Tidak boleh meyakini bahwa tasyakuran haji sebagai sesuatu yang disunnahkan atau dianggap sebagai bagian dari tuntunan berhaji
Assalammualaikum...
Acara walimah merupakan salah satu bentuk ibadah, apakah Walimatul Safar (tasyakuran mau berangkat dan pulang haji) merupakan ibadah yang sudah dituntunkan oleh Rasul? Apakah ada dasarnya, baik dari Alquran atau hadist? Terima kasih.
Wassalammualaikum Wr.Wb
[Ahmad Maulana, Surabaya]
Jawab :
Saudaraku fi al-din rahimakallah, ritme kehidupan manusia tidak lepas dari senang dan susah. Manusia akan merasa senang saat merasa bahwa apa yang diterimanya adalah nikmat, sebaliknya akan merasa gundah bila merasa tertimpa musibah. Fitrah manusia menuntun untuk mengekspresikan rasa terima kasih kepada pemberi nikmat saat menerimanya. Namun menjadi lain bila merasa tertimpa kesusahan.
Bagi seorang mukmin yang tentu menyadari bahwa semuanya merupakan anugerah dan sekaligus ujian dari Allah, maka sebagaimana dikatakan Nabi: ”Jika menerima nikmat, dia bersyukur dan yang demikian itu adalah merupakan kebaikan untuknya. Dan bila tertimpa musibah, ia bersabar. Dan itu juga merupakan kebaikan untuknya.” [HR Muslim]
Dalam kaitannya dengan mendapat kesempatan untuk menunaikan ibadah haji yang sejak lama diidamkan dan melalui proses yang panjang, maka pantaslah bagi seorang mukmin mensyukuri nikmat berupa kesehatan, kecukupan, dan kesempatan untuk menunaikan salah satu rukun Islam itu. Walaupun masih berupa peluang akan berangkat pun --dengan kepastian keberangkatan-- adalah nikmat pula. Namun hakikat dari syukur adalah pendayagunaan segala nikmat yang Allah berikan untuk bersikap taat kepadanya. Adapun ekspresi lain berupa penyelenggaraan walimah disebabkan mau berangkat haji, tidak dikenal khazanah fikih Islam.
Al-Bahuti menginventarisasi berbagai macam walimah yang biasa disebut para ulama dalam bab walimah, yakni terdapat sebelas macam walimah. Tetapi tidak dijumpai adanya walimah hendak berangkat haji. Begitu pula Ibn Thuluun dalam kitabnya “Fash al-Khawatim fi Ma Qila fi al-Wala’im”, dari dua belas macam yang ia cantumkan tak sedikitpun menyinggung tentang adanya walimah safar. Terkait dengan perjalanan (safar), mereka berdua hanya menyebut “al-naqi’ah”, yaitu makanan yang disiapkan untuk makan bersama undangan karena menyambut orang yang datang dari bepergian.
Walaupun demikian, hal ini tidak berarti dilarang. Memberi makan kepada orang lain dengan maksud sedekah adalah hal yang jelas dianjurkan dalam syariat. Yang tidak boleh adalah meyakini bahwa Walimah Safar (hendak berangkat haji) adalah sesuatu yang disunnahkan atau dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. atau bahkan bagian dari tuntunan berhaji, hingga bila tidak dilakukan lantas dinilai cacat dalam beragama.
Dan bila dalam praktiknya sesuai adat setempat ternyata memakan biaya besar, sehingga dapat menghalangi orang untuk berhaji karena modalnya pas-pasan atau potensial menjadi ajang persaingan prestis dan pamer, maka wajib adanya pelurusan, bahkan mungkin sampai fatwa pelarangan.
Adapun yang disebut ulama dengan Al-naqi’ah, sebagaimana pengertian di atas, maka dalam kitab ulama madzhab Syafi’i dikatakan, hal itu dianjurkan (mustahab/mandub), utamanya bagi orang yang pulang haji (Hasyiayah al-Qalyubi: II/190).
Masalahnya tak satu pun dalam kitab tersebut maupun kitab yang lain adanya pencantuman dalil yang spesifik terkait dengan walimah pulang haji itu. Kemungkinan besar yang menjadi pedomannya adalah analogi dengan walimah al-‘urs/nikah karena sama-sama merupakan momentum kebahagiaan. Dan dengan niatan bersyukur kepada Allah secara mutlak karena telah mendapat nikmat, jelas dibolehkan dan bebas dari jatuh pada salah keyakinan tentang pensyariatannya. Semuanya tentu harus pula memperhatikan keterangan di atas yang berkaitan dengan walimah sebelum haji. Wallahu a’lam. [www.hidayatullah.com]