‘Makhluk’ ini ada di mana-mana. Bahkan ketika Neil
Amstrong mendarat di bulan, di sana didapatinya telah berdiri rumah
makan Padang – sebuah anekdot yang merefleksikan bahwa perantau Minang
dapat ditemukan di empat penjuru angin, yang jumlahnya konon sebanding
dengan jumlah saudara seetnis mereka yang tinggal di kampung. Mereka
berseliweran di sekitar kita, dan mungkin diri kita sendiri adalah
bagian dari mereka.
Tapi siapakah gerangan mereka sebenarnya? Tentu saja tidak mudah mengidentifikasi sosok mereka secara lengkap dalam esai yang pendek ini. Namun demikian, sejumlah perantau dan mereka yang tinggal di Ranah Minang melalui fb-group Palanta R@tauNet mencoba mencungkil beberapa ciri perantau Minang itu (yang agaknya refleksi terhadap diri sendiri): para entrepreneur ulet tapi cenderung hanya jadi pemain di kelas bawah, kata Arif Sulkifli dan Saafroedin Bahar; orang-orang yang meninggalkan kampung karena tacemo (melanggar adat) atau karena harga diri mereka terendahkan oleh berbagai keadaan (konflik sosial, perang, dll.) kata Arif lagi; mereka yang di rantau mempraktekkan budaya ‘galir’ dan kepintaran ‘bersilat lidah’, yang mengaku sebagai ‘orang Padang’, malah sering menyembunyikan identitas keminangannya, tapi diam-diam menanggung rindu dendam tak sudah kepada ranah bundo-nya (gejala Minang Complex) yang alam dan budayanya diharap tetap lestari, kata Nelson Mq, Andiko Sutan Mancayo, Buya Masoed Abidin, dan Yulizal Yunus; individual state less yang pergi merantau karena di kampung berguna belum, kata Zulkarnain Kahar dan Ali Cestar.
Apa pun ciri yang melekat pada perantau Minang, yang jelas mereka adalah migran sebuah etnis yang secara sosio-psikologis berbeda dengan migran-migran dari ratusan etnis lainnya di Indonesia. Sosiolog Mochtar Naim mengungkapkan sebagian identitas mereka dalam disertasinya, Merantau: Minangkabau Voluntary Migration (Singapura: NUS, 1973). Menurutnya: mereka pergi dari kampungnya secara sukarela (voluntary), tapi ada dorongan internal secara kultural yang membuat para pancacak sampai profesional kerah putih asal Minangkabau itu pergi meninggalkan ranah bundo mereka di bagian tengah pulau Sumatra yang vulkanis dengan perbukitan dan dataran yang hijau subur.
Jika ingin mengetahui siapa sebenarnya perantau Minang, dengarlah kisah yang dilantunkan oleh para tukang rabab dan tukang saluang, tiliklah isi pantun-pantun klasik Minangkabau (lihat: R.J. Chadwick, Topics in Minangkabau Vernacular Literature, disertasi, University of Western Australia, 1986), bacalah karya-karya sastra Indonesia modern sebelum kemerdekaan yang berlatar Minangkabau. Di dalamnya terekam suara hati, kegelisahan jiwa, harapan-harapan, dan rindu dendam kultural mereka. Dan kini, sesuai dengan perkembangan zaman, isi pikiran mereka, sampai batas tertentu, dapat pula dilacak melalui laman-laman mailing list dan forum-forum facebook-groups.
Perantau Minang–meminjam kata-kata tukang rabab Pariaman, Amir Hosen–adalah orang-orang yang ‘sadang indak lala daulu [sebab] tingga di kampuang [hati] kurang sanang.’ Mereka lebih dari sekedar para pengembara fisik yang menuju negeri asing karena ‘di kampung berguna belum’.
‘Sadang indak’ (lagi miskin) mungkin menjadi salah satu saja dari berbagai faktor pendorong perantau Minang pergi menghadang ‘laut sakti rantau bertuah’. Tetapi Ranah Minang yang begitu subur mestinya membuat mereka tidak terus berada dalam kondisi ‘sadang indak’. Tapi mengapa agaknya hati mereka jadi ‘kurang sanang’ berada di kampung? Penyebabnya, seperti kata Mochtar Naim, dapat diidentifikasi dalam struktur adat Minangkabau sendiri: posisi yang labil di rumah istri dan di rumah keluarga matrilineal sendiri, terhalang menikah dengan pujaan hati karena sesuku, perbenturan ideologi, perang saudara, dan lain sebagainya. Kegelisahan kultural itulah yang konon menjadi energi utama yang telah ‘melemparkan’ jutaan dagang Minangkabau ke negeri-negeri lain.
Apa pun alasan kepergian dari kampung, perantau Minang terus mengalami transformasi psikologis dan sosiologis mengikuti perubahan rantau yang mereka hinggapi dalam perjalanan hidup mereka akibat globalisasi dan revolusi sarana komunikasi dan transportasi. Kompetisi yang semakin keras dengan migran dari berbagai etnis lainnya menyebabkan pula okupasi kerja mereka di rantau makin bervariasi, walau kebanyakan masih menghindari kerja sebagai petani di perantauan.
Setidaknya ada dua tipe perantau Minang: 1) mereka yang berangkat dari kampung halaman ke berbagai rantau, yang sebagian di antaranya telah ‘merantau pipit’ dan sebagian lagi telah ‘merantau Cina’; 2) generasi yang dilahirkan di rantau dari ayah dan ibu perantau Minang atau ibu orang Minang dan ayah dari etnis lain. Kebanyakan dari kelompok ini telah berbeda antara bungkus dan isi: bungkus bermerek Minang, tapi isi sudah seperti bubur kampiun, yang tak pas lagi dimasukkan ke dalam ‘kotak’ budaya Minangkabau. Hubungan kultural mereka dengan Minangkabau cenderung genting–untuk tidak mengatkaan putus. Mungkin kebanyakan mereka adalah individual cultural less jika dilihat dari sudut pandang budaya orang tuanya.
Sejak teknologi komunikasi dan transportasi mengalami revolusi pesat di era 1980-an, sehingga memudahkan korespondensi dan mobilitas manusia, perantau Minang juga terkena dampaknya. Hubungan transportasi dan komunikasi antara rantau dan kampung, atau sebaliknya, semakin lancar. Teknologi HP makin mengaktifkan budaya lisan dan meminggirkan literacy. Ota lapau virtual di antara perantau Minang melalui internet–lengkap dengan sindiran, cemooh, gurauan dan juga carut bungkang–adalah hal yang lumrah sekarang. Idiom ‘surat dari rantau’, sebagaimana sering ditemukan dalam roman-roman generasi Abdul Muis dan Marah Rusli, kini telah menjadi klasik dan arkais. Bagi perantau yang berhasil ‘menaklukkan’ rantau yang bertuah itu, pulang kampung bisa babaliak hari saja. Tapi bagi mereka yang keok ‘ditelan’ oleh ganasnya rantau, walau hanya merantau sejauh Kuok Bangkinang, kampung terasa lebih jauh daripada Mekah. Prinsip mereka sudah jelas: daripada malu pulang ke kampung dalam keadaan (tetap) miskin, lebih baik rantau diperjauh.
Akan tetapi yang lebih menarik adalah mengamati apa yang disebut oleh budayawan Edy Utama sebagai ‘merantau pikiran’. Jika ‘merantau fisik’ adalah kepergian seorang Minang dari kampung ke daerah-daerah di luar Minangkabau, maka ‘merantau pikiran’ bisa saja terjadi di kalangan orang Minangkabau yang tubuh kasarnya berada di belakang Istana Linduang Bulan, di samping tentunya juga bisa juga terjadi pada diri ‘perantau fisik’.
Drastisnya perubahan kultural yang terjadi di Sumatra Barat sekarang memberi indikasi kuat bahwa orang Minangkabau yang tinggal di kampung halaman mereka sendiri telah melakukan ‘merantau pikiran’ yang jauh dan terkesan lebih sporadis. Sebaliknya, para ‘perantau fisik’, khususnya dari tipe (1) di atas, tergagap melihat perubahan kultural mencolok yang sedang terjadi di ranah bundo mereka. Nostalgia indah mereka tentang kampung halaman yang ideal (dari segi budaya) runtuh begitu mereka menjejakkan kaki di Bandara Minangkabau.
Pelbagai komentar yang muncul dalam berbagai mailing list dan fb groups yang berlabel ‘Minangkabau’ di internet merefleksikan distorsi-distorsi psikologis dan sosial yang hebat yang dialami oleh para ‘perantau fisik’ dan para ‘perantau pikiran’ Minangkabau, baik mereka yang berada di rantau maupun yang tinggal di kampung, yang mencerminkan semakin lebarnya jarak antara yang ideal dan yang real: ada yang mencaci maki budaya Minangkabau dan para pemangku adatnya; ada yang membayangkan bahwa dalam persandingannya dengan Islam seperti sekarang adat Minangkabau adalah ‘pakaian’ ideal masyarakatnya yang dapat menyelamatkan mereka dari kecenderungan homogenisasi kultur dan selera yang di-hondoh-kan oleh budaya global; ada yang melihat perlunya gerakan puritanisme agama ke-2 di Minangkabau untuk melanjutkan Gerakan Paderi di abad ke-19 yang dianggap ‘terbengkalai’, dan ada pula yang secara radikal keluar dari agama Islam.
Kini berbagai ideologi asing masuk ke Minangkabau tidak lagi lewat diri para perantau fisik seperti yang terjadi di masa lalu (lihat: Christine Dobbin 1983), tetapi melalui satelit yang masuk ke dalam rumah-rumah keluarga Minangkabau tanpa mengetok pintu lebih dahulu, dan segala yang berbentuk fisik tempat ideologi-ideologi asing itu membonceng menyerbu Sumatra Barat lewat Teluk Bayur, Kelok Sembilan, dan Gunung Medan.
Dalam dunia yang terus berubah, para perantau Minang–fisik dan pikiran, yang berada di rantau maupun yang tinggal di kampung–akan terus mengembara menuju tepi di mana mereka tidak akan pernah bisa kembali lagi. Mereka, yang sekali setahun terwakili sosoknya oleh berita tentang ‘pulang basamo’, mungkin akan tetap abadi sebagai jiwa-jiwa yang mengalami Minang Complex, yang terus akan lala daulu sebab badan [dan pikiran], walau di kampung sekalipun, sering merasa kurang sanang.
Tapi siapakah gerangan mereka sebenarnya? Tentu saja tidak mudah mengidentifikasi sosok mereka secara lengkap dalam esai yang pendek ini. Namun demikian, sejumlah perantau dan mereka yang tinggal di Ranah Minang melalui fb-group Palanta R@tauNet mencoba mencungkil beberapa ciri perantau Minang itu (yang agaknya refleksi terhadap diri sendiri): para entrepreneur ulet tapi cenderung hanya jadi pemain di kelas bawah, kata Arif Sulkifli dan Saafroedin Bahar; orang-orang yang meninggalkan kampung karena tacemo (melanggar adat) atau karena harga diri mereka terendahkan oleh berbagai keadaan (konflik sosial, perang, dll.) kata Arif lagi; mereka yang di rantau mempraktekkan budaya ‘galir’ dan kepintaran ‘bersilat lidah’, yang mengaku sebagai ‘orang Padang’, malah sering menyembunyikan identitas keminangannya, tapi diam-diam menanggung rindu dendam tak sudah kepada ranah bundo-nya (gejala Minang Complex) yang alam dan budayanya diharap tetap lestari, kata Nelson Mq, Andiko Sutan Mancayo, Buya Masoed Abidin, dan Yulizal Yunus; individual state less yang pergi merantau karena di kampung berguna belum, kata Zulkarnain Kahar dan Ali Cestar.
Apa pun ciri yang melekat pada perantau Minang, yang jelas mereka adalah migran sebuah etnis yang secara sosio-psikologis berbeda dengan migran-migran dari ratusan etnis lainnya di Indonesia. Sosiolog Mochtar Naim mengungkapkan sebagian identitas mereka dalam disertasinya, Merantau: Minangkabau Voluntary Migration (Singapura: NUS, 1973). Menurutnya: mereka pergi dari kampungnya secara sukarela (voluntary), tapi ada dorongan internal secara kultural yang membuat para pancacak sampai profesional kerah putih asal Minangkabau itu pergi meninggalkan ranah bundo mereka di bagian tengah pulau Sumatra yang vulkanis dengan perbukitan dan dataran yang hijau subur.
Jika ingin mengetahui siapa sebenarnya perantau Minang, dengarlah kisah yang dilantunkan oleh para tukang rabab dan tukang saluang, tiliklah isi pantun-pantun klasik Minangkabau (lihat: R.J. Chadwick, Topics in Minangkabau Vernacular Literature, disertasi, University of Western Australia, 1986), bacalah karya-karya sastra Indonesia modern sebelum kemerdekaan yang berlatar Minangkabau. Di dalamnya terekam suara hati, kegelisahan jiwa, harapan-harapan, dan rindu dendam kultural mereka. Dan kini, sesuai dengan perkembangan zaman, isi pikiran mereka, sampai batas tertentu, dapat pula dilacak melalui laman-laman mailing list dan forum-forum facebook-groups.
Perantau Minang–meminjam kata-kata tukang rabab Pariaman, Amir Hosen–adalah orang-orang yang ‘sadang indak lala daulu [sebab] tingga di kampuang [hati] kurang sanang.’ Mereka lebih dari sekedar para pengembara fisik yang menuju negeri asing karena ‘di kampung berguna belum’.
‘Sadang indak’ (lagi miskin) mungkin menjadi salah satu saja dari berbagai faktor pendorong perantau Minang pergi menghadang ‘laut sakti rantau bertuah’. Tetapi Ranah Minang yang begitu subur mestinya membuat mereka tidak terus berada dalam kondisi ‘sadang indak’. Tapi mengapa agaknya hati mereka jadi ‘kurang sanang’ berada di kampung? Penyebabnya, seperti kata Mochtar Naim, dapat diidentifikasi dalam struktur adat Minangkabau sendiri: posisi yang labil di rumah istri dan di rumah keluarga matrilineal sendiri, terhalang menikah dengan pujaan hati karena sesuku, perbenturan ideologi, perang saudara, dan lain sebagainya. Kegelisahan kultural itulah yang konon menjadi energi utama yang telah ‘melemparkan’ jutaan dagang Minangkabau ke negeri-negeri lain.
Apa pun alasan kepergian dari kampung, perantau Minang terus mengalami transformasi psikologis dan sosiologis mengikuti perubahan rantau yang mereka hinggapi dalam perjalanan hidup mereka akibat globalisasi dan revolusi sarana komunikasi dan transportasi. Kompetisi yang semakin keras dengan migran dari berbagai etnis lainnya menyebabkan pula okupasi kerja mereka di rantau makin bervariasi, walau kebanyakan masih menghindari kerja sebagai petani di perantauan.
Setidaknya ada dua tipe perantau Minang: 1) mereka yang berangkat dari kampung halaman ke berbagai rantau, yang sebagian di antaranya telah ‘merantau pipit’ dan sebagian lagi telah ‘merantau Cina’; 2) generasi yang dilahirkan di rantau dari ayah dan ibu perantau Minang atau ibu orang Minang dan ayah dari etnis lain. Kebanyakan dari kelompok ini telah berbeda antara bungkus dan isi: bungkus bermerek Minang, tapi isi sudah seperti bubur kampiun, yang tak pas lagi dimasukkan ke dalam ‘kotak’ budaya Minangkabau. Hubungan kultural mereka dengan Minangkabau cenderung genting–untuk tidak mengatkaan putus. Mungkin kebanyakan mereka adalah individual cultural less jika dilihat dari sudut pandang budaya orang tuanya.
Sejak teknologi komunikasi dan transportasi mengalami revolusi pesat di era 1980-an, sehingga memudahkan korespondensi dan mobilitas manusia, perantau Minang juga terkena dampaknya. Hubungan transportasi dan komunikasi antara rantau dan kampung, atau sebaliknya, semakin lancar. Teknologi HP makin mengaktifkan budaya lisan dan meminggirkan literacy. Ota lapau virtual di antara perantau Minang melalui internet–lengkap dengan sindiran, cemooh, gurauan dan juga carut bungkang–adalah hal yang lumrah sekarang. Idiom ‘surat dari rantau’, sebagaimana sering ditemukan dalam roman-roman generasi Abdul Muis dan Marah Rusli, kini telah menjadi klasik dan arkais. Bagi perantau yang berhasil ‘menaklukkan’ rantau yang bertuah itu, pulang kampung bisa babaliak hari saja. Tapi bagi mereka yang keok ‘ditelan’ oleh ganasnya rantau, walau hanya merantau sejauh Kuok Bangkinang, kampung terasa lebih jauh daripada Mekah. Prinsip mereka sudah jelas: daripada malu pulang ke kampung dalam keadaan (tetap) miskin, lebih baik rantau diperjauh.
Akan tetapi yang lebih menarik adalah mengamati apa yang disebut oleh budayawan Edy Utama sebagai ‘merantau pikiran’. Jika ‘merantau fisik’ adalah kepergian seorang Minang dari kampung ke daerah-daerah di luar Minangkabau, maka ‘merantau pikiran’ bisa saja terjadi di kalangan orang Minangkabau yang tubuh kasarnya berada di belakang Istana Linduang Bulan, di samping tentunya juga bisa juga terjadi pada diri ‘perantau fisik’.
Drastisnya perubahan kultural yang terjadi di Sumatra Barat sekarang memberi indikasi kuat bahwa orang Minangkabau yang tinggal di kampung halaman mereka sendiri telah melakukan ‘merantau pikiran’ yang jauh dan terkesan lebih sporadis. Sebaliknya, para ‘perantau fisik’, khususnya dari tipe (1) di atas, tergagap melihat perubahan kultural mencolok yang sedang terjadi di ranah bundo mereka. Nostalgia indah mereka tentang kampung halaman yang ideal (dari segi budaya) runtuh begitu mereka menjejakkan kaki di Bandara Minangkabau.
Pelbagai komentar yang muncul dalam berbagai mailing list dan fb groups yang berlabel ‘Minangkabau’ di internet merefleksikan distorsi-distorsi psikologis dan sosial yang hebat yang dialami oleh para ‘perantau fisik’ dan para ‘perantau pikiran’ Minangkabau, baik mereka yang berada di rantau maupun yang tinggal di kampung, yang mencerminkan semakin lebarnya jarak antara yang ideal dan yang real: ada yang mencaci maki budaya Minangkabau dan para pemangku adatnya; ada yang membayangkan bahwa dalam persandingannya dengan Islam seperti sekarang adat Minangkabau adalah ‘pakaian’ ideal masyarakatnya yang dapat menyelamatkan mereka dari kecenderungan homogenisasi kultur dan selera yang di-hondoh-kan oleh budaya global; ada yang melihat perlunya gerakan puritanisme agama ke-2 di Minangkabau untuk melanjutkan Gerakan Paderi di abad ke-19 yang dianggap ‘terbengkalai’, dan ada pula yang secara radikal keluar dari agama Islam.
Kini berbagai ideologi asing masuk ke Minangkabau tidak lagi lewat diri para perantau fisik seperti yang terjadi di masa lalu (lihat: Christine Dobbin 1983), tetapi melalui satelit yang masuk ke dalam rumah-rumah keluarga Minangkabau tanpa mengetok pintu lebih dahulu, dan segala yang berbentuk fisik tempat ideologi-ideologi asing itu membonceng menyerbu Sumatra Barat lewat Teluk Bayur, Kelok Sembilan, dan Gunung Medan.
Dalam dunia yang terus berubah, para perantau Minang–fisik dan pikiran, yang berada di rantau maupun yang tinggal di kampung–akan terus mengembara menuju tepi di mana mereka tidak akan pernah bisa kembali lagi. Mereka, yang sekali setahun terwakili sosoknya oleh berita tentang ‘pulang basamo’, mungkin akan tetap abadi sebagai jiwa-jiwa yang mengalami Minang Complex, yang terus akan lala daulu sebab badan [dan pikiran], walau di kampung sekalipun, sering merasa kurang sanang.
SURYADI
(Leiden University Institute for Area Studies (LIAS), Leiden, Belanda)