bersedekah dengannya kepada orang-orang fakir, para kerabat, para budak, orang-orang yang berjuang di jalan Allah, Ibnu Sabil , dan para tamu. Pengurusnya boleh memakan dari hasilnya dengan cara yang makruf, dan memberikannya kepada temannya tanpa meminta harganya..." [HR. Imam Bukhari dan Muslim]


Ketika menjelaskan hadits di atas, Imam Ibnu Hajar menuturkan sebuah riwayat dari Imam Ahmad bahwasanya Ibnu Umar berkata, ”Waqaf pertama kali di dalam Islam adalah sedekahnya (waqafnya) Umar”. Riwayat ini diperkuat oleh hadits yang dituturkan dari ’Amru bin Sa’ad bin Mu’adz, bahwasanya ia berkata, ”Kami bertanya tentang waqaf pertama kali di dalam Islam. Kaum Muhajirin menjawab, ”Waqafnya Umar”. Sedangkan kaum Anshor menjawab, ”Waqafnya Rasulullah saw”.[6]

Pensyariatan waqaf juga disandarkan para sebuah hadits yang dituturkan Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakannya."[HR. Muslim, Imam Abu Dawud, dan Nasa'iy]

Imam Ibnu Katsir mengatakan,"Pada hakekatnya, tiga amal perbuatan ini termasuk usaha dan perbuatannya sendiri; seperti yang telah disebutkan di dalam sebuah hadits shahih, "Sesungguhnya, rejeki yang paling baik adalah apa yang dimakan seorang laki-laki dari hasil usahanya sendiri; dan anaknya termasuk hasil usahanya." Sedekah jariyah, seperti wakaf dan lain sebagainya, merupakan bekas-bekas amal perbuatannya dan peninggalannya. Allah swt berfirman, "Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan"[TQS. Yaasiin (36) :12]. Ilmu yang ia sebarkan ke tengah-tengah manusia, kemudian diikuti oleh manusia setelah kematiannya; ini juga merupakan usaha dan amal perbuatannya. Telah disebutkan dalam hadits shahih, bahwa Rasulullah saw bersabda,"Siapa saja yang mengajak kepada petunjuk, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikuti petunjuk itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun."[7]

Imam Nawawiy, dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan hadits di atas sebagai berikut:

"Para ulama menyatakan, bahwa amal perbuatan orang yang telah meninggal dunia terputus dengan kematiannya, kecuali tiga hal ini. Sebab, tiga perkara tersebut berasal dari usaha orang yang telah meninggal itu sendiri. Sesungguhnya, anak shaleh termasuk hasil usahanya; demikian pula dengan ilmunya yang terus diajarkan atau dikaji setelah kematiannya, dan sedekah jariyah, yakni wakaf.. Pahala doa akan sampai kepada orang yang mati, demikian juga sedekah."[8]

Menurut Imam Mubarakfuriy dalam Tuhfat al-Ahwadziy ; yang dimaksud dengan terputusnya amal seseorang, adalah terputusnya ganjaran dan pahala dari amal perbuatannya, kecuali tiga perkara. Pahala dari tiga perkara ini tidak akan terputus; yakni sedekah jariyah yang berujud wakaf dan sedekah-sedekah yang tidak hilang manfaatnya; ilmu pengetahuan yang ditinggalkannya; dan anak sholeh yang selalu mendoakan dirinya. Menurut Ibnu Malik anak di sini ditaqyid (dibatasi) dengan anak sholeh. Sebab, pahala tidak akan didapatkan dari anak yang tidak sholeh.[9]

Imam al-Sanadiy dalam Syarah Sunan al-Nasaiy mengatakan; maksud terputusnya amal di sini adalah terputusnya pahala dari seluruh perbuatannya, kecuali pada tiga perbuatan. Ada sebagian ulama yang berpendapat, bahwa bentuk semacam ini adalah pengecualian yang dikaitkan dengan mafhum. Artinya, seluruh amal perbuatan anak Adam terputus kecuali tiga amal perbuatan tersebut.[10]

Al-Hafidz al-Suyuthiy mengatakan," Syaikh Waliy al-Diin berpendapat, bahwa pahala dari tiga perkara ini tetaplah mengalir setelah kematian seseorang, dikarenakan adanya buah perbuatan mereka setelah dirinya meninggal, persis seperti ketika ia hidup di dunia. Adapun yang dimaksud dengan sedekah jariyah di sini adalah wakaf. Menurut Qadliy 'Iyadl, amal perbuatan seseorang terputus berbarengan dengan kematiannya. Akan tetapi, selama orang tersebut menjadi sebab atau yang mengusahakan tiga perkara ini, yakni memiliki anak sholeh, dan ilmunya tetap disebarkan di tengah-tengah manusia, atau ia memiliki karangan yang tetap digunakan setelah kematiannya, atau melakukan sedekah jariyah, maka pahalanya akan tetap mengalir selama ketiga hal itu masih ada."[11]

Dalam kitab 'Aun Ma'bud disebutkan, bahwa faedah atau pahala baru amal perbuatan seseorang telah terputus kecuali, pahala dari tiga hal Pahala dari tiga hal ini -- sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh--, akan tetap mengalir.[12]

Senada pengertiannya dengan hadits di atas, Imam Ibnu Majah juga meriwayatkan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
”Sesungguhnya, diantara perbuatan dan kebaikan-kebaikan yang akan mengikuti seorang Mukmin setelah kematiannya adalah, ilmu yang disebarkannya, anak shaleh yang ditinggalkannya, mushhaf yang diwariskannya, masjid yang didirikannya, rumah yang didirikannya untuk ibnus sabil, sungai yang dialirkannya, atau sedekah yang dikeluarkan dari hartanya sewaktu sehatnya dan hidupnya; semuanya akan mengikutinya setelah kematiannya”.[HR. Ibnu Majah]

Hadits lain yang menunjukkan bahwa waqaf termasuk sunnah Nabi saw adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata;
"Rasulullah saw telah memerintahkan para shahabat untuk membayar zakat. Lalu, dikatakan bahwasanya Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan 'Abbas bin 'Abdul Muthalib ra menolak membayar zakat. Nabi saw pun bersabda, "Tidaklah Ibnu Jamil menolak (membayar zakat) kecuali karena ia adalah fakir. Lalu, Allah swt dan RasulNya mengayakan dirinya. Adapun Khalid; sesungguhnya kalian telah mendzalimi Khalid. Sungguh, Khalid telah menahan (mewaqafkan) baju besinya, dan menyediakannya untuk berperang di jalan Allah……"[HR. Bukhari dan Muslim]

KETENTUAN UMUM TENTANG WAQAF

RUKUN WAQAF

Rukun waqaf ada empat, yakni;

1. waqif (orang yang mewaqafkan),
2. harta yang diwaqafkan,
3. penerima waqaf,
4. shighat waqaf.

Adapun ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan rukun-rukun tersebut adalah sebagai berikut;

1. Orang Yang Mewaqafkan (Waaqif)

Ketentuan yang berhubungan dengan waaqif (orang yang mewaqafkan) adalah sebagai berikut;

a) Di dalam Kitab Raudlatuth Thalibin dinyatakan bahwa waaqif (orang yang mewaqafkan) disyaratkan adalah orang-orang yang shahihul ‘ibaarah wa ahlul tabarru’ (sah tindakannya dan memang mampu dalam bersedekah).

b) Adapun yang dimaksud dengan shahihul ‘ibarah adalah orang yang ucapan dan tindakannya diakui secara hukum, dan atas pilihannya sendiri (bukan karena paksaan). Termasuk dalam kategori ini adalah orang-orang kafir. Jika orang-orang kafir mewaqafkan hartanya, maka sahlah waqaf itu bagi kaum Muslim[13]. Oleh karena itu, tidak sah waqaf dari anak kecil (belum baligh), orang gila, dan orang yang dipaksa.

c) Sedangkan yang dimaksud dengan ahlul tabarru’ adalah orang itu memang mampu mewaqafkan hartanya. Termasuk kategori ini orang yang sedang terkena sakit keras dan hampir mendekati ajalnya[14]. Oleh karena itu, waqaf tidak sah dari orang-orang yang bodoh (idiot), dan orang-orang yang pailit.[15]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa waaqif haruslah orang-orang yang perbuatan dan ucapannya diakui, berakal, baligh, merdeka, dan atas pilihannya sendiri (tidak dipaksa);[16] dan mampu bersedekah.[17].

2. Harta Yang Diwaqafkan

Ketentuan yang berhubungan dengan harta yang sah untuk diwaqafkan adalah sebagai berikut;

a) Harta yang diwaqafkan haruslah harta mubah, tertentu, telah dimiliki karena sebab-sebab kepemilikan tertentu dan bisa diambil guna dan faedahnya untuk hal-hal yang dibolehkan oleh syariat. Atas dasar itu, tidak boleh mewaqafkan harta jaminan (borg), harta haram, babi, anjing, dan binatang buas lain yang tidak bisa dijadikan sebagai hewan pemburu[18].

b) Harta tersebut tetap utuh atau awet ketika dimanfaatkan, baik barang itu bergerak[19] maupun tidak bergerak. Tidak boleh mewakafkan harta yang mudah rusak, habis atau lenyap saat dimanfaatkan. Oleh karena itu tidak boleh mewaqafkan uang, makanan, minuman, lilin, benda-benda yang cepat menguap, seperti parfum, gas, dan lain sebagainya.

Dari ketentuan di atas disimpulkan bahwa harta yang boleh diwaqafkan adalah harta mubah, yang bisa diambil manfaatnya, serta tidak mudah rusak atau habis jika dimanfaatkan. Walhasil, seseorang boleh mewaqafkan tanah, rumah, perkakas yang bisa dipindahkan, baju besi, buku, mushhaf al-Quran, senjata, binatang, dan barang-barang yang boleh dimanfaatkan dan diperjualbelikan asalkan tidak habis atau lenyap saat dimanfaatkan.

3. Penerima Waqaf

Ketentuan yang berhubungan dengan penerima waqaf adalah sebagai berikut;
a) Waqaf harus diperuntukkan untuk pihak tertentu, misalnya, waqaf yang diperuntukkan bagi anaknya, kerabatnya, ataupun pihak-pihak tertentu; atau untuk kebaikan; misalnya, untuk pembangunan masjid, perkantoran, pencetakan buku-buku fikih, ilmu pengetahuan, dan al-Quran; dan lain sebagainya. pengembangan ilmu pengetahuan[20].

b) Waqaf dianggap tidak sah jika diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak tertentu, misalnya untuk laki-laki, atau perempuan; atau ditujukan untuk kemaksiyatan, misalnya waqaf untuk gereja, biara, dan lain sebagainya.

c) Waqaf boleh diperuntukkan bagi ahlu dzimmah (orang kafir yang menjadi warga Daulah Islamiyyah), asalkan untuk tujuan kebaikan, bukan untuk kemaksiyatan[21]. Sedangkan waqaf yang diperuntukkan bagi kafir harbiy dan kaum murtad dianggap tidak sah[22].

Walhasil, waqaf dinyatakan sah jika ditujukan untuk orang-orang tertentu (mu’ayyanah). Waqaf juga dianggap sah jika ditujukan untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah swt walaupun penerimanya tidak tertentu. Misalnya, waqaf rumah yang diperuntukkan bagi faqir miskin (ghairu mu’ayyanah), alim ulama, ibnus sabil, dan lain sebagainya. Waqaf semacam ini disebut dengan waqaf ‘ala al-jihah.[23]

4. Shighat Waqaf

Ketentuan mengenai shighat waqaf adalah sebagai berikut;

a) Waqaf baru dianggap sah, jika waaqif melafadzkan dengan sharih shighat waqaf[24]. Misalnya, saya mewaqafkan tanah ini kepada si fulan, atau fulanah; atau saya waqafkan tanah ini untuk pembangunan masjid, perpustakaan, dan lain sebagainya.
b) Waqaf tidak dianggap sah, jika waaqif tidak melafadzkan lafadz yang menunjukkan waqaf secara sharih.
c) Jika waqaf ditujukan untuk orang tertentu atau kelompok tertentu, maka harus ada qabul dari kedua belah pihak.
d) Adapun waqaf ‘alal jihah maka tidak disyaratkan adanya qabul (penerimaan).

SYARAT WAQAF

Di dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj ila Ma’rifat Alfaadz al-Minhaaj dinyatakan bahwa syarat waqaf ada empat macam;

1. Al-Ta’biid (berlaku untuk selama-lamanya). Menurut jumhur ulama, jika waqaf dibatasi oleh waktu, misalnya saya waqafkan ini selama setahun, maka waqaf seperti ini batal.

2. Al-Tanjiiz, yakni saat itu juga (kontan), atau tidak ada penundaan. Waqaf dianggap batal jika seseorang mengatakan “saya akan waqafkan ini jika saya memiliki dua orang anak”, sedangkan pada saat itu ia tidak memiliki anak.

3. Al-Ilzaam (mengikat). Waqaf dianggap batal jika waqaf disyaratkan dengan khiyar, atau ada orang berkata, “saya akan waqaf, dengan syarat saya boleh menjualnya, atau menariknya setiap saat. Waqaf semacam ini tidak dianggap batal.

4. Bayaan al-Musharrif, harus dijelaskan kepada siapa waqaf itu diberikan, atau untuk tujuan apa. Waqaf tidak dianggap sah, jika seseorang mengatakan, “Saya waqafkan rumah ini”, tanpa menyebut untuk siapa dan untuk tujuan apa waqaf itu. Hanya saja, sebagian ulama membolehkan waqaf semacam ini (waqaf muthlak).[25]

KETENTUAN PENTING LAIN TENTANG WAQAF

Pertama, waqaf tidak boleh dijual, dihibahkan, diwariskan, ataupun diperlakukan hingga melenyapkan kewaqafannya. Ketentuan ini didasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, bahwasanya ia berkata,
"Sesungguhnya Umar ra pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Lalu, beliau mendatangi Nabi saw dan meminta nasehat mengenai tanah itu, seraya berkata, "Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu". Nabi saw pun bersabda, "Jika engkau berkenan, tahanlah batang pohonnya, dan bersedekahlah dengan buahnya. Ibnu Umar berkata, "Maka bersedekahlah Umar dengan buahnya, dan batang pohon itu tidak dijual, dihadiahkan, dan diwariskan..”[HR Imam Bukhari dan Muslim]

Kedua, waqaf juga diperbolehkan pada harta yang masih bergabung dengan milik orang lain. Sebagaimana perilaku Umar bin Khaththab yang mewaqafkan al-Maatu al-Sahm di daerah Khaibar dan tanah itu belum dibagi-bagikan kepada shahabat lain yang juga berhak. Imam Bukhari juga berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik ra mengenai waqaf masjid[26].

Ketiga, Orang yang mengurusi waqaf diperbolehkan memakan sebagian hasil waqaf. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar;

”Pengurusnya boleh memakan dari hasilnya dengan cara yang makruf, dan memberikannya kepada temannya tanpa meminta harganya..”[HR Bukhari dan Muslim]

[1] Imam Jurjaniy, At Ta'rifaat, juz 1/84; Thalabatuth Thalabah, juz 3/81; Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 3, hal.308
[2] Tuhfatul Muhtaaj fi Syarhil Minhaaj, juz 25/307
[3] Imam Jurjaniy, at Ta'rifaat, juz 1/84
[4] Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 3, hal.308
[5] Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy, Fath al-Baariy, juz 8/350
[6] Imam Ibnu Hajar Al Asqalaniy, Fath al-Baariy, juz 8/350
[7] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 4, hal. 259
[8] Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, hadits no.
[9] Imam Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwadziy, hadits. no. 1297
[10] Imam al-Sanadiy, Syarah Sunan al-Nasaaiy, hadits. no. 3591
[11] Al-Hafidz al-Suyuthiy, Syarah Sunan al-Nasaa'iy, hadits. no. 3591
[12] 'Aun al-Ma'bud Syarah Sunan Abu Dawud, hadits. no. 2494
[13] Mughniy al-Muhtaaj ila Ma’rifat Alfaadz al-Minhaaj, juz 10/89
[14] Waqaf dari orang yang sakit keras dan hampir mendekati ajalnya dianggap sah, asalkan jumlah harta yang diwaqafkan tidak merugikan ahli warisnya, yakni pada kisaran 1/3 dari jumlah hartanya tidak lebih. [Mughniy al-Muhtaaj, juz 10/89]
[15] ibid, juz 10/89
[16] Lihat Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 3/309.
[17] Ibid, juz 10/89
[18] Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 3/310; lihat juga Mughniy al-Muhtaaj, juz 10/89
[19] Imam Asy Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 6/126
[20] Lihat Mughniy al-Muhtaaj, juz 10/103-dst; Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 3, hal. 310
[21] Mughniy al-Muhtaaj, juz 10/108
[22] Mughniy al-Muhtaaj, juz 10/109
[23] Mughiy al-Muhtaaj, juz 10, bab al-Rukn al-Tsaalits, Al-Mauquuf ‘Alaihi
[24] Mughniy al-Muhtaaj, juz 10, al-Rukn al-Raabi’, Al-Shiighah
[25] Mughniy al-Muhtaaj, juz 10, bab Syuruth al-Waqaf

Template by:

Free Blog Templates