Dia
adalah Khadijah r.a, seorang wanita janda, bangsawan, hartawan, cantik
dan budiman. Ia disegani oleh masyarakat Quraisy khususnya, dan bangsa
Arab pada umumnya. Sebagai seorang pengusaha, ia banyak memberikan
bantuan dan modal kepada pedagang-pedagang atau melantik orang-orang
untuk mewakili urusan-urusan perniagaannya ke luar negeri.
Banyak
pemuda Quraisy yang ingin menikahinya dan sanggup membayar mas kawin
berapa pun yang dikehendakinya, namun selalu ditolaknya dengan halus
kerana tak ada yang berkenan di hatinya.
Bermimpi melihat matahari turun kerumahnya
Pada
suatu malam ia bermimpi melihat matahari turun dari langit, masuk ke
dalam rumahnya serta memancarkan sinarnya merata kesemua tempat
sehingga tiada sebuah rumah di kota Makkah yang luput dari sinarnya.
Mimpi
itu diceritakan kepada sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal. Dia
seorang lelaki yang berumur lanjut, ahli dalam mentakbirkan mimpi dan
ahli tentang sejarah bangsa-bangsa purba. Waraqah juga mempunyai
pengetahuan luas dalam agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi terdahulu.
Waraqah
berkata: “Takwil dari mimpimu itu ialah bahwa engkau akan menikah
kelak dengan seorang Nabi akhir zaman.” “Nabi itu berasal dari negeri
mana?” tanya Khadijah bersungguh-sungguh. “Dari kota Makkah ini!” ujar
Waraqah singkat. “Dari suku mana?” “Dari suku Quraisy juga.” Khadijah
bertanya lebih jauh: “Dari keluarga mana?” “Dari keluarga Bani Hasyim,
keluarga terhormat,” kata Waraqah dengan nada menghibur. Khadijah
terdiam sejenak, kemudian tanpa sabar meneruskan pertanyaan terakhir:
“Siapakah nama bakal orang agung itu, hai sepupuku?” Orang tua itu
mempertegas: “Namanya Muhammad SAW. Dialah bakal suamimu!”
Khadijah
pulang ke rumahnya dengan perasaan yang luar biasa gembiranya. Belum
pernah ia merasakan kegembiraan sedemikian hebat. Maka sejak itulah
Khadijah senantiasa bersikap menunggu dari manakah gerangan kelak
munculnya sang pemimpin itu.
Lamaran dari khadijah kepada Rasulullah s.a.w
Muhammad Al-Amiin muncul di rumah Khadijah. Wanita usahawan itu berkata,
Khadijah:
“Hai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu!” (Suaranya ramah, bernada
dermawan. Dengan sikap merendahkan diri tapi tahu harga dirinya)
Muhammad SAW berbicara lurus, terus terang, meskipun agak malu-malu tetapi pasti.
Muhammad SAW: “Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku dalam
rombongan niaga. Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan jodoh
bagi anak saudaranya yang yatim piatu”
(Kepalanya tertunduk, dan wanita hartawan itu memandangnya dengan penuh ketakjuban)
Khadijah: “Oh, itukah….! Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan
apa-apa bagimu untuk menutupi keperluan yang engkau maksudkan,”.
“Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri
bagimu”.(Ia berhenti sejenak, meneliti).
Kemudian meneruskan dengan tekanan suara memikat dan mengandung isyarat
Khadijah: “Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan
Arab. Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh banyak raja-raja dan
pembesar-pembesar Arab dan asing, tetapi ditolaknya. Kepadanyalah aku
hendak membawamu”.
khadijah
(Khadijah tertunduk lalu melanjutkan): “Tetapi sayang, ada aibnya…!
Dia dahulu sudah pernah bersuami. Kalau engkau mau, maka dia akan
menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu”.
Pemuda
Al-Amiin tidak menjawab. Mereka sama-sama terdiam, sama-sama terpaku
dalam pemikirannya masing-masing. Yang satu memerlukan jawapan, yang
lainnya tak tahu apa yang mau dijawab. Khadijah r.a tak dapat
mengetahui apa yang terpendam di hati pemuda Bani Hasyim itu, pemuda
yang terkenal dengan gelaran Al-Amiin (jujur). Pemuda Al-Amiin itupun
mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud oleh
Khadijah r.a.
Rasulullah SAW minta izin untuk pulang tanpa sesuatu keputusan yang ditinggalkan. Ia menceritakan kepada Pamannya.
Rasulullah
SAW: “Aku merasa amat tersinggung oleh kata-kata Khadijah r.a.
Seolah-olah dia memandang enteng dengan ucapannya ini dan itu “anu dan
anu….” Ia mengulangi apa yang dikatakan oleh perempuan kaya itu.
‘Atiqah
juga marah mendengar berita itu. Dia seorang perempuan yang cepat naik
darah kalau pihak yang dinilainya menyinggung kehormatan Bani Hasyim.
Katanya: “Muhammad, kalau benar demikian, aku akan mendatanginya”.
‘Atiqah
tiba di rumah Khadijah r.a dan terus menegurnya: “Khadijah, kalau kamu
mempunyai harta kekayaan dan kebangsawan, maka kamipun memiliki
kemuliaan dan kebangsawanan. Kenapa kamu menghina puteraku, anak
saudaraku Muhammad?”
Khadijah
r.a terkejut mendengarnya. Tak disangkanya bahwa kata-katanya itu akan
dianggap penghinaan. Ia berdiri menyabarkan dan mendamaikan hati
‘Atiqah:
Khadijah
: “Siapakah yang sanggup menghina keturunanmu dan sukumu? Terus terang
saja kukatakan kepadamu bahwa dirikulah yang kumaksudkan kepada
Muhammad SAW. Kalau ia mau, aku bersedia menikah dengannya; kalau
tidak,aku pun berjanji tak akan bersuami hingga mati”.
Pernyataan
jujur ikhlas dari Khadijah r.a membuat ‘Atiqah terdiam. Kedua wanita
bangsawan itu sama-sama cerah. Percakapan menjadi serius. “Tapi
Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui oleh sepupumu Waraqah bin
Naufal?” tanya ‘Atiqah sambil meneruskan: “Kalau belum cobalah meminta
persetujuannya.” “Ia belum tahu, tapi katakanlah kepada saudaramu, Abu
Thalib, supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum, dimana
sepupuku diundang, dan disitulah diadakan majlis lamaran”, Khadijah r.a
berkata seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan
keberatan karena dialah yang menafsirkan mimpinya akan bersuamikan
seorang Nabi akhir zaman.
‘Atiqah
pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia
segera menyampaikan berita gembira itu kepada saudara-saudaranya: Abu
Thalib, Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua riang menyambut hasil
pertemuan ‘Atiqah dengan Khadijah “Itu bagus sekali”, kata Abu Thalib,
“tapi kita harus bermusyawarah dengan Muhammad SAW lebih dulu.”
Khadijah yang cantik
Sebelum
diajak bermusyawarah, maka terlebih dahulu ia pun telah menerima
seorang perempuan bernama Nafisah, utusan Khadijah r.a yang datang
untuk menjalin hubungan kekeluargaan. Utusan peribadi Khadijah itu
bertanya:
Nafisah : “Muhammad, kenapa engkau masih belum berfikir mencari isteri?” Muhammad SAW menjawab: “Hasrat ada, tetapi kesanggupan belum ada.”
Nafisah
“Bagaimana kalau seandainya ada yang hendak menyediakan nafkah? Lalu
engkau mendapat seorang isteri yang baik, cantik, berharta, berbangsa
dan sekufu pula denganmu, apakah engkau akan menolaknya?”
Rasulullah SAW: “Siapakah dia?” tanya Muhammad SAW.
Nafisah : “Khadijah!” Nafisah berterus terang. “Asalkan engkau bersedia, sempurnalah segalanya. Urusannya serahkan kepadaku!”
Usaha
Nafisah berhasil. Ia meninggalkan putera utama Bani Hasyim dan
langsung menemui Khadijah r.a, menceritakan kesediaan Muhammad SAW.
Setelah Muhammad SAW menerimapemberitahuan dari saudara-saudaranya
tentang hasil pertemuan dengan Khadijah r.a, maka baginda tidak
keberatan mendapatkan seorang janda yang usianya lima belas tahun lebih
tua daripadanya.
Betapa
tidak setuju, apakah yang kurang pada Khadijah? Ia wanita bangsawan,
cantik, hartawan, budiman. Dan yang utama karena hatinya telah
dibukakan Tuhan untuk mencintainya, telah ditakdirkan akan dijodohkan
dengannya. Kalau dikatakan janda, biarlah! Ia memang janda umur empat
puluh, tapi janda yang masih segar, bertubuh ramping, berkulit putih
dan bermata jeli. Maka diadakanlah majlis yang penuh keindahan itu.
Hadir
Waraqah bin Naufal dan beberapa orang-orang terkemuka Arab yang
sengaja dijemput. Abu Thalib dengan resmi meminang Khadijah r.a kepada
saudara sepupunya. Orang tua bijaksana itu setuju. Tetapi dia meminta
tempoh untuk berunding dengan wanita yang berkenaan.
Pernikahan Muhammad dengan Khadijah
Khadijah
r.a diminta pendapat. Dengan jujur ia berkata kepada Waraqah: “Hai
anak sepupuku, betapa aku akan menolak Muhammad SAW padahal ia sangat
amanah, memiliki keperibadian yang luhur, kemuliaan dan keturunan
bangsawan, lagi pula pertalian kekeluargaannya luas”. “Benar katamu,
Khadijah, hanya saja ia tak berharta”, ujar Waraqah. “Kalau ia tak
berharta, maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan harta lelaki.
Kuwakilkan kepadamu untuk menikahkan aku dengannya,” demikian Khadijah
r.a menyerahkan urusannya.
Waraqah
bin Naufal kembali mendatangi Abu Thalib memberitakan bahwa dari pihak
keluarga perempuan sudah bulat mufakat dan merestui bakal pernikahan
kedua mempelai. Lamaran diterima dengan persetujuan mas kawin lima
ratus dirham. Abu Bakar r.a, yang kelak mendapat sebutan “Ash-Shiddiq”,
sahabat akrab Muhammad SAW. sejak dari masa kecil, memberikan
sumbangan pakaian indah buatan Mesir, yang melambangkan kebangsawaan
Quraisy, sebagaimana layaknya dipakai dalam upacara adat istiadat
pernikahan agung, apalagi karena yang akan dinikahi adalah seorang
hartawan dan bangsawan pula.
Peristiwa
pernikahan Muhammad SAW dengan Khadijah r.a berlangsung pada hari
Jum’at, dua bulan sesudah kembali dari perjalanan niaga ke negeri Syam.
Bertindak sebagai wali Khadijah r.a ialah pamannya bernama ‘Amir bin
Asad.
Waraqah
bin Naufal membacakan khutbah pernikahan dengan fasih, disambut oleh
Abu Thalib sebagai berikut: “Alhamdu Lillaah, segala puji bagi Allah
Yang menciptakan kita keturunan (Nabi) Ibrahim, benih (Nabi) Ismail,
anak cucu Ma’ad, dari keturunan Mudhar. “Begitupun kita memuji Allah
SWT Yang menjadikan kita penjaga rumah-Nya, pengawal Tanah Haram-Nya
yang aman sejahtera, dan menjadikan kita hakim terhadap sesama manusia.
“Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, kalau akan
ditimbang dengan laki-laki manapun juga, niscaya ia lebih berat dari
mereka sekalian. Walaupun ia tidak berharta, namun harta benda itu
adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang akan cepat
perginya. Akan tetapi Muhammad SAW, tuan-tuan sudah mengenalinya siapa
dia. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid. Dia akan memberikan mas
kawin lima ratus dirham yang akan segera dibayarnya dengan tunai dari
hartaku sendiri dan saudara-saudaraku.
“Demi
Allah SWT, sesungguhnya aku mempunyai firasat tentang dirinya bahwa
sesudah ini, yakni di saat-saat mendatang, ia akan memperolehi berita
gembira (albasyaarah) serta pengalaman-pengalaman hebat. “Semoga Allah
memberkati pernikahan ini”. Penyambutan untuk memeriahkan majlis
pernikahan itu sangat meriah di rumah mempelai perempuan. Puluhan
anak-anak lelaki dan perempuan berdiri berbaris di pintu sebelah kanan
di sepanjang lorong yang dilalui oleh mempelai lelaki, mengucapkan salam
marhaban kepada mempelai dan menghamburkan harum-haruman kepada para
tamu dan pengiring.
Selesai
upacara dan tamu-tamu bubar, Khadijah r.a membuka isi hati kepada
suaminya dengan ucapan: “Hai Al-Amiin, bergembiralah! Semua harta
kekayaan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang
terdiri dari bangunan-bangunan, rumah-rumah, barang-barang dagangan,
hamba-hamba sahaya adalah menjadi milikmu. Engkau bebas membelanjakannya
ke jalan mana yang engkau redhai !”
Itulah
sebagaimana Firman Allah SWT yang bermaksud: “Dan Dia (Allah)
mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan
kekayaan”. (Adh-Dhuhaa:
Alangkah bahagianya kedua pasangan mulia itu, hidup sebagai suami isteri yang sekufu, sehaluan, serasi dan secita-cita.
Dijamin Masuk Syurga
Khadijah
r.a mendampingi Muhammad SAW. selama dua puluh enam tahun, yakni enam
belas tahun sebelum dilantik menjadi Nabi, dan sepuluh tahun sesudah
masa kenabian. Ia isteri tunggal, tak ada duanya, bercerai karena
kematian. Tahun wafatnya disebut “Tahun Kesedihan” (‘Aamul Huzni).
Khadijah
r.a adalah orang pertama sekali beriman kepada Rasulullah SAW. ketika
wahyu pertama turun dari langit. Tidak ada yang mendahuluinya. Ketika
Rasulullah SAW menceritakan pengalamannya pada peristiwa turunnya wahyu
pertama yang disampaikan Jibril ‘alaihissalam, dimana beliau merasa
ketakutan dan menggigil menyaksikan bentuk Jibril a.s dalam rupa
aslinya, maka Khadijahlah yang pertama dapat mengerti makna peristiwa
itu dan menghiburnya, sambil berkata:
“Bergembiralah
dan tenteramkanlah hatimu. Demi Allah SWT yang menguasai diri Khadijah
r.a, engkau ini benar-benar akan menjadi Nabi Pesuruh Allah bagi umat
kita. “Allah SWT tidak akan mengecewakanmu. Bukankah engkau orang yang
senantiasa berusaha untuk menghubungkan tali persaudaraan? Bukankah
engkau selalu berkata benar? Bukankah engkau senantiasa menyantuni anak
yatim piatu, menghormati tamu dan mengulurkan bantuan kepada setiap
orang yang ditimpa kemalangan dan musibah?”
Khadijah
r.a membela suaminya dengan harta dan dirinya di dalam menegakkan
kalimah tauhid, serta selalu menghiburnya dalam duka derita yang
dialaminya dari gangguan kaumnya yang masih ingkar terhadap kebenaran
agama Islam, menangkis segala serangan caci maki yang dilancarkan oleh
bangsawan-bangsawan dan hartawan Quraisy. Layaklah kalau Khadijah r.a
mendapat keistimewaan khusus yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita
lain yaitu, menerima ucapan salam dari Allah SWT. yang disampaikan oleh
malaikat Jibril a.s kepada Rasulullah SAW. disertai salam dari Jibril
a.s peribadi untuk disampaikan kepada Khadijah radiallahu ‘anha serta
dihiburnya dengan syurga.
Kesetiaan
Khadijah r.a diimbangi oleh kecintaan Nabi SAW kepadanya tanpa
terbatas. Nabi SAW pernah berkata: “Wanita yang utama dan yang pertama
akan masuk Syurga ialah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti
Muhammad SAW., Maryam binti ‘Imran dan Asyiah binti Muzaahim, isteri
Fir’aun”.
Wanita Terbaik
Sanjungan
lain yang banyak kali diucapkan Rasulullah SAW. terhadap peribadi
Khadijah r.a ialah: “Dia adalah seorang wanita yang terbaik, karena dia
telah percaya dan beriman kepadaku di saat orang lain masih dalam
kebimbanga, dia telah membenarkan aku di saat orang lain mendustakanku;
dia telah mengorbankan semua harta bendanya ketika orang lain mencegah
kemurahannya terhadapku; dan dia telah melahirkan bagiku beberapa
putera-puteri yang tidak ku dapatkan dari isteri-isteri yang lain”.
Putera-puteri
Rasulullah SAW. dari Khadijah r.a sebanyak tujuh orang: tiga lelaki
(kesemuanya meninggal di waktu kecil) dan empat wanita. Salah satu dari
puterinya bernama Fatimah, dinikahkan dengan Ali bin Abu Thalib,
sama-sama sesuku Bani Hasyim. Keturunan dari kedua pasangan inilah yang
dianggap sebagai keturunan langsung dari Rasulullah SAW.
Perjuangan Khadijah
Tatkala
Nabi SAW mengalami rintangan dan gangguan dari kaum lelaki Quraisy,
maka di sampingnya berdiri dua orang wanita. Kedua wanita itu berdiri
di belakang da’wah Islamiah, mendukung dan bekerja keras mengabdi
kepada pemimpinnya, Muhammad SAW : Khadijah bin Khuwailid dan Fatimah
binti Asad. Oleh karena itu Khadijah berhak menjadi wanita terbaik di
dunia. Bagaimana tidak menjadi seperti itu, dia adalah Ummul Mu’minin,
sebaik-baik isteri dan teladan yang baik bagi mereka yang mengikuti
teladannya.
Khadijah
menyiapkan sebuah rumah yang nyaman bagi Nabi SAW sebelum beliau
diangkat menjadi Nabi dan membantunya ketika merenung di Gua Hira’.
Khadijah adalah wanita pertama yang beriman kepadanya ketika Nabi SAW
berdoa (memohon) kepada Tuhannya. Khadijah adalah sebaik-baik wanita
yang menolongnya dengan jiwa, harta dan keluarga. Peri hidupnya harum,
kehidupannya penuh dengan kebajikan dan jiwanya sarat dengan kebaikan.
Rasulullah
SAW bersabda :”Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang ingkar,
dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan dan dia menolongku
dengan hartanya ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa.”
Kenapa
kita bersusah payah mencari teladan di sana-sini, padahal di hadapan
kita ada “wanita terbaik di dunia,” Khadijah binti Khuwailid, Ummul
Mu’minin yang setia dan taat, yang bergaul secara baik dengan suami dan
membantunya di waktu berkhalwat sebelum diangkat menjadi Nabi dan
meneguhkan serta membenarkannya.
Khadijah
mendahului semua orang dalam beriman kepada risalahnya, dan membantu
beliau serta kaum Muslimin dengan jiwa, harta dan keluarga. Maka Allah
SWT membalas jasanya terhadap agama dan Nabi-Nya dengan sebaik-baik
balasan dan memberinya kesenangan dan kenikmatan di dalam istananya,
sebagaimana yang diceritakan Nabi SAW, kepadanya pada masa hidupnya.
Ketika
Jibril A.S. datang kepada Nabi SAW, dia berkata :”Wahai, Rasulullah,
inilah Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah dan
makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan salam
kepadanya dari Tuhannya dan aku, dan beritahukan kepadanya tentang
sebuah rumah di syurga dari mutiara yang tiada keributan di dalamnya
dan tidak ada kepayahan.” [HR. Bukhari dalam "Fadhaail Ashhaabin Nabi
SAW. Imam Adz-Dzahabi berkata:"Keshahihannya telah disepakati."]
Bukankah
istana ini lebih baik daripada istana-istana di dunia, hai,
orang-orang yang terpedaya oleh dunia ? Sayidah Khadijah r.a. adalah
wanita pertama yang bergabung dengan rombongan orang Mu’min yang orang
pertama yang beriman kepada Allah di bumi sesudah Nabi SAW. Khadijah
r.a. membawa panji bersama Rasulullah SAW sejak saat pertama, berjihad
dan bekerja keras. Dia habiskan kekayaannya dan memusuhi kaumnya. Dia
berdiri di belakang suami dan Nabinya hingga nafas terakhir, dan patut
menjadi teladan tertinggi bagi para wanita.
Betapa
tidak, karena Khadijah r.a. adalah pendukung Nabi SAW sejak awal
kenabian. Ar-Ruuhul Amiin telah turun kepadanya pertama kali di sebuah
gua di dalam gunung, lalu menyuruhnya membaca ayat-ayat Kitab yang
mulia, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Kemudian dia menampakkan diri
di jalannya, antara langit dan bumi. Dia tidak menoleh ke kanan maupun
ke kiri sehingga Nabi SAW melihatnya, lalu dia berhenti, tidak maju
dan tidak mundur. Semua itu terjadi ketika Nabi SAW berada di antara
jalan-jalan gunung dalam keadaan kesepian, tiada penghibur, teman,
pembantu maupun penolong.
Nabi
SAW tetap dalam sikap yang demikian itu hingga malaikat
meninggalkannya. Kemudian, beliau pergi kepada Khadijah dalam keadaan
takut akibat yang didengar dan dilihatnya. Ketika melihatnya, Khadijah
berkata :”Dari mana engkau, wahai, Abal Qasim ? Demi Allah, aku telah
mengirim beberapa utusan untuk mencarimu hingga mereka tiba di Mekkah,
kemudian kembali kepadaku.” Maka Rasulullah SAW menceritakan kisahnya
kepada Khadijah r.a.
Khadijah
r.a. berkata :”Gembiralah dan teguhlah, wahai, putera pamanku. Demi
Allah yang menguasai nyawaku, sungguh aku berharap engkau menjadi Nabi
umat ini.” Nabi SAW tidak mendapatkan darinya, kecuali pe neguhan bagi
hatinya, penggembiraan bagi dirinya dan dukungan bagi urusannya. Nabi
SAW tidak pernah mendapatkan darinya sesuatu yang menyedihkan, baik
berupa penolakan, pendustaan, ejekan terhadapnya atau penghindaran
darinya. Akan tetapi Khadijah melapangkan dadanya, melenyapkan
kesedihan, mendinginkan hati dan meringankan urusannya. Demikian
hendaknya wanita ideal.
Itulah
dia, Khadijah r.a., yang Allah SWT telah mengirim salam kepadanya.
Maka turunlah Jibril A.S. menyampaikan salam itu kepada Rasul SAW
seraya berkata kepadanya :”Sampaikan kepada Khadijah salam dari
Tuhannya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda :”Wahai Khadijah, ini Jibril
menyampaikan salam kepadamu dari Tuhanmu.” Maka Khadijah r.a. menjawab
:”Allah yang menurunkan salam (kesejahteraan), dari-Nya berasal salam
(kesejahteraan), dan kepada Jibril semoga diberikan salam
(kesejahteraan).”
Sesungguhnya
ia adalah kedudukan yang tidak diperoleh seorang pun di antara para
shahabat yang terdahulu dan pertama masuk Islam serta khulafaur
rasyidin. Hal itu disebabkan sikap Khadijah r.a. pada saat pertama
lebih agung dan lebih besar daripada semua sikap yang mendukung da’wah
itu sesudahnya. Sesungguhnya Khadijah r.a. merupakan nikmat Allah yang
besar bagi Rasulullah SAW. Khadijah mendampingi Nabi SAW selama
seperempat abad, berbuat baik kepadanya di saat beliau gelisah,
menolongnya di waktu-waktu yang sulit, membantunya dalam menyampaikan
risalahnya, ikut serta merasakan penderitaan yang pahit pada saat jihad
dan menolong- nya dengan jiwa dan hartanya.
Rasulullah
SAW bersabda :”Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang
mengingkari. Dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan. Dan
dia memberikan hartanya kepadaku ketika orang-orang tidak memberiku
apa-apa. Allah mengaruniai aku anak darinya dan mengharamkan bagiku
anak dari selain dia.” [HR. Imam Ahmad dalam "Musnad"-nya, 6/118]
Diriwayatkan
dalam hadits shahih, dari Abu Hurairah r.a., dia berkata :”Jibril
datang kepada Nabi SAW, lalu berkata :”Wahai, Rasulullah, ini Khadijah
telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah, makanan atau minuman.
Apabila dia datang kepadamu, sampaikan kepadanya salam dari Tuhan-nya
dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di syurga, (terbuat)
dari mutiara yang tiada suara ribut di dalamnya dan tiada kepayahan.”
[Shahih Bukhari, Bab Perkawinan Nabi SAW dengan Khadijah dan
Keutamaannya, 1/539)
cahyaiman.wordpress.com
|