Allah SWT "Sang Maha Guru"



Sabtu, 13 Oktober 2012 10:28 pandaisikek.net 

Persiapan untuk Sang Khalifah

30. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

31. Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!"

32. Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
33. Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

34. Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orangorang yang kafir.


Di dalam Al-Qur’an, ada satu episode menarik tentang rencana penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Episode ini dimulai dengan dialog antara Allah SWT dan para malaikat tentang rencana penciptaan manusia dan tujuannya hingga keberadaan Adam AS di bumi dengan berbagai pilihan dan konsekuensinya. Dijelaskan bahwa salah satu tujuan penciptaan manusia adalah sebagai khalifah Allah di muka bumi (Khalifatullah fil Ardhi). Salah satu arti dari khalifah adalah pengganti atau wakil Allah, yang bertugas mewujudkan rencana Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta (Rabbul Aalamin). Pemilihan Adam (atau manusia), sebagai pengemban amanah yang amat berat tentulah memiliki alasan kuat. Salah satu alas an terpenting adalah adanya potensi Ilmu pengetahuan pada diri manusia dan kemampuan untuk mengembangkannya. Kedua hal tersebut sangat diperlukan di dalam pelaksanaan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi, di samping berbagai persyaratan-persyaratan lainnya. Setidaknya ada dua pelajaran berharga yang dapat diambil dari peristiwa tersebut di atas, yaitu bahwa Allah SWT adalah sumber pertama dan utama dari ilmu pengetahuan ”The Ultimate Source of Knowledge” sekaligus sebagai ’Facilitator’ yang memfasilitasi proses  pembelajaran, atau penguasaan, pengembangan, dan penciptaan ilmu pengetahuan secara mandiri pada diri manusia. Secara umum dapat dikatakan bahwa Allah SWT adalah ’Sang Maha Guru’ pertama bagi manusia yang di dalam rangkaian ayat-ayat tersebut di atas direpresentasikan oleh Adam AS manusia pertama yang di muka bumi.

Bahkan Allah SWT tidak malu-malu mengajari lebah untuk membuat sarang, dengan bentuk heksagonal, rumah dengan ventilasi canggih, kuat, indah, dll. Padahal yang namanya lebah tidak pernah ”sekolah” teknik sipil atau arsitektur. Suatu bahasa (kalam) pengajaran antara Sang Maha Guru dengan ciptaannya. Lebah paham apa yang harus dilakukan untuk membuat tempat tinggal.

Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, ”Buatlah sarang-sarang dibukit-bukit, dipohon-pohon kayu dan ditempat-tempat yang dibikin manusia” (Surat An-Nahl 16 :68).

Anak binatang yang baru lahir, juga mendapat pengajaran dari Allah SWT. Ketika haus dan lapar mereka secara otomatis mencari sumber makanan dengan cara menyusu kepada induknya. Anehnya, sang anak menyusu dan mencari tempatnya tanpa pengajaran induknya. Sang induk tidak menyodor-nyodorkan kepada anaknya. Namun secara otomatis sang anak tahu harus ditempat mana mereka menyusu (coba perhatikan anak kucing, tikus, dll). Padahal mereka belum bisa melihat. Siapa yang mengajarinya? Allah SWT.

Begitulah Allah SWT menunjukkan kekuasaannya kepada makhluknya. Dia-lah Sang Maha Guru. Allah-lah Sang Waliyyan Mursidan.

Lalu bagaimana dengan manusia? Sebagaimana Adam AS dan para Nabi/Rosul lainnya, mereka juga belajar kepada Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan kepadanya. Sedangkan kita umat Rosululloh, SAW seharusnya juga belajar dan berguru kepada Allah SWT. Karena manusia adalah makhluk lemah, hina dan bodoh.

Banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah, SWT adalah Sang Guru kepada manusia. Coba perhatikan ayat-ayat berikut ini :

”Sesungguhnya Allah sebaik-baik mengajar kepadamu...(Surat An-Nissa’ 4 : 58)

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Surat Yunus 10:57).

”Dan inilah jalan Tuhanmu (jalan) yang lurus. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat (kami) kepada orang-orang yang mengambil pelajaran” (Surat Al-An’am 6 : 126).

”..Dia mengajarkan kepadamu, mudah-mudahan kamu mendapat peringatan.” (An-Nahl 16 : 90)

Bahkan juga Allah SWT memperingatkan kepada manusia, apabila mereka tidak mau belajar dan berguru kepada-Nya maka syaitan-lah yang menjadi pemimpinnya untuk menyesatkan dari jalan Allah, SWT.

Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya". (Surat Az-Zukhruf 43 : 36).

"Sesungguhnya setan menghalangi mereka dari jalan (agama), sedang mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk". (Surat Az-Zukhruf 43 : 37)

Sebagai Pemilik dan Sumber dari semua ilmu pengetahuan, Allah SWT memiliki hak prerogratif untuk memberikan ilmu pengetahuan pengetahuan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui fakultasfakultas yang tersedia. Di dalam filsafat ilmu sekular, sumbersumber ilmu pengetahuan yang diakui hanyalah yang berasal dari hasil proses berpikir manusia (nalar) maupun pengalaman inderawi (empirik) dengan menafikan hal-hal yang sifatnya langsung dari sisi Allah SWT (ladduni) untuk mahluk yang dipilih dan dikehendaki-Nya, melalui wahyu/ilham atau instinct.

Selanjutnya sangat menarik untuk mengkaji bagaimana Allah SWT, ’Sang Maha Guru’, mengajarkan ilmu pengetahuan kepada manusia, yaitu dengan terlebih dahulu mengajarkan nama-nama (benda) seluruhnya (QS.2:31). Mengajar (‘alama) memiliki dimensi yang lebih luas dan komprehensif daripada memberitahu (naba’a), seperti apa yang dilakukan oleh Adam kepada Malaikat.

Mengajar memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada memberitahu, mengabarkan atau memberi informasi. Menarik pula untuk diperhatikan bahwa di dalam mengajarkan ilmu pengetahuan, Allah SWT memulainya dengan cara mengajarkan nama-nama (benda) seluruhnya secara lengkap, yang kelak diketahui sebagai cara terbaik untuk mulai mengajarkan ilmu pengetahuan. Dari perspektif ilmu pengetahuan kata al-asma dapat pula dipahami sebagai konsep-konsep dasar yang diperlukan untuk menyusun teori-teori dan membangun ilmu pengetahuan.

Dalam ilmu pendidikan barat tujuan proses pembelajaran, baik untuk ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik, dapat dimulai dari tingkat terendah hingga ke tingkat yang lebih tinggi (dikenal sebagai Taksonomi Blomm). Pada tahap awal proses pembelajaran kepada Adam (manusia), ternyata Allah SWT memulainya dengan tujuan proses pembelajaran yang paling rendah. Dalam ranah kognitif (cognitive domain), keluaran yang paling rendah dari proses pembelajaran adalah knowledge, sebelum meningkat ke yang lebih tinggi, yaitu comprehension, application, analysis, synthesis, dan evaluation. Secara sederhana knowledge atau pengetahuan dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengingat materi yang telah diajarkan sebelumnya. Hal ini meliputi penyebutan kembali (recall) berbagai materi, dari fakta spesifik hingga ke teori yang lebih lengkap.

Allah SWT juga mengevaluasi hasil proses pembelajaran tingkat pertama tersebut dengan cara meminta Adam untuk menyebutkan kembali (me-recall) nama-nama yang diajarkan, saat Allah SWT memintanya untuk memberitahukan kepada malaikat nama-nama tersebut. Potensi manusia untuk mengembangkan pengetahuan jauh berada di atas malaikat. Potensi ilmu pengetahuan, sebagaimana halnya dengan potensi keimanan, pada hakikatnya adalah sesuatu yang telah berada dalam diri setiap manusia (built in) atau sesuatu yang bersifat fitriyah berkaitan dengan fakultas-fakultas yang telah disediakan pada diri manusia (akal dan pancaindera). Jika kemampuan malaikat hanya sebatas mengetahui apa yang telah diajarkan Allah SWT kepadanya sebagaimana yang diakuinya, maka Adam (dan seluruh manusia) memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya dan menemukan ilmu pengetahuan baru. Pada malaikat, seperti yang diakuinya sendiri, tidak terdapat potensi untuk menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan sebagaimana yang dimiliki oleh manusia. Itu sebabnya (wallahu ’a’lam) mengapa Adam tidak diperintahkan untuk ’mengajarkan’ konsep-konsep yang telah dikuasinya kepada malaikat tetapi cukup sekedar memberitahukannya (transfer of information) karena memang malaikat tidak dianugerahi potensi untuk melakukan proses pembelajaran yang melibatkan nalar di samping pengalaman empiriknya sebagaimana yang diakui oleh malaikat sendiri. Proses pembelajaran sejatinya adalah proses menggali, menemukan, dan menyusun kembali pengetahuan, bukan sekedar pemindahaan informasi dari satu kepala ke kepala lainnya. Salah satu metode yang digunakan untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan, dengan landasan berpikir yang logis dan terstruktur (critical thinking), adalah Socratic Questioning. Teori ini mengakui adanya potensi untuk menemukan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan pada manusia. Dalam konteks yang lebih luas, dikenal pula aliran konstruktivisme dalam proses pembelajaran (constructivism). Hal menarik lainnya adalah tentang proses pembelajaran yang terjadi, baik pada para malaikat atau pada diri Adam. Di dalam teori pendidikan proses pembelajaran dapat dibagi menjadi beberapa tahap atau fase, dimulai dari fase motivasi hingga umpan balik. Motivasi dalam proses pembelajaran amatlah penting. Adam, sebagai khalifah di muka bumi memiliki tugas pokok tertentu, yaitu mewujudkan rencana Allah di muka bumi dan untuk dapat melaksanakannya, manusia memerlukan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, terdapat alasan dan motivasi yang kuat pada diri adam dan manusia seluruhnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Hal yang sama tidak terjadi dengan malaikat. Tugas pokok malaikat tidak memerlukan ilmu pengetahuannya, sehingga Allah SWT tidak perlu mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi hanya memberitahukannya melalui Adam. Wallahu ’a’lam.

Dalam dunia pendidikan tinggi, telah berkembang pendekatan baru dalam proses pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa, yaitu student-centered learning. Pendekatan yang pertama adalah  based learning (PBL), yaitu proses pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa sebagai subyek proses pembelajaran dengan menggunakan stimulus atau pemicu berupa masalah-masalah. PBL sebenarnya bukanlah konsep yang sama sekali baru bagi kita. Sebelumnya telah dibahas bahwa Allah SWT menyampaikan informasi penting mengenai penciptaan Adam kepada para malaikat dengan cara dialog. Yang menarik adalah, Allah SWT memulainya dengan sebuah pernyataan pemicu, bahwa “Allah SWT akan menjadikan menjadikan seorang kalifah di muka bumi” Dari pernyataan itulah muncul pertanyaan kritis dari para malaikat, berdasarkan pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya, untuk kemudian memperoleh jawabannya sendiri, melalui pengalamannya sendiri berupa ketidakmampuan mereka untuk menyebutkan nama-nama benda serta hasil pengalaman inderawi mereka bahwa Adam dapat memberitahukan nama-nama tersebut seluruhnya seperti yang diperintahkan oleh Allah SWT.

Adam (dan seluruh manusia) dihadapkan pada berbagai masalah nyata (real life problem) dalam kaitan dengan tugasnya sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi. Manusia terus belajar, mengembangkan potensi pengetahuan yang dimilikinya berdasarkan masalah-masalah pemicu tersebut. Belajar dalam hal ini menjadi sangat dianjurkan jika sesuai dengan tugas manusia atau bahkan dapat menjadi kewajiban individu dan kolektif jika diperlukan sebagai prasyarat penting untuk dapat melaksanakan kewajiban, baik sebagai hamba (abdullah) maupun khalifah Allah di muka bumi (khalifatullah fil ardhi). Sebaliknya belajar menjadi kurang bermanfaat atau sia-sia jika tidak berkaitan dengan tugas manusia atau bahkan menjadi terlarang jika mendatangkan mudharat atau bersifat kontra produktif. Manusia dalam hal ini dituntut untuk dapat menentukan sendiri kebutuhan belajarnya dan mempelajari sendiri apa yang diperlukannya berdasarkan hasil identifikasi tersebut. Sebagai hamba misalnya, manusia diperintahkan untuk mendirikan shalat sebagai salah satu bentuk pengabdiannya secara khusus kepada Allah SWT. Untuk mendirikan shalat dengan baik diperlukan ilmu pengetahuan, baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung, baik pokok maupun cabangnya. Seseorang misalnya harus tahu ilmu tentang syarat sah, wajib, dan rukun shalat sebelum mendirikan shalat. Salah satu syarat, misalnya, suci dari hadats kecil dan besar. Untuk bersuci dibutuhkan air ’bersih’, yang suci dan mensucikan. Untuk menyediakannya diperlukan ilmu. Selain itu, shalat harus dilakukan pada waktunya. Untuk itu diperlukan ilmu pengetahuan tentang waktu, peredaran bumi dan matahari yang melahirkan ilmu falak dan hisab, ilmu bumi dan matematika. Sebagai khalifah, lebih banyak, beragam, dan spesifik ilmu pengetahuan yang harus dikuasai dan dikembangkan untuk mengatasi berbagai macam permasalahan global.

Marilah, dengan kesadaran, dan kerendah-hatian kita, dengan membawa kelemahan dan kebodohan kita, bersimpuh dan bersujud-lah dihadapan Dzat yang memiliki segala ilmu, petunjuk, penuntun dan pemberi cahaya untuk selalu minta dituntun hidup kita, sehingga selamat dunia dan akhirat. Aamiin.

Dari berbagai sumber

Template by:

Free Blog Templates