Agak “istimewa” dari yang lain. Pertama kali bertemu, bukan saya yang
mendatangi, tapi pak Natsir yang datang ke Bukittinggi di awal Januari
1950. Beliau mengundang saya bertatap-muka.
Saya baru berusia 22 tahun tapi sudah bekeluarga, ketika mengayuh
sepeda menginggalkan rumah di Birugo menuju jalan Luruih untuk memenuhi
undangan bertemu pak Natsir di Markas Masyumi Sumatera Tengah. Saat itu
beliau baru jadi Ketua Partai Masyumi.
Memang, sejak usia mantah (muda) saya sudah berkecimpung di
markas GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Di sini saya mulai dari
tukang sapu, hingga jadi Pengurus Wilayah GPII Sumatera Tengah.
Usia saya saat Ananda (reporter) datang ini, sudah 83 tahun.
Peristiwa pertamakali bertemu dengan pak Natsir sudah sangat-sangat lama
berlalu. Sehingga saya tak begitu ingat lagi bagaimana kesan pertama
bertemu dengan beliau.
Di antara generasi pertama GPII dan Masyumi, saya mungkin
satu-satunya yang amat jarang menemui beliau ke Jakarta. Beliaulah yang
datang menemui saya.“Angku Malin, kata pak Natsir (saat itu saya belum
bergelar Datuk), jangan jauh-jauh dari ranah Minang. Saya minta Angku
Malin tetap saja di kampung (Bukittinggi). Angku Malin harus menjadi
tampatan (tujuan pertama) setiap pengurus Masyumi Pusat dan GPII Pusat
yang datang ke ranah Minang.”
Amanah itu, sampai di usia laruik sanjo (larut senja) ini,
tetap saya pegang. Saya tak penah beranjak dari ranah Minang, kendati
yang memberi amanah sudah lama berpulang ke pangkuan Allah Azza Wajalla.
Walau sangat jarang keluar daerah, saya sangat mendalami garis dasar
perjuangan Masyumi yaitu mewujudkan Islam sebagai Dasar Negara
Indonesia. Mungkin sudah beratus kali saya baca ulang naskah pidato
beliau di muka sidang Konstituante yang bertajuk “Islam Sebagai Negara
”. Inilah yang pertama menarik saya terjun ke GPII dan kemudian Masyumi.
Maka, sebagai anggota Masyumi dan bagian dari umat Islam, saya harus
tutut berjuang bagi terwujudnya cita-cita menjadikan Islam sebagai Dasar
Negara dan berjuang mempersiapkan masyarakat dengan berbagai kegiatan.
Sebab, andai kata Islam berhasil dijadikan sebagai Dasar Negara, maka
masyarakat telah siap melaksanakan Syariat Islam karena memang telah
kita siapkan sejak awal. Dengan demikian masyarakat Indonesia tidak akan
canggung lagi melaksanakan hukum Islam. Karena tugas menyiapkan mental
masyarakat itulah, saya menjadi punya cukup banyak pengalaman dan
kenangan bersama pak Natsir.
Salah satu persiapan mental umat melaksanakan Islam sebagai dasar
negara yang saya lakukan di Bukittinggi adalah menyiapkan dan
melaksanakan Kongres Alim Ulama se-Sumatera selama sepekan di awal tahun
1967. Inilah alek gadang pertama yang berhasil mempertemukan
para alim ulama di pulau Sumatera dimana saya diamanahkan menjadi Kepala
Sekretariat persiapan dan pelaksananya.
Alhamdulillah, kongres Alim Ulama se-Sumatera selama lima hari itu
berakhir dengan sukses. Lebih seratus tokoh Alim Ulama di pulau Sumatera
hadir. Kendati tidak seluruh Alim Ulama anggota Masyumi, namun Kongres
itu berhasil melahirkan rekomendasi yang intinya adalah juga tuntutan
Masyumi.
Di antaranya Kongres Alim Ulama se Sumatera menuntut dibersihkannya
pemerintahan dari unsur PKI. Bentuk Pengadilan Agama mulai dari Pusat
hingga ke Kabupten/Kota di Indonesia. Tapi yang pokok bana sebagaimana
tuntutan Masyumi dan kemudian PRRI, adalah dimana Kongres Alim Ulama
dalam rekomendasi yang ditandatangani Buchari Tamam selaku ketua dan
Sofyan Hamzah Sekretaris adalah, Pengurus Alim Ulama se Sumatera
mempercayakan kepada Presiden membentuk Kabinet yang dipimpin Mohammad
Hatta tanpa Dewan Nasional (DN) yang dipenuhi anasir komunis/PKI.
Tauladan di Tengah Hutan
Meski inti dari perjuangan pak Natsir adalah agar Negara yang baru
merdeka tidak jatuh ke tangan komunis dan tidak terpecah belah menjadi
beberapa Negara boneka bagi Negara Asing, dan meskipun dukungan terhadap
perjuangan pak Natsir itu amat besar seperti rekomendasi Alim Ulama
se-Sumatera itu, tetapi tidak juga digubris rezim penguasa. Justru,
jawaban yang diberikan pada pak Natsir adalah penyerbuan. Beliau
akhirnya harus masuk hutan-keluar hutan, bahkan dipenjarakan. Tapi
itulah pak Natsir yang saya kenal. Beliau seorang pemimpin yang ikhlas
dan istiqamah dimana dan kapan pun, bahkan ditengah hutan sekalipun.
Saya adalah kader dengan status sebagai “pembawa tas” pak Natsir saat
harus masuk hutan, keluar hutan. Tapi sampai ke tengah hutan sekalipun
saya mendapati beliau yo bana (betul-betul) pemimpin. Suatu
ketika di dalam hutan, saya menyaksikan beliau didatangi orang kampung
yang mengantarkan pucuk ubi, nangka dan segala macam sayuran. Memang
orang kampung yang datang itu sudah terseleksi oleh kami. Saya lupa
namanya, dia datang dengan pakaian kotor, berkeringat dan rambutnya
kusut-masai. Tampaknya, dari ladang dia langsung saja membawa sayuran
dengan mengendap-ngendap terus ke tempat persembunyian pak Natsir.
Oleh pak Natsir orang kampung yang datang dengan pakaiannya masih
baluluak itu, belum dibolehkan pulang sebelum makan sama-sama dengan
beliau. Bahkan sampai ke tempat duduk pun beliau ‘istimewakan’. Orang
kampung itu disuruh duduk di sebelah kanan beliau, di sebelah kiri
beliau duduk ummi dan anak-anak beliau. Sedangkan saya oleh pak Natsir
di suruh duduk di sebelah kiri orang kampung itu.
Berapa kali tampak pak Natsir membasoi orang kampung itu. "Buekan
samba, tambuahlah," (buatkanlah sambal, tambah lagi) begitu sapa pak
Natsir. Beliau juga tidak buru-buru membasuh tangan begitu nasi di
piringnya licin (habis). Beliau menanti orang kampung itu sampai selesai
makan, dan barulah sama-sama mencuci tangan.
Kebesaran pak Natsir juga tampak ketika beliau berbincang-bincang
dengan orang kampung itu. Memang Rasulullah pernah mengatakan,
"Berbicaralah dengan orang, sepanjang pengetahuannya”. Itu dipraktekkan
pak Natsir dalam pembicaraan dengan orang kampung itu.
Beliau memang bicarakan juga spirit perjuangan, tapi tidak dengan
bahasa 'tinggi'. Jadi, siapapun yang mau datang tidak dibebani rasa
takut. Lain dengan pak Syaf (Syafruddin Prawiranegara) atau pak Bur
(Burhanuddin Harahap), banyak kawan-kawan takut bila disuruh berbicara
empat mata dengan beliau, ‘setelannya’ tinggi.
Pak Natsir kalau berbicara, selalu menyesuaikan dengan audiensnya.
Saat berbicara dengan pak Wali Nagari Sungai Batang, dia bicara tidak secadiak(secerdik) Camat. Setiap orang yang pertama bertemu dengan beliau, cepat terpaut hatinya dan merasa seperti sudah kenal lama.
Dari pengalaman selama hampir dua tahun berada dalam rimba bersama
pak Natsir, saya sangat merasakan betapa beliau adalah pemimpin sejati
yang tidak ada duanya di republik ini. Di masa susah itu, beliau benar
sama-sama susah dengan yang dipimpin. Ketika mendaki bukit atau menuruni
lembah, beliau sama-sama berjalan kaki dengan kami. Minta dipapah saja
beliau tidak pernah, apalagi minta ditandu.
Teladan dari seorang pemimpin yang ikhlas itulah yang
menumbuhsuburkan benih kesetiaan di hati para kader hingga tinggal di
pelosok kampung dan di pinggir hutan sekali pun. Kesetiaan para kader
pak Natsir itu saya saksikan langsung ketika kami baru masuk hutan.
Rimbo (hutan) pertama yang kami huni adalah rimbo Sitalang. Ini
merupakan kawasan terujung dari wilayah Lubukbasung Utara berbatasan
dengan Palembayan.Dari kampung Sitalang ke rimbo Sitalang cuma berjarak
satu jam berjalan kaki saja. Amat dekat sebenar, bagi kaki tentara
terlatih. Pada sebuah dangau di tengah rimba Sitalang itulah pak Natsir
diungsikan dari kejaran tentara Soekarno yang sudah sampai di kampung
Sitalang. Lebih delapan bulan pak Natsir di sini. Tapi tidak pernah
tercium oleh tentara Soekarno yang terpisahkan oleh jarak cuma satu jam
jalan kaki saja.
Pemimpim Masyumi Sitalang bersama masyarakat benar-benar berjuang
menyelamatkan pak Natsir, sehingga tidak ada orang yang tahu lokasinya.
Bila pun ada yang tahu, tapi masyarakat benar-benar bisa menutup mulut.
Begitulah kharisma pak Natsir di hati ummat. Andai beliau bukan pemimpin
paling dicintai ummat, maka pada hari kedua masuk hutan saja, pak
Natsir sudah ditangkap. Ya, berapa jauhlah jarak kami dengan balatentara
Sekarno. Hanya sekitar satu jam perjalanan saja, dan bagi tentara
terlatih tentu itu sangatlah dekat.
Hanya karena kegelisahan seorang tua yang menjadi penunjuk jalan,
akhirnya pak Natsir setuju melanjutkan perjalan dari rimbo Sitalang
menembus hutan Palembayan, kemudian turun ke Kayu Pasak, lalu berbelok
ke desa Maur. Setelah berdiam beberapa malam, Ketua Masyumi Palembayan
memandu kami ke dalam hutan yang jarang dilalui orang.
Saya mengawal pak Natsir menuju tepi Batang Masang. Menjelang malam
dari sini pak Natsir diberangkatkan ke seberang Batang Masang dengan
menaiki rakit. Di sebarang Batang Masang itulah selama 11 bulan, pak
Natsir diselamatkan. Padahal jaraknya tidaklah jauh dari tentara musuh.
Dari persembunyian itu masih jelas terdengar deru oto prah
(truk) yang hilir-mudik mengangkut tentara Soekarno. Pak Natsir berada
di sana lebih 11 bulan dengan aman. Dan, barulah keluar dari hutan
melalui Aia Kijang setelah Ketua Dewan Perjuangan PRRI, Ahmad Husein,
mengumumkan dihentikannya perlawanan, pada awal Juni 1961.
Tapi pengumunan penghentian perlawanan oleh PRRI, bukan akhir
perjuangan. Sebenarnya, perjuangan dengan cara dan nama lain, sudah
diproklamirkan jauh sebelum pengumuman itu. Tepatnya, di awal Januari
tahun 1961. Dalam suatu upacara di Bonjol Pasaman, diproklamirkanlah
Republik Persatuan Indonesia (RPI) yang diikuti pak Natsir sebagai
Menteri PDK dan Agama, sedangkan Presiden RPI adalah pak Syafruddin
Prawiranegara.
Setelah memproklamirkan RPI di Bonjol, rombongan kemudian dibagi dua.
Rombongan pak Syaf dan Burhanuddin berjalan ke arah Timur, sedangkan
rombongan pak Natsir, Dahlan Djambek dan saya berjalan ke arah ke Barat.
Adapun sebab RPI diproklamirkan karena perjuangan PRRI akan segera
berakhir dan dibubarkan oleh pemerintahan Soekarno. Sedangkan cita-cita
perjuangan PRRI belum tercapai, terutama tentang Pembubaran Dewan
Nasional dan pembersihan Kabinet dari unsur PKI.
Karena tidak ada lagi jalan kompromi dengan rezim Soekarno, maka 'dilatuihkan bana' Republik Persatuan Indonesia . Jalannya upacara ya, seperti upacara militer
dilengkapi dengan pasukan militer, di antaranya pasukan Batalyon Kemal Amin.
RPI merupakan gerakan lanjutan PRRI yang dilengkapi dengan naskah Proklamasi dan UUD. Mukaddimah UUD RPI merupakan kutipan langsung dari Pidato Mohammad Natsir dalam suatu pertemuan lengkap Dewan Perjuangan PRRI. Masyarakat akan dapat membaca selengkapnya Mukaddimah UUD RPI di buku Kapita Selecta III yang akan terbit.
dilengkapi dengan pasukan militer, di antaranya pasukan Batalyon Kemal Amin.
RPI merupakan gerakan lanjutan PRRI yang dilengkapi dengan naskah Proklamasi dan UUD. Mukaddimah UUD RPI merupakan kutipan langsung dari Pidato Mohammad Natsir dalam suatu pertemuan lengkap Dewan Perjuangan PRRI. Masyarakat akan dapat membaca selengkapnya Mukaddimah UUD RPI di buku Kapita Selecta III yang akan terbit.
Memang, yang diproklamirkan tetap saja bernama Republik Persatuan
Indonesia (RPI).Ya, sebenarnya pak Natsir, pak Syaf, pak Bur dan
sejumlah tokoh sipil itu sangat cinta Republik Indonesia. Tadinya,
sebelum dibentuknya PRRI para tokoh sipil ini sudah membuktikan
kecintaannya pada Republik Indonesia. Jadi sebelum meraka datang dan
bergabung, para Panglima yang membentuk Dewan-Dewan Daerah sudah sampai
pada rencana pemisahan diri dari NKRI. Bahkan rapat di Sungai Dareh
arahnya memang sudah ke sana, berjuang melepaskan diri dari Republik
Indonesia. Tapi dengan keberadaan pak Natsir, pak Syaf, pak Bur dan Mr.
Asaat, cita-cita itu dapat dipadamkan. Orang berempat ini bertahan
dengan seruan, "Jangan!” dan makanya yang dibentuk bernama PRRI bukan
Republik Sumatera atau bukan seperti yang sudah lebih dulu
diproklamirkan yaitu RMS (Republik Maluku Selatan).
Jadi, pak Natsir cs ini bukan pemberontak.Karena yang akhirnya
dibentuk hanya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Bukan
pemerintahan Negara Sumatera misalnya atau seperti RMS itu. Tetapi
setelah lebih 2,5 tahun berjalan, tak ada juga titik temu antara PRRI
dan pemerintahan Jakarta. Bahkan jaraknya makin lama makin jauh,
sementara di Maluku, Sulawesi dan Kalimantan kian tumbuh gerakan
separatis yang mengancam keutuhkan Republik Indonesia. Maka,
diproklamirkanlah Republik Persatuan Indonesia itu.
Ada kenangan yang membuat saya tak pernah tidur terkait dengan pak
Natsir. Saat itu rencana orang Kristen untuk mendirikan Rumah Sakit
Baptis hampir saja terwujud. Mereka telah berjuang sejak tahun 1962 dan
hampir mendapatkan tanah setahun kemudian.
Awalnya, mereka mencari tanah dekat Ateh Tambuo Bukittinggi, mereka
telah melakukan pendekatan dan hampir dapat membeli tanah itu. Tapi
Allah SWT berkehendak lain, rencana jangka panjang mereka dengan RS
Baptis itu "bocor" keluar. Saya berhasil mendapatkan anggaran dasar
mereka melalui seorang kader yang menyamar dan melamar sebagai tukang
kayu pada mereka. Kader ini berhasil mendapatkan anggaran dasar mereka.
Betapa terkejutnya saya membaca AD RS Baptis itu. Ada satu pasal yang
tegas berbunyi “bahwa usaha Rumah Sakit Baptis dan sosial lainnya,
adalah dalam rangka Pengabaran Injil ke daerah-daerah.”
Bocoran itu lalu kami sebarkan ke masyarakat sehingga setiap upaya
Baptis membeli tanah, berhasil kami gagalkan. Untuk menggalakkan
penjualan tanah di Ateh Tambuo itu, kami datangi Ninik Mamak dan
penghulu kaum di situ, kami paparkan tujuan RS Baptis itu.
Gagal di Atah Tambuo, pengurus Baptis berpindah ke Panganak di
belakang RS Mukhtar sekarang. Mereka melobi lagi pemuka kaum di sana,
tapi malamnya saya datang pula menemui penghulu kaumnya, memaparkan
tujuan RS Baptis dengan bukit anggaran dasar mereka. Maka, rencana
Baptis mendapatkan tanah, gagal lagi.Tak kehilangan akal, pengurus
Baptis lari lagi ke dekat Simpang Mandiangin, ada tanah seluas dua
hektar yang diincernya. Kami rangkaki pula ke situ, maka gagal lagi.
Akhirnya, Baptis berhasil mendapatkan sebidang tanah di Luak Anyia,
tapi bukan tanah ulayat kaum. Hanya sebidang tanah milik pribadi seorang
wanita asal Bayur Maninjau yang bersuamikan seorang cina keturunan
Taiwan. Tadinya tanah ini akan dia bangunan perumahan, tapi daerah
keburu bergolak. Baptis berhasil mendapatkan tanah tanah milik pribadi
itu. Notaris yang mengurus jual-beli itu melaporkan pada saya. “Nyiak,
sebagai notaris saya tak bisa mengelak tugas. Namun yang jelas kini saya
bocorkan informasi bahwa tanah itu sudah dibeli Baptis. Kini terserah
inyiak, mau diapakan fakta ini," kata Notaris itu.
Saya dan teman-teman lalu bermufakat, apa langkah langkah yang harus
dilakukan, karena secara fakta tanah itu sudah lepas ke Baptis. Ada
teman yang pasrah dengan telah resminya transaksi dihadapan
notarius."Sudahlah, lah lapeh kijang karimbo,"ujarnya mengibaratkan.
Kemudian kami "tabik pangana", perjuangan harus diarahkan bukan lagi
pada pemilik tanah karena "kijang lah lapeh karimbo", tetapi kepada
"pemilik" kota ini yaitu pemerintah. Caranya dengan mendesak DPRD
bersidang dan mengeluarkan keputusan agar Walikota tidak memberi izin
pembangunan RS Baptis.
Tanpa menunggu besok, di larut malam itu juga kami memburu ketua DPRD
Bukit Tinggi. Waktu itu dijabat oleh pak Munir Marzuki Datuk Sutan
Maharajo, beliau juga Ketua Masyumi sekaligus Ketua Muhammadiyah
Bukittinggi. Kami datang ke rumahnya. Kami paparkan semua kejadian dan
bukti bahwa RS Baptis sudah mendapatkan tanah. Lalu beliau bertanya,“Apa
rencana tuan-tuan lagi?”
Saya angkat bicara mewakili teman-teman. "Kami minta DPRD
melaksanakan rapat pleno darurat dengan keputusan melarang Walikota
Bukittinggi memberikan izin bangunan kepada Baptis”.
Bagai "gayung bersambut", ketua DPRD terbakar semangatnya. "Ya, akan
saya desak kawan-kawan agar melaksanakan rapat darurat," tegasnya.
"Jangan tunggu sehari dua, pak. Sedapatnya DPRD cepat bersidang," desak
saya.
Sebagai ketua Masyumi, pak Munir Marzuki tentu sudah sangat
sependapat dengan kami. Tapi bagaimana dengan anggota DPRD lainnya?.
Rupanya, kader Masyumi yang di parlemen memang teruji kesetiaannya pada
perjuangan umat. Besok paginya, pak Munir mendadak mengumpulkan anggota
dewan, lalu membicarakan tuntutan kami yang mendesak dilaksanakannya
'sidang istimewa' DPRD Bukittinggi dengan agenda tunggal melahirkan
keputusan melarang saudara Walikota mengeluarkan izin bangunan bagi RS
Baptis.
Saya maklum, saat itu cukup hangat perdebatan di internal DPRD, tapi
saya juga tahu para kader Masyumi di sana tetap setia dengan garis
perjuangan Islam sebagai Dasar Negara dan penegakan Syariat Islam di
tengah masyarakat. Karena itu saya juga yakin mereka akan turut
menggagalkan setiap rencana pemurtadan dan penghancuran aqidah umat,
seperti melalui rencana pembangunan RS Baptis itu.
Maka, singkat kata, dalam perdebatan yang cukup hangat di siang itu,
akhirnya DPRD sepakat menggelar Sidang Darurat. Bahkan tuntutan kami
agar Sidang Darurat dilaksanakan dalam tempo 1x24 jam lagi, ternyata
mereka penuhi. Walau saat itu puasa (Ramadhan). Besok malamnya, DPRD
Bukittinggi melaksanakan Sidang Darurat di kantornya, di sebelah Masjid
Raya sekarang.
Inilah peristiwa pertama DPRD bersidang malam hari, dengan agenda
tunggal yang terkait dengan nasib umat. Sidang dilaksanakan setelah
shalat tarawih yang dipimpin langsung oleh Ketua DPRD Munir Marzuki.
Hebatnya lagi, umat Islam di kota Bukittinggi juga datang berduyun-duyun
menyaksikan jalannya sidang karena pak Munir Marzuki tidak saja
menyurati semua anggota dewan untuk melaksanakan sidang nanti malam,
tetapi beliau juga menembuskan surat undangan itu kepada pengurus Masjid
dan Ormas Islam di kota Bukittinggi. Tentu, bergegas kami mengantarkan
tembusan surat itu sehingga dapat dibacakan pengurus Masjid dihadapan
jamaah tarwih. Dampaknya luar biasa, dari masjid umat berduyun-duyun
datang menyaksikan sidang istimewa DPRD. Ratusan kaum ibu bahkan datang
sambil tetap mengenakan telekung. Massa membludak hingga menutup jalan
raya, pengeras suara terpaksa dipasang di tengah jalan. Kata demi kata
yang terucap dalam sidang, jelas terdengar oleh massa. Mereka
berulangkali meneriakan takbir "Allahu Akbar!"
Di dalam gedung, saya dan pengurus MUI duduk berhadapan dengan
pengurus Baptis yang sengaja dihadirkan agar mendengar langsung apa
keputusan DPRD. Semula mereka keberatan hadir, namun setelah dijamin
keselamatannya, mereka akhirnya datang juga.
Nyaris tidak ada perdebatan berarti dalam Sidang Darurat DPRD
Bukittinggi di tengah malam itu. Menjelang makan sahur Ketua DPRD tampil
membacakan hasil Keputusan Sidang Darurat yang isinya adalah DPRD
Bukittinggi memutuskan "Melarang saudara Walikota Bukitinggi memberikan
Izin Mendirikan Bangunan kepada Yayasan Baptis untuk mendirikan Rumah
Sakit Baptis di Luhak Anyir Bukittinggi."
Keputusan DPRD itu disambut pekikan takbir oleh ribuan massa.
Sebagian orang tua dan kaum ibu saya lihat melakukan sujud syukur. Dari
pelopak mata mereka meneteskan air mata haru di kedinginan udara malam
yang membalut kota Bukittinggi.
Saya dan teman-teman beranggapan sejak palu diketuk Ketua DPRD malam
itu maka perjuangan telah selesai. Tapi rupanya pihak Baptis tidak
kehilangan akal. Melalui orang-orangnya, mereka berhasil mendekati
Komandan Korem. Mereka kemudian diberikan tanah tentara yang kini
berlokasi di RSU Pusat sekarang. Saya dan teman-kawan terus menggalang
aksi penolakan. Sehinggap pada suatu hari saya bersama pengurus Majelis
Ulama Bukittinggi dipanggil oleh Komandan Korem ke rumah Dinasnya. Tanpa
rasa takut saya memenuhi panggilan itu. Dengan suara tegas Komandan
Korem menyatakan "Saya sudah izinkan kepada Baptis mendirikan Rumah
Sakit di sana." Tanpa meminta apa pendapat kami, dia langsung
mengeluarkan peringatan "Jika masih ada yang banyak bicara, tiga
Batalyon di belakang saya,' tegasnya lantang.
Diancam tuan rumah seperti itu, kami diam saja. Tak ada yang berucap
sepatah katapun juga. Ada pegangan kami saat itu yaitu pepatah Arab yang
artinya, ‘Jika ada orang teler yang bicara padamu, tak usah dijawab.
Jawaban yang paling santiang, adalah diam.’
Di awal Juli 1968, datanglah pak Natsir dari Jakarta. Beliau diundang
oleh Gubernur Sumbar, ketika itu pak Harun Zain dan Walikota Padang
Akhirun Yahya. Ketika itu pak Harun berpikir bagaimana mengembalikan dan
membangkitkan harga diri orang Minang yang merasa 'kalah’ pasca PRRI.
Rupanya ada yang menyarankan pak Harun, kalau itu tujuannya undanglah
pak Natsir agar berkenan datang ke Sumatera Barat. Akhirnya Gubernur dan
juga Walikota Padang mengundang pak Natsir. Saya langsung ikut
mendamping beliau sejak mendarat di Bandara Tabing Padang hingga
berhari-hari kami turun ke daerah-daerah. Bertemulah pak Natsir dengan
orang banyak dan kawan-kawan seperjuangan dulu.
Setelah menginap di rumah kontrakan saya di Siteba, esoknya kami
memenuhi undangan Gubernur dan Walikota Padang, setelah itu
dilanjutkanlah perjalanan ke Batusangkar, 50 Kota hingga sampai ke desa
Aia Kijang tempat kami terakhir turun dulu (keluar dari hutan), terus ke
ke Bukittinggi, lalu ke Padang Lua. Setiba di Pakan Sinayan kami distop
oleh masyarakat.Rupanya mereka rindu melihat wajah pak Natsir. Kami
diarak kemudian dibawa singgah ke rumah ibu Asma Malim yang sejak belia
sudah menjadi aktivis terkemuka Muslimat Masyumi. Dari Pakan Sinayaan
terus ke Embun Pagi dan menurun ke Manjau melalui kelok 44, lalu
berbelok ke kiri untuk terus ke Sungai Batang.
Dalam perjalanan ini saya satu mobil dengan beliau. Di sinilah kami
berdialog tentang masalah pembangunan RS Baptis. Saya jelaskan
kronologis perjuangan yang telah dilalui dalam upaya menggagalkan
pembangunan RS yang bermisi pemurtadan dan kristenisasi. Pak Natsir
setuju dengan tujuan perjuangan kami, tetapi tidak dengan cara-cara yang
kami tempuh.
Pak Natsir berkata, "Kalau begitu caranya Angku-Angku menentang
Baptis, maka suatu ketika orang banyak akan menghadap pada Angku-angku.
Untuk itu buatlah Rumah Sakit karena dibutuhkan orang banyak. Tentang
caranya, nanti kita persamakan. "
Jawab saya, “Kalau itu yang harus saya sampaikan ke orang banyak,
lidah saya belum masin lagi, pak.” Setiba di Nagari Sungai Batang, kami
berkunjung ke rumah Wali Nagari, kawan seperjuangan juga. Namanya
Ismail, tapi kami biasa memanggilnya "Mai". "Angku Mai, pinjam mesin
tik, ya," kata pak Natsir setelah kami melepaskan rangkik-rangkik agak
sebentar. Pak Wali kaget, tapi langsung bergerak mengambil mesin tik
dengan kertasnya sekalian. Seingat saya ketika itu kertasnya hanya jenis
kertas koran ukuran setengah folio. Belum ada kertas HVS seperti
sekarang.
Saya diperintahkan mengetik apa yang diimlakkan (didiktekan) pak
Natsir. Isi surat kecil itu persisnya saya lupa, tapi intinya:”Perlu
mengubah cara engku-engku sekalian dalam menghadapi lawan yang semakin
hari semakin kuat. Yaitu dengan membuat amal-amal yang bermafaat bagi
umat. Umpanya, membuat Rumah Sakit Islam di Bukittingi. Pikirkanlah ini,
dan nanti kita persamakan. "
Setelah diketik, surat kecil setengah folio itu beliau baca dengan
teliti, lalu beliau tandatangani. Surat itu beliau lipat empat, lalu
beliau masukkan ke dalam saku baju saya.
Setelah pak Natsir kembali ke Jakarta, surat kecil pak Natsir saya
serahkan ke Buya Datuk Palimokayo. "Buya, ini surat yang diberikan pak
Natsir untuk kita bersama. Bacalah," pinta saya. Dengan cekatan Buya
Datuk bergegas membacanya. Setelah itu, beliau minta saya segera
mengundang beberapa teman untuk rapat. Rapat pertama di rumah Buya Datuk
Palimokayo. Ada delapan orang yang hadir, di antaranya saya sendiri dan
Buya Datuk, H. Anwar, M. Bakri Datuk Rajo Sampono, Baharudin Kari Basa,
Hasan Basri, ibu Naimah Djambek dan Hj. Syarifah.
Rapat pertama itu baru menghasilkan satu keputusan yaitu sepakat
membentuk sebuah badan yang diberi nama Lembaga Kesehatan Dakwah. Di
hari-hari berikut, tiga kali pengurus Lembaga Kesehatan Dakwah
melaksanakan rapat. Pertama di Surau Inyiak Djambek, kali kedua dan
ketiga di Jambu Aia di rumah Buya Datuk. Rapat terakhir barulah
melahirkan keputusan bahwa perlu dibangun Rumah Sakit Islam di
Bukitinggi.
Tapi pertanyaan kemudian muncul, "Bagaimana caranya? " Tak seorang
pun diantara kami yang tunjuk tangan. Akhirnya peserta rapat menambah
satu lagi keputusan, yaitu menyurati pak Natsir minta beliau mengirimkan
seorang tenaga ahli di bidangnya, yaitu bidang pembangunan Rumah Sakit
beserta isinya.
Maka ditulislah surat setebal dua halaman yang intinya meminta pak
Natsir mengirimkan tenaga ahli. Surat itu ditandatangani oleh H.M D.
Palimokayo selaku Ketua Lembaga Kesehatan Dakwah dan saya selaku
Sekretaris. Saat itu saya belum bergelar Datuk Tan Kabasaran, tapi
Tuanku Sulaiman atau M.S Tk. Sulaiman.
Surat kami cepat direspon pak Natsir. Beliau mengirim seorang tenaga
ahli yaitu bapak Mr. Ezeddin dengan tugas penyambung tangan Yayasan
Kesehatan Dakwah dalam membangun Rumah Sakit Islam. Cita-cita membangun
Rumah Sakit Islam kemudian hari berhasil diwujudkan. Tidak hanya di
Bukittinggi, pak Natsir juga memprakarsai pembangunan RS Islam Yarsi di
Padang, Padang Panjang, Payakumbuh, Panti dan di Kapar Pasaman.
Dalam perjuangan membangun RSI Ibnu Sina di kelima lokasi itu, pak
Natsir adalah pemrakarsanya. Bahkan sejak priode Pengurus Yayasan Rumah
Sakit Islam (Yarsi) diketuai Tamrin Manan, SH dan saya Wakil Ketua,
sengaja kami cantumkan dalam anggaran dasar Yarsi bahwa pak Natsir baik
sebagai peribadi maupun sebagai ketua Dewan Dakwah Islamiyah Pusat,
adalah sebagai pemrakarsa berdirinya Rumah Sakit Islam Yarsi itu.
Andai Saja Pak Natsir Didengarkan
Satu hal yang tak saya lupakan adalah ketika ikut merintis lahirnya
Majelis Ulama Sumatera Barat, pada tahun 1967. Ini merupakan Majelis
Ulama pertama di Indonesia, MUI baru terbentuk tahun 1975.
Ditengah gencarnya kami melawan rencana pembangunan RS Baptis, saya
dan beberapa kawan menjadi panitia penyelangara Mubes Alim Ulama se
Sumatera Barat bertempat di masjid Jamik Birugo Bukittinggi. Mubes itu
berhasil membentuk Majlis Ulama Sumatera Barat dengan pengurus terdiri
dari Buya Datuk Palimo Kayo, Buya Zas, Iskandar Zulkarnaini dan buya
Datuk Nagari Basa. Saya sebagai Wakil Sekretaris.
Majlis Ulama Sumbar berjalan sampai tahun 1975 ketika terbentukMUI di
tingkat nasional. Perjuangan Majelis Ulama Sumbar yang berat adalah
menghadapi masalah RS Baptis dan genacarnya kristenisasi hingga ke
pelosok Pasaman.
Setelah terbentuk MUI di Jakarta, Januari 1975, datanglah Buya Hamka
ke Bukitinggi maka MUI Sumbar yang sudah ada --dalam suatu pertemuan
yang dipandu Buya Hamka-- langsung dilebur menjadi MUI Sumbar. Dengan
penyesuaian struktur kepengurusan menurut format MUI.
Ketika Buya Hamka datang dan terbentuknya MUI itulah, kami
timbang-terimakan masalah RS Baptis. Oleh Buya Hamka masalah itu
benar-benar ditindak lanjuti dengan berulangkali mendesak pemeritah
Pusat. Akhirnya pemeritah pusat turun tangan. Mulanya berupaya membeli
dan mengambil alih RS Baptis itu untuk dijadkan RSUD. Tapi pihak Baptis
tidak mau menjual. Mereka mau menjual bila pemerintah menyediakan lokasi
di daerah lain. Buya Hamka dan MUI terus melobi pemerintah. Akhirnya
Baptis mendapatkan tempat di Bandar Lampung. Di sana dibangun RS Imanuel
yang cukup megah.
Dalam suatu dialog kami di atas mobil, beliau juga pernah berpesan
bahwa kebenaran itu sama dengan harimau. Kalau sudah keluar dari
sarangnya, dia harus menangkap mangsanya. Cuma tergantung waktu, cepat
atau lambat. Kadang baru keluar dari sarang Harimau sudah menerkam rusa
yang melintas. Kadang berhari-hari baru bertemu kijang.
Kebenaran sama dengan itu. “Kebenaran harus kita sampaikan, apapun
resikonya,” kata pak Natsir. Hanya saja kebenaran itu ada yang cepat
diterima, ada yang lambat, setelah bertahun-tahun kita menyampaikan.
Contohnya tentang PKI. Masyumi sejak awal tahun 50-an sudah mengingatkan
bahwa PKI itu musuh. PKI jangan dibawa bersama-sama dalam kabinet. Tapi
tidak pernah didengar rezim Soekarno, bahkan orang-orang PKI diberi
tempat dan jabatan.
Kesadaran akan peringatan Masyumi tentang bahaya PKI, baru tumbuh
tahun 1965. “Tapi harus dibayar dengan tujuh jenderal. Kalaulah sejak
awal 50-an Pemerintah mendengarkan Masyumi, ‘penebusan’ dengan tujuh
jendral itu tidak perlu terjadi. Tapi apa boleh buat, awak yang sejak
awal melawan PKI, awak pula yang dimusuhi.
Begitulah kebenaran, cepat atau lambat dia akan diikuti. Yan penting, cepat sampaikan kebenaran itu. Jangan ragu, jangan gentar, dan itu telah dilakukan pak Natsir dengan perbuatan.
Jauh sebelum meletusnya PRRI, pak Natsir sudah menelan pahitnya
akibat menyampaikan kebenaran. Bahkan pada suatu malam, rumahnya diteror
pemuda rakyat. Allah SWT menakdirkan pak Natsir berhasil meloloskan
diri menuju Padang. Jadi, beliau ke Sumbar bukan kesengajaan untuk ikut
PRRI, tapi karena merasa sudah terancam nyawanya di Jakata. Namun ada
pula hikmahnya ketika pak Natsir dan beberapa tokoh sipil seperti Pak
Syaf dan Burhanudin ikut PRRI. Jika tak ada mereka di dalam, PRRI sudah
menjadi gerakan separatis pemisahan diri, seperti RMS atau GAM. Peta
Indonesia akan berubah, paling hanya tinggal Jawa-Bali saja.
Tapi itulah pak Natsir, dia berani mengatakan ‘Jangan!” dihadapan
para pemimpin Dewan Militer ketika PRRI akan mengambil langkah pemisahan
diri dalam pertemuan di Sungai Dareh.
*Mantan Pengawal Pak Natsir di Hutan Sumatera Barat, Tokoh
Masyumi Sumbar dan Senior Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia wilayah
Sumatera Barat.