Dakwah Nabi di Musim Haji

Shodiq Ramadhan | Sabtu, 29 September 2012 | 12:55:29 WIB |

Rasulullah selalu memanfaatkan momentum haji untuk mendakwahkan Islam kepada kabilah-kabilah yang datang. Kali ini, sebagian besar kabilah masih menolak seruan beliau.

Pada bulan Dzulqa’dah tahun kesepuluh dari nubuwah, tepatnya pada akhir bulan Juni atau awal bulan Juli tahun 619 M Rasulullah saw kembali ke Makkah setelah upaya dakwah ke Thaif mengalami kegagalan. Langkah ini ditempuh untuk memulai langkah baru menawarkan Islam kepada berbagai kabilah dan individu. Pertimbangan lain, karena musim haji sudah dekat, sehingga orang-orang menunaikan kewajiban haji, melibatkan diri dalam berbagai kepentingan. Maka beliau pergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Beliau mendatangi setiap kabilah untuk menawarkan Islam dan menyeru mereka agar masuk Islam, seperti yang beliau lakukan sejak tahun keempat dari nubuwah.

Az-Zuhri berkata, “Orang-orang yang pernah menyebutkan kepada kami nama-nama kabilah yang didatangi Rasulullah saw dan diseru masuk Islam adalah Bani Amir bin Sha’sha’ah, Muharib bin Khashafah, Fazarah, Ghassan, Murrah, Hanifa, Sulaim, Abs, Bani Nash, Bani Al-Bakka’, Kindah, Kalb, Al-Harits bin Ka’b, Udzrah, dan Hadrami. Namun tak seorang pun di antara mereka yang memenuhi seruan beliau.”

Menurut Al Mubarakfuri dalam kitabnya, Rahiiqul Makhtum, nama-nama kabilah yang disebutkan Az-Zuhri di atas bukan mereka yang ditawari Islam dalam satu tahun atau satu musim haji. Tetapi hal itu berselang sejak tahun keempat hingga musim haji terakhir sebelum hijrah. Usaha menawarkan Islam itu bisa disebutkan pada tahun keberapa dan kepada kabilah yang mana. Memang di sana ada beberapa kabilah yang dipastikan Al-Manshurfuri ditawari Islam pada musim haji tahun kesepuluh. Adapun cara yang ditempuh beliau dalam menawarkan Islam itu, dan bagaimana penolakan mereka, telah digambarkan oleh Ibnu Ishaq sebagai berikut:

Bani Kalb. Nabi saw datang sendiri ke perkampungan mereka, yang juga disebut Bani Abdullah. Beliau menyeru kepada Allah dan berhadapan langsung dengan mereka. Beliau bersabda kepada mereka. “Wahai Bani Abdullah, sesungguhnya Allah telah membaguskan nama bapak kalian.” Namun mereka tetap menolak apa yang ditawarkan itu.

Bani Hanifah. Beliau mendatangi mereka, dari pintu ke pintu, dari rumah ke rumah dan beliau sendiri yang menawarkan kepada mereka. Namun tak seorang pun di antara orang-orang Arab yang lebih buruk penolakannya dari penolakan mereka.

Bani Amir bin Sha’sha’ah. Beliau mendatangi mereka dan menyeru mereka kepada Allah. Baiharah bin Firas, salah seorang pemuka mereka berkata, “Demi Allah, andaikata aku boleh menculik pemuda ini, tentu orang-orang Arab akan melahapnya.” Kemudian dia melanjutkan, “Apa pendapatmu jika kami berbaiat kepadamu untuk mendukung agamamu, kemudian Allah memenangkan diriimu dalam menghadapi orang-orang yang menentangmu, apakah kami masih bisa mempunyai kedudukan sepeninggalmu?”

Beliau menjawab, ”Kedudukan itu hanya pada Allah. Dia meletakkannya menurut kehendak-Nya.” Baiharah berkata, “Apakah kami harus menyerahkan batang leher kami kepada orang-orang Arab sepeninggalmu? Kalaupun Allah memenangkanmu, toh kedudukan itu juga akan jatuh kepada selain kami. Jadi, kami tidak membutuhkan agamamu.”

Meka mereka semua menolak seruan beliau. Setelah pulang dari menunaikan haji, mereka bercerita kepada seorang tetua mereka yang tidak bisa berangkat ke Makkah karena usianya yang sudah lanjut, “Ada seseorang pemuda Quraisy dari Bani Abdul Muththalib menemui kami, yang mengaku sebagai nabi. Dia mengajak kami agar kami mau melindunginya, berdiri bersamanya dan pergi ke negeri kami bersamanya.”

Orang tua itu meletakkan kedua tangannya di atas kepala, lalu berkata, “Wahai Bani Amir, adakah sesuatu milik Bani Amir yang tertinggal? Adakah seseorang yang mencari barangnya yang hilang? Demi diri Fulan yang ada di tangan-Nya, itu hanya dikatakan keturunan Isma’il. Itu adalah suatu kebenaran. Mana pendapat yang dahulu pernah kalian kemukakan?”.

Dakwah Rasulullah pada musim haji tahun kesebelas nubuwah membawa titik terang arah dakwah selanjutnya. Dari enam orang inilah kemudian Islam menyebar di Madinah dan menjadi kota yang siap menerima kepemimpinan Islam.

Pada musim haji tahun kesebelas dari nubuwah, tepatnya pada bulan Juli tahun 620 M, dakwah Islam memperoleh benih-benih yang baik, dan secepat itu pula tumbuh menjadi pohon yang  rindang. Di bawah lindungannya, orang-orang Muslim bisa melepaskan diri dari lembaran-lembaran kezhaliman dan kesewenang-wenangan yang telah berjalan beberapa tahun.

Ada satu langkah bijaksana yang dilakukan Rasulullah saw dalam menghadapi tindakan penduduk Makkah yang selalu mendustakan dan menghalang-halangi orang yang mengikuti jalan Allah, yaitu beliau menemui berbagai kabilah pada malam hari, sehingga tak seorang pun dari orang-orang musyrik Makkah yang bisa menghalang-halanginya.

Suatu malam dengan ditemani Abu Bakar dan Ali, beliau keluar dan melewati perkampungan Dzuhl dan Syaiban bin Tsa’labah. Beliau menyampaikan Islam kepada mereka. Abu Bakar dan seseorang dari Dzuhl mengadakan perdebatan yang cukup seru. Adapun Bani Syaiban memberikan jawaban yang tuntas, namun mereka masih menunda untuk menerima Islam.

Kemudian Rasulullah saw melewati Aqabah di Mina. Di sana beliau mendengar beberapa orang yang sedang berbincang. Maka beliau mendekati mereka. Ternyata mereka adalah enam orang pemuda Yastrib (setelah Rasulullah hijrah diubah menjadi Madinah), yang semuanya berasal dari Khazraj, yaitu:

1.    As’ad bin Zurarah, dari Bani An-Najjar
2.    Auf bin Al-Harits bin Rifa’ah bin Afra, dari Bani An-Najjar
3.    Rafi’ bin Malik bin Al-Ajlan, dari Bani Zuraiq
4.    Quthbah bin Amir bin Hadidah, dari Bani Salamah
5.    Uqbah bin Amir bin Nabi, dari Bani Ubaid bin Ka’b
6.    Jabir bin Abdullah bin Ri’ab, dari Bani Ubaid bin Ghanm

Untungnya mereka pernah mendengar dari sekutu-sekutu mereka dari kalangan Yahudi Madinah, bahwa ada seorang nabi yang diutus pada masa ini, yang akan muncul dan mereka akan mengikutinya, sehingga mereka bisa memerangi Khazraj seperti peperangan yang menghancur leburkan kaum Ad dan Iram.

“Siapakah kalian ini?” tanya beliau setelah saling bertemu muka dengan mereka.
“Kami orang-orang dari Khazraj,” jawab mereka.
“Sekutu orang-orang Yahudi?” tanya beliau.
“Benar,” jawab mereka.
“Maukah kalian duduk-duduk agar bisa berbincang-bincang dengan kalian?”
“Baiklah.”

Mereka pun duduk-duduk bersama beliau, lalu beliau menjelaskan hakikat Islam dan dakwahnya, mengajak mereka kepada Allah dan membacakan Al Qur’an. Mereka berkata, “Demi Allah, kalian tahu sendiri bahwa memang dia benar-benar seorang nabi seperti apa yang dikatakan orang-orang Yahudi. Janganlah mereka mendahului kalian. Oleh karena itu segeralah memenuhi seruannya dan masuklah Islam!”

Mereka ini termasuk pemuda-pemuda Yastrib yang cerdas. Setiap saat peperangan antarpenduduk siap meluluhlantakkan, yang saat itu pun baranya masih tetap menyala. Maka mereka berharap dakwah beliau ini bisa menjadi sebab untuk meredakan peperangan. Mereka berkata, “Kami tidak akan membiarkan kaum kami dan kaum lain terus bermusuhan dan berbuat jahat. Semoga Allah menyatukan mereka dengan engkau. Kami akan menawarkan agama yang telah kami peluk ini. Jika Allah menyatukan mereka, maka tidak ada orang yang lebih mulia selain daripada diri engkau.”

Sekembalinya ke Madinah, mereka membawa risalah Islam dan menyebarkannya di sana. Sehingga tidak ada satu rumah pun di Madinah melainkan sudah menyebut nama Rasulullah saw.
Enam orang ini pada musim haji berikutnya, tahun keduabelas nubuwah, kembali ke Makkah dengan membawa enam tokoh Madinah lainnya. Total mereka sekarang berjumlah 12 orang. Kemudian terjadilah Baiat Aqabah Pertama. Saat mereka hendak kembali ke Madinah, Rasulullah menyertakan bersama 12 orang itu salah satu sahabat terbaik, Mush’ab bin Umair.

Demikianlah Rasulullah Saw berhasil menggunakan momentum haji untuk mendakwah Islam kepada kabilah-kabilah Arab. Haji bukanlah sekedar ibadah ritual, tetapi haji dapat berdimensi dakwah, politik dan ekonomi. Saat ini ketiga dimensi itu seolah sirna dalam pelaksanaan ibadah haji sehingga seolah ibadah haji hanya menjadi ritual tahunan.

Kedepan semoga momentum haji dapat menjadi sarana untuk menyatukan umat Islam, baik secara politik maupun ekonomi. Wallahu a’lam. (shodiq ramadhan)


Template by:

Free Blog Templates