Jejak Luka: Kamang 1908 (Seabad Perang Kamang)

Kamang, dulu merupakan sebuah Kelarasan yang mencakup Aua Parumahan, Surau Koto Samiak, Suayan, dan Sungai Balantiak. Setelah zaman kemerdekaan, Kamang terbagi menjadi dua nagari yaitu Kamang Hilir dan Kamang Mudiak. Aua Parumahan menjadi Kamang Hilir dan Surau Koto Samiak menjadi Kamang Mudiak, sementara Suayan dan Sungai Balantiak masuk ke wilayah Kabupaten 50 Kota, karena secara geografis letaknya memang dipisahkan oleh bukit barisan dari wilayah Aua Parumahan dan Surau Koto Samiak yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Agam dan lebih dekat ke Kabupaten 50 Kota. Kamang Hilir dan Kamang Mudiak selanjutnya merupakan wilayah Kecamatan Tilatang Kamang, dan akhir-akhir ini membentuk Kecamatan sendiri Kamang Magek (Nagari Kamang Hilir, Kamang Mudiak di tambah Nagari Magek).

Syair ini ditulis oleh H. Ahmad Marzuki. Anak dari Syekh Haji Abdul Manan, seorang tokoh terkemuka di Kamang dan juga tokoh penting dalam pemberontakan Nagari Kamang tahun 1908 terhadap Kompeni Belanda. Haji Ahmad dipenjara selama 19 bulan di Padang, setelah itu dibuang ke Makasar (Nafis, xi: 2004). Syair ini menurut Anas Nafis adalah satu-satunya nazam yang merupakan catatan orang Kamang asli yang memberikan kesaksian tentang Perang Kamang.

Buku asli yang berjudul Syair Perang Kamang Jang Kedjadian dalam Tahoen 1908, karangan Haji Ahmad diperbaiki oleh Labai Sidi Radjo, di Fort de Kock (Bukittinggi) tahun 1926. Di tulis dalam tulisan Jawi (Arab Melayu) dialih bahasakan oleh Anas Nafis dan diterbitkan kembali oleh Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM) tahun 2004. Sebelumnya Syair Perang Kamang ini hanya ditemui dalam sebuah manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta. Dalam kondisi bagian belakang halamannya sudah hilang, sehingga cerita ini diterbitkan kembali dalam keadaan tidak utuh. Ada bagian akhir cerita yang tidak dapat diketahui oleh pembaca, sehingga menimbulkan kesan tidak senang di hati pembaca.

Di luar bagian akhir yang hilang, Syair Perang Kamang ini terdiri dari 824 baris yang dibagi menjadi 206 bait. Cerita dilatar belakangi oleh peristiwa sejarah yang terjadi pada tahun 1908 di Nagari Kamang. Beberapa tempat dalam cerita masih dapat dijumpai pada saat sekarang ini seperti Kampuang Tangah, Kampung Tapi, Kampung Bansa, yang dibakar habis oleh Belanda saat itu.


Berawal dari peraturan pemerintah Belanda yang mengenakan belasting (pajak) sebesar 2 % pada setiap hewan ternak yang akan disembelih warga. Peraturan pajak yang secara tiba-tiba itu tidak hanya berlaku di Kamang, akan tetapi diseluruh wilayah Minangkabau. Selain karena peraturannya yang secara tiba-tiba, sangat memberatkan rakyat, dan jiwa merdeka rakyat yang tidak mau tunduk pada Belanda, rakyat menentang belasting itu juga karena hewan-hewan ternak yang akan dibantai tidak hanya untuk komersil (dijual), akan tetapi juga karena untuk peringatan hari-hari besar agama dan juga perayaan pesta adat.

Karena Belanda masih tetap dengan pendirian mereka untuk memungut pajak untuk hewan ternak, maka banyak perlawanan yang terjadi dibeberapa daerah Minangkabau. Di Nanggalo, Lubuak Aluang, Parik Malintang, Kayu Tanam, Batusangka, Lintau, Kamang, Manggopoh dan Ulakan. Karena perlawanan kepada Belanda saat itu dilakukan dibanyak daerah di Minangkabau dan juga karena perlawanan itu dilakukan dengan motif yang sama yaitu penentangan terhadap belasting, maka dapat dikatakan bahwa Perang Kamang adalah perlawanan rakyat Minangkabau terhadap penjajahan Belanda. Sementara itu Perang Kamang hanyalah sebutan saja karena puncak pemberontakan itu memang ada di Kamang pada tanggal 14-15 Juni 1908. Artinya Perang Kamang tidak berarti hanyalah pemberontakan rakyat Kamang saja tetapi pemberontakan rakyat Minangkabau pada umumnya. Hal ini juga didukung oleh tercatatnya beberapa nama pejuang yang berasal dari luar Nagari Kamang.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa pemberontakan itu juga dimungkinkan oleh jaringan para Wali Nagari yang waktu itu membicarakan pungutan pajak oleh Belanda itu. Sebagaimana layaknya sebuah pembicaraan banyak diantara Wali Nagari yang sepakat bahwa Belanda harus dilawan, walaupun ada yang bersikap lunak terhadap kebijakan pemerintah Belanda. Salah satu pemimpin yang keras dalam menentang Belanda itu adalah pemimpin dari Nagari Kamang. Bersama dengan tokoh-tokoh di Kamang (yang sangat terkenal adalah Syekh Haji Abdul Manan) pemimpin-pemimpin di nagari ini menyusun kekuatan rakyat untuk menentang Belanda.

Kekuatan yang dihimpun saat itu dalam artian kekuatan yang sangat sederhana dan sangat tradisional. Para parewa dan pendekar dikumpulkan untuk melatih anak-anak muda dengan ilmu beladiri dan menggunakan senjata seperti tombak dan parang. Kemudian dikalangan umum beredar isyu mistik bahwa kekuatan yang dihimpun oleh Syekh Haji Abdul Manan memberikan kekuatan mistik pada pemuda Kamang, dengan cara memberikan azimat-azimat anti peluru. Hal ini menjadi dasar penting dalam Syair Perang Kamang, karena ikhwal mula tertangkapnya Haji Ahmad adalah Belanda mempercayai bahwa Syekh Haji Abdul Manan, ayahanda Haji Ahmad menyebarkan azimat anti peluru itu sehingga Syekh Haji Abdul Manan menjadi buruan utama oleh Belanda. Dalam pencarian itu Haji Ahmad dijadikan sandera karena Belanda tidak berhasil menemukan ayahnya. Dalam tawanan itulah Syair Perang Kamang ini diciptakan oleh Haji Ahmad Marzuki.

Penciptaan karya fiksi dengan latar belakang historis ini seolah-olah sebuah kisah nyata, hal ini didukung oleh banyaknya tetua di Nagari Kamang yang percaya bahwa cerita Haji Ahmad Marzuki persis dengan kejadian Perang Kamang tahun 1908. Sayangnya, catatan-catatan sejarah tentang Perang Kamang ini sangat sedikit sekali. Smuber-sumber lain ditulis hanya setelah beberapa waktu setelah peristiwa itu. Catatan lain tentang Perang Kamang sangat sedikit sekali, tentunya hal ini disebabkan oleh belum berkembangnya tradisi tulis di kalangan rakyat Minangkabau waktu itu, sehingga hal-hal penting dalam sejarah kehidupan mereka banyak yang terlewatkan dan diwariskan secara lisan.

Penulisan kembali sejarah yang sangat penting dalam peta perjuangan rakyat Indonesia, sepertinya bukanlah hal yang terlalu basi untuk dilakukan. Hal ini pun berlaku umum untuk sejarah Perang Kamang. Walaupun beberapa catatan sejarah sudah pernah dihadirkan dalam bentuk makalah, tulisan lepas, ataupun dalam sebuah bagian buku, akan tetapi penulisan dalam perspektif lain tetap saja harus dilakukan.

Oleh : Azwar
Menjelang 100 Tahun Perang Kamang
Azwar: email ad_mws@yahoo.com

Template by:

Free Blog Templates