Kato Pusako (1) : Kieh Kato

AB. Dt Madjo Indo
Minangkabau adalah pula wilayah sastra. Generasi Minangkabau terkenal kuat, karena kato. Kata adalah sesuatu kekuatan budaya yang dominan di dalam pergaulan bertata kerama di Minangkabau.Bila seseorang tidak mengerti dengan kiasan dan ujung kata yang ditujukan kepadanya, maka ia dipandang sebagai orang “kurang” atau orang yang  rendah pikir, sehingga digambarkan dengan ungkapan berikut:

“tak tahu di rundiang kato putuih
tak tahu di kieh kato sampai”
(tak tahu pada  rundingan kata putus
tak tahu  pada kiasan kata sampai).[1]

Hancurnya moral lebih banyak disebabkan kehancuran penegak moral itu. Bila kita melihat salah satu bimbingan syarak, maka moralitas satu kaum atau bangsa dipegang utamanya oleh kaum ibu. Di Minangkabau kaum ibu disebut bundo kanduang. Pesan Agama menjelaskan bahwa “kaum perempuan adalah tiang sebuah negeri, bila dia baik akan baik pula negeri itu dan bila mereka telah rusak, akan binasalah negeri itu”.

Maka tidak salah manakala orang Minangkabau menghormati kaum perempuan. Wisram Hadi, menyebutkan Minangkabau “Negeri kaum Perempuan”, tidaklah berlebihan. Karena itu menjaga muruah (marwah)  sebagai perempuan dan juga lelaki yang akan melindungi perempuan itu, menjadi amat penting dalam kato di Minangkabau, seperti yang diungkapkan dengan:

“Arang lah tacoreang di muko,
aiklah sakuliliang badan
Lah cabiak baju di dado
Tak ka tatutuik jo tapak tangan”
(Arang sudah tergores di muka,
Aib telah sekeliling tubuh,
Telah robek baju di dada
Tak akan tertutup dengan telapak tangan). [2]


Menambah yang telah ada merupakan bakti kepada ibu sebagai imbalan dari kasih sayangnya yang tidak mungkin terbalas itu, sehingga seorang ibu menasehati jejakanya yang baru menikah:

“Kok indak ka manambah
jan dicinto mangurangi
Kok tak ado pitih balanjo,
elok usaho dipabanyak,
kok tak ado pulo usaho,
tolonglah urang jo bicaro,
panjangkan aka jo budi”
(Kalau tidak akan menambah
jangan dicita mengurangi
kalau tak ada uang belanja
baiklah usaha diperbanyak
kalau tak ada pula usaha
tolonglah orang dengan bicara
panjangkan akal dengan budi).[3]

Demikianlah seorang laki-laki harus menjaga ketentraman rumah, kendati pun pada suatu waktu ia akan menjadi sumando (semenda) orang lain. Di rumah isterinya itu, janganlah pula sampai menyusahkan. Di sini pun laki-laki sebagai suami menjadi pagar baja bagi keluarga istrinya.  Dia harus menjadi “sumando niniak mamak” (semenda ninik mamak), yang tahu akan tugas dan kewajibannya di rumah istrinya. Andaikata para jejaka yang meninggalkan rumah ibundanya gagal dalam memenuhi bebannya, maka kesalahan tumbuh karena kelalaian diri seorang jua adanya.

“Bukan salah bungo limbayuang

Salah dek banda mangulito

Buka salah bundo manganduang

Salah dek badan nan buruak pinto
(Bukan salah bunga lembayung
salahnya bamban manggelita
bukan salah bunda mengandung
salahnya badan yang buruk pinta)[4]

Kesalahan diri karena tidak hendak memperbaiki akan berujung kepada penyesalan sepanjang hayat. Tidak dapat tidak akan membawa badan larat melarat, berrurai air mata. Kesalahan diri lazimnya datang karena tidak mau menuruti nasehat dan petuah orang tua jua adanya.

“Lieklah mande dadak mande

Habih dikaih ayam sajo
Lieklah mande anak mande
Makan bakuah aia mato”
(Lihatlah bunda dedak bunda
habis dikais ayam saja
Lihatlah bunda anak bunda
Makan berkuah air mata).

Petaruh kepada seorang lelaki jejaka yang beranjak meninggalkan rumah, dengan teguh dilakukan oleh ayah bunda. Pesan pertama yang mesti diikuti dan dipegang dalam tata pergaulan adalah menghormati ibu. Di manapun kita berada ada keharusan mencari  ibu atau mandeh, sebelum mencari yang lainnya.

Senyatanya ini adalah ajaran syara’ atau agama Islam yang hakiki, bahwa sorga dan kebahagiaan ada pada kerelaan seorang ibu. Ridha Allah akan diperdapat karena ridhanya ayah bunda. Kemudian dilanjutkan bahwa sorga terletak di bawah telapak ibu. Di sinilah pertanda hidupnya akal budi dengan menghormati ayah dan ibu.


Kok buyuang pai ka pakan
Iyu bali balanak bali
Ikan panjang bali dahulu
Kok iyo buyuang ka bajalan
Ibu — mande — cari dunsanak cari

Induak samang cari dahulu

(Kalau anak pergi ke pekan
yu beli belanak beli
ikan panjang beli dahuu
kalau bujang pergi berjalan
ibu cari dunsanak cari
induk semang cari dahulu).[5]


Sinar dari garis ibu itulah hakikinya turunan manusia. Ibu yang mengandung sembilan bulan sepuluh hari dengan derita di atas derita. Garis ibu pulalah garis turunan manusia pertama kali. Tidaklah manusia akan hadir kebumi, beranak pinak jika yang ada hanya kaum Adam belaka. Dari pada Adam yang ditempa dari tanah ibarat tembikar itu, dengan kekuasaan Allah ditiupkan ruh kedalam jasadnya yang telah berupa dan berbentuk.
Adam pun diberi kemulian dengan ilmu. Dihiasi pula hidupnya dengan kehendak, nafsu dan keinginan yang dikendalikan oleh akal fikiran sehat , dan  dikunci oleh akal budi. Konon, dari batang tubuh Adam ini diambil sebilah tulang rusuknya oleh Allah Azza Wajalla untuk menciptakan nenek kita Siti Hawa. Sesungguhnya, peristiwa ini ibrah atau ibarat sangat dalam bahwa lelaki dan perempuan adalah batang tubuh yang satu Maka ada kewajiban, bahwa antara satu dan lainnya, antara kaum lelaki dan kaum perempuan, mesti saling menjaga harkat kemuliaan.

Dari batang tubuh yang satu itu pula kemudian dilahirkan laki-laki dan perempuan yang banyak, beranak pinak, bercucu bercicit, hingga kegenerasi kini dan esok, sampai hari kiamat nanti. Maka nasehat dan petuah tidak semata datang dari ayah. Tetapi bermula dari ibu, melalui jujai dan menjujai.

Di sini kita melihat kearifan budaya adat Minangkabau yang meletakkan penghormatan kepada mande hingga memakai sistim matrilineal, yang bukan matriarchaat, sebab kekuasaan ayah masih dominan dalam nasab. Karena itu, orang Minangkabau bernasab ke ayah, bersuku ke ibu dan bersako ke mamak, dengan artian bermartabat gelar dari mamaknya.

Maka nasehat mande adalah symbol garis turunan ibu. Ketika nasehat mande tidak dihiraukan, bencana akan dating timpa bertimpa, dan malapetaka mengintai dimana-mana.

Ijuk akan sama di hamparan,
berbandar ke Limau purut,
esok akan sama dirasakan,
nasehat bunda tidak diturut.
(ijuk akan sama di hamparan,
Berbandar ke Limau Purut,
Esok akan sama dirasakan,
Bila nasehat bunda tidak dituruti.

Walaupun bahaya itu dirasakan juga bersama-sama kelak kemudian hari di yaumil mahsyar (isuak kan samo dirasokan). Namun ucapan kato dari ibu itu bukan berarti penyesalan, akan tetapi hanyalah karena hendak berbagai sedih saja. Hakekat nasehat dari mande dalam garis keturunan ibu, jika selalu diperpegangi akan menjadi sesuatu yang baik.

Siriah naiak junjuangan naiak
Bari bajanjang kayu laban
Sansai baiak binaso baiak
Badan ang juo manangguangkan
(sirih naik junjungan naik
beri berjenjang kayu laban
sengsara baik binasa baik
badanmu juga menanggungkan)

Ibu yang memberikan pedoman dan nasehat itu tidak akan apa-apa, anak laki-laki yang akan menanggungkan (merasakan), bila menyimpang dari ketentuan pesan tersebut. Seorang laki-laki secara fitrah banyak menentukan sesuatu perbuatan dengan alamnya. Andaikata dalam sesuatu pencapaian harapan, di alami benturan-benturan kehidupan, maka kembalilah harapan itu ditumpahkan kepada ibu (bukan ayah), sebagaimana harapan Malin Deman kepada Mande (ibu) Rubiah yang melakoni peranan ibu Minangkabau dalam Kaba Malin Deman:

“Anak todak dikulik lokan
Disemba dek buruang alang
Dibao tabang ka sasaran
Hinggok di rantiang kayu landak
Jikok indak mande katokan
Nyao putuih badanlah hilang
Tasirah tanah pakuburan
Kasiah sayang bacarai indak”
(anak todak di kulit lokan
disambar oleh burung elang
dibawa terbang ke sasaran
hinggap di ranting kayu landak
jika tidak bunda katakan
nyawa putus badanlah hilang
termerah tanah pekuburan
kasih sayang bercerai tidak).[6]
Dalam sikap hidup bermasyarakat dijelaskan dalam fatwa adat:

“Kaluak paku kacang balimbiang

pucuaknyo lenggang-lenggangkan
dibao urang ka Saruaso
Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Dijago nagari jan binaso.
(keluk paku kacang belimbing
pucuknya lenggang-lenggangkan
dibawa orang ke Saruaso
Anak dipangku kemenakan dibimbing
Orang kampung dipertenggangkan
Dijaga nagari jangan binasa).[7]

Dalam pepatah adat, akan digambarkan sebagai obyek penelaahan akan tetapi juga harus dijadikan suri tauladan sebagai guru,  sebagaimana disebutkan dalam ungkapan berikut:
“Panakiak pisau sirauik
Ambiak galah batang lintabuang
Salodang ambik ka nyiru
Nan satitiak jadikan lauik
Nan sakapa jadikan gunuang
Alam takambang jadikan guru”
(Penakik pisau seraut
ambil galah batang lintabung
salodang jadikan niru
yang setitik jadikan laut
yang sekepal jadikan gunung
alam terkembang jadikan guru).[8]

Di sini ternyata lagi, betapa besar pengaruh monisme yang mengakibatkan aspek emosional bahasa itu. Coba kita perhatikan pepatah adat Minangkabau berikut:
“Kalau dibalun sabalun kuku
Kalau dibantang  saleba alam
Walau sagadang bijo labu
Bumi jo langik ado didalam”
(Kalau digumpal  sekecil kuku
kalau dibentang selebar alam
Walau sebesar biji labu
Bumi dan langit ada di dalam).
“Kalimaia ditimpo batin
Mati ditimpo galo-galo
Dalam laia ado babatin
Dalam batin bakulimaik pulo
(Kelemayar ditimpa batin
mati ditimpa gala-gala
dalam lahir ada berbatin
dalam batin berkelipit pula).


Emosi yang kuat dapat  meraba isi ungkapan paradok di atas.
Begitupun “dalam laia ado babatin” merupakan alihan dari “dalam tersurat ada tersirat“. Oleh sebab itu pula pepatah-pepatah seperti dibahas tidak kita pandang sebagai sikap pesimistis, sebab selamanya harus dicari pada daerah jangkauan emosi. Perhatikanlah pula pepatah yang berikut ini ;
“kok mandi  di hilia-hilia
kok manyauak di bawah-bawah
kok bakato marandah-randah
kok anak bapisau tajam
kok bapak badagiang taba
sapandai-pandai mancancang
tungkahan juo nan kalusuah
sapandai-pandai batenggang
sipangka juo nan ka luluah”
(kalau mandi di hilir-hilir
kalau menyauk di bawah-bawah
kalau berkata merendah-rendah
jika anak berpisau  tajam
kalau ayah berdaging tebal
sepandai-pandai mencencang
landasan juga yang akan lusuh
sepandai-pandai bertenggang
sipangkal juga yang akan luluh).[9]

Penghargaan terhadap alam mengajak emosi untuk menempuh jalan belakang, atau dari seluruh penjuru (atau yang tersirat) untuk memperoleh hakekat yang dikandung oleh pepatah tersebut. Nanti jika emosi sudah sanggup meraba, barulah pikiran kita menampak kebenarannya. Demikian terang, betapa aspek emosional itu selalu bergandengan dengan logika dalam bahasa Minangkabau yang berfungsi sebagai pendalam pengertian dan menjaga keindahan bahasa. Namun aspek ini tidaklah mengarah kepada ungkapan “Bila emosi telah berbicara, pupuslah (habislah) semua pertimbangan akal“. Maka dalam bertutur bahasa Minangkabau, emosi mengendalikan akal pikiran, dan dalam semasa pikiran juga memandu emosi. Di sini terlihat besarnya hikmah yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia.

Allah SWT berfirman, “man yu’ta al hikmata faqd utiya khairan katsiran”, maknanya, siapa yang diberi hikmah tentulah dia telah mendapatkan anugerah yang sangat besar. Hikmah diperdapat melalui ajaran agama (syarak mangato), dan melalui pembelajaran, pendalaman dan pemahaman dari ilmu pengetahuan. Di samping itu, yang paling menentukan pula di dalam pembentukan watak anak manusia adalah, pembiasaan terus menerus dari kebiasaan (‘urf) luhur, yang telah tumbuh dan berekembang baik sejak anak-anak turunan berusia dini. Pendidikan watak itu, dimulai dari pembiasaan berbahasa yang santun, elok dan indah dari lingkungan keluarga, rumah tangga dan pergaulan keseharian. Dari sini dimulai langkah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) itu.

Kedua unsur di antara “rasa dan periksa” itu, akan selalu isi mengisi. Di sini pula terlihat keharusan materi pendidikan untuk sebisanya  dapat mempertimbangkan aspek rasa dan aspek logika dalam masyarakat.

Bagi orang tua-tua di Minangkabau hal ini disadari sebagai tanggung jawab mereka. Tanggung jawab untuk mewariskan kepada  generasi pelanjut yang akan datang. Agar tata berbahasa di dalam mengungkapkan maksud dan tujuan yang akan di utarakan jelas serta tidak menghadirkan konflik, baik bagi yang mengungkapkan, apalagi bagi yang akan menerima.
Kehati-hatian dengan perilaku seseorang sangat  penting, oleh karena akibatnya tidak ditanggung sendirian saja. Moral ini digagaskan oleh pepatah:
“ingek-ingek nan  mamanjek
nan di bawah jaan jatuah
ingek   dahan nan ka maimpok
rantiang kok  nan kamalato”
(ingat-ingat yang memanjat
yang di bawah jangan jatuh
ingat dahan yang akan menimpa
ranting yang akan melata).
Selanjutnya konsep tentang hidup bersama dapat dilihat dalam fatwa berikut:
“dikaba baik  baimbauan
dikaba buruak ba ambauan
jauah cinto mancinto
dakek jalang manjalang”,
(jika ada kabar baik diimbaukan
jika ada kabar buruk berdatangan
jika jauh ingat mengingat
bila dekat jelang menjelang).
Konsep mengenai perimbangan pertentangan, sebagaimana keharusan sifat manusia yang tidak mungkin baik selalu atau jahat selalu Sebagaimana dipahami dalam kehidupan bahwa “inna az zaman qad istadara”, artinya “zaman selalu berubah dan musim senantiasa berganti, maka tidak mungkin manusia dan satu keadaan tetap adanya. Yang selalu ada adalah berubah selalu. Perubahan, bagaimanapun deras ataupun tenangnya hanya mungkin diarahkan kepada satu jurusan yang dikehendaki  dengan pertolongan pengaruh luar
Dalam hal penggunaan bahasa ungkapan di Minangkabau, juga diterapkan dengan  bahasa dan sastra yang indah. Seperti ;
“sayang di anak  dilacuk-I,
sayang di kampuang ditinggakan”
(sayang pada anak  dilecuti,
sayang pada kampung ditinggalkan).


Penggunaan ungkapan ini memberi arti dalam kehidupan berkeluarga. Peringatan dan pendidikan tetap dilakukan dengan kasih sayang. Namun, di dalam pelaksanaan, atau realitas masih terbuka kemungkinan, ketika bersua pembangkangan. Kedua orang tua yang memiliki wewenang mendidik dan membentuk watak generasi pelanjutnya, masih mempunyai jalan terbuka. Penerapan aturan yang tegas, untuk melaksanakan hukuman atas pembangkangan, dan dilakukan semata karena kasih sayang jua adanya. Sekali bukan karena balas dendam tanpa kendali.

Di sinilah kekuatan sastra lisan Minangkabau, yang tidak hanya kuat dalam ungkapan tetapi juga teguh dalam konsep. Di dalam sikap bergaul, konsep keseimbangan ini tetap dijalankan. Sebagai dijelaskan oleh pepatah kehidupan sebagai berikut ;
“jikok tagang bajelo-jelo
jikok kandua badantiang-dantiang
dari pai suruik nan labiah
samuik tapijak indak mati
alu tataruang patah tigo”
(jika tegang berjela-jela
jika kendur berdenting-denting
dari pergi surut yang banyak
semut terpijak tidak mati
alu tertarung patah tiga).[10]

Hendaklah dimaklumi, bahwa perimbangan pertentangan itu terlihat juga dalam menentukan serta melaksanakan berbuat, seperti dilukiskan dengan indah penuh makna di dalam ungkapan berikut:
“mancancang indak mamutuihkan
manikam indak manabuak-i
mangauik indak mangameh-an
mangaruak indak mahabih-i”

(mencencang tidak memutuskan
menikam tidak menembus
meraup tidak mengemasi
mengeruk tidak menghabisi).

Konsep hidup bergaul dengan mengedepankan keseimbangan, menjadi kekuatan besar di dalam berhadapan dengan lawan.

Taktik yang tepat dan tidak semata lihai tidak  dapat tidak harus dipakai. Semacam penerjemahan langsung dari bimbingan syarak “fabima rahmatin min Allah, lintalahum …” , artinya dengan rahmat Allah dan kelembutan menghadapi cara-cara lawan, dan dengan keteguhan prinsip beradat yang dipunyai generasi Minangkabau, niscaya akan lintuh hati lawan itu.
Prinsip perimbangan dan pertentangan juga dapat terasa di dalam sastra pepatah Minangkabau, sebagai berikut:
“kok taimpik nan di ateh
kok takuruang nan di lua
angguak anggak geleang amuah
unjuak nan indak babarikan”
(jika terhimpit yang di atas
jika terkurung yang di luar
angguk  enggak geleng mau
unjuk yang tidak diberikan).
Ada satu kesalahan dalam pemakaian istilah sastra pepatah yang satu ini. Sering diganti kata nan (artinya yang) dengan kata-kata nak (artinya hendak). Makna dan maksudnya akan jauh berbeda.
Hal yang diungkapkan pepatah ini dilakukan ketika berhadapan dengan musuh. Atau ketika melakukan kegiatan diplomasi. Sebab, dalam perkara tersebut dalam realitas amat diperlukan berpandai-pandai bersilat lidah, untuk menampik argumentasi lawan berbicara.
Sebuah contoh lagi tentang penerapan konsep bahasa, yaitu konsep mengenai kriteria masyarakat yang digambarkan  dengan predikat “kato” (kata). Ada delapan golongan yang digambarkan dengan “kato” dimaksud, yaitu:
“kato pangulu kato manyalasai
kato ulama kato hakikaik
kato rang tuo kato nan bana
kato rang mudo kato bamanih
kati  rajo kato malimpah
kato padusi kato marandah
kato rang banyak kato  bagalau
kato anak-anak kato mangadu”
(kata penghulu kata menyelesaikan
kata ulama kata hakekat
kata orang tua kata yang benar
kata orang muda kata bermanis
kata raja kata melimpah
kata wanita kata merendah
kata orang banyak kata bergalau
kata anak-anak kata mengadu).[11]

Selain dari pada delapan kata itu, maka konsep kato yang mesti dipakai oleh generasi muda di dalam meningkatkan pergaulan hidup, antara lain ;
“kok pai  anak marantau
mandilah di bawah-bawah
manyauk di ilia-ilia
tapi kok dipakok urang banda sawah
dialiah urang latak pasupadan.
Busuangkan dado buyuang padek-padek
Paliekkan tando wa ang laki-laki
Jaan takuik tanah tasirah
Aso  ilang duo tabilang
Sabalun aja bapantang mati
Namun di dalam kabanaran
Bia dipancuang lihia putuih
Satapak nan jaan namuah suruik”
(kalau pergi anak merantau
mandilah di bawah-bawah
menyauklah  di hilir-hilir (jangan membangga diri)
tapi kalau ditutup orang bandar sawah
digeser orang letak batas tanah
busungkan dadamu buyung, teguh-tegap,
perlihatkan tandamu laki-laki
jangan takut tanah akan merah
esa hilang dua terbilang
sebelum ajal berpantang mati
namun di dalam kebenaran
biar putus leher dipancung
setapak jangan mau mundur).[12]
 
Selanjutnya konsep yang mengandung nilai pendidikan (paedagogis) dalam setiap  erbuatan, tidak boleh berlaku kesewenangan. Baik dalam ungkapan, arti ataupun  tindakan. Semua ungkapan haruslah mempunyai maksud (tujuan) yang terang:
“kok balaia manuju pulau,
bajalan manuju bateh,
malantiang manuju tampuak,
bakato manuju bana”
(bila berlayar menuju pulau,
berjalan menuju batas,
melenting menuju tampuk,
berkata menuju benar).[13]
 
Sedangkan sikap yang setengah-setengah atau tanggung-tanggung di dalam berfikir atau berbuat menjadi satu yang amat disesali.
Konsep kehidupan mendua sangat dicela. Hilangnya keteguhan mesti dijauhi. Fatwa adat telah menjelaskan sebagai berikut ;

“kapalang tukang binaso kayu
kapalang cadiak  binaso adaik
kapalang alim rusak agamo
kapalang paham kacau nagari”
(alang tukang terbuang kayu
alang cerdik binasa adat,
alang alim rusak agama
alang paham kacau nagari).
Kehidupan beradat adalah kehidupan berbudaya yang dituntun oleh akhlak agama, atau sejalan dengan ajaran syarak (syari’at) Islam.
Masyarakat yang hidup dalam pergaulan tanpa mempunyai akhlak mulia sesuai tuntunan agama Islam, akan meraih kehidupan yang sengsara. Fatwa adat menyebutkan sebagai  berikut:
“dek ribuik kancang ilalang
katayo panjalin lantai
iduik nan jaan mangapalang
kok tak kayo barani pakai”
(karena ribut goncang hilalang
ketaya penjalin lantai
hidup jangan alang kepalang
bila tak kaya berani pakai).
“Sutan tumangguang manjua padi
duduak basukek di ateh dadak
bujang tangguang gadang tak jadi
apo ka namo badan awak”
(sutan  temenggung menjual padi
duduk bersukat  di atas dedak
bujang tanggung besar tak jadi
apa akan nama badan diri).[14]
 
Di dalam bertutur kata dan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dalam pergaulan hidup bermasyarakat, perlu diperpegangi bimbingan pepatah adat di bawah ini, yaitu:
“kok bakato paliharokan lidah
kok maliek paliharo mato,
mandanga paliharokan talingo
malenggang paliharokan tangan
bajalan paliharokan kaki
ingek rantiang nan ka malato
dahan nan ka manimpo”
(jika berkata peliharakan lidah
bila melihat pelihara mata,
mendengar pelihara telinga
melenggang pelihara tangan
ingat ranting yang akan melata
dahan yang akan menimpa)[15]

Sebagian dari “kato pusako” itu, telah tertuangkan dalam sastra lisan anak nagari di Minangkabau, menjadi ungkapan tutur sehari-hari, menjadi panduan dalam berhubungan kata satu dan lainnya. Kata petuah adat menyebutkan sebagai berikut:
“nan babarih babalabeh
nan baukua nan bajangko
tantang takuak tibo tabang
tantang ukua tibo kabuang
tantang barih tibo paek
tantang sakik lakek ubek
jalan pasa nan ditampuah
sumua elok nan ditimbo
aia janiah nan disauak”
(yang bergaris berbelebas
yang berukur  yang berjangka
tentang tekuk  tiba tebang
tentang ukur tiba kabung
tentang garis tiba pahat
tentang sakit lekat obat
jalan pasar yang ditempuh
sumur elok yang ditimba
air jernih yang disauk).
Bagaimanapun situasi dan tempatnya, hasrat untuk berbasa basi dalam masyarakat beradat di Minangkabau sangat menonjol sekali.
Hal ini terlihat nyata dalam satu realitas Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH) orang Minangkabau, terutama ketika telah berhadapan dengan tamu. Kendatipun pada hakekatnya, tidak sesuatupun yang mungkin dapat disuguhkan kepada tamunya secara materi, namun basa basi tetap mengemuka.  Fatwa di bawah telah ikut menjelaskan hal seperti itu:
“Indak nan sirah dari sago
indak nan kuriak dari kundi
indak nan indah dari baso
indak nan baiak dari budi”
(tidak yang merah dari saga
tidak yang kurik dari kundi
tidak yang indah dari basa
tidak yang baik dari budi).
Fatwa diatas diperjelas kedudukannya dalam suatu anjuran, untuk selalu berupaya melenyapkan akibat yang tidak baik yang hendaklah dilakukan:

“Pucuak pauah tangah tajelo
panjuluak bungo galundi
nak jauah silang sangketo
paaluih baso jo basi”
(pucuk pauh tengah terjela
penjuluk bunga galundi
agar jauh silang sengketa
perhalus basa dan basi).
Tatanan berbahasa yang baik itu menjadi bukti kuatnya kato di Minangkabau, yang tidak semata kepada pemakaian langgam dan tutur ucap, tetapi lebih dalam kepada makna petuah, atau isi pelajaran yang terkandung di dalamnya.
Pesan agama menyatakan, “fal yaqul khairan aw liyashmuth” artinya berucaplah yang baik atau kalau tidak ada lagi yang baik itu, lebih baik diam.

Wabillahitaufiq wal hidayah. 

[1] Kearrifan berkata-kata menjadi kekuatan dari kato di Minangkabau. Sebab kato di Minangkabau berisi kearifan, kias, dan perumpaan, yang terkait erat dengan bayan dan balaghah, mantik dan  ma’any.

[2] Sangat perlu kehati-hatian dalam bertindak, berfikir dan berlaku, karena sekali kesalahan dilakukan, maka akan mencoreng kening, artinya membuat malu, tidak hanya peribadi yang melakukan, akan tetapi terkait kepada hubungan kekerabatan, menyamping bersaudaka, berkarib kerabat, dan keatas kebawah dalam berbako-baki atau berkarib bait (qariibun dan ba’iidun).
[3] Sebenarnya ada keharusan menjaga harta pusaka, memelihara, memanfaatkan dan menambah. Sangat disesalkan jika perilaku hanya menghabiskan harta pusaka itu. Ada bimbingan realitas PDPH (Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup) orang Minangkabau, bahwa harta bukan untuk dinikmati kini semasa hidup pemilik harta saja, tapi ata kewajiban untuk menjaga dan mewariskan kepada anak cucu, generasi pengganti, dalam bentuk Harta Pusaka Tinggi (HPT) dan Harta Pusaka Rendah (HPR).
[4] Kesalahan karena kelalaian diri bukan disebabkan karena kesalahan keturunan. Ajaran syarak juga mengajarkan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib satu kaum sebelum kaum itu mengubah sikap laku (anfus) mereka lebih dahulu. (liohat QS ar Ra’d : 11). Jadi kekuatan kato di Mingankabau mempunyai sasaran ke arah pembentukan watak.
[5] Penghormatan terhadap ibu menjadi pelajaran utama penghormatan kepada siapa saja. Penghormatan kepada ibu adalah sederjat di bawah pengabdian kepada Allah SWT.
[6] Kasih sayang ibu sepanjang jalan, tidak akan pernah habis. Maka penghormatan kepada ibu adalah pelajaran utama yang menjadi PDPH di Minangkabau
[7] Selain menjaga keluarga satu nasab, dan kaum se suku, maka orang se kampung juga menjadi tanggung jawab bermasyarakat.
[8] Belajar kepada alam sebagai satu sunnatullah akan mempertajam kearifan di dalam berusaha, dan menempuh kehidupan di dunia.
[9] Setiap peribadi  orang Minangkabau harus mempunyai persiapan yang cukup matang, karena individualism tidak berlaku di dalam kehidupan kekerabatan di Minangkabau. Kebaikan akan diraih dalam kebersamaan. Karena itu, sikap sombong dan membanggakan diri sangat tidak diterima di dalam tata pergaulan bermasyarakat. Umumnya masyarakat yang hidup dalam realitas kebersamaan akan lebih kuat dari pada kehidupan yang ditata hanya untuk kepentingan sendiri-sendiri semata.
[10] Satu kearifan budaya yang kuat itu adalah kemampuan mengendalikan diri.
[11] Setiap orang berjabatan masing-masing, setiap pekerjaan ada bagiannya yang mesti dilewati menurut tata cara yang baik. Sesuatu akan selalu indah, manakala terletak pada tempatnya yang tepat.
[12] Di manapun berada kerja utama adalah berbuat yang benar, dan mempertahankan kebenaran. Akidah, keyakinan, adab sopan wajib dipertahankan, dipelihara dan dijaga dengan sesungguh hati. Jika tidak, maka kebinasaan akan dirasakan.
[13] Kekuatan kato di Minangkabau terletak pada kebenaran
[14] Tidak boleh hidup tidak dengan ilmu pengetahuan. Selalu giat dan dinamis.
[15] Generasi Minangkabau mesti menjaga selalu kesopanan, baik itu dalam bertutur kata, atau juga di dalam berperilaku, dalam interaksi  one to one relationship.
====================
http://www.pandaisikek.net/index.php/artikel/artikel-islam/adat-minang-kabau/245-pesan-rang-gaek-kieh-katonsampai

Template by:

Free Blog Templates