Patjar Merah Indonesia, mendengar nama ini pastilah hampir semua orang yang menyenangi dan mempelajari sejarah tahu siapa tokoh utama novel itu. Tapi seberapa banyak yang tahu tentang penulisnya, berapa orang yang sudah membaca dengan lengkap cerita roman itu, tidak banyak kurasa. Maka beruntunglah kita yang belum pernah membaca roman campuran cerita fiksi dan sejarah petualangan Tan Malaka ini. Adalah Beranda Publishing, penerbit asal Yogyakarta bijak memahami kehausan dan rasa penasaran kita yang belum membaca cerita tentang Patjar Merah Indonesia ini. Perusahaan penerbitan ini mencetak ulang jilid pertama kisah petualangan ala Tan Malaka pada Februari 2010 lalu, dan beruntunglah aku menemukan buku ini di sebuah toko buku besar awal Maret lalu. Sang buku tersusun di rak buku-buku sastra, tak alang-kepalang senangnya aku mendapati buku ini, entah kenapa tiba-tiba adrenalin terpacu dalam darahku, padahal sama sekali belum aku sentuh untuk sekedar membaca sinopsisnya.
Buku ini diterbitkan pertama kali oleh Centrale-Courant en boekhandel, di Medan, Maret 1938. Judulnya; Spionage-Dienst: Patjar Merah Indonesia. Memang, cerita sejarah yang dibalut dengan fiksi lebih nikmat untuk memahami sejarah, coba saja baca cerita novel-novel sejarah masa kini seperti; Gajah Mada karangan Langit Kresna Haryadi atau pun Rahasia Medee ciptaan ES Ito. Tapi cerita Patjar Merah Indonesia ini lebih unik lagi. Keunikannya, Matu Mona sang penulis roman ini, membuat bukunya ketika tokoh utamanya masih hidup. Awalnya mengarang cerita ini, Matu Mona mengaku terinspirasi dan mendapat bahan dari surat-surat Tan Malaka kepada Adinegoro, pimpinan redaksi Pewarta Deli.
Harry A.Poeze, seorang Indonesianis dalam kata pengantar buku cetakan ketiga ini menyebut karya Matu Mona tersebut sebagai roman petualangan yang memikat, lengkap dengan cerita spionase, politik dan romantika di lokasi-lokasi menarik. Aku sendiri seolah tenggelam dalam mesin waktu dan terlepas dari sekat ruang ketika membaca cerita ini. Tanpa sadar melemparkan diri ke masa-masa kolonial, ke tempat-tempat eksotik di Asia, Amerika dan Eropa. Terlena dengan alur cerita yang menawan, membuat penasaran untuk membuka setiap lembar cerita, mengkhayalkan mana fakta dan mana fiksi.
Dalam cerita ini, tokoh-tokoh komunis Indonesia yang sangat terkenal disamarkan namanya, ini dilakukan untuk menghindari kecurigaan pemerintah kolonial Belanda yang sedang memburu mereka. Isi cerita tentang politik dan anti-imperialis membuat pengarangnya harus berhati-hati karena undang-undang kolonial waktu itu sangat keras dan represif. Wartawan nasionalis seperti Matu Mona harus mengakalinya dengan menggunakan genre fiksi. Nama-nama seperti Semaun, Muso, Alimin dan Darsono disamarkan, meski tetap mudah untuk dikenali. Semaun dinamakan sebagai Semounoff, Alimin sebagai Ivan Alimsky, Darsono sebagai Darsonoff dan Muso sebagai Paul Mussote. Sedangkan tokoh utama, pemimpin mereka; Tan Malaka namanya sulit dikenali. Pengarang menyebutkan namanya berbeda-beda, ketika di Thailand dia bernama Vichitra, di Cina menggunakan nama Tan Min Kha, tapi selanjutnya disebut Patjar Merah.
Sang Patjar Merah dicitrakan sebagai orang yang misterius, bercita-cita mengenyahkan imperialisme dari negerinya. Dia menguasai ilmu inteligen dan kontra-inteligen, mampu membaca masa depan, mempunyai kesaktian misterius dan sangat melegenda karena menjadi buruan dinas-dinas rahasia seluruh dunia. Bahkan jika di Eropa, dirinya digambarkan sejajar dengan Stalin, Mussolini, Kemal Attarturk dan lain-lainnya. Cerita tentang tokoh utama tetap dibumbui cinta romantika, cinta seorang gadis Siam bernama Ninon. Tapi bagi Patjar Merah cintanya hanya satu, cinta bagi tanah airnya.
Tokoh dalam cerita ini semakin membuat kita penasaran tentang Tan Malaka, seperti penasarannya kita tetang akhir kisah hidupnya yang tragis. Seperti diceritakan berbagai sumber, Februari 1949 Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga, Harry A. Poeze menyebutkan Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya. Tapi sampai saat ini tidak diketahui kuburnya. Semua itu menjadi misteri dan biarlah Sang Patjar merah menghilang namun namannya tetap dikenang.
Matu Mona
Cukup cerita tentang Tan Malaka sang Patjar Merah, sekarang mari kita bercerita tentang sang pencipta Patjar Merah Indonesia itu. Banyak dari kita yang tidak mengetahui detail tentang Matu Mona, untunglah buku terbitan Beranda Publishing ini membahasnya. Matu Mona sebenarnya adalah nama samaran, nama aslinya adalah Hasbullah Parindurie.
Banyak yang mengira Matu Mona berasal dari Maluku atau dari Nusa Tenggara Barat, sebenarnya matumona dalam bahasa Tapanuli Selatan artinya mulai atau baru mulai. Nama itu diambil untuk menggambarkan diri si penulis yang merendahkan diri seolah baru belajar meski seharusnya para sastrawan, penulis dan wartawan harus banyak belajar padanya.
Dilahirkan di Kesawan, Deli pada tanggal 20 Juli 1910. Sekolahnya hanya sampai tingkat 5, kemudian dia diangkat menjadi guru bantu di sekolah berbahasa Inggris. Tahun 1931, dia memulai kariernya sebagai wartawan Pewarta Deli. Dia adalah wartawan “alam” yang belajar dari kejeniusannya menulis cerpen, cerbung dan sajak-sajak.
Sebagai wartawan muda yang idealis, ia pernah berurusan dengan polisi Belanda karena tulisannya. Tulisannya berjudul “Ranting Emas Pohon Perak” sekitar tahun 30-an membuatnya dijatuhi hukuman penjara satu minggu. Tuduhannya menghina dan menghasut, tulisannya itu terilhami ketika ia melihat seorang ibu tua renta memunguti ranting-ranting kayu jati di depan perusahan-perusahaan Belanda yang megah. Tapi bukan sekali itu saja dia berurusan dengan para imperialisme.
Mungkin bagi Matu Mona peristiwa yang tak terlupakan olehnya adalah pertemuannya dengan Tan Malaka pada pertengahan 1938 di Singapura. Ketika itu ia sedang cuti selama tiga bulan. Pertemuan ini bermula ketika seorang tukang jahit berasal dari Sumatera Barat mengundangnya singgah ke tokonya. Di sana muncullah Tan Malaka yang berpenampilan seperti orang Cina. Sang tokoh utama novelnya tiba-tiba berada di depannya, aku sulit membayangkan apa yang akan kulakukan dan bagaimana kejadian itu berjalan jika aku berada pada posisi Matu Mona. Tan Malaka ternyata ingin berkenalan dengan pengarang Patjar Merah Indonesia yang telah dibacanya. Ia tak mau diwawancarai karena tak ingin tempat tinggalnya diketahui orang.
Pertemuan itu hanya berlangsung selama lima menit dan hanya sekadar pertemuan ramah-tamah. Tapi pertemuan itu kembali menginsipirasi Matu Mona untuk melanjutkan kisah petualangan Patjar Merah. Kemudian pada akhir tahun 1938 terbitlah lanjutan ceritanya berjudul “Rol Patjar Merah Indonesia cs” (Peranan Patjar Merah cs)
Selain novel Patjar Merah Indonesia, sebenarnya masih banyak lagi karya-karya dari Hasbullah Parindurie, namun ada beberapa karyanya yang hanya ditemukan judulnya saja dan belum ditemukan naskahnya.
sumber : http://umum.kompasiana.com